BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Belakangan ini,
ada kecenderungan sebagian umat Islam menjadikan syariat Islam seolah-olah
bagaikan obat antibiotik yang dapat menyembuhkan semua penyakit di setiap
tempat dan di segala zaman. Mereka berpandangan bahwa syariat Islam itu
sempurna sehingga mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, mulai ibadah,
muamalah, sampai pemerintahan.
Klaim kesempurnaan syariat Islam tersebut selalu diulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Implikasinya adalah syariat islam seakan-akan tidak membutuhkan teori atau ilmu non-syariah. Semua problematika ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum bisa dipecahkan oleh syariat Islam yang telah diturunkan Allah 15 abad yang lampau. Untuk itu, sudah selayaknya dilakukan tinjauan ulang terhadap klaim kesempurnaan syariat Islam.
1.2 Tujuan
-
Mengetahui
pengertian syariat islam yang sesungguhnya
-
Menyebutkan
dasar-dasar hukum islam
-
Mengetahui
sumber hukum islam dalam kehidupan sehari-hari
-
Membedakan
syariat Islam dan Hukum Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Syariat Islam
Secara etimologis, kata as-syarî’ah mempunyai konotasi masyra‘ah al-ma’ (sumber air minum dan
juga dapat diartikan sumber mata air yang hening bening). Syari’at berarti al-thariqah al-sunnah;
atau jalan.Ada beberapa pengrtian mengenai kata as-syari’ah, antara lain:
1. Orang Arab tidak menyebut sumber tersebut dengan sebutan syari‘ah kecuali jika sumber tersebut
airnya berlimpah dan tidak pernah kering.
2. Dalam bahasa Arab, syara‘a berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan), dan bayyana
al-masâlik (menunjukkan jalan). Syara‘a lahum-yasyra‘u-syar‘an berarti
sanna (menetapkan).
3. Syariat dapat juga berarti madzhab (mazhab) dan tharîqah mustaqîmah (jalan lurus).
4. Dalam istilah syariat sendiri, syari‘ah berarti agama yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk
hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan
yang beragam.
5. Hukum-hukum dan ketentuan tersebut disebut syariat karena memiliki konsistensi atau kesamaan
dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Dengan demikian,
syariat
dan agama mempunyai konotasi yang sama yaitu berbagai ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh
Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya.
Sementara itu, kata al-Islâm (Islam), secara etimologis mempunyai konotasi inqiyad (tunduk) dan
istislam li Allah (berserah diri kepada Allah). Istilah tersebut selanjutnya dikhususkan untuk
menunjuk agama yang disyariatkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Dalam konteks inilah,
Allah menyatakan kata Islam sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Artinya:
Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan nikmat-Ku
atas kalian, dan meridhai Islam sebagai agamabagi kalian.(QS. Al-Mâ’idah [5]: 3).
Karena itu, secara syar‘i, Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan
kita, Muhammad saw., untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri,
dan sesamanya. Hubungan manusia dengan Penciptanya meliputi masalah akidah dan ibadah;
hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi akhlak, makanan, dan pakaian; hubungan
manusia dengan sesamanya meliputi muamalat dan persanksian.
Dengan demikian, syariat Islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan
oleh Allah atas hamba-hamba-Nya yang diturunkan melalui Rasul-Nya, Muhammad
Saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri,
dan dengan sesamanya. Artinya, cakupan syariat Islam meliputi akidah dan syariat.
Syari’at Islam merupakan
aturan hukum yang ditetapkan Allah untuk kemaslahatan ummat manusia.
Hukum atau peraturan dalam menjalankan dan mengamalkan agama Allah termasuk
syari’at Islam. peraturan yang telah ditetapkan Allah kepada
manusia, baik hubungannya terhadap Allah, maupun hubungan terhadap sesama
manusia, alam dan kehidupan .
Hukum secara umum belum mutlak
dinamakan Syari’at Islam dalam era modern. Sebab hukum yang bersumber
dari Allah (seperti Syari’at Islam) dinamakan hukum samawi, sedangkan hukum
yang dibuat oleh manusia disebut hukum wadh’i. Syari’at Islam sebagai hukum
samawi berlaku mutlak sedangkan hukum wadh’i sifatnya berlaku relatif hanya
berdasarkan kepada kepentingan dan kebutuhan manusia dalam masa-masa tertentu .
