BAGIAN PERTAMA
I BAHASA
JAWA KUNO DAN SASTRANYA
1. Sejarah dan Prasejarah Bahasa Jawa Kuna.
Bila dilihat
keberadaannya, bahasa jawa Kuna merupakan salah satu rumpun bahasa Austronesia.
Pengetahuan kita mengenai bahasa Jawa Kuna, sebagai titik awal diperkirakan
tumbuh mulai pada abad IX dan berkembang subur selama enam abad, yakni sampai
abad XV pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Diawali dengan ditemukannya
prasasti yang memakai bahasa Jawa Kuna yang tertua (yang diketahu saat ini)
yaitu prasasti Sukabumi di Jawa Timur. Prasasti ini berisi angka tahun 726 saka
atau 804 masehi. Sebelum prasasti ini, hampir semua piagam yang ditemukan
memakai bahasa Sansekerta. Oleh karena itu, maka prasasti Sukabumi dianggap
sebagai tonggak sejarah yang mengawali bahasa Jawa Kuna.
Bahasa Jawa Kuna merupakan salah satu dialek temporal bahasa pribumi di
Jawa. Bahasa ini sekarang hanya dapat ditemukan di dalam karya-karya tulis
seperti terpakai dalam buku Ramayana, Adiparwa, Sutasoma, Bharatayuddha,
Arjunawiwaha dan lainnya. Bahasa jawa Kuna dewasa ini dikatakan sebagai
bahasa mati karena bahasa ini tidak dipakai lagi di dalam percakapan
sehari-hari, serta tidak ditemuka penutur asli bahasa itu. Namun dalam
kesusastraan, para punjangga masih menggunakan bahasa Jawa Kuna seperti
terdapat dalam buku Nagarakretagama, Arjunawiwaha, Sutasoma, sampai buku
kakawin Harisraya yang ber angka tahun 1496 saka atau 1574 masehi.
2. Pengaruh India terhadap Bahasa Jawa
Kuna; peranan Bahasa Sansekerta
Pengaruh kebudayaan India begitu besar terhadap kebudayaan Indonesia pada masa
lampau. Hal ini dapat diketahui karena sampai pada abad XIV kerajaan-kerajaan
di Indonesia masih bercorak Hindu. Dalam kerajaan yang bercorak Hindu bahasa
Sansekerta mempunyai kedudukan yang sangat penting karena bahasa itu dipakai
untuk menuliskan buku suci Weda. Oleh karena itulah bagi penganut Hindu buku
suci itu dipelajari dan ini berarti juga harus mempelajari bahasa Sansekerta.
Disamping itu bahasa Sansekerta merupakan bahasa ilmu sastra dan merupakan
bahasa yang dipakai di kalangan masyarakat atas khusus di istana. Hal ini
menunjukkan bahasa Sansekerta mempunyai kedudukan yang sangat mulia dan fungsi
yang sangat penting di kalangan umat Hindu dan bangsa India khususnya pada masa
lampau.
Di Indonesia pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (sekitar abad 10)
karya sastra Sansekerta mendapat perhatian sungguh-sungguh sehingga pada masa
itu diadakan “proyek comprehenship” untuk mengalihkan karya yang terkandung
dalam batin Byasa ke dalam Bahasa Jawa Kuna yang dengan istilah mangjawaken
Byasamata yakni mengubah parwa-parwa dengan mengambil sumber dari Mahabharata
Sansekerta India. Dalam usaha inilah para pujangga Jawa Kuna telah banyak
meminjam peristilahan dan kosa kata Sansekerta. Kalau diperhatikan ada dua hal
yang melatarbelakangi pengaruh bahasa Sansekerta terhadap bahasa jawa Kuna,
yaitu meliputi pengaruh formal bahasa tersebut dan pengaruh non formal yaitu
yang menyangkut latar belakang budaya India yang lebih luas.
Pengaruh
formal yang dimaksud disini adalah menyangkutu pengaruh bahasa Sansekerta
secara langsung yaitu diangkatnya kata-kata Sansekerta ke dalam bahasa Jawa
Kuna. Bila diamati masuknya kata-kata sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuna hampir
semua kata benda dan kata sifat dalam bentuk yang tidak dideklinasikan (dalam
bentuk lingga) masuk ke dalam kosa kata bahasa Jawa Kuna. Sedangkan pengaruh
non formal di sini dimaksudkan adalah isi konseptual kata-kata pinjaman
tersebut yang berkaitan dengan pengaruh kebudayaan yang lebih luas termasuk
lingkungan hidup dan alam pikiran yang melahirkannya.
3. Kerangka Historis Sastra Jawa Kuna
Mengawali pertumbuhan
sastra Jawa Kuna, digubahlah candakarana yaitu sebuah karya yangberisi
pelajaran tentang tembang dan daftar kata-kata yang menyerupai kamus.
Selanjutnya menyusul sebuah kakawin yang sangat populer dan paling panjang di
antara kakawin-kakawin yang ada, yaitu kakawin Ramayana yang dikenal
digubah oleh empu Yogiswara. Perkembangan karya sastra Jawa Kuna
terus menampak ke zaman pemerintahan Mpu Sindok sekitar tahun 929 – 947 M di
Jawa Tengah. Pada masa ini terdapat karya prosa yaitu Sang Hyang
Kamahayanikan dan Brahmandapurana. Di lanjutkan zaman Sri Darma
Wangsa teguh, pada masa inilah kakawin Mahabharata digubah melaui proyek
manjawaken Byasamata, kemudia digantikan oleh Erlangga. Pada masa
pemerintahan Erlangga digubah kakawin Arjunawiwaha oleh Mpu Kanwa
sekitar tahun 1028 – 1035 M. Zaman berikutnya adalah pemerintahan kerajaan
Kediri, sekitar tahun 1042 – 1222 M. Pada masa ini merupakan masa puncaknya
perkembangan karya sastra Jawa Kuna yang dikarang oleh pengawi-pengawi kerajaan
seperti Mpu Sedah dan Panuluh yang mengarang kakawin Bharata Yudha. kakawin
Hariwangsa dan Gatotkacasraya oleh Mpu Panuluh, Kresnayana oleh
Mpu Triguna, kakawin Smaradhana oleh Mpu Darmaja, Sumanasantaka oleh
Mpu Monaguna. Berakhir zaman kediri digantikan zaman Majapahit masa Hayam Wuruk
digubah kakawin Nagarakretagama oleh Mpu Prapanca, pada masa Majapahit
ada banyak lagi karya-karya sastra kakawin yang digubah seperti Sutasoma
oleh Mpu tantular, Partayadnya, Lubdaka oleh Mpu Tanakung, wretasancaya,
Nitisastra, serta kakawin-kakawin yang lainnya, kebanyakan yang
anonim (tanpa nama pengarang) dan tahun penulisannya yang tidak jelas dan
menggunakan candrasangkala. Selain karya-karya sastra Jawa Kuna yang
disebut di atas masih banyak lagi hasil karya sastra Jawa Kuna yang belum
dikemukakan dan hampir sebagian besar karya tersebut diselamatkan dan kini
tersimpan di Bali. Di Bali kegiatan olah sastra terus berlanjut dan mencapai
puncaknya pada zaman Gelgel di Kelungkung, sekitar abad XVII.
4. Bahasa Jawa Kuna dan Pertengahan;
Kakawin dan Kidung; kesusastraan
Bahasa Jawa Kuna dari abad ke-9 dalam perkembangan waktu mengalami
banyak perubahan. Ada kata-kata yang tidak dipakai lagi , kata-kata baru mulai
muncul, perubahan-perubahan semantis terjadi. Hal ini dapat dibuktikan dengan
membanding-bandingkan hasil karya sastra Jawa Kuna. Karya sastra yang
tahun pembuatannya lebih tua bahasanya Jawa Kuna sedangkan yang tahun
pembuatannya lebih muda digolongkan Jawa Pertengahan, yang menurut Zoetmulder
disebut “bahasa kidung”.
Dalam sastra Jawa Kuna terdapat dua macam puisi yang berbeda satu dengan yang
lain terutama karena metrumnya, yaitu jenis kakawin dan kidung. Secara tahun
penerbitannya, kakawin memang yang paling dulu muncul dibandingkan kidung,
tetapi beberapa kekawin dalam Jawa Kuna mungkin lebih muda daripada beberapa
kidung dalam Jawa Pertengahan. Kebanyakan kidung ditulis di Bali, dan
berdasarkan karya-karya yang kita miliki, kita dapat bernalar bahwa semua
sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal dewasa ini, berasal dari Bali.
