Wednesday 4 February 2015

Buku KALANGWAN (Isi Ringkasan)


BAGIAN PERTAMA
I   BAHASA JAWA KUNO DAN SASTRANYA
 1.  Sejarah dan Prasejarah Bahasa Jawa Kuna.
           Bila dilihat keberadaannya, bahasa jawa Kuna merupakan salah satu rumpun bahasa Austronesia. Pengetahuan kita mengenai bahasa Jawa Kuna, sebagai titik awal diperkirakan tumbuh mulai pada abad IX dan berkembang subur selama enam abad, yakni sampai abad XV pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Diawali dengan ditemukannya prasasti yang memakai bahasa Jawa Kuna yang tertua (yang diketahu saat ini) yaitu prasasti Sukabumi di Jawa Timur. Prasasti ini berisi angka tahun 726 saka atau 804 masehi.  Sebelum prasasti ini, hampir semua piagam yang ditemukan memakai bahasa Sansekerta. Oleh karena itu, maka prasasti Sukabumi dianggap sebagai tonggak sejarah yang mengawali bahasa Jawa Kuna.

            Bahasa Jawa Kuna merupakan salah satu dialek temporal bahasa pribumi di Jawa. Bahasa ini sekarang hanya dapat ditemukan di dalam karya-karya tulis seperti terpakai dalam buku Ramayana, Adiparwa, Sutasoma, Bharatayuddha, Arjunawiwaha dan lainnya. Bahasa jawa Kuna dewasa ini dikatakan sebagai bahasa mati karena bahasa ini tidak dipakai lagi di dalam percakapan sehari-hari, serta tidak ditemuka penutur asli bahasa itu. Namun dalam kesusastraan, para punjangga masih menggunakan bahasa Jawa Kuna seperti terdapat dalam buku Nagarakretagama, Arjunawiwaha, Sutasoma, sampai buku kakawin Harisraya yang ber angka tahun 1496 saka atau 1574 masehi.

2. Pengaruh India terhadap Bahasa Jawa Kuna; peranan Bahasa Sansekerta
            Pengaruh kebudayaan India begitu besar terhadap kebudayaan Indonesia pada masa lampau. Hal ini dapat diketahui karena sampai pada abad XIV kerajaan-kerajaan di Indonesia masih bercorak Hindu. Dalam kerajaan yang bercorak Hindu bahasa Sansekerta mempunyai kedudukan yang sangat penting karena bahasa itu dipakai untuk menuliskan buku suci Weda. Oleh karena itulah bagi penganut Hindu buku suci itu dipelajari dan ini berarti juga harus mempelajari bahasa Sansekerta. Disamping itu bahasa Sansekerta merupakan bahasa ilmu sastra dan merupakan bahasa yang dipakai di kalangan masyarakat atas khusus di istana. Hal ini menunjukkan bahasa Sansekerta mempunyai kedudukan yang sangat mulia dan fungsi yang sangat penting di kalangan umat Hindu dan bangsa India khususnya pada masa lampau.
            Di Indonesia pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (sekitar abad 10) karya sastra Sansekerta mendapat perhatian sungguh-sungguh sehingga pada masa itu diadakan “proyek comprehenship” untuk mengalihkan karya yang terkandung dalam batin Byasa ke dalam Bahasa Jawa Kuna yang dengan istilah mangjawaken Byasamata yakni mengubah parwa-parwa dengan mengambil sumber dari Mahabharata Sansekerta India. Dalam usaha inilah para pujangga Jawa Kuna telah banyak meminjam peristilahan dan kosa kata Sansekerta. Kalau diperhatikan ada dua hal yang melatarbelakangi pengaruh bahasa Sansekerta terhadap bahasa jawa Kuna, yaitu meliputi pengaruh formal bahasa tersebut dan pengaruh non formal yaitu yang menyangkut latar belakang budaya India yang lebih luas.
          Pengaruh formal yang dimaksud disini adalah menyangkutu pengaruh bahasa Sansekerta secara langsung yaitu diangkatnya kata-kata Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuna. Bila diamati masuknya kata-kata sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuna hampir semua kata benda dan kata sifat dalam bentuk yang tidak dideklinasikan (dalam bentuk lingga) masuk ke dalam kosa kata bahasa Jawa Kuna. Sedangkan pengaruh non formal di sini dimaksudkan adalah isi konseptual kata-kata pinjaman tersebut yang berkaitan dengan pengaruh kebudayaan yang lebih luas termasuk lingkungan hidup dan alam pikiran yang melahirkannya.
3. Kerangka Historis Sastra Jawa Kuna
Mengawali pertumbuhan sastra Jawa Kuna, digubahlah candakarana yaitu sebuah karya yangberisi pelajaran tentang tembang dan daftar kata-kata yang menyerupai kamus. Selanjutnya menyusul sebuah kakawin yang sangat populer dan paling panjang di antara kakawin-kakawin yang ada, yaitu kakawin Ramayana yang dikenal digubah oleh empu Yogiswara.  Perkembangan karya sastra Jawa Kuna terus menampak ke zaman pemerintahan Mpu Sindok sekitar tahun 929 – 947 M di Jawa Tengah. Pada masa ini terdapat karya prosa yaitu Sang Hyang Kamahayanikan dan Brahmandapurana. Di lanjutkan zaman Sri Darma Wangsa teguh, pada masa inilah kakawin Mahabharata digubah melaui proyek manjawaken Byasamata, kemudia digantikan oleh Erlangga. Pada masa pemerintahan Erlangga digubah kakawin Arjunawiwaha oleh Mpu Kanwa sekitar tahun 1028 – 1035 M. Zaman berikutnya adalah pemerintahan kerajaan Kediri, sekitar tahun 1042 – 1222 M. Pada masa ini merupakan masa puncaknya perkembangan karya sastra Jawa Kuna yang dikarang oleh pengawi-pengawi kerajaan seperti Mpu Sedah dan Panuluh yang mengarang kakawin Bharata Yudha. kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya oleh Mpu Panuluh, Kresnayana oleh Mpu Triguna, kakawin Smaradhana oleh Mpu Darmaja, Sumanasantaka oleh Mpu Monaguna. Berakhir zaman kediri digantikan zaman Majapahit masa Hayam Wuruk digubah kakawin Nagarakretagama oleh Mpu Prapanca, pada masa Majapahit ada banyak lagi karya-karya sastra kakawin yang digubah seperti Sutasoma oleh Mpu tantular,  Partayadnya, Lubdaka oleh Mpu Tanakung, wretasancaya, Nitisastra, serta kakawin-kakawin yang  lainnya, kebanyakan yang anonim (tanpa nama pengarang) dan tahun penulisannya yang tidak jelas dan menggunakan candrasangkala. Selain karya-karya sastra Jawa Kuna yang disebut di atas masih banyak lagi hasil karya sastra Jawa Kuna yang belum dikemukakan dan hampir sebagian besar karya tersebut diselamatkan dan kini tersimpan di Bali. Di Bali kegiatan olah sastra terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada zaman Gelgel di Kelungkung, sekitar abad XVII.
4. Bahasa Jawa Kuna dan Pertengahan; Kakawin dan Kidung; kesusastraan
            Bahasa Jawa Kuna dari abad ke-9 dalam perkembangan waktu mengalami banyak perubahan. Ada kata-kata yang tidak dipakai lagi , kata-kata baru mulai muncul, perubahan-perubahan semantis terjadi. Hal ini dapat dibuktikan dengan membanding-bandingkan hasil karya sastra Jawa Kuna. Karya sastra yang  tahun pembuatannya lebih tua bahasanya Jawa Kuna sedangkan yang tahun pembuatannya lebih muda digolongkan Jawa Pertengahan, yang menurut Zoetmulder disebut “bahasa kidung”.
            Dalam sastra Jawa Kuna terdapat dua macam puisi yang berbeda satu dengan yang lain terutama karena metrumnya, yaitu jenis kakawin dan kidung. Secara tahun penerbitannya, kakawin memang yang paling dulu muncul dibandingkan kidung, tetapi beberapa kekawin dalam Jawa Kuna mungkin lebih muda daripada beberapa kidung dalam Jawa Pertengahan. Kebanyakan kidung ditulis di Bali, dan berdasarkan karya-karya yang kita miliki, kita dapat bernalar bahwa semua sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal dewasa ini, berasal dari Bali.
5. Bagaimana Sastra Jawa Kuno Diawetkan
            Sastra Jawa Kuna telah sampai pada kita dari masa yang jauh silam. Hanya sebagian saja dapat bertahan dalam perjalanan berabad-abad. Satu-satunya dokumen yang dalam bentuknya yang asli sampai kepada kita ialah prasasti-prasasti yang terukir dalam lempeng-lempeng kuningan atau batu-batu. Semua teks lain kita temukan dalam bentuk salinan. Karya-karya sastra Jawa Kuna kebanyakan ditulis dalam daun lontar, dan adanya budaya penyalinan maka sampai saat ini karya-karya tersebut masih bisa kita nikmati. Kebanyakan karya-karya ini disalin di Bali. Karena itu kepada Bali-lah kita berterimakasih karena di sana sastra Jawa Kuna diselamatkan.