Menurut pengertian/ta’rif menurut
terminologi/istilah yang umumnya dipakai oleh para ulama salaf, dalam
memberikan batas pengertian syari’at Islam sebagai suatu pedoman hidup dan
ketetapan hukum yang digariskan oleh Allah SWT . Secara lengkap batasan
tersebut adalah: “Hukum yang
disyari’atkan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang telah didatangkan para
Nabi-nabi baik berhubungan dengan cara menyebutkannya, yang dinamai fa’riyah
amaliyah, yang untuknyalah didewakan ilmu fiqhi maupun yang berhubungan dengan
itiqad yang dinamai ashliyah ‘itiqadiyah yang untuknyalah didewakan ilmu kalam
dan syara itu dinamai pula Addin dan Millah” .
Syari’ah dinamakan Ad-Din
memiliki pengertian bahwa ketetapan peraturan Allah yang wajib ditaati. Ummat
harus tunduk melaksanakan ad-Din (syari’at) sebagai wujud ketaatan
kepada hukum Allah. Ad-Din dalam bahasa Arab berarti hukum..
Syari’ah dinamakan Al Millah
mempunyai makna bahwa agama bertujuan untuk mempersatukan para
pemeluknya dalam suatu perikatan yang teguh . dapat pula bermakna
pembukuan atau kesatuan hukum-hukum agama .
Syari’ah sering juga disebut syara’,
yaitu aturan yang dijalani manusia, atau suatu aturan agama yang wajib dijalani
oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun kelak di
akhirat .
Menurut kamus bahasa Indonesia
pengertian syari’ah adalah : “Hukum
agama yang diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara yang bertalian
dengan agama Islam, palu memalu, hakekat balas membalas perbuatan baik (jahat)
dibalas dengan baik (jahat) “.
Istilah teknis dalam bahasa
Inggris : “Canon law of Islam;
yaitu keseluruhan dari perintah-perintah Tuhan. tiap-tiap perintah Tuhan
dinamakan hukum, jama’nya ahkaam. Oleh karena itu, syari’at
tidak dapat disamakan dengan hukum dalam dunia modern ini.
Syari’at secara umum adalah segala aturan hukum
yang diwahyukan kepada para nabi berupa kitab suci seperti : Taurat, Zabur,
injil dan Al-Qur’an, maupun berupa syari’at yang disampaikan kepada para nabi
yang tidak berupa kitab/tidak dibukukan sebagai kitab yang mempunyai nama,
misalnya syari’at Nabi Adam, syari’at Nabi Ibrahim maupun nabi-nabi yang
lainnya yang diwahyukan kepada mereka untuk membentengi ummat dimana mereka
diutus.
Syari’at Islam adalah peraturan/ hukum-hukum agama
yang diwahyukan kepada nabi besar Muhammad SAW, yaitu berupa kitab suci
Al-Qur’an, sunnah/hadist nabi yang diperbuat atau disabdakan dan yang
ditakrirkan oleh nabi termasuk juga bagian dari syari’at Islam .
Syari’at meliputi di dalamnya
semua tingkah laku manusia , yang disandarkan pada wahyu Allah dan sunnah
Rasul-Nya. Dalam perkembangan hukum Islam dikenal ijtihad hal disandarkan
kepada Fiqhi yang di dalamnya termuat hukum hasil kecerdasan
mengistimbatkan satu nilai hukum. Di dalam fiqh didapati suatu tindakan sah
atau tidak sah, boleh atau tidak, sedangkan di dalam syari’at didapati
tindakan hukum boleh dan terlarang, harus diakui bahwa syari’at dan fiqh
mempunyai perbedaan, tetapi dalam perkembangannya para ulama tidak terlalu
prinsipil membedakannya.
Dengan kata lain, syariat Islam bukan hanya mengatur seluruh aktivitas fisik
manusia (af‘al al-jawarih), tetapi juga mengatur seluruh aktivitas hati
manusia (af‘al al-qalb) yang biasa disebut dengan akidah Islam. Karena itu,
syariat Islam tidak dapat direpresentasikan oleh sebagian ketentuan Islam
dalam masalah hudud (seperti hukum rajam, hukum potong tangan, dan sebagainya);
apalagi oleh keberadaan sejumlah lembaga ekonomi yang menjamur saat ini semisal
bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, dan sebagainya.
Terkait dengan susunan tertib Syari'at, Al Quran
Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka
umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu
secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan
RasulNya belum menetapkan ketentuannya
maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah
QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian perkara yang
dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya
kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang
disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara
yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.