5. Bagaimana Sastra Jawa Kuno Diawetkan
Sastra Jawa Kuna telah sampai pada kita dari masa yang jauh silam. Hanya
sebagian saja dapat bertahan dalam perjalanan berabad-abad. Satu-satunya
dokumen yang dalam bentuknya yang asli sampai kepada kita ialah
prasasti-prasasti yang terukir dalam lempeng-lempeng kuningan atau batu-batu.
Semua teks lain kita temukan dalam bentuk salinan. Karya-karya sastra Jawa Kuna
kebanyakan ditulis dalam daun lontar, dan adanya budaya penyalinan maka
sampai saat ini karya-karya tersebut masih bisa kita nikmati. Kebanyakan
karya-karya ini disalin di Bali. Karena itu kepada Bali-lah kita berterimakasih
karena di sana sastra Jawa Kuna diselamatkan.
II SASTRA PARWA
Parwa–parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos–epos
dalam bahasa sansekerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan
kutipan–kutipan dari karya asli dalam bahasa Sansekerta. Dibawah ini disajikan
suatu pembahasan singkat mengenai karya–karya Jawa Kuno yang termasuk sastra
parwa.
1.
Adiparwa
Karya ini merupakan suatu ulasan dalam bentuk prosa mengenai kitab
pertama dari syair Mahabharata, dan seperti prototipenya, dapat dipandang dari
dua bagian tersendiri. Bagian pertama menyajikan kerangka guna menembangkan
epos Bharata, ialah cerita mengenai korban yang atas perintah Raja Janamejaya
dipersembahkan sebagai suatu sarana magis guna memusnahkan para naga (6 – 60).
Bagian kedua berisi silsilah para Pandawa dan Korawa, kelahiran, masa muda
mereka sampai pernikahan Arjuna dengan Subhadra. (60 – 214). Adiparwa
ditamatkan dengan cerita mengenai api dihutan khandawa: Krsna dan Arjuna
membantu dewa Agni dalam tugas pemusnahannya.
2.
Wirataparwa
Kitab ini, bagian keempat dalam epos Mahabharata, membahas
kehidupan para Pandawa di kraton raja Wirata. Dalam Parw ini diceritakan masa
penyamaran Pandawa selama 1 tahun setelah masa pengasingan 12 tahun karena
kalah dalam perjudian. Cerita ini diakhiri dengan permintaan raja Masyapati
sebagi raja negeri Wirata kepada Yudisthira untuk naik tahta serta diangkatnya
Utari sebagai menantu Arjuna untuk Abimanyu. Pernikahan Abhimanyu dan
Uttari kemudian dirayakan dengan meriah (82 – 97).
3.
Udyogaparwa
Bagian ini menceritakan kedua pihak baik Pandawa dan Korawa
mempersiapkan diri untuk pertempuran yang menentukan dan mencari sekutu. Baik
Duryodhana sebagai utusan para Korawa, maupun Arjuna sebagai utusan para
Pandawa, berangkat pada saat yang sama guna menghadap Krisna. Kemudian dalam
cerita ini kita juga berhadapan dengan sebuah sisipan panjang, yang dinamakan ‘
Indrawijaya’ (kemenangan Indra).
Dalam bagian cerita juga terungkap tentang perundingan yang
panjang antara para Pandawa dan Korawa. Para pandawa mengutus Drupada menghadap
para Korawa: sebaliknya raja Dhrtasarata mengutus Sanjaya ke wirata. Namun
perundingan ini gagal. sampai pada akhirnya Krisna sendiri yang turun tangan
dan hasilnya adalah peperangan. Disini juga terjadi sekali lagi permusuhan
antara Bhisma dan Karna, sebaliknya Bhisma menandaskan, bahwa ia tidak akan
melawan Sikhandi. Naskah ini dengan mendadak terputus, yaitu sebelum
diceritakan mengenai perang mulut anatara Bhisma dan Parasurama.
4. Bhismaparwa
Parwa ini menceritakan tentang nasehat-nasehat Krisna sebelum
perang kepada Arjuna yang hampir saja mengundurkan diri untuk berperang karena
melihat yang menjadi musuhnya adalah gurunya dan paman-pamannya. Peritiwa
gugurnya Bhisma oleh Arjuna dalam peperangan menjadi bagian utama dalam
cerita ini. Sebelum ajal menjemputnya Bhisma memberikan nasehat-nasehat kepada
cucu-cucunya Pandawa dan Korawa mengenai kewajiban suci yang diemban oleh
seorang raja (rajadharma). Sampai disinilah bagian Parwa ini berakhir.
5. Asramawasaparwa
Parwa ini menceritakan tentang masa pertapaan raja Dhrstarasta di
pertapaan Byasa setelah perang karena ia merasa sendirian setelah kematian
anak-anaknya dalam peperangan, selain itu juga dikarenakan perkataan Wrkodara
tentang Duryodhana. Dua tahun kemudian Narada muncul memberitahukan kepada
Pandawa bahwa Dhrtarastra beserta Gandhari, Kunti, dan Widura yang
mengiringinya di pertapaan telah meninggal dalam kebakaran dekat sungai
Gangga.
6. Mosalaparwa
Parwa yang oaling pendek ini menceritakan bagaimana suku Yadu
musnah sesudah pertempuran Agung, kecuali Krsna dan Baladewa. Setelah
pertempuran itu Baladewa melakukan tapa sehingga jiwanya meninggalkan badan
dalam bentuk naga, demikian juga dengan Krsna melakukan pertapaan dan
menitipkan istri – istrinya kepada Basudewa. Basudewa kemudian menyerahkan
istri – istri Krsna kepada Arjuna, Arjuna lalu membawa mereka ke Indraprastha,
tempat Bajra putra Krsna diangkat menjadi raja.
7. Prasthanikaparwa
Parwa ini mengisahkan perjalanan para Pandawa ke hutan. Dalam
perjalan itu satu per satu para Pandawa gugur, karena perbuatan tidak baik yang
pernah mereka lakukan, hanya Yudhistira yang berhasil menyelesaikan perjalanan
itu ditemani oleh seekor anjing yang setia mengiringinginya, anjing itu
merupakan penjelmaan Dewa Dharma. Setelah berhasil melewati segala rintangan
dalam perjalanan kemudian Ydhistira beserta anjing penjelmaan Dewa Dharma
diangkat ke surga oleh Dewa Indra, tetapi sesampainya di surga Yudhistira tidak
melihat saudara –saudaranya, sehingga ia tidak mau tinggal di surga.
8. Swargarohanaparwa
Setibanya di surga Yudhistira tidak melihat saudara-saudaranya
tetapi ia meliahat Duryodana di tengah-tengah para Dewa. Yudhistira tidak
terima akan hal itu karena ia tidak, kemudian Yudhistira pergi ke neraka untuk
mencari saudara-saudaranya. Di neraka ia menemui saudara-saudaranya dalam
keadaan yang menderita. Yudhistira menyalahkan para dewa atas semua
keadaan yang dialami oleh saudara-saudaranya, tetapi lama kelamaan neraka
yang mengerikan tersebut berubah menjadi surga yang sangat indah. Dijelaskan
oleh para dewa kepada para Pandawa bahwa semua keadaan yang mengerikan tadi
adalah sekelumit ganjaran atas perbuatan buruk yang senpat mereka lakukan
selama hidup di dunia, demikian pula sebaliknya atas apa yang telah dialami
para Korawa.
9. Uttarakanda
Kanda ini merupakan salah satu bagian dari epos Ramayana bukan
termasuk dalam 18 parwa Mahabharata. karya ini mirip dengan karya-karya di
atas, isinya menceritakan tentang bagaimana Rsi Agastya menceritakan riwayat
Rahwana beserta keluarganya kepada sang Rama, bagaimana pengembaraan dan segala
perbuatan jahat yang dilakukan Rahwana selama pengembaraan tetapi berkat
anugerah kekuatan dari Dewa Brahma tidak ada satu pun musuh yang dapat
mengalahkannya sampai Sang Rama mengalahkannya. Disamping itu parwa ini juga
menceritakan rencana sang Rama untuk melakukan uapacara Aswamedha,.Kisah lain
dalam parwa ini yaitu kelahiran putra dari Sang Rama dan Dewi Sita yang bernama
Kusa dan Lawa, Dewi Sita yang ditelan oleh dewi bumi (Perthiwi) karena
diragukan kesucian oleh Sang Rama, kemudian kanda ini di akhiri dengan
kembalinya wujud Sang Rama menjadi dewa Wisnu kemudian naik ke surga bersama
para dewa.
