Membicarakan hukum tidak lepas dari kata
“keadilan” yang sudah ada sejak jaman Yunani Kuno. Masalah keadilan sudah mulai
disinggung pada saat Plato dan Aristoteles melontarkan pemikiran-pemikirannya
yang menjadi latar belakang perenungan tentang keadilan yang menguasai filsafat
hukum.[1]
Plato mencoba mengemukakan konsepsinya tentang keadilan dari “inspirasi”,
sedang Aristoteles mencoba mendekatinya dan menganalisis berdsarkan ilmu dan
prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang type masyarakat politik dan
peraturan-peraturan hukum yang ada pada waktu itu. Hal yang menghubungkan
mereka adalah concept of virtue,
yaitu sifat baik, yang meliputi suatu pengertian yang sudah mencakup segala-galanya
dan darimana keadilan merupakan suatu bagiannya. Concept of virtue inilah yang menghadirkan pengertian
keimbangan (balance) dan harmoni sebagai suatu
ukuran pada masyarakat maupun perorangan yang adil, sehingga dari sini tidak
jarang pula antara keimbangan dan
harmoni terpisah jalan keadilannya. Dengan perkataan lain, keadilan merupakan
pengertian yang tercipta pada perpaduan antara keimbangan dan harmoni sebagai suatu ukuran.
Menurut Plato, harmoni adalah suatu
keadaan dari dalam yang tidak dapat dianalisis dengan akal. Sedang menurut
Aristoteles, harmoni adalah suatu yang ada di tengah-tengah antara dua keadaan
yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa keadilan mulai dijawab oleh Ulpianus (200
M) yang mengatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk
memberikan kepada masing-masing bagiannya. Kata adil dapat berarti menurut
hukum dan apa yang sebanding. Hal senada juga dikatakan oleh Aristoteles bahwa
seorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang tersebut mengambil lebih
dari bagian yang semestinya ia terima. Demikian pula kata tidak adil dapat
ditujukan kepada orang yang mengabaikan hukum, oleh karena itu keadilan menurut
hukum dikatakan sebagai keadilan umum.[2]
Keadilan dapat pula diartikan sebagai
keutamaan moral khusus, yang menentukan sikap manusia pada bidang tertentu,
yang ditandai dengan sifat-sifat berikut ini:[3]
a.
Keadilan menentukan
bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang yang satu dengan yang lain;
b.
Keadilan berada di tengah
dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan tercipta
keseimbangan antara dua belah pihak;
c.
Untuk mengutamakan
dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang digunakan ukuran
kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan geometris.
Dalam
menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:[4]
a. Keadilan distributif (Distributive
Justice), yaitu memberi petunjuk tentang pembagian barang-barang dan
kehormatan pada masing-masing orang menurut tempatnya.
b. Keadilan Korektif (Corrective
Justice/Commutative Justice),terutama untuk ukuran prinsip-prinsip teknis
yang mengatur administrasi hukum, untuk itu harus ada ukuran umum guna
memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya yang
berkepentingan. Oleh karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan
ukuran yang obyektif.
Selain
membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi lain, yatu
membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum poisitif.
Hukum kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang sama di manapun
juga dan untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah keabadian dari
filsafat hukum. Sedang hukum positif mendapat kekuatannya karena ditentukan
sebagai hukum, adil atau tidak adil, memberi penjelasan adanya bermacam-macam
hukum positif.
Kontribusi Aristoteles berikutnya, ialah
pembedaan antara keadilan abstrak dan kepatutan (equity). Perbedaannya ialah, hukum terpaksa membuat aturan-aturan
yang berlaku umum, dan seringkali bertindak kejam terhadap soal-soal
perseorangan. Sedang equity melunakkan kekerasan dengan memperhatikan
hal-hal yang benar tentang sesuatu undang-undang.
Pemikir aliran hukum alam lainnya ialah
Thomas Aquino, membagi keadilan menjadi 2, yaitu:
a. Keadialan Umum (Justitia Generali); adlah keadilan menurut
kehendak masing-masing yang harus ditunaikan menurut kepentingan umum.
b. Keadilan Khusus; yaitu keadilan atas dasar kesamaan, yang dibedakan
lagi menjadi 3, yaitu:
1) keadilan distributif;
2) keadilan komutatif;
3) keadilan vindikatif.
Kaum Positivis
(aliran Positivisme) memandang keadilan sebagai tujuan hukum. Namun
relativitas keadilan sering mengaburkan tujuan hukum lain, yaitu kepastian
hukum. Hal ini sesuai dengan adagium “Summun
jus, summa injuria, summa lex, summa crux”, yaitu hukum yang keras akan
dalam melukai kecuali keadilan dapat menolongnya. Ungkapan tersebut berawal
dari ketidakpercayaan kaum positivis terhadap keadilan yang sebenarnya, karena
keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilannyang tertinggi pula.
0 comments:
Post a Comment