Untuk
mengetahui keterkaitan antara Pancasila dengan berbagai aliran dalam filsafat
hukum, perlu dipahami mengenai hakekat dari Pancasila sampai sedalam-dalamnya.
Di dalam mengupas hakekat Pancasila sampai kedalamannya, dapat dipergunakan
pendekatan filosofis. Adapun pendekatan filosofis yang digunakan ialah metode
dialektis dan analitis.[1]
Metode
deduktif paralel dengan metode sintesis sebagaimana dikemukakan oleh Hegel pada
abad XIX (zaman Modern),[2]
mengemukakan teorinya yang disebut “Teori Dialektika”. Dalam
Teorinya, Hegel berpendapat bahwa proses perkembangan rohani
berjalan
dialektis, yang menurut Hegel ide-ide saling berlawanan dan sekalian rohani
melemah untuk menjadi kesatuan dalam suatu ide baru, yang merangkap kebenaran
yang terkandung dalam dua ide tadi. Sebagai contoh, ide tadi berawal daru suatu
yang “ada”, kemudian diperkirakan sesuatu yang ada, akan tetapi belum ada
secara menyeluruh, yakni ide “menjadi” mempunyai pikiran melalui tesei, anti
tesis, dan sintesis, sehingga cara berfikir yang demikian ini disebut
dialektis. Hal ini berlangsung secara terus-menerus. Menurut Hegel pula, teori
dialektis berlaku tidak hanya bidang logika, tetapi juga dalam bidang realitas,
dan yang paling banyak adalah bidang sejarah.
Pancasila
yang kita kenal sebagai dasar negara Indonesia sebagaimana dikemukakan
oleh Notonegoro yang menggunakan teori Causalis untuk menyelesaikan
Pancasila. Teori ini mengatakan bahwa semua yang ada mempunyai sebab, lebih
lanjut dikemukakan pula, berdasarkan teori causalis, Pancasila juga dapat
dipahami secara mendalam, yaitu:
Pertama,
dilihat dari causa materialis, Pancasila berdasar adat kebiasaan,
kebudayaan, dan agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Adat kebiasaan di sini
ialah adat kebiasaan dalam arti luas yang meliputi adat kebiasaan politik,
kewarganegaraan, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Causa
Formalis Pancasila, menurut Notonegoro, ialah anggota BPUPKI, yaitu
Soekarno dan Hatta yang kemudian disebut sebagai pembentuk negara. Causa
Finalis, Pancasila adalah calon dasar filsafat negara. Hal ini tertuang
dalam pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang secara tegas menyebutkan
bahwa tujuan dari pidatonya tentang Pancasila ialah untuk merumuskan dasar
Indonesia merdeka yang disebut sebagai Filosofische Grondslag.
Hal ini dapat juga disebutkan untuk Pancasila dalam Piagam Jakarta yang
ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 yang selanjutnya dipakai sebagai
Pembukaan UUD 1945. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Causa Finalis
Pancasila ialah dasar filsafat negara, sebab Pembukaan UUD 1945 yang telah
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI dimaksudkan sebagai dasar
filsafat negara.
Causa
Efficient Pancasila ialah PPKI, karena PPKI secara resmi menetapkan
Pembukaan UUD 1945 yang berintikan Pancasila sebagai dasar filsafat negara.
Dengan demikian, causa efficient Pancasila sebagai dasar filasafat negara ialah
pembentuk negara Indonesia,
dalam hal ini PPKI.
Pancasila
merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan dijungkirbalikkan tanpa
mengubah inti dari isinya, karena susunan Pancasila berbentuk hirarkis
piramidal. Dikatakan hirarkis, karena jika dilihat dari isinya, urut-urutan lima sila tersebut
menunjukkan satu rangkaian tingkatan dalam luas dan isinya. Selanjutnya,
dikatakan piramidal, karena tiap-tiap sila yang ada di belakang sila lainnya
merupakan pengkhususan dari sila/sisla-sila yang ada di depannya. Penjelasan
selanjutnya, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari Kemanusiaan,
Persatuan Indonesia,
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan
Perwakilan, dan Keadilan Sosial. Sebaliknya, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
Ketuhanan yang berperikemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan
berkeadilans osial, demikian seterusnya. Sehingga tiap-tiap sila yang ada di
dalamnya terkandung sila-sila lainnya. Kecuali itu, ditegaskan bahwa sila
ketuhanan dan kemanusiaan meliputi seluruh hidup manusia dan menjadi dasar dari
sila-sila persatuan, kerakyatan, keadilan sosial. Mengenai susunan hirarki Pancasila bahwa nilai-nilai Ketuhanan lebih tinggi
dari nilai kemanusiaan, nilai kemanusiaan lebih tinggi daripada nilai
kerakyatan, dan nilai kerakyatan lebih tinggi daripada nilai keadilan sosial.
Namun mengenai bentuk piramid dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap sila yang berada
di belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila-sila yang ada di
depannya. Jadi kalau diterapkan dalam sila-sila pada Pancasila dapat dijelaskan
sebagai berikut: Bahwa sila kemanusiaan merupakan pengkhususan dari sila
Ketuhanan, sila kerakyatan merupakan pengkhususan dari sila persatuan Indonesia
dan sila keadilan sosial merupakan pengkhususan dari sila kerakyatan.
Pancasila
sebagai pandangan hidup, Ideologi Nasional dan Dasar Negara pada esensinya
adalah perwujudan dari pelaksanaan hak dan kewajiban individu sebagai anggota
masyarakat untuk mengejawantahkan pola perilaku sebagaimana tercermin dalam
masing-masing kelima sila tersebut. Demikian pula sebagai bangsa Indonesia
dan warga negara. Pancasila dengan dimensinya pada hakekatnya selaras dengan
aliran dalam filsafat hukum, yaitu Sociological Jurisprudence, sebagaimana
keinginan dan tujuan dari tiga dimensi Pancasila yang bertujuan menciptakan
harmoni berupa keserasian pelaksanaan hak dan kewajiban sehingga secra optimal
kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat dapat terpenuhi secara tidak
memihak, yang oleh Roscoe Pound dikatakan terdapat 3 kepentingan hukum yang
perlu mendapat perlindungan, yaitu:
a.
Kepentingan
Umum.
b.
Kepentingan
Masyarakat.
c.
Kepentingan
Individu.
Aliran
Sociological Jurisprudence timbuld ari proses dialektika antara positivisme
hukum dan mazhab sejarah. Pada aliran Positivisme Hukum, memandang tidak ada
hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa, sebaliknya Mazhab Sejarah
menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama masyarakat. Kedua mazhab
tersebut dapat dilihat pada kepentingannya, yaitu: Positivisme mementingkan
logika, sedang mazhab Sejarah mengutamakan pengalaman. Namun Sociological
Jurisprudence mementingkan keduanya. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan
Pancasila sebagai pandangan hidup, ideologi negara, dan dasar negara, terdapat
kesamaan dengan mazhab Sociological Jurisprudence, karena adanya kesamaan
tujuan yang ingin dicapainya. Seperti yang dikatakan Roscoe Pound yang
menganggap hukum sebagai alat untuk rekayasa sosial/masyarakat, dan ini
tercermin dalam kelima sila dari Pancasila, yang di dalamnya terkandung
cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat adil dan makmur. Dengan
demikian, pencerminan kedua aliran tersebut terdapat kesesuaian dengan apa yang
terkandung di dalam UUD 1945, baik pembukaan, batang tubuh, maupun
penjelasannya.
[1] Woro
Winandi & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence
Dalam Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi
kelas, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997,
halaman 9.
0 comments:
Post a Comment