- Asas Syara'
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas
ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok
Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu
Asas Kedua Syara'. Sifatnya,
pada dasarnya mengikat umat Islam
seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir
zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan
sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati syari'at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau
dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan
tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian
pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan
darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari'at yang
berlaku.
- Furu' Syara'
Yaitu perkara yang tidak ada atau
tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang
Syari'at Islam. Sifatnya
pada dasarnya tidak mengikat seluruh
umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil
Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku
dalam wilayah kekuasaanya. Perkara
atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.
2.2 Sumber dan Dasar Syariat
Secara garis besar sumber dan
dasar syariat Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dari kedua sumber
tersebut dijadikan dasar oleh para sahabat, tabiin, tabiit tabiin, ulama dan
para fuqaha untuk mengambil keputusan hukum. Dalam perkembangan hukum/ilmu fiqh
untuk mengambil satu keputusan yang tidak didapati di dalam sumber (Al-Qur’an
dan sunnah) maka diperkenankan berijtihad.
Menurut penyelidikan para ahli
fuqaha dalil-dalil syari’at secara global .berpangkal kepada empat pokok yaitu:
Al-Qur’an, Al-sunnah, Al-ijma’ dan Al-qiyas oleh jumhur ulama disepakati
sebagai dalil hukum amaliyah. Selain dalil tersebut masih dikenal dalil lainnya
yang senantiasa dipergunakan oleh para ulama dalam mengambil keputusan yaitu: istihsan,
maslahat mursalah, saddus zari’ah, istishab dan Al-Urf. Semua
dalil-dalil tersebut dijadikan sebagai sumber fiqh Islam.
Al-Qur’an merupakan kitabullah
yang diwahyukan kepada baginda Nabi besar Muhammad saw dalam bentuk lafadz dan
maknanya. Al-Qur’an adalah sumber syariat Islam yang tidak perlu diragukan
keberadaannya. Di dalam Al-Qur’an banyak di temui firman Allah yang menjelaskan
keberadaan Al-Qur’an seperti:
Artinya:
Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Q. S. Al-Baqarah: 2).
Artinya:
Katakanlah ruhul kudus (Jibril)
menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati)
orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). (Q.S. An-Nahal : 102).
Artinya:
Dan kami turunkan (Al-Qur’an ) itu dengan
sebenar-benarnya dan Al-Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran.
(Q.S. Al-Israa’ : 105)”.
Al-Qur’an tidak akan diragukan akan keberadaannya
sepanjang masa oleh karena ada jaminan Allah swt :
Artinya:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S.
Al-Hijir : 9).
Sumber kedua yang dijadikan
syari’at Islam adalah sunnah Rasulullah. Dalam kalangan ulama membedakan dalam
pengertian sunnah dan hadist, batasan keduanya dapat di lihat dari pendapat
Prof. Dr. TM. Hasbih Ash-Shiddieqy:
Hadist ialah : Segala peristiwa yang disandarkan kepada nabi, walau hanya sekali
saja terjadinya dalam sepanjang hidup Nabi dan walaupun hanya diriwayatkan
seorang saja.
Sunnah ialah : Nama bagi amaliyah yang
mutawattir, yakni cara rasul melaksanakan sesuatu ibadat yang dinukilkan kepada
kita dengan amaliah yang mutawattir pula.
Menurut ulama hadist, tidak
membedakan pengertian sunnah dan hadist. Sunnah dan hadist adalah merupakan
wujud dari kepribadian rasulullah dalam memberikan teladan kepada umatnya. Keberadaan hadist sebagai sumber syari’at
Islam sudah sangat jelas kedudukannya seperti yang di ungkapkan oleh pakar
hadist. Hadist sebagai
pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal ihwal Nabi Muhammad saw,
merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Pada zaman Nabi
(632M), umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan sumber ajaran Islam di
samping Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an
dipertegas oleh Allah swt bagaimana kedudukan Rasulullah (sunnah) yang patut
diikuti:
Artinya:
“….Apa
yang di berikan Rosul kepadamu, maka hendaklah kamu menerimanya ; dan apa yang
di larang bagimu, maka hendaklah kamu meninggalkanya….(Q.S. Al-Hasyr : 7).
Artinya:
“Barang siapa mentaati Rosul itu sesungguhnya ia
telah mentaati Allah. (Q.S. An-Nisaa’; 80)”.
Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan ( kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah. (Q. S.
Al- Ahzab : 21 )”.
Kedudukan sunnah Rasulullah
saw. telah dipertegas oleh Rasulullah dalam salah satu sabdanya:
فمن رغب عن سنتي فليس
مني
Artinya :
“Barang siapa yang tidak suka akan sunnahku maka
ia bukan dari golonganku. ( H. R. muttafaq’Alaih)”.
