BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak
tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan
keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa
di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 25 Ayat
(1) Deklarasi menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai
untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas
pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang
diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit,
cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang
mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.
Berdasarkan
Deklarasi tersebut, pasca Perang Dunia II beberapa negara mengambil inisiatif
untuk mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua
penduduk (Universal Health Coverage). Dalam sidang ke58 tahun 2005 di
Jenewa, World Health Assembly (WHA) menggaris bawahi perlunya
pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan memberikan perlindungan kepada
mereka terhadap risiko keuangan. WHA ke58 mengeluarkan resolusi yang menyatakan,
pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health Coverage diselenggarakan
melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. WHA juga menyarankan kepada WHO
agar mendorong negara-negara anggota untuk mengevaluasi dampak perubahan sistem
pembiayaan kesehatan terhadap pelayanan kesehatan ketika mereka bergerak menuju
Universal Health Coverage.
Di
Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 juga mengakui
hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H
dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU
36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam
program jaminan kesehatan sosial.
Untuk
mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggung jawab
atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan.
Usaha
ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan
beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui
PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai
negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat
miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun
demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi- bagi. Biaya
kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali.
Untuk
mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan
sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Undang-Undang
No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan
oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus
untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan
yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan
JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain:
Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI);
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan
JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).
Sesungguhnya
keinginan untuk mendirikan BPJS baru telah dibahas dalam prosespenyusunan UU
SJSN. Perdebatannya berlangsung sangat alot. Berbagai pertimbangan tentangcost-benefit, Nasionalisme,
keadilan antar daerah dan antar golongan pekerjaan, sertapertimbangan kondisi
geografis serta ekonomis yang berbeda-beda telah pula dibahas mendalam.Apa yang
dirumuskan dalam UU SJSN, UU no 40/04, merupakan kompromi optimal.Konsekuensi
logis dari sebuah negara demokrasi adalah bahwa rumusan suatu UU yang
telahdiundangkan harus dilaksanakan, baik yang tadinya pro maupun yang tadinya
kontra terhadap
suatu
isi atau pengaturan. Setelah disetujui DPR, wakil rakyat, maka rumusan suatu
UUmengikat semua pihak. Sangatlah tidak layak dan tidak matang, apabila UU
tersebut sudah divonis tidak mengakomodir kepentingan kita, sebelum UU itu
dilaksanakan. Kita harus belajarkonsekuen dan berani menjalankan sebuah
keputusan UU, meskipun ada aspirasi atau keinginankita yang berbeda dengan yang
dirumuskan UU SJSN. Boleh saja kita tidak setuju dengan isisuatu UU dan tidak
ada satupun UU yang isinya 100% disetujui dan didukung oleh seluruhrakyat.
Atau, jika seseorang atau sekelompok orang yakin bahwa UU SJSN itu merugikankepentingan
lebih banyak rakyat, maka ia atau mereka dapat mengajukan alternatif ke
DPRuntuk merevisi atau membuat UU baru. Inilah hakikat negara demokrasi.
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Singkat BPJS
Adanya pengeluaran yang tidak terduga
apabila seseorang terkena penyakit, apalagi tergolong penyakit berat yang
menuntut stabilisasi yang rutin seperti hemodialisa atau biaya operasi yang
sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada penggunaan pendapatan seseorang dari
pemenuhan kebutuhan hidup pada umumnya menjadi biaya perawatan dirumah sakit,
obat-obatan, operasi, dan lain lain. Hal ini tentu menyebabkan kesukaran
ekonomi bagi diri sendiri maupun keluarga. Sehingga munculah istilah “SADIKIN”,
sakit sedikit jadi miskin. Dapat disimpulkan, bahwa kesehatan tidak bisa
digantikan dengan uang, dan tidak ada orang kaya dalam menghadapi penyakit
karena dalam sekejap kekayaan yang dimiliki seseorang dapat hilang untuk
mengobati penyakit yang dideritanya.Begitu pula dengan resiko kecelakaan dan
kematian. Suatu peristiwa yang tidak kita harapkan namun mungkin saja terjadi
kapan saja dimana kecelakaan dapat menyebabkan merosotnya kesehatan, kecacatan,
ataupun kematian karenanya kita kehilangan pendapatan, baik sementara maupun
permanen.