10. Parwa-Parwa dan Sumber Sansekerta; Kutipan-Kutipan dalam Bahasa
Sansekerta
Parwa-parwa banyak mengambil kutipan-kutipan sansekerta di
dalamnya. Kutipan Sansekerta itu sering meliputi satu sloka penuh, yaitu dua
baris masing-masing dengan 16 suku kata. Jika seseorang hanya merangkai
kutipan-kutipan dalam bahasa Sansekerta, maka mustahilah ia dapat mwngikuti
jalan ceritanya. Sering kutipan itu merupakan kata-kata yang diucapakan oleh
salah seorang tokoh dalam suatu cerita. Misalnya kutipan tentang perbincangan
Karna dengan Arjuna sebelum dilaksanakan sayembara Drupadi.
11. Tanggal Terjadinya
Mukadimah tiga parwa yaitu Adiparwa, Wiratparwa dan Bhismaparwa dan
versi khusus Uttarakanda mengandung informasi yang relevan mengenai hal ini.
pada akhir cerita Wirataparwa yang menyebutkan dengan suatu contoh bagaimana
tanggal dibawakannya pertama kali sebuah karya Jawa Kuna ditentukan dengan
cukup rumit. Menurut kronologi modern tanggalnya ialah sejak 14 Oktober sampai
12 Nopember bertahun 996.
12. Siapa Pengarangnya?
Sastra parwa tidak semuanya ditulis oleh pengarang yang sama,
inilah yang mungkin kita dapat tarik dalam penelitian komparatif tentang
bahasa. Hal ini dikuatkan dengan ciri; Uttarakanda mempunyai suatu ciri yang
khas yang tidak terdapat dalam parwa-parwa lainnya, yaitu cara parwa itu
dibagi. Parwa ini terdiri atas bab-bab singkat atau pada ahir setiap bab
dinyatkan sebagai Sansekerta sebuah nama atau judul yang menunujukan isi dan
nomor urutnya. Adiparwa diawali dengan suatu tindak bakti terhadap dewa Siwa
beserta istrinya. Dalam Wirataparwa kata pengantar pertama dialamatkan kepada
Krsnadwipayana yang sama dengan Byasa, penulis mistis yang menulis Mahabharata.
Bhismaparwa pun diawali dengan bersembah sujud kepada Byasa, kemudian terhadap
raja pulau Yawa yang memakai nama Hari karena ia Wisnu. Akhirnya Uttarakanda,
setelah memuji Balmiki, pengarang Ramayana ‘mahadewa para penyair’, memberi
hormat pula pada sang raja (yang sekali lagi memkai nama Dharmawangsa). Dalam
kata pengantar Adiparwa bersifat Siwaistis sedangkan Bhismaparwa (meskipun
tidak begitu menyolok) dan Uttarakanda bersifat Wisnuistis. Wirataparwa lebih
netral dengan mengarahkan hematnya kepada raja
III TEKNIK PERSAJAKAN DALAM SASTRA JAWA KUNO
1.
Metrum Kakawin
Istilah kakawin
berasal dari metrum-metrum di India, sedangkan istilah kidung bersifat Jawa
asli. Kidung adalah suatu kata Jawa asli, sedangkan kata kakawin sudah
mengungkapkan asal-usulnya, yaitu dari kata Sanskerta kawi; tetapi kedua
afiks Jawa ke- dan –n memberinya warna blasteran. Kawi semula
berarti ‘seorang yang mempunyai pengertian yang luar biasa, seorang yang bisa
melihat hari depan, seorang bijak’; tapi dalam arti yang khas , yaitu seorang
‘penyair’. Afiks ka- dan -n yang menjadikan bentuk kakawin
artinya adalah ‘karya seorang penyair, syairnya’. Tetapi pada periode klasik,
dikenal oleh para sastrawan Jawa kata kawya (kawi) berarti ‘buah dari
hasil puisi kraton’, sebuah syair yang pada pokoknya bersifat epis, yang
coraknya agak dibuat-buat, dan justru inilah sifat-sifat kakawin dalam sastra
Jawa Kuno.
Pada umumnya,
kaidah-kaidah metris yang berlaku bagi sebuah kakawin sama seperti
kaidah-kaidah kawya dalam persajakan sanskerta, yaitu dapat di rumuskan
sebagai berikut: sebuah bait terdiri atas empat baris sedangkan masing-masing
baris meliputi jumlah suku kata yang sama, disusun menurut pola metris yang
sama. Menurut pola tersebut kuantitas setiap suku kata – panjang atau
pendeknya – ditentukan oleh tempatnya dalam baris beserta syarat-syaratnya; dan
sebuah suku kata dianggap panjang bila mengandung sebuah vokal panjang dan bila
sebuah vokal pendek disusul oleh lebih daripada satu konsonan. Suku kata
terakhir dalam setiap baris dapat bersifat panjang atau pendek. Aneka macam
metrum ini dipakai dalam puisi Jawa kuno, masing-masing dengan namanya sendiri.
2.
Ulasan-Ulasan Tentang Metrum
Buku-buku pegangan
dari India yang membahas bidang pengetahuan tentang prosodi atau ilmu
persajakan ini disebut chandahsastra dan sama sekali tidak merupakan buku-buku
yang membangkitkan inspirasi puitis. Dalam kesusastraan Jawa Kuno juga ada
buku-buku yang membahas mengenai prosedi, tetapi tetap bertolak pada chandahsastra
India, namanya Wrttasancaya karya mpu Tanakung dan sebuah ulasan yang
berjudul Wrttayana (tanpa pengarang).
Ulasan mengenai chandahsastra
tentang metrum kakawin. Jumlah suku kata (warna aksara) dalam satu
baris (pada) disebut chanda oleh para penyair tersohor (kawindra);
empat baris serupa itu mewujudkan satu kakawin. Disini juga diterangkan
tentang wrtta seperti terdapat dalam Pinggala, yaitu mengenai “tempat
dan penyusunan suku kata yang panjang dan yang pendek (guru laghu).
Dengan demikian istilah wrrta menunjukkan metrum seperti ditentukan oleh
pembagian kuantitas dalam setiap baris; jelaslah juga bahwa chanda yang
sama dapat meliputi bermacam-macam wrtta yang berbeda-beda.
3.
Prosodi India dan Jawa Kuna
Lebih dari separuh
metrum yang dimuat dalam kakawin-kakawin Jawa Kuna sama sekali tidak terdapat
dalam buku-buku pegangan India. Sejumlah besar metrum yang tidak terdapat di
India berasal dari Jawa. Kakawin-kakawin pada periode klasik ( yaitu sampai
dengan masa jayanya Majapahit), secara relatif bebas dari unsur-unsur asing;
sedangkan kakawin-kakawin dari jaman mundurnya Majapahit dan khususnya kakawin
yang yang berasal dari periode Bali (yaitu sesudah kerajaan Bali memisahkan
diri dari Majapahit), memperlihatkan penyimpangan-penyimpangan yang makin
banyak dari kaidah-kaidah asli, sampai peraturan-peraturan itu diabaikan sama
sekali. Disiplin dalam mempertahankan metrum mulai menjadi kendur dan
pengetahuan mengenai prosodi India mulai menjadi pudar.
4.
Metrum Kidung
Metrum kidung
tidak berasal dari India, melainkan dari Jawa. Metrum kidung disebut metrum tengahan
dan prinsip dasarnya sama dengan metrum dalam puisi Jawa Modern yang dinamakan
metrum macapat. Adapun ciri-ciri umumnya sebagai berikut; (1) jumlah
baris dalam satu bait tetap sama selama metrumnya tidak diganti. Semua metrum tengahan
mempunyai lebih dari empat baris, berlainan dengan kakawin. (2)
Jumlah suku kata dalam setiap baris tetap, tetapi panjang garis dapat berubah
menurut kedudukannya dalam bait. Setiap metrum tertentu memperlihatkan polanya
sendiri. (3) Persajakan kidung memperlihatkan semacam rima yang sama sekali
tidak dikenal dalam metrum India.
IV
Penyair, Syair, dan Puisi
1. Bahan Tulis; Cara penulisan karya sastra Jawa Kuna pada jaman dulu tidak sama dengan apa
yang dilakukan di Bali. Ini dapat dilihat dari beberapa referensi kekawin yang
tidak satupun menyebutkan daun lontar sebagai bahan tulisan. Begitu juga dalam
relief-relief candi Jawa Kuna, bahan tulisan dalam relief tersebut di buat
lebih besar dan lebar dari daun lontar.