Al-Qur’an dan sunnah Rosul
merupakan syari’at terlengkap yang menjadi syari’at ummat Islam. Al-Qur’an
telah dijamin oleh Allah swt kesempurnaannya dan sunnah telah dipertegas oleh
Rasulullah keberadaannya. Penegasan Allah swt tantang kesempurnaan syari’at
Islam (agama Islam) telah difirmankan dalam Al-Qur’an :
Artinya:
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan aku telah mencukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam jadi agamamu. (QS. Al-Maidah: 3)
Sabda Rasulullah
memberikan peringatan kepada umatnya untuk senantiasa berpegang teguh pada
syari’at Islam (Al-Qur’an dan al-Sunnah)
تركت فيكم امر
ين ما ان تمسكتم بهما لن تضلوا ابدا كتاب الله وسنتي
Artinya:
“Kutinggalkan kepadamu (umat Islam) dua pusaka
abadi apabila kamu berpegang kepadanya, niscaya tidaklah kamu tersesat, yaitu :
Al-Qur’an dan teladanku”.
Di samping Al-Qur’an dan Sunnah sebagai
sumber utama syari’at Islam, masih diperkenankan berijtihad untuk mengambil
keputusan hukum apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, seperti
riwayat Mua’adz tatkala diutus oleh Rasulullah untuk menjadi Qadhi di Yaman:
كيف
تقضى اذا عرض لك قضاء، قال اقضى بكتاب الله قال: فان لم تجد في
كتاب الله ، قال: فبسنة رسول الله ، فان لم تجد في سنة رسول الله ،
قال : اجتهد رأيي ولا الو ( ا ى ولا اقضى فى
اجتهادى ) قال : فضرب رسول الله على صدره وقال: الحمد لله الذى وفق
رسول الله لما يرضى رسول الله
Artinya:
“Barangsiapa
engkau memberikan keputusan hukum, ketika dihadapkan kepadamu suatu kejadian?,
Mu’adz menjawab: saya akan memberikan keputusan dengan hukum Allah swt.
(Kitabullah). Nabi bertanya: Jika kamu tidak dapati dalam Sunnah Rasul-Nya?,
Mu’adz menjawab : aku akan berijtihad dengan pendapatku. Maka Rasulullah
menepuk dada Mu’adz seraya bersabda: segala puji bagi Allah swt yang telah
memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah terhadap sesuatu yang Rasulullah
merasa puas itu”.
Dalil-dalil hukum lainnya yang
diperpegangi oleh ulama Ushul secara singkat terturaikan sebagai berikut:
Ijma’ menurut istilah ulama
Ushul kesepakatan semua ijtahidin atas sesuatu hukum pada suatu masa sesudah
Rasulullah. Firman Allah swt, yang erat hubungannya untuk menaati pimpinan
(perkara yang diputuskan Ulil Amri).
Artinya:
“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan
rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu. (QS. An-Nisa: 59)
Tidaklah mungkin para ulama
berkumpul untuk melakukan sesuatu kebohongan (dusta). Rasul bersabda:
لم
يكن الله ليجمع امتي على الضلالة
Artinya :
“Tidaklah Allah menghimpun ummatku untuk
melakukan kesesatan. (H.R. Ibnu Majah)”
Qiyas menurut ulama ushul
menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dengan kejadian lain
yang sudah diatur oleh nash, karena adanya persamaan antara keduanya yang
disebut “Illat hukumnya’.
Istihsan adalah merupakan
kebalikan dari Qiyas, karena istihsan memindahkan hukum suatu peristiwa dengan
hukum peristiwa lainnya yang sejenis dan memberikan hukum lain karena ada alasan
kuat bagi pengecualian tersebut.
Muslahat Mursalah, terdiri
dari dua rangkaian kata yaitu: Mursalah ialah pembinaan (penetapan) hukum
berdasarkan mushalat (kebaikan, kepentingan) yang tidak diatur oleh ketentuan
syara yang menggunakan pertimbangan kebaikan akan sesuatu keputusan di ambil
dengan melihat kemaslahatan yang akan timbul.
Sadduz zari’ah menutup segala
jalan yang akan menuju pada perbuatan yang merusak/mungkar.
Istihsan yaitu: melanjutkan/menggunakan sesuatu
kaidah hukum yang ada sampai dalil/kaidah hukum lain menggantikannya.