Belum lagi menyiapkan diri pada saat
jumlah penduduk lanjut usia dimasa datang semakin bertambah. Pada tahun Pada
2030, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta orang. 70 juta
diantaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun. Dapat disimpulkan bahwa pada
tahun 2030 terdapat 25% penduduk Indonesia adalah lansia. Lansia ini
sendiri rentan mengalami berbagai penyakit degenerative yang akhirnya dapat
menurunkan produktivitas dan berbagai dampak lainnya. Apabila tidak aday ang
menjamin hal ini maka suatu saat hal ini mungkin dapat menjadi masalah yang
besar.
Seperti menemukan air di gurun, ketika
Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, banyak pihak berharap tudingan Indonesia
sebagai ”negara tanpa jaminan sosial” akan segera luntur dan menjawab
permasalahan di atas.
Munculnya UU SJSN ini juga dipicu oleh
UUD Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20,
Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2)
mengamanatkan untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Hingga
disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses yang panjang, dari tahun
2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004.
Diawali dengan Sidang Tahunan MPR RI
Tahun 2000, dimana Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan
Konsep SJSN. Pernyataan Presiden tersebut direalisasikan melalui upaya
penyusunan konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor
Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000,
tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan
Sosial Nasional). Sejalan dengan pernyataan Presiden, DPA RI melalui
Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu
segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka
mewujudkan masyarakat sejahtera.
Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR
RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan
MPR RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR
RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam
rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”.
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
“NA SJSN merupakan langkah awal
dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami
perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah
terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan
dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat
itu.Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN,
14 Januari 2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah
mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian
setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN
tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari
2004.
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI hingga diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004.
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI hingga diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004.
Dengan demikian proses penyusunan UU
SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari
sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 .
Lanjutan Implementasi UU SJSN hingga ke
UU BPJS
Setelah resmi menjadi undang-undang, 4
bulan berselang UU SJSN kembali terusik. Pada bulan Januari 2005, kebijakan
ASKESKIN mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN terhadap UUD
Negara RI Tahun 1945. Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai
monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial. 4
bulan kemudian, pada 31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang
mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk
membentuk BPJS Daerah (BPJSD).
Putusan MK semakin memperumit
penyelenggaraan jaminan sosial di masa transisi. Pembangunan kelembagaan SJSN
yang semula diatur dalam satu paket peraturan dalam UU SJSN, kini harus diatur
dengan UU BPJS. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun akhirnya baru
terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk DJSN lewat Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 110 tahun 2008 tentang pengangkatan anggota DJSN tertanggal 24
September 2008.
Pembahasan RUU BPJS berjalan alot. Tim
Kerja Menko Kesra dan Tim Kerja Meneg BUMN, yang notabene keduanya adalah
Pembantu Presiden, tidak mencapai titik temu. RUU BPJS tidak selesai dirumuskan
hingga tenggat peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009 terlewati. Seluruh
perhatian tercurah pada RUU BPJS sehingga perintah dari 21 pasal yang
mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan. Hasilnya,
penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia gagal menaati semua ketentuan UU SJSN yaitu
5 tahun.
Tahun berganti. DPR mengambil alih
perancangan RUU BPJS pada tahun 2010. Perdebatan konsep BPJS kembali mencuat ke
permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah pada
bulan Juli 2010. Bahkan area perdebatan bertambah, selain bentuk badan hukum,
Pemerintah dan DPR tengah berseteru menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah
BPJS. Dikotomi BPJS multi dan BPJS tunggal tengah diperdebatkan dengan
sengit.
Pro dan kontra keberadaan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya berakhir pada 29 Oktober 2011,
ketika DPR RI sepakat dan kemudian mengesahkannya menjadi Undang-Undang.