 
II   SASTRA PARWA
Parwa–parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos–epos dalam bahasa sansekerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan–kutipan dari karya asli dalam bahasa Sansekerta. Dibawah ini disajikan suatu pembahasan singkat mengenai karya–karya Jawa Kuno yang termasuk sastra parwa.
1.      Adiparwa
Karya ini merupakan suatu ulasan dalam bentuk prosa mengenai kitab pertama dari syair Mahabharata, dan seperti prototipenya, dapat dipandang dari dua bagian tersendiri. Bagian pertama menyajikan kerangka guna menembangkan epos Bharata, ialah cerita mengenai korban yang atas perintah Raja Janamejaya dipersembahkan sebagai suatu sarana magis guna memusnahkan para naga (6 – 60). Bagian kedua berisi silsilah para Pandawa dan Korawa, kelahiran, masa muda mereka sampai pernikahan Arjuna dengan Subhadra. (60 – 214). Adiparwa ditamatkan dengan cerita mengenai api dihutan khandawa: Krsna dan Arjuna membantu dewa Agni dalam tugas pemusnahannya.
2.      Wirataparwa  
Kitab ini, bagian keempat dalam epos Mahabharata, membahas kehidupan para Pandawa di kraton raja Wirata. Dalam Parw ini diceritakan masa penyamaran Pandawa selama 1 tahun setelah masa pengasingan 12 tahun karena kalah dalam perjudian. Cerita ini diakhiri dengan permintaan raja Masyapati sebagi raja negeri Wirata kepada Yudisthira untuk naik tahta serta diangkatnya Utari sebagai menantu Arjuna untuk Abimanyu. Pernikahan Abhimanyu dan Uttari  kemudian dirayakan dengan meriah (82 – 97).
3.      Udyogaparwa
Bagian ini menceritakan kedua pihak baik Pandawa dan Korawa mempersiapkan diri untuk pertempuran yang menentukan dan mencari sekutu. Baik Duryodhana sebagai utusan para Korawa, maupun Arjuna sebagai utusan para Pandawa, berangkat pada saat yang sama guna menghadap Krisna. Kemudian dalam cerita ini kita juga berhadapan dengan sebuah sisipan panjang, yang dinamakan ‘ Indrawijaya’ (kemenangan Indra).
Dalam bagian  cerita juga terungkap tentang perundingan yang panjang antara para Pandawa dan Korawa. Para pandawa mengutus Drupada menghadap para Korawa: sebaliknya raja Dhrtasarata mengutus Sanjaya ke wirata. Namun perundingan ini gagal. sampai pada akhirnya Krisna sendiri yang turun tangan dan hasilnya adalah peperangan. Disini juga terjadi sekali lagi permusuhan antara Bhisma dan Karna, sebaliknya Bhisma menandaskan, bahwa ia tidak akan melawan Sikhandi. Naskah ini dengan mendadak terputus, yaitu sebelum diceritakan mengenai perang mulut anatara Bhisma dan Parasurama.
4. Bhismaparwa 
Parwa ini menceritakan tentang nasehat-nasehat Krisna sebelum perang kepada Arjuna yang hampir saja mengundurkan diri untuk berperang karena melihat yang menjadi musuhnya adalah gurunya dan paman-pamannya. Peritiwa gugurnya Bhisma oleh Arjuna  dalam peperangan menjadi bagian utama dalam cerita ini. Sebelum ajal menjemputnya Bhisma memberikan nasehat-nasehat kepada cucu-cucunya Pandawa dan Korawa mengenai kewajiban suci yang diemban oleh seorang raja (rajadharma).  Sampai disinilah bagian Parwa ini berakhir.
5. Asramawasaparwa
 Parwa ini menceritakan tentang masa pertapaan raja Dhrstarasta di pertapaan Byasa setelah perang karena ia merasa sendirian setelah kematian anak-anaknya dalam peperangan, selain itu juga dikarenakan perkataan Wrkodara tentang Duryodhana. Dua tahun kemudian Narada muncul memberitahukan kepada Pandawa bahwa Dhrtarastra beserta Gandhari, Kunti, dan Widura yang mengiringinya di  pertapaan telah meninggal dalam kebakaran dekat sungai Gangga.
6. Mosalaparwa
Parwa yang oaling pendek ini menceritakan bagaimana suku Yadu musnah sesudah pertempuran Agung, kecuali Krsna dan Baladewa. Setelah pertempuran itu Baladewa melakukan tapa sehingga jiwanya meninggalkan badan dalam bentuk naga, demikian juga dengan Krsna melakukan pertapaan dan menitipkan istri – istrinya kepada Basudewa. Basudewa kemudian menyerahkan istri – istri Krsna kepada Arjuna, Arjuna lalu membawa mereka ke Indraprastha, tempat Bajra putra Krsna diangkat menjadi raja.
7. Prasthanikaparwa
Parwa ini mengisahkan perjalanan para Pandawa ke hutan. Dalam perjalan itu satu per satu para Pandawa gugur, karena perbuatan tidak baik yang pernah mereka lakukan, hanya Yudhistira yang berhasil menyelesaikan perjalanan itu ditemani oleh seekor anjing yang setia mengiringinginya, anjing itu merupakan penjelmaan Dewa Dharma. Setelah berhasil melewati segala rintangan dalam perjalanan kemudian Ydhistira beserta anjing penjelmaan Dewa Dharma diangkat ke surga oleh Dewa Indra, tetapi sesampainya di surga Yudhistira tidak melihat saudara –saudaranya, sehingga ia tidak mau tinggal di surga.
8. Swargarohanaparwa
Setibanya di surga Yudhistira tidak melihat saudara-saudaranya tetapi ia meliahat Duryodana di tengah-tengah para Dewa. Yudhistira tidak terima akan hal itu karena ia tidak, kemudian Yudhistira pergi ke neraka untuk mencari saudara-saudaranya. Di neraka ia menemui saudara-saudaranya dalam keadaan yang menderita. Yudhistira menyalahkan para dewa atas semua keadaan  yang dialami oleh saudara-saudaranya, tetapi lama kelamaan neraka yang mengerikan tersebut berubah menjadi surga yang sangat indah. Dijelaskan oleh para dewa kepada para Pandawa bahwa semua keadaan yang mengerikan tadi adalah sekelumit ganjaran atas perbuatan buruk yang senpat mereka lakukan selama hidup di dunia, demikian pula sebaliknya atas apa yang telah dialami para Korawa.
9. Uttarakanda
Kanda ini merupakan salah satu bagian dari epos Ramayana bukan termasuk dalam 18 parwa Mahabharata. karya ini mirip dengan karya-karya di atas, isinya menceritakan tentang bagaimana Rsi Agastya menceritakan riwayat Rahwana beserta keluarganya kepada sang Rama, bagaimana pengembaraan dan segala perbuatan jahat yang dilakukan Rahwana selama pengembaraan tetapi berkat anugerah kekuatan dari Dewa Brahma tidak ada satu pun musuh yang dapat mengalahkannya sampai Sang Rama mengalahkannya. Disamping itu parwa ini juga menceritakan rencana sang Rama untuk melakukan uapacara Aswamedha,.Kisah lain dalam parwa ini yaitu kelahiran putra dari Sang Rama dan Dewi Sita yang bernama Kusa dan Lawa, Dewi Sita yang ditelan oleh dewi bumi (Perthiwi) karena diragukan kesucian oleh Sang Rama, kemudian kanda ini di akhiri dengan kembalinya wujud Sang Rama menjadi dewa Wisnu kemudian naik ke surga bersama para dewa.
10. Parwa-Parwa dan Sumber Sansekerta; Kutipan-Kutipan dalam Bahasa Sansekerta
Parwa-parwa banyak mengambil kutipan-kutipan sansekerta di dalamnya. Kutipan Sansekerta itu sering meliputi satu sloka penuh, yaitu dua baris masing-masing dengan 16 suku kata. Jika seseorang hanya merangkai kutipan-kutipan dalam bahasa Sansekerta, maka mustahilah ia dapat mwngikuti jalan ceritanya. Sering kutipan itu merupakan kata-kata yang diucapakan oleh salah seorang tokoh dalam suatu cerita. Misalnya kutipan tentang perbincangan Karna dengan Arjuna sebelum dilaksanakan sayembara Drupadi.
11. Tanggal Terjadinya
Mukadimah tiga parwa yaitu Adiparwa, Wiratparwa dan Bhismaparwa dan versi khusus Uttarakanda mengandung informasi yang relevan mengenai hal ini. pada akhir cerita Wirataparwa yang menyebutkan dengan suatu contoh bagaimana tanggal dibawakannya pertama kali sebuah karya Jawa Kuna ditentukan dengan cukup rumit. Menurut kronologi modern tanggalnya ialah sejak 14 Oktober sampai 12 Nopember bertahun 996.
12. Siapa Pengarangnya?
Sastra parwa tidak semuanya ditulis oleh pengarang yang sama, inilah yang mungkin kita dapat tarik dalam penelitian komparatif tentang bahasa. Hal ini dikuatkan dengan ciri; Uttarakanda mempunyai suatu ciri yang khas yang tidak terdapat dalam parwa-parwa lainnya, yaitu cara parwa itu dibagi. Parwa ini terdiri atas bab-bab singkat atau pada ahir setiap bab dinyatkan sebagai Sansekerta sebuah nama atau judul yang menunujukan isi dan nomor urutnya. Adiparwa diawali dengan suatu tindak bakti terhadap dewa Siwa beserta istrinya. Dalam Wirataparwa kata pengantar pertama dialamatkan kepada Krsnadwipayana yang sama dengan Byasa, penulis mistis yang menulis Mahabharata. Bhismaparwa pun diawali dengan bersembah sujud kepada Byasa, kemudian terhadap raja pulau Yawa yang memakai nama Hari karena ia Wisnu. Akhirnya Uttarakanda, setelah memuji Balmiki, pengarang Ramayana ‘mahadewa para penyair’, memberi hormat pula pada sang raja (yang sekali lagi memkai nama Dharmawangsa). Dalam kata pengantar Adiparwa bersifat Siwaistis sedangkan Bhismaparwa (meskipun tidak begitu menyolok) dan Uttarakanda bersifat Wisnuistis. Wirataparwa lebih netral dengan mengarahkan hematnya kepada raja  