Al-Urf adalah sesuatu apa yang biasa dijalankan
orang, merupakan kebiasaan baik dalam kata-kata maupun perbuatan keseharian. ‘Urf
ialah suatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi
tradisinya. Baik berupa perbuatan maupun adat kebiasaan yang baik dalam
masyarakat.
Qaidah-qaidah hukum di luar
dari Al-Qur’an dan Sunnah dijadikan dasar bagi para fuqaha/ulama dalam
mengambil keputusan untuk menetapkan suatu hukum. Kalau Al-Qur’an dan Sunnah
merupakan sumber utama Syari’at Islam maka qaidah-qaidah hukum/ fiqhi seperti
diuraikan di atas merupakan sumber/dalil hukum yang dapat dipengaruhi untuk
mengambil keputusan bilamana keputusan yang dimaksud tidak didapati pada
Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah.
Syariat Islam mempunyai
peranan dan fungsi untuk mengatur dan menata kehidupan manusia,
mengarahkan kepada jalan kebenaran yang diridhai oleh Allah swt. tujuan
Syari’at Islam adalah mengatur dan menata kehidupan untuk kebahagian dan
kemaslahatan manusia baik sewaktu hidup di atas dunia fana ini, maupun
kelak di negeri akhirat harus dijalankan Syari’at Islam sebagai suatu pedoman
hidup yang hakiki dan sebagai aturan perundang-undangan yang maha lengkap,
mengantar manusia ke pintu kebajikan dan menutup pintu kesesatan.
2.3 Perbedaan Antara Syari’at dan Hukum Islam
Dalam mempelajari hukum Islam,
orang tidak boleh melepaskan diri dari mempelajari sepintas lalu agama Islam,
karena hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw.
merupakan bagian dari agama Islam.
Berhubung karena norma-norma
hukum Islam dan agama Islam serta nash-nash dalam Al-Qur’an itu bersifat umum.
Sebaliknya, kejadian-kejadian yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa atau
tingkah laku manusia bersifat khusus, walaupun bermacam-macam ragamnya dengan
tidak ada batasnya selama dunia ini berkembang. Hal itu pada tiap-tiap masa
tidaklah sunyi dari berbagai peristiwa yang belum pernah diketahui hukumnya
oleh manusia pada masa sebelumnya, sedangkan pada tiap-tiap peristiwa itu perlu
diberikan ketetapan hukum, seperti halal, makruh, Sunnah, wajib, dan
haram.
Oleh karena itu, disadari oleh
Rasulullah saw, bagaimana mengatasi masalah tersebut untuk generasi selanjutnya
maka Rasulullah saw, mengajarkan kepada para sahabatnya bagaimana caranya
mengeluarkan hukum dari nash-nash atau dalil-dalil yang bersifat general. Demikian pula terdapat kata hukum Allah
dalam (QS. Al-Mumtahanah (60) : 10 yang berbunyi:
Artinya:
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di
antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Mumtahanah:
10).
Kata hukum Allah berarti hukum
syara’. Tetapi tidak satupun kata hukum Islam dalam Al-Qur’an, atau dalam
literatur hukum dalam isalm tidak ditemukan lafadz hukum Islam. yang bisa
digunakan adalah Syari’at Islam, hukum syara’, fiqhi dan Syari’at atau syara’.
Dalam literatur Barat terdapat
term Islamic law yang secara harfiah dapat disebut hukum Islam. dalam
penjelasan terhadap kata Islamic law sering ditemukan definisi;
keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam
segala “aspeknya” dari definisi ini terlihat bahwa hukum Islam itu mendekati
kepada arti Syari’at Islam.
Oleh karena itu, dalam Islam sering dijumpai
istilah fiqhi, syari’ah, dan hukum Islam Istilah-istilah itu sering dikacaukan
pemakaiannya, sebagai suatu hal yang berbeda, dan kadang-kadang
bersinonim. Terlebih bagi jika yang dipakai terjemahan hukum Islam yaitu
pengertian Syari’at dan fiqhi sering menimbulkan konflik-konflik hukum dalam
masyarakat.
Fiqhi berarti paham (faham/understanding),
atau sering diartikan sebagai pengetahuan (knowledge), atau diartikan
sebagai suatu disiplin ilmu dari pengetahuan Islam atau ilmu-ilmu keislaman.
Syaria’ah sering digunakan
sebagai sinonim dengan kata “din” dan “millah” yang berakna segala
peraturan yang berasal dari Allah swt yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
al-Hadits yang bersifat “qathi” atau jelas nashnya.