Setelah melalui proses panjang yang melelahkan mulai dari puluhan kali rapat di
mana setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus,
Panja, hingga proses formal lainnya. Sementara di kalangan operator hal serupa
dilakukan di lingkup empat BUMN penyelenggara program jaminan sosial meliputi
PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan PT Askes.
Meski bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan
BPJS mutlak ada sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang bahkan semestinya telah dapat
dioperasionalkan sejak 9 Oktober 2009 dua tahun lampau. Perjalanan tak selesai
sampai disahkannya BPJS menjadi UU formal, jalan terjal nan berliku menanti di
depan. Segudang pekerjaan rumah menunggu untuk diselesaikan demi terpenuhinya
hak rakyat atas jaminan sosial. Sebuah kajian menyebutkan bahwa saat ini,
berdasarkan data yang dihimpun oleh DPR RI dari keempat Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang berstatus badan hukumnya adalah Persero tersebut, hanya
terdapat sekitar 50 juta orang di Indonesia ini dilayani oleh Jaminan Sosial
yang diselenggarakan oleh 4 BUMN penyelenggara jaminan sosial.
Pasca Sah UU BPJS
Perubahan dari 4 PT (Persero) yang
selama ini menyelenggarakan program jaminan sosial menjadi 2 BPJS sudah menjadi
perintah Undang-Undang, karena itu harus dilaksanakan. Perubahan yang multi
dimensi tersebut harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar berjalan sesuai
dengan ketentuan UU BPJS.Pasal 60 ayat (1) UU BPJS menentukan BPJS Kesehatan
mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1
Januari 2014. Kemudian Pasal 62 ayat (1) UU BPJS menentukan PT Jamsostek (Persero)
berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014 BPJS
Ketenagakerjaan dan menurut Pasal 64 UU BPJS mulai beroperasi paling lambat
tanggal 1 Juli 2015.
Pada saat mulai berlakunya UU BPJS,
Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero)
ditugasi oleh UU BPJS untuk menyiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk
berjalannya proses tranformasi atau perubahan dari Persero menjadi BPJS dengan
status badan hukum publik. Perubahan tersebut mencakup struktur, mekanisme kerja
dan juga kultur kelembagaan.Mengubah struktur, mekanisme kerja dan kultur
kelembagaan yang lama, yang sudah mengakar dan dirasakan nyaman, sering menjadi
kendala bagi penerimaan struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang
baru, meskipun hal tersebut ditentukan dalam Undang-Undang.
Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat
dari kedua BUMN ini, BUMN yang dipercaya mengemban tugas menyiapkan perubahan
tersebut. Sebagai professional tentu mereka paham bagaimana caranya mengatasi
berbagai persoalan yang timbul dalam proses perubahan tersebut, dan bagaimana
harus bertindak pada waktu yang tepat untuk membuat perubahan berjalan tertib
efektif, efisien dan lancar sesuai dengan rencana.
Tahun 2012 merupakan tahun untuk
mempersiapkan perubahan yang ditentukan dalam UU BPJS. Perubahan yang
dipersiapkan dengan cermat, fokus pada hasil dan berorientasi pada proses
implementasi Peraturan Perundang-undangan secara taat asas dan didukung oleh
pemangku kepentingan, akan membuat perubahan BPJS memberi harapan yang lebih
baik untuk pemenuhan hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial.
2.2
Pengertian
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang
selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial (UU No 24 Tahun 2011). BPJS
terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah
badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
Jaminan Kesehatan adalah
jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah.
2.3
Dasar Hukum
1.
Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial
Kesehatan;
2.
Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial;
3.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan
Iuran Jaminan Kesehatan;
4.
Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.
2.4 Hak dan Kewajiban Peserta
BPJS Kesehatan
2.4.1 Hak
Peserta
1.
Mendapatkan kartu peserta sebagai bukti sah untuk
memperoleh pelayanan kesehatan;
2.
Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan
kewajiban serta prosedur pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
3.
Mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan
yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan; dan
4.
Menyampaikan keluhan/pengaduan, kritik dan saran secara
lisan atau tertulis ke Kantor BPJS
Kesehatan.
2.4.2
Kewajiban
Peserta
1.