III   TEKNIK PERSAJAKAN DALAM SASTRA JAWA KUNO
1.      Metrum Kakawin
         Istilah kakawin berasal dari metrum-metrum di India, sedangkan istilah kidung bersifat Jawa asli. Kidung adalah suatu kata Jawa asli, sedangkan kata kakawin sudah mengungkapkan asal-usulnya, yaitu dari kata Sanskerta kawi; tetapi kedua afiks Jawa ke- dan –n memberinya warna blasteran. Kawi semula berarti ‘seorang yang mempunyai pengertian yang luar biasa, seorang yang bisa melihat hari depan, seorang bijak’; tapi dalam arti yang khas , yaitu seorang ‘penyair’. Afiks ka- dan  -n yang menjadikan bentuk kakawin artinya adalah ‘karya seorang penyair, syairnya’. Tetapi pada periode klasik, dikenal oleh para sastrawan Jawa kata kawya (kawi) berarti ‘buah dari hasil puisi kraton’, sebuah syair yang pada pokoknya bersifat epis, yang coraknya agak dibuat-buat, dan justru inilah sifat-sifat kakawin dalam sastra Jawa Kuno.
         Pada umumnya, kaidah-kaidah metris yang berlaku bagi sebuah kakawin sama seperti kaidah-kaidah kawya dalam persajakan sanskerta, yaitu dapat di rumuskan sebagai berikut: sebuah bait terdiri atas empat baris sedangkan masing-masing baris meliputi jumlah suku kata yang sama, disusun menurut pola metris yang sama. Menurut pola tersebut kuantitas setiap suku kata – panjang  atau pendeknya – ditentukan oleh tempatnya dalam baris beserta syarat-syaratnya; dan sebuah suku kata dianggap panjang bila mengandung sebuah vokal panjang dan bila sebuah vokal pendek disusul oleh lebih daripada  satu konsonan. Suku kata terakhir dalam setiap baris dapat bersifat panjang atau pendek. Aneka macam metrum ini dipakai dalam puisi Jawa kuno, masing-masing dengan namanya sendiri.
2.      Ulasan-Ulasan Tentang Metrum
         Buku-buku pegangan dari India yang membahas bidang pengetahuan tentang prosodi atau ilmu persajakan ini disebut chandahsastra dan sama sekali tidak merupakan buku-buku yang membangkitkan inspirasi puitis. Dalam kesusastraan Jawa Kuno juga ada buku-buku yang membahas mengenai prosedi, tetapi tetap bertolak pada chandahsastra India, namanya Wrttasancaya karya mpu Tanakung dan sebuah ulasan yang berjudul Wrttayana (tanpa pengarang).
         Ulasan mengenai chandahsastra tentang metrum kakawin. Jumlah suku kata (warna aksara) dalam satu baris (pada) disebut chanda oleh para penyair tersohor (kawindra); empat baris serupa itu mewujudkan satu kakawin. Disini juga diterangkan tentang wrtta seperti terdapat dalam Pinggala, yaitu mengenai “tempat dan penyusunan suku kata yang panjang dan yang pendek (guru laghu). Dengan demikian istilah wrrta menunjukkan metrum seperti ditentukan oleh pembagian kuantitas dalam setiap baris; jelaslah juga bahwa chanda yang sama dapat meliputi bermacam-macam wrtta yang berbeda-beda.
3.      Prosodi India dan Jawa Kuna
         Lebih dari separuh metrum yang dimuat dalam kakawin-kakawin Jawa Kuna sama sekali tidak terdapat dalam buku-buku pegangan India. Sejumlah besar metrum yang tidak terdapat di India berasal dari Jawa. Kakawin-kakawin pada periode klasik ( yaitu sampai dengan masa jayanya Majapahit), secara relatif bebas dari unsur-unsur asing; sedangkan kakawin-kakawin dari jaman mundurnya Majapahit dan khususnya kakawin yang yang berasal dari periode Bali (yaitu sesudah kerajaan Bali memisahkan diri dari Majapahit), memperlihatkan penyimpangan-penyimpangan yang makin banyak dari kaidah-kaidah asli, sampai peraturan-peraturan itu diabaikan sama sekali. Disiplin dalam mempertahankan metrum mulai menjadi kendur dan pengetahuan mengenai prosodi India mulai menjadi pudar.
4.      Metrum Kidung
         Metrum kidung tidak berasal dari India, melainkan dari Jawa. Metrum kidung disebut metrum tengahan dan prinsip dasarnya sama dengan metrum dalam puisi Jawa Modern yang dinamakan metrum macapat. Adapun ciri-ciri umumnya sebagai berikut; (1) jumlah baris dalam satu bait tetap sama selama metrumnya tidak diganti. Semua metrum tengahan  mempunyai lebih dari empat baris, berlainan dengan kakawin. (2) Jumlah suku kata dalam setiap baris tetap, tetapi panjang garis dapat berubah menurut kedudukannya dalam bait. Setiap metrum tertentu memperlihatkan polanya sendiri. (3) Persajakan kidung memperlihatkan semacam rima yang sama sekali tidak dikenal dalam metrum India.



