Tuesday, 3 February 2015

Arti Keadilan

      Membicarakan hukum tidak lepas dari kata “keadilan” yang sudah ada sejak jaman Yunani Kuno. Masalah keadilan sudah mulai disinggung pada saat Plato dan Aristoteles melontarkan pemikiran-pemikirannya yang menjadi latar belakang perenungan tentang keadilan yang menguasai filsafat hukum.[1] Plato mencoba mengemukakan konsepsinya tentang keadilan dari “inspirasi”, sedang Aristoteles mencoba mendekatinya dan menganalisis berdsarkan ilmu dan prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang type masyarakat politik dan peraturan-peraturan hukum yang ada pada waktu itu. Hal yang menghubungkan mereka adalah concept of virtue, yaitu sifat baik, yang meliputi suatu pengertian yang sudah mencakup segala-galanya dan darimana keadilan merupakan suatu bagiannya. Concept of virtue inilah yang menghadirkan pengertian
keimbangan (balance) dan harmoni sebagai suatu ukuran pada masyarakat maupun perorangan yang adil, sehingga dari sini tidak jarang pula antara keimbangan  dan harmoni terpisah jalan keadilannya. Dengan perkataan lain, keadilan merupakan pengertian yang tercipta pada perpaduan antara keimbangan  dan harmoni sebagai suatu ukuran.
      Menurut Plato, harmoni adalah suatu keadaan dari dalam yang tidak dapat dianalisis dengan akal. Sedang menurut Aristoteles, harmoni adalah suatu yang ada di tengah-tengah antara dua keadaan yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa keadilan mulai dijawab oleh Ulpianus (200 M) yang mengatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Kata adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding. Hal senada juga dikatakan oleh Aristoteles bahwa seorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang tersebut mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia terima. Demikian pula kata tidak adil dapat ditujukan kepada orang yang mengabaikan hukum, oleh karena itu keadilan menurut hukum dikatakan sebagai keadilan umum.[2]
      Keadilan dapat pula diartikan sebagai keutamaan moral khusus, yang menentukan sikap manusia pada bidang tertentu, yang ditandai dengan sifat-sifat berikut ini:[3]
a.    Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang yang satu dengan yang lain;
b.    Keadilan berada di tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan tercipta keseimbangan antara dua belah pihak;
c.    Untuk mengutamakan dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang digunakan ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan geometris.
Dalam menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:[4]
a.       Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang menurut tempatnya.
b.      Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice),terutama untuk ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum, untuk itu harus ada ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya yang berkepentingan. Oleh karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan ukuran yang obyektif.
Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi lain, yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum poisitif. Hukum kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang sama di manapun juga dan untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah keabadian dari filsafat hukum. Sedang hukum positif mendapat kekuatannya karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil, memberi penjelasan adanya bermacam-macam hukum positif.
      Kontribusi Aristoteles berikutnya, ialah pembedaan antara keadilan abstrak dan kepatutan (equity). Perbedaannya ialah, hukum terpaksa membuat aturan-aturan yang berlaku umum, dan seringkali bertindak kejam terhadap soal-soal perseorangan. Sedang equity melunakkan kekerasan dengan memperhatikan hal-hal yang benar tentang sesuatu undang-undang.
      Pemikir aliran hukum alam lainnya ialah Thomas Aquino, membagi keadilan menjadi 2, yaitu:
a.       Keadialan Umum (Justitia Generali); adlah keadilan menurut kehendak masing-masing yang harus ditunaikan menurut kepentingan umum.
b.      Keadilan Khusus; yaitu keadilan atas dasar kesamaan, yang dibedakan lagi menjadi 3, yaitu:
1)      keadilan distributif;
2)      keadilan komutatif;
3)      keadilan vindikatif.
      Kaum Positivis  (aliran Positivisme) memandang keadilan sebagai tujuan hukum. Namun relativitas keadilan sering mengaburkan tujuan hukum lain, yaitu kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan adagium “Summun jus, summa injuria, summa lex, summa crux”, yaitu hukum yang keras akan dalam melukai kecuali keadilan dapat menolongnya. Ungkapan tersebut berawal dari ketidakpercayaan kaum positivis terhadap keadilan yang sebenarnya, karena keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilannyang tertinggi pula.


      [1] Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, halaman 11.
      [2] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 154.
      [3] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 29.
      [4] Bandingkan dengan Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 155.

0 comments:

Post a Comment