Mendaftarkan dirinya sebagai peserta serta membayar iuran
yang besarannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
2.
Melaporkan perubahan data peserta, baik karena
pernikahan, perceraian, kematian, kelahiran, pindah alamat atau pindah
fasilitas kesehatan tingkat I;
3.
Menjaga Kartu Peserta agar tidak rusak, hilang atau
dimanfaatkan oleh orang yang tidak berhak.
4.
Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan
kesehatan.
2.5
Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional
Ada 2 (dua) manfaat Jaminan Kesehatan,
yakni berupa pelayanan kesehatan dan Manfaat non medis meliputi akomodasi dan
ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas
Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
Paket manfaat yang diterima dalam program
JKN ini adalah komprehensive sesuai kebutuhan medis. Dengan demikian pelayanan
yang diberikan bersifat paripurna (preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif) tidak dipengaruhi oleh besarnya biaya premi bagi peserta.
Promotif dan preventif yang diberikan dalam konteks upaya kesehatan perorangan
(personal care). Manfaat
pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan:
a. Penyuluhan
kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan
faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.
b. Imunisasi
dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan
HepatitisB (DPTHB), Polio, dan Campak.
c. Keluarga
berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi
bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. Vaksin untuk
imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah.
d. Skrining
kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko
penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.
Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN
bersifat komprehensif namun masih ada yang dibatasi, yaitu kaca mata, alat
bantu dengar (hearing aid), alat bantu gerak (tongkat penyangga, kursi roda dan
korset). Sedangkan yang tidak dijamin meliputi:
a.
Tidak sesuai prosedur
b.
Pelayanan diluar Faskes
Yg bekerjasama dng BPJS
c.
Pelayanan bertujuan
kosmetik
d.
General check up,
pengobatan alternatif
e.
Pengobatan untuk mendapatkan
keturunan, Pengobatan Impotensi
f.
Pelayanan Kesehatan Pada
Saat Bencana
g.
Pasien Bunuh Diri
/Penyakit Yg Timbul Akibat Kesengajaan Untuk Menyiksa Diri Sendiri/ Bunuh
Diri/Narkoba
2.5
Pembiayaan
2.5.1 Pengertian
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan
secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program
Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).
Tarif Kapitasi adalah
besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka olehBPJS Kesehatan kepada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkanjumlah peserta yang terdaftar
tanpa memperhitungkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Non Kapitasi
adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatankepada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Indonesian -
Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBG’sadalah besaran
pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FasilitasKesehatan Tingkat Lanjutan
atas paket layanan yang didasarkan kepadapengelompokan diagnosis penyakit.
2.5.2 Pembayar Iuran
1.
Bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
2.
Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya
dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja.
3.
Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan
Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.
4.
Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional
ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai
dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
2.5.3 Pembayaran Iuran
Setiap Peserta wajib membayar
iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja
penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan
PBI). Setiap Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan
iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut
setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10
setiap bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran
dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN
dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran
yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja.
Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta
bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan
palinglambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan.
Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal.
BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan
iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan
atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis
kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran
diperhitungkan dengan pembayaran Iuran bulan berikutnya.
Iuran premi kepesertaan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
pekerja informal. Besaran iuran bagi pekerja bukan
penerima upah itu adalah Rp25.500 per bulan untuk layanan rawat inap kelas III,
Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500 untuk kelas I.
Untuk standar tarif pelayanan kesehatan
pada Fasilitas kesehatan tingkat pertama ada di lampiran 1.
2.5.4 Cara
Pembayaran Fasilitas Kesehatan
BPJS
Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi.
Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar
dengan sistem paket INA CBG’s.
Mengingat
kondisi geografis Indonesia, tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat dijangkau
dengan mudah. Maka, jika di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran
berdasarkan Kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewenang untuk melakukan pembayaran
dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna.
Semua
Fasilitas Kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan
wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan gawat
daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan
tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan.
BPJS
Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin
kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang
berlaku di wilayah tersebut.
2.6 Kepesertaan
Beberapa pengertian:
Peserta adalah
setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan
di Indonesia, yang telah membayar Iuran.