IV
Penyair, Syair, dan Puisi

1.  Bahan Tulis;  Cara penulisan karya sastra Jawa Kuna pada jaman dulu tidak sama dengan apa yang dilakukan di Bali. Ini dapat dilihat dari beberapa referensi kekawin yang tidak satupun menyebutkan daun lontar sebagai bahan tulisan. Begitu juga dalam relief-relief candi Jawa Kuna, bahan tulisan dalam relief tersebut di buat lebih besar dan lebar dari daun lontar.
2.  Tanah dan Karas; Tanah adalah alat yang dipakai sebagai alat untuk menulis, sedangkan karas adalah bahan yang ditulisi. Tanah terbuat dari semacam ‘tanah’ atau semacam gerip. Karas pada umumnya berarti semacam “papan kayu atau keping-keping batu”.
3.  Pudak;  Selain tanah dan karas bahan tulis yang lain adalah pudak atau disebut juga ketaka atau ketaki yaitu bunga pandan. Daun bunga pandan yang panjang dan putih dipakai sebagai bahan tulis.
4.  Yasa, Mahanten, Bale; Bangunan yang tiang-tiang kayunya dapat dihiasi dengan lukisan  disebut dengan yasa padan kata bale. Manaten ialah sebuah bangunan yang dipakai oleh dua kekasih sebagai tempat pertemuan atau tempat sang penyair atau seorang kekasih yang merasa rindu mencari kesunyian.
5.  TÄ›to, Wilah;  Konteks yang dapat dipadankan dengan kata teto yaitu kata panglari dan panghret. Panglari merupakan sebuah papan yang yang dipasang disepanjang atap, sedangkan panghret merupakan merupakan balok lintang. Wilah dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan kata galar.
6.  Bentuk-bentuk Puisi; Terdapat juga hasil karya sastra seperti kekawin namun disebut dengan nama lain yaitu wilapa, pralapita, bhasa, dan palambang. Wilapa merupakansebuah syair dalam metrum kekawin, yang membahas tentang cinta dan keindahan, tetapi tidak merupakan sebuah ratapan. Pralapita merupakan sebuah syair menurut arti umum, karena syair ini tidak mengandung adegan-adegan asmara, tetapi memang memaparkan deskripsi-deskripsi tradisional mengenai keindahan alam. Sedangkan bhasa merupakan syair yang dipakai untuk menunjukan suatu deskripsi singkat tetapi penuh emosi mengenai rasa asmara maupun suatu reaksi terhadap keindahan alam. Istilah palambang dipakai untuk menyebutkan berbagai kakawin utama yang cukup panjang, namun sebuah sajak cinta pendek yang ditulis diatas daun pudak juga disebut palambang.
7.  Para Kawi; Kata kawi biasanya dipakai untuk menujukkan seorang penyair, namun artinya lebih luas juga, yaitu setiap orang yang mempelajari buku-buku atau mahir dalam hal itu. Mereka yang termasuk kelompok para kawi tidak semuanya merupakan penyair-penyair kreatif. Ada juga gelar-gelar lain yang digunakan untuk menyebutkan istilah sang kawi seperti kawiwara (kawi yang unggul), kawindra (pangeran diantara para kawi), kawi wiku (kawi yang menjalani kehidupan religius), dan sebagainya.
8.  Penyair dan Raja Majikan; Dalam kesusastraan Jawa Kuna hubungan antara penyair dengan majikannya atau sanga raja sangatlah erat. Raja memberi restu kepada penyair dalam menyelesaikan karyanya. Simpati sang raja juga merupakan berkat yang menyuburkan karya seorang penyair dan raja melindungi penyair dengan sebuah manggala, penyair mempersembahkan karyanya.
9.  Agama Sang Kawi; Bait pembukaan pada kekawin disebut manggala, yaitu segala sesuatu, setiap kata, perbuatan atau oran yang karena kesaktiannya dapat menjamin sukses sebuah pekerjaan yang akan dimulai. Puji-pujiandan permohonan berkah kepada para dewa biasanya terdapat pada utama manggala. Dalam penulisan manggala yang penting bukan pertama bukan seorang dewa yang namanya diserukan, melainkan cara nama itu diserukan serta dari sudut mana dewa itu di dekati.
V    ALAM YANG TERPANTUL DALAM SASTRA KEKAWIN
1. Waktu dan Musim
Bersasarkan sumber-sumber Jawa Kuno, hari alamiah dibagi-bagi menurut dua bagian yang sama panjang yaitu masing-masing terdiri atas delapan jam atau “pukul” dan dihitung sejak matahari terbit (jam 6) dan sejak matahari terbenam (jam 18.00). Ini berarti bahwa satu jam Jawa Kuno sama dengan 90 menit. Jam-jam memang dipukul pada sebuah kentungan dan jumlah pukulan serasi dengan waktu yang bersangkutan.
Saat-saat yang dalam sastra kekawin sering disebut-sebut ialah sore dan senja, malam yang disinari rembulan dan menjelang fajar. Dalam sastra Jawa Kuno tidak ada yang melukiskan musim yang silih bergabti dan terperinci, bulan demi bulan, musim-musim yang dilukiskan berbeda dengan musim di India.
2. Flora dan Fauna
Tumbuhan dan hewan dalam sastra kekawin kebanyakan bersifat Jawa. Pohon-pohon dan bunga-bunga yang diperhatikan dalam sastra kekawin adalah yang dilihat penyair disekitar mereka, khususnya pohon dan bunga. Binatang yang diperhatikan pengawi pada umumnya yang berkaki empat,hanyalah kuda dan gajah yang merajai medan pertempuran. Mengenai kehidupan liar dihutan yang sering dibicarakan adalah kijang dan kancil.
3. Daerah Pedesaan dan Istana Raja
Dalam banyak puisi mencerminkan kehidupan orang Jawa yang hidup ditengah lingkungan ini, puisi kekawin pada hakekatnya merupakan puisi keraton, maka keraton merupakan bagian masyarakat Jawa yang paling dirkenal oleh penyair dan pelukisan kehidupan pedesaan hanya memaparkan latar belakang. Kehidupan pedesaan dimasukkan dalam cerita untuk menghidupkan penggambarannya.
4. Kesatuan Alam Semesta
Dalam semua ungkapan puitis kita berjumpa dengan sebuah unsur pokok dalam alam pikiran Jawa Kuno : kemanunggalan alam semesta dan semua mahluk di dalamnya yang kait-mengkait. Alam yang terpantul dalam kekawin adalah alam yang seperti dipandang oleh penyair Jawa Kuno bila ia melihat sekelilingnya. Cara ia melukiskan hubungan manusia dan alam membuktikan bahwa ia memandang dunia ini dengan cara yang bagi dia sendiri serta pendengarnya jelas sekali, yakni bersatu.