Dalam uraian tentang perkembangan dan pelaksanaan
hukum Islam yang melibatkan pengaruh luar dan dalam terlihat bahwa yang mereka
maksud dengan Islamic law disini tentunya bukan Syari’at tetapi fiqhi yang
telah dikembangkan oleh fuqaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Terlihat
kekaburan arti dari Islamic law antara syari’ah dan fiqh. Kata hukum Islam
dalam istilah bahasa Indonesia agaknya diterjemahkan dari bahasa Barat.
Berdasarkan penjelasan di atas
maka dapatlah kita mengambil sebuah kesimpulan bahwa “Hukum Islam berarti
: seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat
untuk semua umat yang beragama Islam.
Kata seperangkat peraturan
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah peraturan yang
dirumuskan secara terperinci yang mempunyai kekuatan mengikat. Kata berdasarkan
wahyu Allah dan Sunnah rasul menjelaskanbahwa seperangkat peraturan itu digali
dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah dan Sunnah rasul, atau yang populer
dengan sebutan syari’ah.
Kata-kata tentang tingkah laku mukallaf berarti
bahwa hukum Islam mengatur tindakan lahir dari manusia yang telah dikenai hukum
: peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang
meyakini kebenaran wahyu dan Sunnah nabi tersebut; yang dimaksud dalam
hal ini adalah umat Islam.
Oleh karena itu, hukum
Islam sebagai suatu istilah, sangat terkait dengan dan tak dapat dipisahkan
istilah syari’ah. Karena syari’ah adalah hukum-hukum Allah yang telah jelas
nashnya atau qathi, sedangkan fiqhi adalah hukum yang dzanni yang dapat
dimasuki pemikiran manusia (ijtihad).
Menurut Prof. Hasbi, memberi
definisi hukum Islam dengan: “Koleksi daya upaya para ahli hukum untuk
menerapkan Syari’at atas kebutuhan masyarakat”. Ta’rif ini lebih dekat
kepada fiqh, bukan kepada Syari’at, walaupun penulis menggunakan kata yang
berarti menyamakan Syari’at dengan fiqh. Untuk lebih mendekatkan arti
kepada hukum Islam, perlu diketahui dulu kata hukum dalam bahasa Indonesia,
kemudian hukum ini disandarkan terhadap kata Islam. “Hukum Islam” berarti:
seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah rasul tentang tingkah
laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk
semua umat yang beragama Islam.
Kata seperangkat peraturan
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah peraturan
yang dirumuskan secara terperinci yang mempunyai kekuatan mengikat. Kata
berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah rasul menjelaskan bahwa seperangkat
peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah dan Sunnah rasul,
atau yang populer dengan sebutan Syari’at.
Kata-kata tentang tingkah laku
mukallaf berarti bahwa hukum Islam mengatur tindakan lahir dari manusia yang
telah dikenai hukum: peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap
orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan Sunnah nabi tersebut; yang
dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Menurut Dr. A. Qadri Azizy, M.A. : bahwa berbicara
tentang hukum Islam pada periode awal (masa nabi), memang harus diakui
tidak ada pemisahan antara hukum Islam di satu sisi hukum dalam masyarakat
(hukum umum) di sisi lain. Hal ini berarti bahwa ketika nabi menebut dan
mempraktekkan hukum, maka itu adalah hukum Islam. diyakini pula oleh umat
Islam, bahwa praktek Khulafa’ rasyidun (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) juga
demikian, mereka mempraktekkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari
urusan privat maupun urusan publik selalu mengacu pada hukum Islam.
Mengenai wujud hukum Islam,
ada semacam kesepakatan bahwa pada masa nabi, hukum Islam belum
tersistematiskan. Demikian juga pada masa sahabat nabi, bahkan ada yang
berpendapat bahwa mulai pada masa tabi’in itulah hukum Islam baru
tersistematisir.
Menurut Dr. Muhammad
Muslihuddin pengertian hukum Islam adalah : Islamic law is divinely
ordained system, the will of god to be estabilished on earth. It is called
Shari’ah or the (right) path. Al-Qur’an and the Sunnah (tradition of the
prophet) are is two primary and original sources. (Hukum Islam adalah
sistem hukum produk Tuhan, kehendak Allah yang ditegakkan di atas bumi. Hukum
Islam itu disebut Syari’at atau jalan yang benar. Al-Qur’an dan sunnah nabi
merupakan dua sumber utama dan asli bagi hukum Islam tersebut).