Pekerja adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk
lain.
Pemberi Kerja adalah
orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai
negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
Peserta tersebut meliputi:
Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan bukan PBI JKN dengan rincian sebagai
berikut:
a.
Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang
tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.
b.
Peserta bukan PBI adalah Peserta yang tidak
tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas:
1)
Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
a. Pegawai Negeri Sipil;
b. Anggota TNI;
c. Anggota Polri;
d. Pejabat Negara;
e. Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;
f. Pegawai Swasta; dan
g. Pekerja yang tidak termasuk huruf a
sampai dengan huruf f yang menerima Upah.
2)
Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
a. Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja
mandiri dan
b. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan
penerima Upah.
c. Pekerja sebagaimana
dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga negara asing yang bekerja di
Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
3)
Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:
a. Investor;
b. Pemberi Kerja;
c. Penerima Pensiun;
d. Veteran;
e. Perintis Kemerdekaan; dan
f. Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai
dengan huruf e yang mampu membayar
Iuran.
4)
Penerima pensiun terdiri atas:
a. Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak
pensiun;
b. Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti
dengan hak pensiun;
c. Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
d. Penerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan
huruf c; dan
e. Janda, duda, atau anak
yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai
dengan huruf d yang mendapat hak pensiun.
f. Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi:
a. Istri atau suami yang sah dari
Peserta; dan
b. Anak kandung, anak tiri
dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan kriteria: tidak atau belum
pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan belum berusia 21
(dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (duapuluh lima) tahun yang masih
melanjutkan pendidikan formal.
c.
Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga
mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.
5) WNI di Luar Negeri
Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar negeri
diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri.
6) Syarat pendaftaran
Syarat pendaftaran akan diatur
kemudian dalam peraturan BPJS.
7) Lokasi pendaftaran
Pendaftaran Peserta dilakukan di kantor BPJS terdekat/setempat.
8) Prosedur pendaftaran
Peserta
a.
Pemerintah mendaftarkan PBI JKN sebagai Peserta
kepada BPJS Kesehatan.
b.
Pemberi Kerja mendaftarkan pekerjanya atau pekerja
dapat mendaftarkan diri sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
c.
Bukan pekerja dan peserta lainnya wajib
mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
9)
Hak dan kewajiban Peserta
Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS
Kesehatan berhak mendapatkan a) identitas Peserta dan b) manfaat pelayanan
kesehatan di Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS
Kesehatan berkewajiban untuk:
a. membayar iuran dan
b. melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS
Kesehatan dengan menunjukkan identitas Peserta pada saat pindah domisili dan
atau pindah kerja.
10) Masa berlaku kepesertaan
a.
Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional berlaku
selama yang bersangkutan membayar Iuran sesuai dengan kelompok peserta.
b.
Status kepesertaan akan hilang bila Peserta tidak
membayar Iuran atau meninggal dunia.
c.
Ketentuan lebih lanjut terhadap hal tersebut
diatas, akan diatur oleh Peraturan BPJS.
11) Pentahapan kepesertaan
Kepesertaan Jaminan Kesehatan
Nasional dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama mulai 1 Januari 2014,
kepesertaannya paling sedikit meliputi: PBI Jaminan Kesehatan; Anggota TNI/PNS
di lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya; Anggota Polri/PNS
di lingkungan Polri dan anggota keluarganya; peserta asuransi kesehatan PT
Askes (Persero) beserta anggota keluarganya, serta peserta jaminan pemeliharaan
kesehatan Jamsostek dan anggota keluarganya. Selanjutnya tahap kedua meliputi
seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta BPJS Kesehatan paling lambat
pada tanggal 1 Januari 2019.
2.7Pertanggung
Jawaban BPJS
BPJS
Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan
kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima
lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah
tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan. Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri
Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan. Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan.
Dalam
JKN, peserta dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang bersifat non
medis berupa akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas perawatan
yang lebih tinggi daripada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti
asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang
dijamin oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan
kelas perawatan, yang disebut dengan iur
biaya (additional charge). Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi
peserta PBI.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya,
BPJS Kesehatan wajib menyampaikan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan
pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai
dengan 31 Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan publik dikirimkan
kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun
berikutnya. Laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif
melalui media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa
cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31
Juli tahun berikutnya.