2. Tanah dan Karas; Tanah adalah alat yang dipakai sebagai alat untuk
menulis, sedangkan karas adalah bahan yang ditulisi. Tanah
terbuat dari semacam ‘tanah’ atau semacam gerip. Karas pada umumnya
berarti semacam “papan kayu atau keping-keping batu”.
3. Pudak; Selain tanah dan karas bahan tulis yang lain adalah pudak atau
disebut juga ketaka atau ketaki yaitu bunga pandan. Daun bunga pandan yang
panjang dan putih dipakai sebagai bahan tulis.
4. Yasa, Mahanten, Bale; Bangunan yang tiang-tiang kayunya dapat dihiasi dengan lukisan
disebut dengan yasa padan kata bale. Manaten ialah sebuah bangunan yang dipakai
oleh dua kekasih sebagai tempat pertemuan atau tempat sang penyair atau seorang
kekasih yang merasa rindu mencari kesunyian.
5. Těto, Wilah; Konteks yang dapat dipadankan dengan kata teto yaitu kata panglari dan
panghret. Panglari merupakan sebuah papan yang yang dipasang disepanjang atap,
sedangkan panghret merupakan merupakan balok lintang. Wilah dalam bahasa Bali
diterjemahkan dengan kata galar.
6. Bentuk-bentuk Puisi; Terdapat juga hasil karya sastra seperti kekawin namun disebut dengan nama
lain yaitu wilapa, pralapita, bhasa, dan palambang. Wilapa
merupakansebuah syair dalam metrum kekawin, yang membahas tentang cinta dan keindahan,
tetapi tidak merupakan sebuah ratapan. Pralapita merupakan sebuah syair
menurut arti umum, karena syair ini tidak mengandung adegan-adegan asmara,
tetapi memang memaparkan deskripsi-deskripsi tradisional mengenai keindahan
alam. Sedangkan bhasa merupakan syair yang dipakai untuk menunjukan
suatu deskripsi singkat tetapi penuh emosi mengenai rasa asmara maupun suatu
reaksi terhadap keindahan alam. Istilah palambang dipakai untuk menyebutkan
berbagai kakawin utama yang cukup panjang, namun sebuah sajak cinta pendek yang
ditulis diatas daun pudak juga disebut palambang.
7. Para Kawi; Kata kawi biasanya dipakai untuk menujukkan seorang penyair, namun artinya
lebih luas juga, yaitu setiap orang yang mempelajari buku-buku atau mahir dalam
hal itu. Mereka yang termasuk kelompok para kawi tidak semuanya merupakan
penyair-penyair kreatif. Ada juga gelar-gelar lain yang digunakan untuk
menyebutkan istilah sang kawi seperti kawiwara (kawi yang unggul), kawindra
(pangeran diantara para kawi), kawi wiku (kawi yang menjalani kehidupan
religius), dan sebagainya.
8. Penyair dan Raja Majikan; Dalam kesusastraan Jawa Kuna hubungan antara penyair dengan majikannya atau
sanga raja sangatlah erat. Raja memberi restu kepada penyair dalam
menyelesaikan karyanya. Simpati sang raja juga merupakan berkat yang
menyuburkan karya seorang penyair dan raja melindungi penyair dengan sebuah
manggala, penyair mempersembahkan karyanya.
9. Agama Sang Kawi; Bait pembukaan pada kekawin disebut manggala, yaitu segala sesuatu, setiap
kata, perbuatan atau oran yang karena kesaktiannya dapat menjamin sukses sebuah
pekerjaan yang akan dimulai. Puji-pujiandan permohonan berkah kepada para dewa
biasanya terdapat pada utama manggala. Dalam penulisan manggala yang penting
bukan pertama bukan seorang dewa yang namanya diserukan, melainkan cara nama
itu diserukan serta dari sudut mana dewa itu di dekati.
V ALAM YANG TERPANTUL DALAM SASTRA KEKAWIN
1. Waktu dan Musim
Bersasarkan sumber-sumber Jawa Kuno, hari alamiah dibagi-bagi
menurut dua bagian yang sama panjang yaitu masing-masing terdiri atas delapan
jam atau “pukul” dan dihitung sejak matahari terbit (jam 6) dan sejak matahari
terbenam (jam 18.00). Ini berarti bahwa satu jam Jawa Kuno sama dengan 90
menit. Jam-jam memang dipukul pada sebuah kentungan dan jumlah pukulan serasi
dengan waktu yang bersangkutan.
Saat-saat yang dalam sastra kekawin sering disebut-sebut ialah sore
dan senja, malam yang disinari rembulan dan menjelang fajar. Dalam sastra Jawa
Kuno tidak ada yang melukiskan musim yang silih bergabti dan terperinci, bulan
demi bulan, musim-musim yang dilukiskan berbeda dengan musim di India.
2. Flora dan Fauna
Tumbuhan dan hewan dalam sastra kekawin kebanyakan bersifat Jawa.
Pohon-pohon dan bunga-bunga yang diperhatikan dalam sastra kekawin adalah yang
dilihat penyair disekitar mereka, khususnya pohon dan bunga. Binatang yang
diperhatikan pengawi pada umumnya yang berkaki empat,hanyalah kuda dan gajah
yang merajai medan pertempuran. Mengenai kehidupan liar dihutan yang sering
dibicarakan adalah kijang dan kancil.
3. Daerah Pedesaan dan Istana Raja
Dalam banyak puisi mencerminkan kehidupan orang Jawa yang hidup
ditengah lingkungan ini, puisi kekawin pada hakekatnya merupakan puisi keraton,
maka keraton merupakan bagian masyarakat Jawa yang paling dirkenal oleh penyair
dan pelukisan kehidupan pedesaan hanya memaparkan latar belakang. Kehidupan
pedesaan dimasukkan dalam cerita untuk menghidupkan penggambarannya.
4. Kesatuan Alam Semesta
Dalam semua ungkapan puitis kita berjumpa dengan sebuah unsur pokok
dalam alam pikiran Jawa Kuno : kemanunggalan alam semesta dan semua mahluk di
dalamnya yang kait-mengkait. Alam yang terpantul dalam kekawin adalah alam yang
seperti dipandang oleh penyair Jawa Kuno bila ia melihat sekelilingnya. Cara ia
melukiskan hubungan manusia dan alam membuktikan bahwa ia memandang dunia ini
dengan cara yang bagi dia sendiri serta pendengarnya jelas sekali, yakni
bersatu.
BAGIAN KEDUA
VI. RAMAYANA
1.Ikhtisar Ramayana
Diceritakan Dasaratha melalui upacara pemujaan mendapatkan anak dari
istri-istrinya. Dewi Kosalia melahirkan Rama, Dewi Kekayi melahirkan Bharata,
Dewi Sumitra melahirkan Laksmana dan Satrughna. Setelah mereka Dewasa, Rsi
Wiswamitra meminta bantuan Rama dan Laksamana untuk mengalahkan para raksasa
yang mengacaukan pertapaannya. Wiswamitra menyuruh Rama agar datang ke
sayembara yang diadakan oleh Raja Janaka guna mendapatkan Sita. Di sana,
Ramalah yang keluar sebagai pemenang karena berhasil mematahkan busur yang
muncul pada saat Sita dilahirkan. Dasaratha diundang ke pesta perkawinan.
Kemudian dalam perjalanan pulang, Rama dihadang oleh Parasu Rama dan ditantang
berkelahi. Rama menerima dan memenangkan pertarungan itu. Tibalah saatnya
penobatan Rama sebagai Raja, namun Dewi Kekayi tidak setuju dan meminta agar
Bharatalah yang menjadi raja yang didukung oleh suatu janji. Kemudian Rama,
Sita dan Laksmana diasingkan ke hutan. Dasaratha meninggal karena sakit hati.