Menurut Joseph Schacht, yang membuat tesis antara
hukum Islam yang dikembangkan oleh fuqaha yang bersifat swasta dan suka rela,
di satu pihak dan praktek pemerintahan beserta lembaga peradilannya yang
didominasi oleh kepentingan politik, dipihak lain. Joseph Schacht,
menulis sebagai berikut : Islamic law represents an extreme case of a
“jurists law”: it was created and developed by specialists; legal science and
not the state plays the part of a legistor, and scholarly hand books have the
force of law. This became possible Islamic law successfully claimed to be based
on devine authority, and because Islamic legal science guaranteed its own
stability and continuity. (hukum Islam mewakili sebuah kasus yang ekstrim
mengenai jurist’s law
(hukum Islam yang merupakan produk ahli hukum
secara perorangan). Hukum Islam diciptakan dan dikembangkan oleh ahlinya secara
swasta (mandiri), ilmu hukum dan bukan negara yang memainkan peran legislator,
dan buku-buku baku yang ditulis secara ilmiah mempunyai kekuatan hukum, hal ini
menjadi mungkin, sebab hukum Islam telah mengklaim dengan sukses sebagai
(hukum) yang berdasarkan pada otoritas Tuhan, dan sebab ilmu hukum Islam telah
memberi jaminan akan kestabilan dan keberlanjutan hukum Islam itu sendiri.
Menurut Prof. Dr. Suparman Usman, berpendapat
bahwa untuk memahami hukum Islam kita harus:
- Mempelajari kerangka dasar ajaran Islam, yang menempatkan hukum Islam sebagai salah satu bagian dari agama Islam.
- Menghubungkannya dengan Iman (aqidah) dan kesusilaan (akhlak, etika, atau moral), karena dalam sistem hukum Islam, iman, hukum dan kesusilaan itu tidak dapat diceraiberaikan.
- Mengkaitkannya dengan beberapa istilah kunci, diantaranya adalah syari’ah dan fiqhi yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat diceraiberaikan.
- Mengatur seluruh tata hubungan kehidupan manusia, baik dengan Tuhan, manusia yang lain, diri sendiri, serta alam semesta.
Menurut Prof. Dr. H. Muhammad
Daud Ali, SH : Hukum Islam dibandingkan dengan pandangan atau pemikiran
(hukum) Barat (Eropa, terutama Amerika) akan terlihat perbedaan, contoh
dalam masalah hak asasi manusia. Karena pemikiran (hukum) Barat memandang hak
asasi manusia semata-semata antroposentris. Artinya berpusat pada manusia,
dengan demikian manusia sangat dipentingkan, sedangkan hukum Islam memandang
hak asasi manusia bersifat teosentris, artinya berpusat pada Tuhan, dengan
demikian manusia penting tetapi yang lebih penting adalah Tuhan (Allah pusat
segala sesuatu).
Berdasarkan pendapat ulama dan ahli hukum di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa : hukum Islam merupakan salah satu dari sumber
ajaran Islam yang harus diyakini dan dilaksanakan sesuai dengan keyakinan umat
Islam, hal ini disebabkan karena hukum Islam mengatur kehidupan manusia di
dunia dan di akhirat kelak.
2.4 Ruang Lingkup dan ciri-ciri Hukum Islam.
a) Ruang lingkup hukum Islam
Jika pada hukum Barat ruang
lingkup hukum dibedakan secara tajam antara hukum privat (Perdata) dan hukum
publik (pidana), maka adalah hukum Islam tidak terdapat perbedaan hal ini
disebabkan karena menurut sistem hukum Islam pada hukum perdata terdapat
segi-segi publik dan pada hukum publik terdapat segi-segi perdatanya.
Jika ruang lingkup hukum Islam
disusun berdasarkan sistematika hukum Barat, yang membedakan antara hukum
perdata (privat) dan hukum umum (publik), maka sistematika hukum Islam adalah
sebagai berikut:
1) Hukum perdata Islam meliputi
: Hukum Munakahat yaitu : hukum yang mengatur sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan, perceraian, serta akibat-akibatnya. Hukum Wirasah, yaitu: hukum
yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris,
harta warisan, dan pembagiannya (yang disebut juga dengan istilah hukum
Fara’id). Hukum muamalah, yaitu : hukum yang mengatur masalah kebendaan,
hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa-menyewa,
pinjam-meminjam, perserikatan, dan lain-lain sebagainya.