2.8 Pelayanan
1. Jenis
Pelayanan
Ada 2 (dua)
jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta JKN, yaitu berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis)
serta akomodasi dan ambulans (manfaat
non medis). Ambulanshanya
diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu
yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
2.
Prosedur Pelayanan
Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus
memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas
Kesehatan tingkat pertama. Bila Peserta memerlukan pelayanan kesehatan
tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh Fasilitas Kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam
keadaan kegawatdaruratan medis.
3. Kompensasi Pelayanan
Bila di
suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna
memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan
kompensasi, yang dapat berupa: penggantian
uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan atau penyediaan Fasilitas Kesehatan
tertentu. Penggantian uang tunai hanya digunakan untuk biaya pelayanan
kesehatan dan transportasi.
4. Penyelenggara Pelayanan Kesehatan
Penyelenggara pelayanan
kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang menjalin kerja sama dengan
BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui proses kredensialing dan rekredensialing.
2.9Pengorganisasian
2.9.1
Lembaga Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
JKN diselenggarakan oleh BPJS
yang merupakan badan hukum publik milik Negara yang bersifat non profit dan
bertanggung jawab kepada Presiden. BPJS terdiri atas Dewan Pengawas dan Direksi.
Dewan
Pengawasterdiri atas 7 (tujuh) orang
anggota: 2 (dua) orang unsur Pemerintah, 2(dua) orang unsur Pekerja, 2 (dua)
orang unsur Pemberi Kerja, 1 (satu) orang unsur Tokoh Masyarakat. Dewan
Pengawas tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Direksiterdiri atas paling sedikit 5
(lima) orang anggota yang berasal dari unsur profesional. Direksi sebagaimana
dimaksud diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
2.8.1.1
Fungsi, Tugas, dan Wewenang Dewan
Pengawas
Dalam melaksanakan
pekerjaannya, Dewan Pengawas mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenangpelaksanaan tugas BPJS dengan uraian sebagai berikut:
1) Fungsi Dewan Pengawas adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas BPJS.
2) Dewan Pengawas bertugasuntuk:
a. melakukan pengawasan atas
kebijakan pengelolaan BPJS dan kinerja Direksi;
b. melakukan pengawasan atas
pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial oleh Direksi;
c. memberikan saran, nasihat, dan
pertimbangan kepada Direksi mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan
BPJS; dan
d.
menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan
Jaminan Sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden dengan tembusan
kepada DJSN.
3) Dewan Pengawas berwenanguntuk:
a.
menetapkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS;
b.
mendapatkan dan/atau meminta laporan dari Direksi;
c.
mengakses data dan informasi mengenai
penyelenggaraan BPJS;
d.
melakukan penelaahan terhadap data dan informasi
mengenai penyelenggaraan BPJS; dan
e. memberikan saran dan rekomendasi kepada Presiden mengenai
kinerja Direksi.
2.8.1.2
Fungsi,
Tugas, dan Wewenang Direksi
Dalam menyelenggarakan JKN,
Direksi BPJS mempunyai fungsi, tugas,
dan wewenang sebagai berikut:
1.
Direksi berfungsimelaksanakan
penyelenggaraan kegiatan operasional BPJS yang menjamin Peserta untuk
mendapatkan Manfaat sesuai dengan haknya.
2.
Direksi bertugas
untuk: melaksanakan pengelolaan BPJS yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi; mewakili BPJS di dalam dan di luar
pengadilan; dan menjamin tersedianya fasilitas dan akses bagi Dewan Pengawas
untuk melaksanakan fungsinya.