Bharata kemudian naik tahta, namun kemudian menemui Rama, membujuk Rama untuk
mengambil alih kerajaan. Rama menolak dan menyuruh Baratha yang
menjadi Raja sementara Rama menjalani pengasingan. Rama, Sita dan Laksamana
tinggal di pertapaan Sutiksna, semua raksasa pengganggu ditumpas sampai
Sarpanaka datang menggoda Rama dan Laksmana. Akibatnya Sarpanaka dipotong
hidungnya oleh laksamana, iapun mengadu kepada kakaknya Rahwana sambil
menyampaikan bahwa di Sutiksna ada Sita yang sangat cantik. Rahwana marah dan
pergi membalas dendam sambil berusaha menculik Sita. Sita berhasil diculik
dengan siasat menyamar, karena ditinggalkan Rama dan Laksmana yang mengejar
kijang jelmaan Patih Marica. Di tengah jalan Sita ditolong oleh Jatayu, namun
dapat dikalahkan dengan ajian Panca Sona, sebelum meninggal Jatayu memberi tahu
Rama kalau Sita diculik. Atas suatu nasehat, Rama pergi ke Rsyamuka meminta
bantuan Sugriwa. Kemudian sampai di sana Sugriwa memohon pada Rama, agar dapat
membantunya mengalahkan Subali, dan akhirnya Subali dibunuh oleh Rama. Sugriwa
mengutus Hanoman mencari keberadaan Sita. Hanoman pergi ke Alengka dengan
melewati banyak rintangan selama perjalanannya. Di alengka Hanoman melakukan
penyamaran dan berhasil menemukan Sita di bawah pohon asoka dengan dijaga oleh
Trijata. Hanoman menemui Sita dan menjelaskan tujuan kedatangannya, dan ia pun
berjanji akan kembali bersama Rama dan yang lainnya untuk menjemput Sita.
Setelah itu hanuman mengamuk dan membakar seluruh kota Alengka. Kemudian setelah berpamitan dengan
Sita, Hanoman kembali ke Gunung Malyawan dengan membawa bukti sebuah surat dan
manik milik Sita, diserahkannya kepada Rama. Rama memutuskan untuk menyerang
Alengka. Rahwana pun demikian saking kuat keinginannya memiliki Sita, sampai
nasehat dari Wibisana dan yang lainnya tidak diperdulikannya yang mengakibatkan
Wibisana diusir dan berada di pihak Rama. Jembatan Situbondo berhasil dibangun oleh para kera dan tibalah Rama
beserta rombongan di Alengka. Perang pun terjadi dengan sangat sengit, pasukan Rahwana mengalami
kekalahan. Kumbakarna adik Rahwana berhasil dibunuh oleh Rama, dan menyusul
Kematian Rahwana oleh Rama. Perang pun usai. Negeri Alengka hancur. Rama ,
Laksmana dan Sita telah selesai menjalankan pengembaraannya dan kembali ke
Ayodya. Setibanya di Ayodya, mereka disambut dengan meriah. Rama kembali
menduduki tahta kerajaan.
2.Prototipe dari India
Terdapat kesamaan antara kekawin Ramayana di nusantara dengan epos Sanskerta
karangan Walmiki dan dipertanyakan mungkinkah penyair Jawa Kuna menggunakan
suatu versi teks Walmiki? Melalui banyak penelusuran pertama kalinya pada tahun
1934 oleh Himansu Bhusan Sarkar, kemudian oleh Manomohan Gosh, dan disimpulkan
bahwa naskah yang menjadi sumber bagi Yogiswara dalam menulis kekawin Ramayana
ialah Bhatti-Kavya; ia mengambil alih tema karangan India sampai segala
seluk-beluknya dan sebanyak mungkin juga memakai sejumlah ungkapan yang sama,
karena ditemukan kemiripan sebuah karya klasik Sanskerta karangan Bhatti-kavya
yaitu Ravanavadha. Kesimpulan ini pun dibenarkan oleh C. Bulkcke dan C.
Hooykaas, khususnya C. Hooykaas dengan membandingkan isi kekawin bait demi bait
dengan isi Kavya dari India.
3. Waktu Penulisan dan Pengarangnya
Menurut H. Kern,
Ramayana ditulis setelah Bharatayuddha dan sebelum Bhomantaka, sehingga
diketahui kekawin ini ditulis dari jaman Kediri abad ke-12. Stutterheim
menolak pendapat Poerbatjaraka mengenai waktu penulisan kekawin ini, dan
berpendapat bahwa ini ditulis sebelum jaman Mpu Sindok. Menurut Hooykaas,
kekawin ini diakui sebagai ‘kekawin pertama dan teladan’ bagi serangkaian karya
serupa dalam sastra Jawa-Bali, yang lebih dalam mengulas kisahnya lebih
mempertahankan sifat Indianya. Dalam tradisi Bali, Mpu Yogiswaralah yang
mengarang kekawin ini walaupun tanpa dasar bukti yang kuat dan ini disetujui
oleh sarjana Barat. Menurut Poerbatjaraka, karya ini bersifat Siwa-istis, tapi
menurut Hooykaas bersifat Wisnu-istis.
VII. ARJUNAWIWAHA GUBAHAN MPU KANWA
1. Ikhtisar Arjunawiwaha
Raksasa Niwatakawaca
bersiap menyerang surga. Niwatakawaca sangat sakti, tidak dapat dibunuh oleh
raksasa maupun Dewa. Indra yang merasa khawatir memutuskan minta bantuan pada
Arjuna yang sedang bertapa di puncak Indrakila. Para bidadari diutus oleh Indra
untuk menguji ketabahan tapa Arjuna tapi tidak membuahkan hasil. Tahu akan hal
itu, Niwatakawaca mengutus raksasa muka membunuh Arjuna, dia menyamar menjadi
seekor babi hutan, mengobrak-abrik pertapaan sampai Arjuna menjadi marah dan
memanah si Muka. Bersamaan pula Siwa menyamar menjadi pemburu dan memanah si
Muka. Panah mereka menyatu di bangkai si Muka. Terjadi perkelahian mereka
sampai Siwa menunjukkan wujud aslinya dan menganugrahi panah pasupati. Setelah
itu datang dua Apsara membujuknya agar mau membantu Dewa membunuh Niwatakawaca.
Arjuna pun pergi ke Sorga. Setiba disana, mereka mengatur siasat dan mengetahui
kelemahan Niwatakawaca, perang pun dilangsungkan. Pasukan Indra pura-pura
kalah, disanalah ada kesempatan karena Niwatakawaca memperlihatkan kelemahannya
yaitu pada ujung lidah. Saat itu pula ditembakkan anak panah oleh Arjuna dan
terbunuhlah Niwatakawaca. Para raksasa kabur dan ada yang dibunuh. Mereka
kembali dengan kemenangan. Arjuna dianugrahi tinggal di sorga selama 7 hari
sorga, setara 7 bulan waktu dunia manusia, dan kawin dengan ke-7 bidadari
secara bergantian. Lalu Arjuna kembali ke saudara-saudaranya setelah menikmati
kenikmatan-kenikmatan.
2. Asal Mula Cerita, Pengarang dan Waktu
Penulisannya.
Arjunawiwaha merupakan tonggak awal sastra puitis Jawa Timur, asal mula
cerita diawali dari Wana Parwa saat Pandawa menjalani pengasingan dalam
hutan selama 12 tahun. Pernikahan Arjuna di surgalah yang menamai kekawin ini.
Gubahan ini boleh dikatakan usaha Mpu Kanwa yang pertama dalam menyusun dan
menggubah sebuah kekawin, pada saat ia bersiap-siap mengikuti ekspedisi
militer, di bawah perlindungan Raja Erlangga. Untuk Erlanggalah Mpu Kanwa
menggubah syairnya, syair ini ditulis antara tahun 1028 dan 1035.
VIII MPU
SEDAH DAN MPU PANULUH
1. Ikhtisar Hariwangsa
Wisnu menjelma ke dunia dalam wujud Krisna untuk melindungi dunia dan
memusnahkan Bhoma, Kangsa dan Kalayawana. Narada turun dan memberitakan tiba
saatnya Dewi Sri menjelma dalam diri Rukmini anak Bhismaka, raja Kundina
sebagai satu-satunya kekasih Krisna. Krisna berupaya mendapatkan Rukmini dengan
segala cara, hingga terjadi peperangan, Para Pandawa saat itu memihak Jarasandha atas nama ksatria, para
Korawa pun demikian. Perang pun terjadi. Para Wrsini dan Yadu berada di pimpinan Krisna melawan pasukan Jarasandha.