BAGIAN KEDUA
VI. RAMAYANA
1.Ikhtisar Ramayana
            Diceritakan Dasaratha melalui upacara pemujaan mendapatkan anak dari istri-istrinya. Dewi Kosalia melahirkan Rama, Dewi Kekayi melahirkan Bharata, Dewi Sumitra melahirkan Laksmana dan Satrughna. Setelah mereka Dewasa, Rsi Wiswamitra meminta bantuan Rama dan Laksamana untuk mengalahkan para raksasa yang mengacaukan pertapaannya. Wiswamitra menyuruh Rama agar datang ke sayembara yang diadakan oleh Raja Janaka guna mendapatkan Sita. Di sana, Ramalah yang keluar sebagai pemenang karena berhasil mematahkan busur yang muncul pada saat Sita dilahirkan. Dasaratha diundang ke pesta perkawinan. Kemudian dalam perjalanan pulang, Rama dihadang oleh Parasu Rama dan ditantang berkelahi. Rama menerima dan memenangkan pertarungan itu. Tibalah saatnya penobatan Rama sebagai Raja, namun Dewi Kekayi tidak setuju dan meminta agar Bharatalah yang menjadi raja yang didukung oleh suatu janji. Kemudian Rama, Sita dan Laksmana diasingkan ke hutan. Dasaratha meninggal karena sakit hati. Bharata kemudian naik tahta, namun kemudian menemui Rama, membujuk Rama untuk mengambil alih kerajaan. Rama menolak dan menyuruh Baratha yang menjadi Raja sementara Rama menjalani pengasingan. Rama, Sita dan Laksamana tinggal di pertapaan Sutiksna, semua raksasa pengganggu ditumpas sampai Sarpanaka datang menggoda  Rama dan Laksmana. Akibatnya Sarpanaka dipotong hidungnya oleh laksamana, iapun mengadu kepada kakaknya Rahwana sambil menyampaikan bahwa di Sutiksna ada Sita yang sangat cantik. Rahwana marah dan pergi membalas dendam sambil berusaha menculik Sita. Sita berhasil diculik dengan siasat menyamar, karena ditinggalkan Rama dan Laksmana yang mengejar kijang jelmaan Patih Marica. Di tengah jalan Sita ditolong oleh Jatayu, namun dapat dikalahkan dengan ajian Panca Sona, sebelum meninggal Jatayu memberi tahu Rama kalau Sita diculik. Atas suatu nasehat, Rama pergi ke Rsyamuka meminta bantuan Sugriwa. Kemudian sampai di sana Sugriwa memohon pada Rama, agar dapat membantunya mengalahkan Subali, dan akhirnya Subali dibunuh oleh Rama. Sugriwa mengutus Hanoman mencari keberadaan Sita. Hanoman pergi ke Alengka dengan melewati banyak rintangan selama perjalanannya. Di alengka Hanoman melakukan penyamaran dan berhasil menemukan Sita di bawah pohon asoka dengan dijaga oleh Trijata. Hanoman menemui Sita dan menjelaskan tujuan kedatangannya, dan ia pun berjanji akan kembali bersama Rama dan yang lainnya untuk menjemput Sita. Setelah itu hanuman mengamuk dan membakar seluruh kota Alengka. Kemudian setelah berpamitan dengan Sita, Hanoman kembali ke Gunung Malyawan dengan membawa bukti sebuah surat dan manik milik Sita, diserahkannya kepada Rama. Rama memutuskan untuk menyerang Alengka. Rahwana pun demikian saking kuat keinginannya memiliki Sita, sampai nasehat dari Wibisana dan yang lainnya tidak diperdulikannya yang mengakibatkan Wibisana diusir dan berada di pihak Rama. Jembatan Situbondo berhasil dibangun oleh para kera dan tibalah Rama beserta rombongan di Alengka. Perang pun terjadi dengan sangat sengit, pasukan Rahwana mengalami kekalahan. Kumbakarna adik Rahwana berhasil dibunuh oleh Rama, dan menyusul Kematian Rahwana oleh Rama. Perang pun usai. Negeri Alengka hancur. Rama , Laksmana dan Sita telah selesai menjalankan pengembaraannya dan kembali ke Ayodya. Setibanya di Ayodya, mereka disambut dengan meriah. Rama kembali menduduki tahta kerajaan.

2.Prototipe dari India
            Terdapat kesamaan antara kekawin Ramayana di nusantara dengan epos Sanskerta karangan Walmiki dan dipertanyakan mungkinkah penyair Jawa Kuna menggunakan suatu versi teks Walmiki? Melalui banyak penelusuran pertama kalinya pada tahun 1934 oleh Himansu Bhusan Sarkar, kemudian oleh Manomohan Gosh, dan disimpulkan bahwa naskah yang menjadi sumber bagi Yogiswara dalam menulis kekawin Ramayana ialah Bhatti-Kavya; ia mengambil alih tema karangan India sampai segala seluk-beluknya dan sebanyak mungkin juga memakai sejumlah ungkapan yang sama, karena ditemukan kemiripan sebuah karya klasik Sanskerta karangan Bhatti-kavya yaitu Ravanavadha. Kesimpulan ini pun dibenarkan oleh C. Bulkcke dan C. Hooykaas, khususnya C. Hooykaas dengan membandingkan isi kekawin bait demi bait dengan isi Kavya dari India.


3. Waktu Penulisan dan Pengarangnya
            Menurut H. Kern, Ramayana ditulis setelah Bharatayuddha dan sebelum Bhomantaka, sehingga diketahui kekawin ini ditulis dari jaman Kediri abad ke-12. Stutterheim  menolak pendapat Poerbatjaraka mengenai waktu penulisan kekawin ini, dan berpendapat bahwa ini ditulis sebelum jaman Mpu Sindok. Menurut Hooykaas, kekawin ini diakui sebagai ‘kekawin pertama dan teladan’ bagi serangkaian karya serupa dalam sastra Jawa-Bali, yang lebih dalam mengulas kisahnya lebih mempertahankan sifat Indianya. Dalam tradisi Bali, Mpu Yogiswaralah yang mengarang kekawin ini walaupun tanpa dasar bukti yang kuat dan ini disetujui oleh sarjana Barat. Menurut Poerbatjaraka, karya ini bersifat Siwa-istis, tapi menurut Hooykaas bersifat Wisnu-istis.


                             VII. ARJUNAWIWAHA GUBAHAN MPU KANWA
1. Ikhtisar Arjunawiwaha
Raksasa Niwatakawaca bersiap menyerang surga. Niwatakawaca sangat sakti, tidak dapat dibunuh oleh raksasa maupun Dewa. Indra yang merasa khawatir memutuskan minta bantuan pada Arjuna yang sedang bertapa di puncak Indrakila. Para bidadari diutus oleh Indra untuk menguji ketabahan tapa Arjuna tapi tidak membuahkan hasil. Tahu akan hal itu, Niwatakawaca mengutus raksasa muka membunuh Arjuna, dia menyamar menjadi seekor babi hutan, mengobrak-abrik pertapaan sampai Arjuna menjadi marah dan memanah si Muka. Bersamaan pula Siwa menyamar menjadi pemburu dan memanah si Muka. Panah mereka menyatu di bangkai si Muka. Terjadi perkelahian mereka sampai Siwa menunjukkan wujud aslinya dan menganugrahi panah pasupati. Setelah itu datang dua Apsara membujuknya agar mau membantu Dewa membunuh Niwatakawaca. Arjuna pun pergi ke Sorga. Setiba disana, mereka mengatur siasat dan mengetahui kelemahan Niwatakawaca, perang pun dilangsungkan. Pasukan Indra pura-pura kalah, disanalah ada kesempatan karena Niwatakawaca memperlihatkan kelemahannya yaitu pada ujung lidah. Saat itu pula ditembakkan anak panah oleh Arjuna dan terbunuhlah Niwatakawaca. Para raksasa kabur dan ada yang dibunuh. Mereka kembali dengan kemenangan. Arjuna dianugrahi tinggal di sorga selama 7 hari sorga, setara 7 bulan waktu dunia manusia, dan kawin dengan ke-7 bidadari secara bergantian. Lalu Arjuna kembali ke saudara-saudaranya setelah menikmati kenikmatan-kenikmatan.
2. Asal Mula Cerita, Pengarang dan Waktu Penulisannya.
            Arjunawiwaha merupakan tonggak awal sastra puitis Jawa Timur, asal mula cerita diawali dari Wana Parwa saat Pandawa menjalani pengasingan dalam hutan selama 12 tahun. Pernikahan Arjuna di surgalah yang menamai kekawin ini. Gubahan ini boleh dikatakan usaha Mpu Kanwa yang pertama dalam menyusun dan menggubah sebuah kekawin, pada saat ia bersiap-siap mengikuti ekspedisi militer, di bawah perlindungan Raja Erlangga. Untuk Erlanggalah Mpu Kanwa menggubah syairnya, syair ini ditulis antara tahun 1028 dan 1035.