3) Direksi berwenanguntuk:
a.
melaksanakan wewenang BPJS;
b.
menetapkan struktur organisasi beserta tugas pokok
dan fungsi, tata kerja organisasi, dan sistem kepegawaian;
c.
menyelenggarakan manajemen kepegawaian BPJS
termasuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai BPJS serta
menetapkan penghasilan pegawai BPJS;
d.
mengusulkan kepada Presiden penghasilan bagi Dewan
Pengawas dan Direksi;
e.
menetapkan ketentuan dan tata cara pengadaan barang
dan jasa dalam rangka penyelenggaraan tugas BPJS dengan memperhatikan prinsip
transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas;
f.
melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS paling
banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan
Pengawas;
g.
melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih
dari Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) sampai dengan Rp500.000.000.000
(lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Presiden; dan
h.
melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih
dari Rp500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Ketentuan mengenai tata cara
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Direksi diatur dengan Peraturan
Direksi.
Persyaratan
untuk menjadi Dewan Pengawas dan Dewan Direksi diatur dalam UU Nomor 24 tahun
2011.
2.9.2
Hubungan Antar Lembaga
BPJS melakukan kerja sama dengan
lembaga pemerintah, lembaga lain di dalam negeri atau di luar negeri dalam
rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan program Jaminan Sosial (JKN).
2.9.3 Monitoring dan
Evaluasi
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan Nasional merupakan bagian dari sistem kendali mutu dan biaya.
Kegiatan ini merupakan tanggung jawab Menteri Kesehatan yang dalam
pelaksanaannya berkoordinasi dengan Dewan Jaminan Kesehatan Nasional.
2.9.4 Pengawasan
Pengawasan terhadap BPJS
dilakukan secara eksternal dan internal. Pengawasan internaloleh organisasi BPJS meliputi: a. Dewan pengawas;
dan b. Satuan pengawas internal. Sedangkan Pengawasan eksternal dilakukan
oleh: a. DJSN; dan b. Lembaga pengawas independen.
2.9.5 Tempat dan kedudukan
BPJS
Kantor Pusat BPJS berada di ibu
kota Negara, dengan jaringannya di seluruh kabupaten/kota.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk
untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
2.
BPJS Kesehatan akan
membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk
Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan
sistem paket INA CBG’s.
3. BPJS Kesehatan wajib
membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada Peserta
paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima lengkap.
Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah
tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan.
3.2 Saran
1.
Sustainabilitas program atau bahwa program
jaminan sosial harus berkelanjutan selama negara ini ada, oleh karena itu harus dikelola secara prudent, efisien dengan tetap mengacu pada budaya
pengelolaan korporasi.
2. Kenyataannya 80% penyakit yang ditangani rumah sakit rujukan di Provinsi
adalah penyakit yang seharusnya ditangani di Puskesmas. Tingkat okupansi tempat tidur yang tinggi di RS Rujukan Provinsi bukan
indikator kesuksesan suatu Jaminan Kesehatan. Hal ini berdampak pada beban
fiskal daerah yang terlalu tinggi.Oleh karenanya Pelaksanaan Jaminan
Kesehatan membutuhkan sistem rujukan berjenjang dan terstruktur maka setiap Provinsi harap segera menyusun
peraturan terkait sistem rujukan.
DAFTAR PUSTAKA
Chriswardani S. 2012.Kesiapan sumber
daya manusia dlm mewujudkan
universal health coverage
di indonesia : Jogjakarta.
Keputusan menteri kesehatan republik indonesia
Nomor 326 Tahun 2013 Tentang Penyiapan kegiatan penyelenggaraan Jaminan
kesehatan nasional.
Kementerian kesehatan republik indonesia. 2013. Buku pegangan sosialisasiJaminan
kesehatan nasional (JKN)Dalam sistem jaminan sosial nasional:
Jakarta.
Mukti, Ali Gufron. Rencana Kebijakan Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Kemenkes RI : Surabaya.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang
Jaminan Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013
Tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.
Putri p, novana. 2013. Konsep pelayanan primer di era JKN. Direktorat bina upaya kesehatan dasarDitjen bina upaya
kesehatan Kemenkes RI : Jakarta.
Tridarwati,
Sri Endang. BPJS Kesehatan. PT. ASKES
: Jawa Tengah.
Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS).
Undang- Undang
Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
terimakasih, informasi yang bermanfaat.
ReplyDelete