Jarasandha gugur, namun perang tetap berlangsung, sampai semuanya gugur, yang
tersisa Yudistira tapi sudah terbius oleh senjata Mohana dan Arjuna kini
berduel dengan Krsna sampai keduanya kembali menyatu ke wujud Wisnu. Saat itu
Yudistira sadar dan memohon pada Wisnu agar semuanya dihidupkan kembali dan
keadaan dipulihkan. Setelah terkabul, Wisnu kembali ke wujud Krsna dan Arjuna
dan mereka pulang ke tempat masing-masing. Pernikahan Krisna pun berlangsung
dan keempat istri Krsna perwujudan Sri melahirkan anak-anaknya. Setelah
menyelamatkan dunia di era dwapara, Krsna dan Rukmini kembali ke wujud Dewa dan
kembali ke surga.
2. Ikhtisar Bharatayuddha
Menceritakan tentang Peperangan Pandawa dan Korawa. Dari saat Krisna melakukan
perundingan dan memutuskan untuk perang. Perang daripihak korawa dipanglimai
oleh Bhisma sampai terakhir Salya. Semuanya Gugur, dan kemenangan ada di pihak
Pandawa. Duryodhana kabur di
sebuah pertapaan sampai perang tandingnya dengan Bhima hingga ia terbunuh.
Pandawa dan Krsna pulang dengan kemenangan, tapi Krisna ingat sumpah
duryodhana, maka ia beserta Pandawa memutuskan pergi ke tempat-tempat suci guna
menebus dosa. Pada malam yang sama sebelum fajar, Aswatthama membunuh
musuh-musuhnya termasuk kelima anak Drupadi saat tertidur.Drupadi bertekad
membalas dendam, minta agar mutiara yang menghias dahi Aswatthama diberikan
kepadanya. Pandawa melacaknya dan Bhima hampir membunuhnya, Aswatthama
mengangkat anak panah sakti hadiah dari Drona namun tidak bisa dikendalkan dan akhirnya
menembus kandungan Uttari, namun oleh Krsna dihidupkan kembali.
3. Ikhtisar Ghatotkacasraya
Saat pengasingan Pandawa, Abhimanyu tinggal dengan ibunya di Dwarawati, hingga
ia menjadi seorang perjaka tampan dan jatuh cinta dengan Ksiti Sundari, putri
Krisna. Baladewa marah mengetahui hal itu karena Sundari telah dijodohkan
dengan anak Duryodana. Abhimanyu lari ke hutan, bertemu dengan Dewi Durga dan
diberi petunjuk agar meminta bantuan Ghatotkaca untuk merebut Sang Putri yang
kemudian mengakibatkan perang dipelopori oleh Duryodhana yang menyerang Yadhu.
Saat itu Krisna sedang di pertapaan dan segera pulang meluruskan masalah.
Akhirnya cinta keduanya tak terhalangi lagi, namun setelah selesainya
pengasingan Pandawa, Abhimanyu dan ibunya pergi ke Wirata. Di sana Abhimanyu
dinikahkan dengan Diah Uttari, putri Wirata dan Ksiti Sundari berikutnya,
sebagai istri kedua Abhimanyu.
4. Waktu Penulisan dan Pengarangnya
Ketiga kekawin diatas adalah karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, dikarang pada
masa pemerintahan Prabu Jayabhaya pada masa Kadiri yang mana karya ini
dipersembahkan pengarang bagi beliau. Mpu Panuluh mendapat titah dari Sang Raja
untuk melukiskan perbuatan-perbuatan Krsna yang tersohor dan bahwa ia
meneruskan karya Mpu Sedah mulai dari adegan saat Salya menjadi panglima
tertinggi. Hariwangsa ditulis sebelum Bharatayuddha, yang mengawali terciptanya
karya puitis pada masa itu.
5. Bharatayuddha dan Mahabharata
Cerita ini mengikuti
kisah peperangan antara para Pandawa dengan Korawa seperti yang tercantum dalan
epos India, dimulai dengan persiapan peperangan agung (Udyogaparwa), dan
berakhir dengan pembantaian kebanyakan pahlawan Pandawa dalam malam sesudah
pertempuran (Sauptikaparwa).
6. Krsna dan Rukmini
Dalam penafsiran Hariwangsa, kita mengartikannya sebagai sebuah cerita mengenai
Krsna, dan diantara kehidupan-kehidupan Krsna, penculikan Rukmini merupakan
cerita yang paling digemari oleh rakyat Jawa jaman dulu.
7. Ikhtisar Krsnayana
Cerita yang terkandung dalam ikhtisar ini sama dengan yang terdapat dalam
Hariwangsa, yaitu dengan inti adanya peristiwa perampasan Rukmini oleh Krsna,
yang mengakibatkan perang yang besar yang melibatkan Pandawa dan Korawa sebagai
musuh Krsna saat itu.
IX MPU DHARMAJA,
MPU MONAGUNA DAN MPU TRIGUNA
1. Ikhtisar Smaradahana
Saat itu sorga terancam oleh oleh Nilarudraka, dan hanya Siwa yang
dapat menghadapi. Indra mengutus Kama untuk mengganggu yoga Siwa, dan diketahui
Siwa Dalam sekejap Kama hangus oleh api yang
terpancar dari Siwa. Para Dewa, Ratih dan yang lainnya menangisi Kematian Kama.
Karena kesetiaannya, Ratih menceburkan diri ke api dan akhirnya bisa bertemu
dengan Kama namun tak dapat bersatu karena tak berbadan. Kama memasuki hati
Siwa, Ratih memasuki hati Uma. Dan tibalah pertemuan Siwa dengan Uma yang
menghasilkan buah, Putra yang dilahirkan Uma menyerupai seekor gajah karena
saat sebelum putra itu lahir, Indra membawa seekor gajah ke hadapan Uma yang
membuat Uma merasa ketakutan. Lahirlah Gana, dan saat Nilarudraka menyerang
para Dewa, Ganalah yang akhirnya membunuh Nilarudraka saat peperangan para Dewa
dengan para raksasa di bawah pimpinan Nilarudraka. Akhirnya dunia kembali
tenang.
2. Waktu Penulisan dan Pengarangnya
Pengarang yang menamakan diri Mpu Dharmaja dalam cerita ini menunjukkan
niatnya memuji Kama. Pujian tersebut mengawali syair dan ditujukan kepada Sri
Kameswara di masa Daha (Kadiri) sebagai suatu tanda kehormatan.
3. Ikhtisar Sumanasantaka, Waktu Penulisan dan
Pengarangnya.
Karena suatu ketakutan, Indra mengutus Harini untuk menggoda Trnawindu yang
sedang melakukan tapa brata. Trnawindu mengetahui bahwa ini adalah siasat
Indra. Ia marah, mengutuk Harini akan dilahirkan sebagai manusia. Harini memohon agar kutukan
itu dicabut namun itu tidak dapat dilakukan. Tapi Trnawindu berjanji bahwa
kekasihnya di surga akan dilahirkan sebagai manusia (pangeran Aja), dan riwayat
Harini akan ditamatkan oleh sekuntum bunga Sumanasa. Harini dilahirkan
sebagai putri seorang raja yang memerintah rakyat Krthakesika, ia bernama
Indumati namun akhirnya kedua orang tuanya meninggal dan tahta diambil alih
oleh kakaknya yaitu pangeran Bhoja. Bhoja mengadakan Sayembara untuk Indumati
dan pangeran Aja dari Ayodya keluar sebagai pemenang dan berhasil membawa
pulang Indumati sebagai istrinya, mempunyai anak yang bernama Dasaratha. Suatu
saat, Narada melakukan suatu pujaan dengan memainkan alat musik bersama dengan
para Sapta Rsi. Sebuah kalung bunga Sumanasa jatuh dari alat musiknya dan jatuh
di dada Indumati, dan beberapa saat kemudian ia meninggal dan kembali ke surga.
Pangeran aja meninggal di sebuah tempat pemandian suci pertemuan sungai Gangga
dengan Sarayu. Delapan tahun kemudian Dasaratha naik tahta..
Ini adalah syair pertama yang ditulis oleh Mpu Monaguna, ditulis pada masa
Kadiri tepatnya pada masa Raja Warsajaya, yakni Warsajaya sendiri merupakan
guru dari Monaguna.
X BHOMANTAKA ATAU BHOMAKAWYA
1. Ikhtisar Bhomantaka
Para Rsi memohon agar
Krsna membantu para pertapa di Himalaya karena selalu diganggu para
raksasa. Krsna mengutus putranya Samba, di sana Samba tinggal beberapa waktu
dan bersahabat dengan murid Wiswamitra yang bernama Gunadewa. Karena mendengar
suatu cerita dari Gunadewa, Samba mengetahui bahwa pada kehidupannya terdahulu
ia pernah meninggalkan kekasihnya, Yajnyawati yang menjadi anak angkat Naraka.