VIII   MPU SEDAH DAN MPU PANULUH
1. Ikhtisar Hariwangsa
            Wisnu menjelma ke dunia dalam wujud Krisna untuk melindungi dunia dan memusnahkan Bhoma, Kangsa dan Kalayawana. Narada turun dan memberitakan tiba saatnya Dewi Sri menjelma dalam diri Rukmini anak Bhismaka, raja Kundina sebagai satu-satunya kekasih Krisna. Krisna berupaya mendapatkan Rukmini dengan segala cara, hingga terjadi peperangan, Para Pandawa saat itu memihak Jarasandha atas nama ksatria, para Korawa pun demikian. Perang pun terjadi. Para Wrsini dan Yadu berada di pimpinan Krisna melawan pasukan Jarasandha. Jarasandha gugur, namun perang tetap berlangsung, sampai semuanya gugur, yang tersisa Yudistira tapi sudah terbius oleh senjata Mohana dan Arjuna kini berduel dengan Krsna sampai keduanya kembali menyatu ke wujud Wisnu. Saat itu Yudistira sadar dan memohon pada Wisnu agar semuanya dihidupkan kembali dan keadaan dipulihkan. Setelah terkabul, Wisnu kembali ke wujud Krsna dan Arjuna dan mereka pulang ke tempat masing-masing. Pernikahan Krisna pun berlangsung dan keempat istri Krsna perwujudan Sri melahirkan anak-anaknya. Setelah menyelamatkan dunia di era dwapara, Krsna dan Rukmini kembali ke wujud Dewa dan kembali ke surga.
2. Ikhtisar Bharatayuddha
            Menceritakan tentang Peperangan Pandawa dan Korawa. Dari saat Krisna melakukan perundingan dan memutuskan untuk perang. Perang daripihak korawa dipanglimai oleh Bhisma sampai terakhir Salya. Semuanya Gugur, dan kemenangan ada di pihak Pandawa. Duryodhana kabur di sebuah pertapaan sampai perang tandingnya dengan Bhima hingga ia terbunuh. Pandawa dan Krsna pulang dengan kemenangan, tapi Krisna ingat sumpah duryodhana, maka ia beserta Pandawa memutuskan pergi ke tempat-tempat suci guna menebus dosa. Pada malam yang sama sebelum fajar, Aswatthama membunuh musuh-musuhnya termasuk kelima anak Drupadi saat tertidur.Drupadi bertekad membalas dendam, minta agar mutiara yang menghias dahi Aswatthama diberikan kepadanya. Pandawa melacaknya dan Bhima hampir membunuhnya, Aswatthama mengangkat anak panah sakti hadiah dari Drona namun tidak bisa dikendalkan dan akhirnya menembus kandungan Uttari, namun oleh Krsna dihidupkan kembali.
3. Ikhtisar Ghatotkacasraya
            Saat pengasingan Pandawa, Abhimanyu tinggal dengan ibunya di Dwarawati, hingga ia menjadi seorang perjaka tampan dan jatuh cinta dengan Ksiti Sundari, putri Krisna. Baladewa marah mengetahui hal itu karena Sundari telah dijodohkan dengan anak Duryodana. Abhimanyu lari ke hutan, bertemu dengan Dewi Durga dan diberi petunjuk agar meminta bantuan Ghatotkaca untuk merebut Sang Putri yang kemudian mengakibatkan perang dipelopori oleh Duryodhana yang menyerang Yadhu. Saat itu Krisna sedang di pertapaan dan segera pulang meluruskan masalah. Akhirnya cinta keduanya tak terhalangi lagi, namun setelah selesainya pengasingan Pandawa, Abhimanyu dan ibunya pergi ke Wirata. Di sana Abhimanyu dinikahkan dengan Diah Uttari, putri Wirata dan Ksiti Sundari berikutnya, sebagai istri kedua Abhimanyu.
4. Waktu Penulisan dan Pengarangnya
            Ketiga kekawin diatas adalah karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, dikarang pada masa pemerintahan Prabu Jayabhaya pada masa Kadiri yang mana karya ini dipersembahkan pengarang bagi beliau. Mpu Panuluh mendapat titah dari Sang Raja untuk melukiskan perbuatan-perbuatan Krsna yang tersohor dan bahwa ia meneruskan karya Mpu Sedah mulai dari adegan saat Salya menjadi panglima tertinggi. Hariwangsa ditulis sebelum Bharatayuddha, yang mengawali terciptanya karya puitis pada masa itu.
5. Bharatayuddha dan Mahabharata
            Cerita ini mengikuti kisah peperangan antara para Pandawa dengan Korawa seperti yang tercantum dalan epos India, dimulai dengan persiapan peperangan agung (Udyogaparwa), dan berakhir dengan pembantaian kebanyakan pahlawan Pandawa dalam malam sesudah pertempuran (Sauptikaparwa).
6. Krsna dan Rukmini
            Dalam penafsiran Hariwangsa, kita mengartikannya sebagai sebuah cerita mengenai Krsna, dan diantara kehidupan-kehidupan Krsna, penculikan Rukmini merupakan cerita yang paling digemari oleh rakyat Jawa jaman dulu.
7. Ikhtisar Krsnayana
            Cerita yang terkandung dalam ikhtisar ini sama dengan yang terdapat dalam Hariwangsa, yaitu dengan inti adanya peristiwa perampasan Rukmini oleh Krsna, yang mengakibatkan perang yang besar yang melibatkan Pandawa dan Korawa sebagai musuh Krsna saat itu.

IX  MPU DHARMAJA, MPU MONAGUNA DAN MPU TRIGUNA
1. Ikhtisar Smaradahana
Saat itu sorga terancam oleh oleh Nilarudraka, dan hanya Siwa yang dapat menghadapi. Indra mengutus Kama untuk mengganggu yoga Siwa, dan diketahui Siwa Dalam sekejap Kama hangus oleh api yang terpancar dari Siwa. Para Dewa, Ratih dan yang lainnya menangisi Kematian Kama. Karena kesetiaannya, Ratih menceburkan diri ke api dan akhirnya bisa bertemu dengan Kama namun tak dapat bersatu karena tak berbadan. Kama memasuki hati Siwa, Ratih memasuki hati Uma. Dan tibalah pertemuan Siwa dengan Uma yang menghasilkan buah, Putra yang dilahirkan Uma menyerupai seekor gajah karena saat sebelum putra itu lahir, Indra membawa seekor gajah ke hadapan Uma yang membuat Uma merasa ketakutan. Lahirlah Gana, dan saat Nilarudraka menyerang para Dewa, Ganalah yang akhirnya membunuh Nilarudraka saat peperangan para Dewa dengan para raksasa di bawah pimpinan Nilarudraka. Akhirnya dunia kembali tenang.
2. Waktu Penulisan dan Pengarangnya
            Pengarang yang menamakan diri Mpu Dharmaja dalam cerita ini menunjukkan niatnya memuji Kama. Pujian tersebut mengawali syair dan ditujukan kepada Sri Kameswara di masa Daha (Kadiri) sebagai suatu tanda kehormatan.
3. Ikhtisar Sumanasantaka, Waktu Penulisan dan Pengarangnya.
            Karena suatu ketakutan, Indra mengutus Harini untuk menggoda Trnawindu yang sedang melakukan tapa brata. Trnawindu mengetahui bahwa ini adalah siasat Indra. Ia marah, mengutuk Harini akan dilahirkan sebagai manusia. Harini memohon agar kutukan itu dicabut namun itu tidak dapat dilakukan. Tapi Trnawindu berjanji bahwa kekasihnya di surga akan dilahirkan sebagai manusia (pangeran Aja), dan riwayat Harini akan ditamatkan oleh sekuntum bunga Sumanasa. Harini dilahirkan sebagai putri seorang raja yang memerintah rakyat Krthakesika, ia bernama Indumati namun akhirnya kedua orang tuanya meninggal dan tahta diambil alih oleh kakaknya yaitu pangeran Bhoja. Bhoja mengadakan Sayembara untuk Indumati dan pangeran Aja dari Ayodya keluar sebagai pemenang dan berhasil membawa pulang Indumati sebagai istrinya, mempunyai anak yang bernama Dasaratha. Suatu saat, Narada melakukan suatu pujaan dengan memainkan alat musik bersama dengan para Sapta Rsi. Sebuah kalung bunga Sumanasa jatuh dari alat musiknya dan jatuh di dada Indumati, dan beberapa saat kemudian ia meninggal dan kembali ke surga. Pangeran aja meninggal di sebuah tempat pemandian suci pertemuan sungai Gangga dengan Sarayu. Delapan tahun kemudian Dasaratha naik tahta..     Ini adalah syair pertama yang ditulis oleh Mpu Monaguna, ditulis pada masa Kadiri tepatnya pada masa Raja Warsajaya, yakni Warsajaya sendiri merupakan guru dari Monaguna.