2) Hukum publik Islam meliputi:
hukum jinayat, yaitu: hukum atau aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan
yang diancam dengan hukum jarimah hudud maupun jarimah ta’zir. Jarimah adalah
perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang bentuk dan batas
hukumannya telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad saw,
(hudud jamak dari hadd ; batas). Sedangkan jarimah ta’zir adalah perbuatan
pidana yang bentuk dan ancamannya ditentukan oleh petugas sebagai pelajaran
bagi pelakunya (ta’zir : ajaran atau pengajaran), hukum al-ahkam
as-sulthaniyah, yaitu hukum yang membicarakan soal-soal yang berhubungan
dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintahan daerah maupun
pemerintahan pusat, tentara, pijak, dan sebagainya. Hukum siyar, yaitu
hukum yang mengatur urusan perang, damai, tata hubungan dengan pemeluk agama
dan negara lain. Hukum mukhasamat, yaitu hukum yang mengatur tentang peradilan
kehakiman, dan hukum acara.
b) Ciri-ciri hukum Islam
Ciri-ciri (kekhususan) hukum
Islam yang membedakannya dengan hukum yang lainnya, adalah :
1) Hukum Islam berdasarkan atas
wahyu Allah swt, yang terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Sunnah
rasul-Nya.
2) Hukum Islam dibangun
berdasarkan prinsip aqidah (iman, dan tauhid) dan akhlak (moral)
3) Hukum Islam bersifat
universal (alami), dan diciptakan untuk kepentingan seluruh umat manusia
(rahmatan lil alamin)
4) Hukum Islam memberikan
sanksi di dunia dan sanksi di akhirat (kelak)
5) Hukum Islam mengarah kepada
jam’iyah (kebersamaan) yang seimbang antar kepentingan individu dan masyarakat.
6) Hukum Islam dinamis dalam
menghadapi perkembangan dan tuntutan zaman (sesuai dengan tuntutan waktu dan
tempat).
7) Hukum Islam bertujuan
menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari berbagai
sumber yang kami dapatkan, maka kami dapat menyimpulkan bahwa Syariat Islam
adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat
manusia, baik Muslim mahupun bukan Muslim. Selain berisi hukum dan aturan,
Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh
sebahagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan
sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
3.2 Kritik dan Saran
Klaim
kesempurnaan syariat Islam juga menimbulkan paradoks. Masih banyak problematika
umat yang tidak diatur secara tegas, pasti, dan jelas dalam Alquran dan hadis.
Di sinilah perlunya kreativitas umat untuk memanfaatkan potensi akalnya. Celakanya, banyak kalangan yang tidak bisa membedakan penafsiran para ulama salaf dan khalaf dalam kitab fikih, kitab syarah hadis, dan kitab tafsir dengan kesucian kitab suci.
Di sinilah perlunya kreativitas umat untuk memanfaatkan potensi akalnya. Celakanya, banyak kalangan yang tidak bisa membedakan penafsiran para ulama salaf dan khalaf dalam kitab fikih, kitab syarah hadis, dan kitab tafsir dengan kesucian kitab suci.
Mereka
menganggap bahwa penafsiran dan pemahaman itu juga termasuk kategori syariat
yang tidak bisa diutak-atik. Selama
klaim kesempurnaan syariat Islam tidak didudukkan secara proporsional, umat
Islam akan cenderung menolak semua ijtihad baru atau semua teori baru. Setiap
terobosan baru akan dianggap mengutak-atik ajaran yang sudah sempurna. Untuk itu,
marilah kita letakkan secara lebih proporsi kesempurnaan syariat islam tersebut.
Syariat Islam sesungguhnya hanya mengatur hal-hal yang pokok semata (ushuliyah). Dan, selebihnya adalah penafsiran, termasuk penafsiran yang lebih kontekstual, humanis, plural, dan liberal.
Syariat Islam sesungguhnya hanya mengatur hal-hal yang pokok semata (ushuliyah). Dan, selebihnya adalah penafsiran, termasuk penafsiran yang lebih kontekstual, humanis, plural, dan liberal.
DAFTAR
PUSTAKA
Minhajuddin, Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh (Ujung
Pandang: Fakultas Syariah IAIN Alauddin, 1983), h. 3.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), h. 8.
MT.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan
Bintang, 1954), h. 39-40.
M. Syuhudi Ismail, Sunnah Menurut Para
Pengingkarnya dan Upaya Melestarikan Sunnah oleh Para Pembelanya (Ujung
Pandang: Berkah, 1991), h. 1.
Abd. Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam
(Ilmu Ushul Fiqh) (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 20.
http://www.google.co.id
0 comments:
Post a Comment