Kemudian Samba berhasil menemui Yajnyawati disan ketika hendak dilarikan, ia
ketahuan oleh para Raksasa. Saat samba akan menyerang kraton Bhoma, hal itu
diketahui Narada dan menyarankan agar ia kembali ke Dwarawati dulu untuk
mengatus siasat sementara Yajnyawati diamankan oleh anak buah Bhoma. Lalu
pasukan disiapkan. Bhoma mencari sekutu antara lain Jarasandha, Raja Cedi, Raja
Magadha, dan Satruntapa. Dalam peperangan, semua sekutu Kresna kalah. Akhirnya
tibalah saat pertempuran antara Krsna dengan Bhoma. Krsna kembali ke wujud
Wisnu yang menggemparkan, dengan burung garudanya yang menjauhkan senjata
andalan Bhoma dari Bhoma sendiri dan akhirnya Bhoma bisa dibunuh oleh Wisnu.
Kemudian Indra menampakkan diri, memberikan anugrah dan semuanya dihidupkan
kembali kecuali Bhoma.
XI MPU
TANTULAR
1. Ikhtisar Arjunawijaya
Ini menceritakan tentang Raja Rawana (Dasamukha) yang dalam perjalanannya
menghancurkan tempat-tempat yang dilaluinya, ia menerima banyak kutukan dari
musuh-musuhnya seperti diri dan kratonnya akan dihabisi oleh jelmaan Wisnu,
juga oleh para kera dan kutukan menyeramkan lainnya. Saat mengganggu Siwa
dengan mengangkat kaki gunung Kailash, tangannya terjepit oleh gunung yang
ditekan oleh Siwa, kemudian ia minta ampun. Suatu saat Dasamukha melakukan tapa
di hadapan sebuah lingga, ia terganggu karena air membanjiri tempatnya dan ia
terpaksa lari ke sebuah bukit. Raksasa menceritakan ini akibat dari Arjuna
Sahasrabahu membuat bendungan di hilir sungai guna dapat dimanfaatkan.
Akibatnya Dasamukha marah dan menyerang Arjuna, tapi Arjuna telah mendengar
kabar itu lalu bersiaga menyiapkan pasukan. Perang pun terjadi. Dasamukha berkali-kali
dibunuh namun hidup lagi. Akhirnya, Dasamukha bisa dibuat pingsan, lalu diikat
dengan rantai dibawa pergi. Ketika pulang, istrinya sudak meninggal bersama
para dayangnya karena seorang raksasa membawa kabar bahwa Arjuna telah tewas,
maka dari itu istrinya membunuh diri. Namun akhirnya dihidupkan kembali.
Dasamukha dibebaskan kembali atas permintaan kakek Dasamukha sendiri yang
bernama Pulastya. Semua yang telah mati dihidupkan kembali oleh Pulastya
sebagai tanda terima kasih kepada Arjuna.
2. Ikhtisar Sutasoma
Ini menceritakan seorang pangeran dari raja Sri Mahaketu yang memerintah
di Hastina. Kerajaannya terancam oleh raksasa-raksasa dan pimpinannya. Hanya
keturunannya yang mampu mengalahkan raksasa itu. Ketika diminta naik tahta,
Sutasoma menolak memilih mengembara. Setelah lama perjalannya, ia betemu dengan
sepupunya yaitu Raja Dasabahu dan ia akan segera menikah dengan adik dari
dasabahu yang bernama Candrawati dan ia kembali pulang ke keratonnya menemui
kedua orang tuanya dan kemudian naik tahta. Raja Raksasa Porusada baru sembuh
dari luka akibat bergaul dengan Kala namun kala menghendaki imbalan agar
dipersembahkan 100 orang raja kepadanya. setelah mendapatkan 100 orang Raja,
Kala meminta agar ditambahkan lagi dengan raja Sutasoma. Porusada pergi mencari
Sutasoma untuk ditangkap. Setelah bertemu, Sutasoma sendiri yang menyerahkan
diri agar dapat menukar ke 100 raja yang telah ditangkap sebelumnya dengan
dirinya. Sutasoma pergi menemui Kala, keseratus raja itu dilepaskan dan Kala
berusaha membunuh Sutasoma dengan menjadi naga dan mulai menelan Sutasoma,
seketika Kala dipenuhi rasa cinta dan belas kasih dan tidak jadi membunuh
Sutasoma, dan memohon agar ia dapat diterima sebagai muridnya. Dunia merasakan
kedamaian dan akhirnya Sutasoma dan Candrawati kembali ke sorga dan Hastina
dipimpin oleh putranya yaitu Ardhana.
XII
PRAPANCA DAN NAGARA KRTAGAMA
Nagarakrtagama merupakan sebuah karya sastra yang diciptakan sang
Kawi bernama Prapanca. Kekawin Nagarakrtagama melukiskan kerajaan Majapahit di
bawah pemerintahan raja Rajasanagara (Hayam Wuruk). Kekawin ini menyebutkan
tentang wilayah-wilayah kekuasaan Majapahit, perjalanan raja Hayam Wuruk
menelusuri wilayah kerajannya setiap tahun pada akhir musim sejuk, upacara
sraddha untuk memperingati Tribhuana, Ibu suri (Rajapatni). Kekawin ini juga
disebut Desawarnana (pelukisan tentang wilayah kerajaan). Naskah ini
satu-satunya ditemukan di Lombok tahun 1894.
XIII
MPU TANAKUNG
1. Ikhtisar Lubdhaka
Syair ini digubah oleh Mpu Tanakung diperkirakan pada pertengahan abad ke-15
dalam perlindungan raja Sri Suraprabhawa. Diceritakan Ada seseorang pemburu
yang bernama Lubdhaka. Pada tanggal 14 paro petang ia pergi berburu. Namun dia
tidak mendapatkan seekor pun binatang buruan sampai malam tiba. Karena takut,
ia naik ke atas pohon wilwa, memetik-metik daunnya agar terjaga sepanjang malam
itu. Di bawah pohon itu ada danau yang terdapat sebuah lingga Siwa dan petikan
daun itu jatuh tepat diatasnya. Esok harinya ia pulang dengan tangan kosong.
Beberapa tahun kemudian si pemburu jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Jiwanya mengambang, lalu Siwa mengutus abdinya untuk menjemput si pemburu namun
terjadilah perang antara abdi Siwa dengan para Kingkara memperebutkan jiwa si
pemburu, yang dimenangkan oleh para abdi Siwa. Jiwa si pemburu dibawa ke tempat
Siwa dan disana ia disambut dengan sangat baik. Karena kalah, paran Kingkara
melapor kepada Yama, Yama merasa telah gagal menjalankan tugasnya dan Yama
memutuskan untuk mengundurkan diri dari tugasnya kepada Siwa. Akhirnya Siwa
menjelaskan bahwa pada malam Siwa harus dihormati, Lubdhakalah satu-satunya dan
juga orang pertama yang melakukan pembersihan dosa dengan memuja Siwa pada
malam yang disebut Siwaratri walaupun pemujaan tersebut tidak disengaja dan
tidak diketahui oleh Luibdhaka sendiri. Dengan demikian ia patut memerima
anugrah, dan semua dosa-dosanya dihapuskan.
XIV PARTHAYAJNA DAN KUNJARAKARNA
Parthyajna dan Kunjarakarna merupakan dua buah kekawin karya Mpu Tanakung
yang ceritanya dipahatkan sebagai relief sebuah candi di Jawa Timur.
1. IKHTISAR PARTHAYAJNA
menceritakan perjalan Arjuna ke gunung Indrakila. Guna
mempersiapkan diri untuk pertempuran dahsyat, Arjuna harus menjalankan
tapa-brata agar memperoleh bantuan (senjata) dari ilahi yang mereka perlukan.
Gunung Indrakila merupakan tempat ia dapat berjumpa dengan para dewa. Dalam
perjalanan ia kemudian bertemu dengan Kama dan Ratih, dewa dan dewi asmara.
Arjuna meneruskan perjalan ke gunung Indrakila; terus menurus ia bergulat
melawan godaan lelah dan. Akhirnya dia sampai juga di Inggitamertapada tempat
kediaman Dwaipyana. Setelah mendengar apa yang terjadi di Hastina dan apa yang
menjadi tujuan perjalanan Arjuna, maka ia menerangkan sifat para Korawa dan
Pandawa yang sebenarnya para korawa merupakan reinkarnasi kejahatan, sedangkan
para pandawa dewa Pancakusika yang diutus oleh sang mahadewa untuk membunuh
para korawa bila waktu yang telah ditetapkan tiba. Dengan cita-cita ini di
dalam batinnya Arjuna menuju gunung Indrakirana; setalah satu tahun tujuannya
tercapai dan Siwa manampakkan diri sebagai Kirata.