X   BHOMANTAKA ATAU BHOMAKAWYA
1. Ikhtisar Bhomantaka
Para Rsi memohon agar Krsna membantu para pertapa di Himalaya  karena selalu diganggu para raksasa. Krsna mengutus putranya Samba, di sana Samba tinggal beberapa waktu dan bersahabat dengan murid Wiswamitra yang bernama Gunadewa. Karena mendengar suatu cerita dari Gunadewa, Samba mengetahui bahwa pada kehidupannya terdahulu ia pernah meninggalkan kekasihnya, Yajnyawati yang menjadi anak angkat Naraka. Kemudian Samba berhasil menemui Yajnyawati disan ketika hendak dilarikan, ia ketahuan oleh para Raksasa. Saat samba akan menyerang kraton Bhoma, hal itu diketahui Narada dan menyarankan agar ia kembali ke Dwarawati dulu untuk mengatus siasat sementara Yajnyawati diamankan oleh anak buah Bhoma. Lalu pasukan disiapkan. Bhoma mencari sekutu antara lain Jarasandha, Raja Cedi, Raja Magadha, dan Satruntapa. Dalam peperangan, semua sekutu Kresna kalah. Akhirnya tibalah saat pertempuran antara Krsna dengan Bhoma. Krsna kembali ke wujud Wisnu yang menggemparkan, dengan burung garudanya yang menjauhkan senjata andalan Bhoma dari Bhoma sendiri dan akhirnya Bhoma bisa dibunuh oleh Wisnu. Kemudian Indra menampakkan diri, memberikan anugrah dan semuanya dihidupkan kembali kecuali Bhoma.
XI   MPU TANTULAR
1. Ikhtisar Arjunawijaya
            Ini menceritakan tentang Raja Rawana (Dasamukha) yang dalam perjalanannya menghancurkan tempat-tempat yang dilaluinya, ia menerima banyak kutukan dari musuh-musuhnya seperti diri dan kratonnya akan dihabisi oleh jelmaan Wisnu, juga oleh para kera dan kutukan menyeramkan lainnya. Saat mengganggu Siwa dengan mengangkat kaki gunung Kailash, tangannya terjepit oleh gunung yang ditekan oleh Siwa, kemudian ia minta ampun. Suatu saat Dasamukha melakukan tapa di hadapan sebuah lingga, ia terganggu karena air membanjiri tempatnya dan ia terpaksa lari ke sebuah bukit. Raksasa menceritakan ini akibat dari Arjuna Sahasrabahu membuat bendungan di hilir sungai guna dapat dimanfaatkan. Akibatnya Dasamukha marah dan menyerang Arjuna, tapi Arjuna telah mendengar kabar itu lalu bersiaga menyiapkan pasukan. Perang pun terjadi. Dasamukha berkali-kali dibunuh namun hidup lagi. Akhirnya, Dasamukha bisa dibuat pingsan, lalu diikat dengan rantai dibawa pergi. Ketika pulang, istrinya sudak meninggal bersama para dayangnya karena seorang raksasa membawa kabar bahwa Arjuna telah tewas, maka dari itu istrinya membunuh diri. Namun akhirnya dihidupkan kembali. Dasamukha dibebaskan kembali atas permintaan kakek Dasamukha sendiri yang bernama Pulastya. Semua yang telah mati dihidupkan kembali oleh Pulastya sebagai tanda terima kasih kepada Arjuna.
2. Ikhtisar Sutasoma
            Ini menceritakan seorang pangeran dari raja Sri Mahaketu yang memerintah di Hastina. Kerajaannya terancam oleh raksasa-raksasa dan pimpinannya. Hanya keturunannya yang mampu mengalahkan raksasa itu. Ketika diminta naik tahta, Sutasoma menolak memilih mengembara. Setelah lama perjalannya, ia betemu dengan sepupunya yaitu Raja Dasabahu dan ia akan segera menikah dengan adik dari dasabahu yang bernama Candrawati dan ia kembali pulang ke keratonnya menemui kedua orang tuanya dan kemudian naik tahta. Raja Raksasa Porusada baru sembuh dari luka akibat bergaul dengan Kala namun kala menghendaki imbalan agar dipersembahkan 100 orang raja kepadanya. setelah mendapatkan 100 orang Raja, Kala meminta agar ditambahkan lagi dengan raja Sutasoma. Porusada pergi mencari Sutasoma untuk ditangkap. Setelah bertemu, Sutasoma sendiri yang menyerahkan diri agar dapat menukar ke 100 raja yang telah ditangkap sebelumnya dengan dirinya. Sutasoma pergi menemui Kala, keseratus raja itu dilepaskan dan Kala berusaha membunuh Sutasoma dengan menjadi naga dan mulai menelan Sutasoma, seketika Kala dipenuhi rasa cinta dan belas kasih dan tidak jadi membunuh Sutasoma, dan memohon agar ia dapat diterima sebagai muridnya. Dunia merasakan kedamaian dan akhirnya Sutasoma dan Candrawati kembali ke sorga dan Hastina dipimpin oleh putranya yaitu Ardhana.



XII   PRAPANCA DAN NAGARA KRTAGAMA
Nagarakrtagama merupakan sebuah karya sastra yang diciptakan sang Kawi bernama Prapanca. Kekawin Nagarakrtagama melukiskan kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan raja Rajasanagara (Hayam Wuruk). Kekawin ini menyebutkan tentang wilayah-wilayah kekuasaan Majapahit, perjalanan raja Hayam Wuruk menelusuri wilayah kerajannya setiap tahun pada akhir musim sejuk, upacara sraddha untuk memperingati Tribhuana, Ibu suri (Rajapatni). Kekawin ini juga disebut Desawarnana (pelukisan tentang wilayah kerajaan). Naskah ini satu-satunya ditemukan di Lombok tahun 1894.


XIII    MPU TANAKUNG
1. Ikhtisar Lubdhaka
            Syair ini digubah oleh Mpu Tanakung diperkirakan pada pertengahan abad ke-15 dalam perlindungan raja Sri Suraprabhawa. Diceritakan Ada seseorang pemburu yang bernama Lubdhaka. Pada tanggal 14 paro petang ia pergi berburu. Namun dia tidak mendapatkan seekor pun binatang buruan sampai malam tiba. Karena takut, ia naik ke atas pohon wilwa, memetik-metik daunnya agar terjaga sepanjang malam itu. Di bawah pohon itu ada danau yang terdapat sebuah lingga Siwa dan petikan daun itu jatuh tepat diatasnya. Esok harinya ia pulang dengan tangan kosong. Beberapa tahun kemudian si pemburu jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Jiwanya mengambang, lalu Siwa mengutus abdinya untuk menjemput si pemburu namun terjadilah perang antara abdi Siwa dengan para Kingkara memperebutkan jiwa si pemburu, yang dimenangkan oleh para abdi Siwa. Jiwa si pemburu dibawa ke tempat Siwa dan disana ia disambut dengan sangat baik. Karena kalah, paran Kingkara melapor kepada Yama, Yama merasa telah gagal menjalankan tugasnya dan Yama memutuskan untuk mengundurkan diri dari tugasnya kepada Siwa. Akhirnya Siwa menjelaskan bahwa pada malam Siwa harus dihormati, Lubdhakalah satu-satunya dan juga orang pertama yang melakukan pembersihan dosa dengan memuja Siwa pada malam yang disebut Siwaratri walaupun pemujaan tersebut tidak disengaja dan tidak diketahui oleh Luibdhaka sendiri. Dengan demikian ia patut memerima anugrah, dan semua dosa-dosanya dihapuskan.
XIV     PARTHAYAJNA DAN KUNJARAKARNA
Parthyajna dan Kunjarakarna merupakan dua buah kekawin karya Mpu Tanakung yang ceritanya dipahatkan sebagai relief sebuah candi di Jawa Timur.
1. IKHTISAR PARTHAYAJNA
menceritakan perjalan Arjuna ke gunung Indrakila. Guna mempersiapkan diri untuk pertempuran dahsyat, Arjuna harus menjalankan tapa-brata agar memperoleh bantuan (senjata) dari ilahi yang mereka perlukan. Gunung Indrakila merupakan tempat ia dapat berjumpa dengan para dewa. Dalam perjalanan ia kemudian bertemu dengan Kama dan Ratih, dewa dan dewi asmara. Arjuna meneruskan perjalan ke gunung Indrakila; terus menurus ia bergulat melawan godaan lelah dan. Akhirnya dia sampai juga di Inggitamertapada tempat kediaman Dwaipyana. Setelah mendengar apa yang terjadi di Hastina dan apa yang menjadi tujuan perjalanan Arjuna, maka ia menerangkan sifat para Korawa dan Pandawa yang sebenarnya para korawa merupakan reinkarnasi kejahatan, sedangkan para pandawa dewa Pancakusika yang diutus oleh sang mahadewa untuk membunuh para korawa bila waktu yang telah ditetapkan tiba. Dengan cita-cita ini di dalam batinnya Arjuna menuju gunung Indrakirana; setalah satu tahun tujuannya tercapai dan Siwa manampakkan diri sebagai Kirata.
2. Ikhtisar Kunjarakarna
            Yaksa Kunjarakarna Melakukan meditasi  Buddha di Gunung Semeru agar dapat dibebaskan dari wataknya sebagai setan dalam inkarnasi berikut. Setelah menghadap Wairocana, diberi anugrah mengenai dharma dan diberi penerangan mengenai berbagai nasib yang dialami para mahluk dunia ini. Sang dewa memuji keprihatiannya yang demikian. Dengan hati cemas mengenai nasib sahabatnya, Kunjarakarna kemudian menuju suarga untuk menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya. Raja Gandharwa ini seolah-olah terhenyak mendengar berita kematiannya yang tak terduga-duga. Kemudian mereka berdua pergi menghadap sang Bodhi (citta) nirmala. Setelah itu ia memutuskan ikut menemani Kunjarakarna melakukan tapa.