2. Ikhtisar Kunjarakarna
Yaksa Kunjarakarna Melakukan meditasi Buddha di Gunung Semeru agar dapat
dibebaskan dari wataknya sebagai setan dalam inkarnasi berikut. Setelah
menghadap Wairocana, diberi anugrah mengenai dharma dan diberi penerangan
mengenai berbagai nasib yang dialami para mahluk dunia ini. Sang dewa memuji
keprihatiannya yang demikian. Dengan hati cemas mengenai nasib sahabatnya,
Kunjarakarna kemudian menuju suarga untuk menceritakan apa yang dilihat dan
didengarnya. Raja Gandharwa ini seolah-olah terhenyak mendengar berita
kematiannya yang tak terduga-duga. Kemudian mereka berdua pergi menghadap sang
Bodhi (citta) nirmala. Setelah itu ia memutuskan ikut menemani Kunjarakarna
melakukan tapa.
XV BEBERAPA KAKAWIN MINOR DARI KEMUDIAN HARI
1. Subhadrawiwaha (Pernikahan Subhadra) atau Parthayana (Pengembaraan
Arjuna)
Kakawin ini tema
syairnya selaras dengan kisah adiparwa, terdiri atas 55 pupuh, pengarang cukup
menguasai teknik persajakan dalam deskripsi alam dan adegan-adegan asmara
dengan setia. Penyimpangan terjadi dalam nama kerajaan raja citradahana, dalam
epos mahabrata disebut Manipura, dalam sastra parwa disebut Manayura, dalam
kakawin disebut Mayura. Dalam Mahabrata apsari disebut Narga, dalam parwa
disebut Sarwada, dalam kakawin dusebut puspamesi. Pengarang rupanya mengikuti
versi parwa.
2. Abhimanyuwiwaha (Pernikahan Abhimanyu)
Kakawin abhimayuwiwaha hamper mirib dengan subhadrawiwaha, terjadinya hubungan
timbal balik antara versi parwa dengan kakawin ini yang langsung menimba dari
karya prosa. Bagian deskriptif ditambah, bagian naratif dipersingkat tanpa
mengubahnya.
3. Hariwijaya (Kemenangan Wisnu).
Yaitu kisah menenai berhasilnya dewa wisnu memotong atau memenggal kepala
raksasa rahu dengan cakra beliau yang sedang meminum amrta. Adegan adiparwa
merupakan tema Hariwijaya, bahasa, gaya dan teknik puitis kakawin ini mirib
dengan Subhadrawiwaha dan Abhimayuwiwaha.
4. Kisah-Kisah Tentang Krisna
Dalam kakawin berikut krisna merupakan tokoh utama seperti: Krsnawijaya
(kemenaan krsna) atau Kalayawanantaka (kematian Kalayawana), kalantaka atau
Krsnakalantaka (kematian raksasa krsnakala), Krsnantaka (kematian krsna) atau
krsnandhaka,
5. Kisah-kisah Parwa dalam Bentuk Kakawin
Kakawin minor ini mengambil bahannya dari Adiparwa, seperti misalnya
Subhadrawiwaha, Hariwijaya, Kalayawanantaka, Astiasraya (bantuan astika),
Dimbiwicitra, Ratawijaya dan Khandawawanadahana, Indrawijaya, Ambasraya (Amba
mencari pertolongan) yang bersumber pada bagian terakhir dalam Udyogaparwa,
Phartawijaya (kemenangan Arjuna) adaptasi dari Bhismaparwa, Arisraya, ini tergantung
pada Uttarakanda.
6. Narakawijaya
Kakawin ini mungkin tidak masuk akal atau hampir mustahil dikalangan masyarakat
karena berakhir dengan kemenangan di pihak para raksasa. Dalam penulisan
kakawin ini judul Kemenangan Naraka justru di berikan pada pupuh terakhir, ini
membuktikan bahwa kakawin ini ditinggalkan dalam keadaan belum selesai atau
bagian penutupnya hilang ketika di teruskan turun-temurun, kakawin ini secara
tepat dapat dilukiskan sebagai suatu pelengkap bagi Bhomantaka.
XVI SASTRA KIDUNG
Bila dipandang dari sudut sastra, maka kidung-kidung umumnya dengan
jelas Seringkali penyair memperlihatkan kepandaiannya menceritakan sebuah kisah
yang hidup dan menarik atau melukiskan gambaran realistis mengenai latar
cerita. Kebanyakan cerita ditempatkan di sekitar kraton.
1. Kidung-kidung Historis
Kidung-kidung di bawah ini mempunyai satu ciri umum yang sama,
yakni bahannya diambil dari tradisi histories mengenai mengenai kerajaan
Majapahit.
2. Ikhtisar Kidung Harsawijaya
Kidung ini menceritakan tentang kehidupan Harsawijaya , putra dari
Raja Narasinga dari Singhasari. Diceritakan pula tentang keberhasilan
pemberontakan Jayakatwang terhadap Singhasari serta dapat menguasai seluruh
pulau Jawa. Namun dalam pemberontakan tersebut Harsawijaya berhasil lolos.
Kemudian ia mendirikan kerajaan Majapahit.
3. Rangga Lawe
Menceritakan tentang Rangga Lawe yang membunuh Sagara Winotan dalam pertempuran
di sekitar Majapahit. Diceritakan juga ketika Rangga Lawe dan Kebo Anabrang
berhadapan. Kebo Anabrang hamper tewas, namun berhasil melarikan diri. Ketika
ia mandi di sungai, ia dipergoki oleh Rangga Lawe sehingga terjadilah
pertempuran dan Rangga Lawe pun tewas. Ketika Sora tiba di sana, ia marah dan
membunuh Kebo Anabrang.
4. Sorandaka
Menceritakan
Mahapati yang mengadu dombakan Raja, Sora, Nambi dan Kebo Taruna (anak Kebo
Anabrang). Sora dan Nambi pun dibunuh oleh raja yang kemudian menyesal.
Mahapatih yang mengira ia akan diangkat menjadi patih amangkubumi kemudian
dibunuh. Terakhir terjadilah pemberontakan yang didalangi oleh Kuti yang
menyebabkan raja ditawan, namun pemberontaka itu di tumpas oleh Gajah Mada.
5. Kidung Sunda
Menceritakan tentang
pertempuran antara kerajaan Majapahit dengan kerajaan Sunda. Raja Sunda dan
pasukannya gugur kecuali Pitar. Setelah tahu raja beserta pasukan kerajaan
Sunda gugur, maka istri dan putrid raja Sunda beserta istri para prajurit bunuh
diri. Hayam Wuruk sendiri sedih, merana dan tak lama kemudian meninggal.
6. Cerita-cerita Panji
Tema pokok cerita
panji adalah pernikahan antara putra mahkota yang disebut Raden Panji atau
Raden Ino dan putri yang disebut Raden Galuh. Ciri khas lainnya adalah sahabat
yang mengikuti tokoh-tokoh utama.
7. Ikhtisar Waseng (Sari)
Mengisahkan raja
Magadha yang cemburu dan berusaha membunuh pangeran Wira Namtani yang akan
bertunangan dengan Raden Galuh, puteri Daha. Namun Usahanya sia-sia. Kemudian
Daha diserang oleh raja Magadha, tetapi raja Magadha di bunuh oleh Panji.
Disini juga diceritakan tentang usaha Panji (pangeran Wira namtani) mencari
Raden Galuh yang lama hilang dari Daha sejak Panji pulang ke Koripan hingga
akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia.
8. Sastra, Bukan Sastra?
Dari berbagai sudut. Kidung Sudamala dan Sri tanjung berbeda dengan
kidung-kidung di atas. Keduanya lebih menampilkan sifat kerakyatan. Kisah
Sudamala dapat disebut lakon ruwat dalam bentuk kidung. Fungsinya menurut
pengarang adalah bagi mereka yang mendengarkan atau membaca kidung ini akan
dibebaskan (kalukat) dari mara bahaya dan kamlangan. Kidung Sri Tanjung
merupakan lanjutan dari kidung Sudamala. Kidung ini memliki hubungan dengan
Mahabharata.
0 comments:
Post a Comment