 XV  BEBERAPA KAKAWIN MINOR DARI  KEMUDIAN HARI
1. Subhadrawiwaha (Pernikahan Subhadra) atau Parthayana (Pengembaraan Arjuna)
            Kakawin ini tema syairnya selaras dengan kisah adiparwa, terdiri atas 55 pupuh, pengarang cukup menguasai teknik persajakan dalam deskripsi alam dan adegan-adegan asmara dengan setia. Penyimpangan terjadi dalam nama kerajaan raja citradahana, dalam epos mahabrata disebut Manipura, dalam sastra parwa disebut Manayura, dalam kakawin disebut Mayura. Dalam Mahabrata apsari disebut Narga, dalam parwa disebut Sarwada, dalam kakawin dusebut puspamesi. Pengarang rupanya mengikuti versi parwa.
2. Abhimanyuwiwaha (Pernikahan Abhimanyu)
            Kakawin abhimayuwiwaha hamper mirib dengan subhadrawiwaha, terjadinya hubungan timbal balik antara versi parwa dengan kakawin ini yang langsung menimba dari karya prosa. Bagian deskriptif ditambah, bagian naratif dipersingkat tanpa mengubahnya.

3. Hariwijaya (Kemenangan Wisnu).
            Yaitu kisah menenai berhasilnya dewa wisnu memotong atau memenggal kepala raksasa rahu dengan cakra beliau yang sedang meminum amrta. Adegan adiparwa merupakan tema Hariwijaya, bahasa, gaya dan teknik puitis kakawin ini mirib dengan Subhadrawiwaha dan Abhimayuwiwaha.
4. Kisah-Kisah Tentang Krisna
            Dalam kakawin berikut krisna merupakan tokoh utama seperti: Krsnawijaya (kemenaan krsna) atau Kalayawanantaka (kematian Kalayawana), kalantaka atau Krsnakalantaka (kematian raksasa krsnakala), Krsnantaka (kematian krsna) atau krsnandhaka,
5. Kisah-kisah Parwa dalam Bentuk Kakawin
            Kakawin minor ini mengambil bahannya dari Adiparwa, seperti misalnya Subhadrawiwaha, Hariwijaya, Kalayawanantaka, Astiasraya (bantuan astika), Dimbiwicitra, Ratawijaya dan Khandawawanadahana, Indrawijaya, Ambasraya (Amba mencari pertolongan) yang bersumber pada bagian terakhir dalam Udyogaparwa, Phartawijaya (kemenangan Arjuna) adaptasi dari Bhismaparwa, Arisraya, ini tergantung pada Uttarakanda.
6. Narakawijaya
            Kakawin ini mungkin tidak masuk akal atau hampir mustahil dikalangan masyarakat karena berakhir dengan kemenangan di pihak para raksasa. Dalam penulisan kakawin ini judul Kemenangan Naraka justru di berikan pada pupuh terakhir, ini membuktikan bahwa kakawin ini ditinggalkan dalam keadaan belum selesai atau bagian penutupnya hilang ketika di teruskan turun-temurun, kakawin ini secara tepat dapat dilukiskan sebagai suatu pelengkap bagi Bhomantaka.

 XVI   SASTRA KIDUNG
Bila dipandang dari sudut sastra, maka kidung-kidung umumnya dengan jelas Seringkali penyair memperlihatkan kepandaiannya menceritakan sebuah kisah yang hidup dan menarik atau melukiskan gambaran  realistis mengenai latar cerita. Kebanyakan cerita ditempatkan di sekitar kraton.
1. Kidung-kidung Historis
Kidung-kidung di bawah ini mempunyai satu ciri umum yang sama, yakni bahannya diambil dari tradisi histories mengenai mengenai kerajaan Majapahit.
2. Ikhtisar Kidung Harsawijaya
Kidung ini menceritakan tentang kehidupan Harsawijaya , putra dari Raja Narasinga dari Singhasari. Diceritakan pula tentang keberhasilan pemberontakan Jayakatwang terhadap Singhasari serta dapat menguasai seluruh pulau Jawa. Namun dalam pemberontakan tersebut Harsawijaya berhasil lolos. Kemudian ia mendirikan kerajaan Majapahit.
3. Rangga Lawe
            Menceritakan tentang Rangga Lawe yang membunuh Sagara Winotan dalam pertempuran di sekitar Majapahit. Diceritakan juga ketika Rangga Lawe dan Kebo Anabrang berhadapan. Kebo Anabrang hamper tewas, namun berhasil melarikan diri. Ketika ia mandi di sungai, ia dipergoki oleh Rangga Lawe  sehingga terjadilah pertempuran dan Rangga Lawe pun tewas. Ketika Sora tiba di sana, ia marah dan membunuh Kebo Anabrang.
4. Sorandaka
            Menceritakan Mahapati yang mengadu dombakan Raja, Sora, Nambi dan Kebo Taruna (anak Kebo Anabrang). Sora dan Nambi pun dibunuh oleh raja yang kemudian menyesal. Mahapatih yang mengira ia akan diangkat menjadi patih amangkubumi kemudian dibunuh. Terakhir terjadilah pemberontakan yang didalangi oleh Kuti yang menyebabkan raja ditawan, namun pemberontaka itu di tumpas oleh Gajah Mada.
5. Kidung Sunda
            Menceritakan tentang pertempuran antara kerajaan Majapahit dengan kerajaan Sunda. Raja Sunda dan pasukannya gugur kecuali Pitar. Setelah tahu raja beserta pasukan kerajaan Sunda gugur, maka istri dan putrid raja Sunda beserta istri para prajurit bunuh diri. Hayam Wuruk sendiri sedih, merana dan tak lama kemudian meninggal.
6. Cerita-cerita Panji
            Tema pokok cerita panji adalah pernikahan antara putra mahkota yang disebut Raden Panji atau Raden Ino dan putri yang disebut Raden Galuh. Ciri khas lainnya adalah sahabat yang mengikuti tokoh-tokoh utama.
7. Ikhtisar Waseng (Sari)
            Mengisahkan raja Magadha yang cemburu dan berusaha membunuh pangeran Wira Namtani yang akan bertunangan dengan Raden Galuh, puteri Daha. Namun Usahanya sia-sia. Kemudian Daha diserang oleh raja Magadha, tetapi raja Magadha di bunuh oleh Panji. Disini juga diceritakan tentang usaha Panji (pangeran Wira namtani) mencari Raden Galuh yang lama hilang dari Daha sejak Panji pulang ke Koripan hingga akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia.
8. Sastra, Bukan Sastra?
            Dari berbagai sudut. Kidung Sudamala dan Sri tanjung berbeda dengan kidung-kidung di atas. Keduanya lebih menampilkan sifat kerakyatan. Kisah Sudamala dapat disebut lakon ruwat dalam bentuk kidung. Fungsinya menurut pengarang adalah bagi mereka yang mendengarkan atau membaca kidung ini akan dibebaskan (kalukat) dari mara bahaya dan kamlangan. Kidung Sri Tanjung merupakan lanjutan dari kidung Sudamala. Kidung ini memliki hubungan dengan Mahabharata.

 

0 comments:

Post a Comment