BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Indonesia
adalah negara demokrasi yang mengedepankan prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Sebagai negara yang memprioritaskan kekuasaan di tangan rakyat,
Indonesia memiliki banyak wadah untuk menampung aspirasi rakyat dalam memajukan
negara. Salah satu contohnya adalah partai politik. Partai politik adalah suatu
wadah yang menampung sekumpulan orang yang seasas sehaluan dalam melaksanakan
tujuan politik.
Banyaknya
partai politik yang berkembang dewasa ini diwarnai oleh beberapa landasan, salah
satunya agama. Keberadaan partai politik bernuansa agama ini sangat
mempengaruhi tatanan politik di Indonesia dan melahirkan pemimpin-pemimpin
tangguh yang membangun spiritualitas dalam pemerintahan. Salah satu contoh partai
politik berbasis Islam adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Bulan Bintang (PBB).
Politik dalam pandangan
Islam didefinisikan sebagai ilmu pemerintahan atau ilmu siyasah, yaitu ilmu
tata negara. Pengertian dan konsep politik dalam Islam sangat
berbeda dengan pengertian dan konsep yang digunakan oleh orang-orang yang bukan
Islam.
Politik dalam Islam menjuruskan kegiatan umat kepada usaha untuk mendukung dan melaksanakan syariat Allah melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan serta bertujuan untuk menyimpulkan segala sudut Islam dalam satu institusi yang mempunyai syahksiyyah untuk menyetujui dan melaksanakan undang undang.
Politik dalam Islam menjuruskan kegiatan umat kepada usaha untuk mendukung dan melaksanakan syariat Allah melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan serta bertujuan untuk menyimpulkan segala sudut Islam dalam satu institusi yang mempunyai syahksiyyah untuk menyetujui dan melaksanakan undang undang.
Keberadaan
partai politik Islam di Indonesia yang semakin marak memicu banyak kekhawatiran
dan melahirkan satu pertanyaan besar, apakah partai-partai politik ini
benar-benar berjuang demi Islam dan bisa dikatakan sebagai partai politik
ideologis Islam yang beranggotakan orang Islam dan memilih serta menentukan
pemikiran Islam secara jelas dan rinci hingga mampu mewujudkan Islam sebagai
sebuah sistem hidup yang akan direalisasikan di tengah-tengah masyarakat atau
partai-partai politik ini hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri dengan
mengatasnamakan kelompok/partai.
Oleh
karena itu, sebelum membahas seluk-beluk politik Islam, kita harus mengetahui
terlebih dahulu bagaimana pandangan Islam mengenai politik yang berbasis Islam.
Selanjutnya, perlu dikaji pula apakah partai politik Islam tetap mengedepankan
syariat Islam dalam melaksanakan fungsi politik.
2.
Rumusan Masalah
2.1
Bagaimanakah
politik dalam kacamata Islam?
2.2
Dalam
melaksanakan fungsi politik, apakah partai politik Islam tetap mengedepankan
syariat Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Politik dan
partai politik dalam kacamata Islam
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik memiliki tiga pengertian : 1) pengetahuan
mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti tata cara pemerintahan,
dasar-dasar pemerintahan dsb; 2) segala urusan dan tindakan seperti
kebijaksanaaan, siasat, dsb mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap
negara lain; 3)tipu muslihat, kelicikan akal seperti daya upaya. Menurut Islam,
politik adalah pengaturan urusan/kepentingan rakyat di dalam dan di luar negeri
dengan berdasar pada syariat Islam.
Esensi politik dalam
pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang berdasarkan
hukum-hukum Islam. Secara tepat, hubungan antara politik dan Islam digambarkan
oleh Imam al-Ghazali dengan pernyataan: “Agama dan kekuasaan adalah saudara
kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala
sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak
berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”. Hal ini berbeda dengan pandangan
Barat yang mengartikan politik sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan
kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah
kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Fenomena ini
bisa kita lihat dari pendapat ahli politik Barat, yaitu Loewenstein yang menyatakan
“politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain
merupakan perjuangan kekuasaan).
Islam
adalah agama yang mengatur kehidupan manusia secara keseluruhan dalam segala
aspek, termasuk tentang negara dan politik. Politik (siyasah) adalah
pemeliharaan urusan umat (ri’ayatu syuunil ummah), di dalam dan luar negeri.
Pelaksana praktisnya adalah daulah (negara), sedangkan umat melakukan muhasabah
(kritik, saran, dan nasihat) kepada daulah (khalifah). Politik dalam negeri
dilaksanakan negara untuk memelihara urusan umat dengan melaksanakan mabda
(aqidah dan peraturan-peraturan) Islam di dalam negeri. Dalam
menggeluti politik dalam negeri, kaum muslimin wajib memperhatikan pelaksanaan
pemerintahan dan meluruskannya apabila terjadi penyimpangan Adapun politik luar
negeri dilakukan daulah untuk memelihara urusan umat di luar negeri dengan
menjalin hubungan internasional dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Dalam
melaksanakan aktivitas politik, penguasa mendapat pengawasan dari seluruh rakyat,
baik sebagai individu maupun kelompok atau partai. Peran dan posisi bagian
masyarakat dalam Islam telah ditentukan dengan rinci dan tegas termasuk dalam
hal keberadaan partai politik.
Menilik
pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa partai politik Islam merupakan partai
yang melaksanakan berbagai tugas yang dibebankan Islam kepada mereka. Tugas
tersebut adalah tugas amar ma’ruf nahi munkar dan mengoreksi/meluruskan tingkah
laku pemerintah dan aparatnya. Dengan kata lain, pengertian partai politik dalam
konteks kehidupan Islam adalah sekumpulan orang yang membentuk suatu kelompok
atau jamaah (partai) yang berdiri atas dasar ideologi Islam dengan aktivitas
dakwah kepada al khoir (Islam) dan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.
Keberadaan dan peran partai politik itu sendiri beserta tugasnya bertolak dari
seruan Allah SWT:
“(Dan)
Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan
(mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam) menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (yang akan
masuk surga).” (QS. Ali Imran:104).
Syekh An-Nabhaniy dalam
kitab Muqaddimmah Dustur memberikan penjelasan tentang ayat di atas bahwa Allah
SWT sungguh telah memerintahkan kaum muslimin untuk membentuk kelompok/jamaah/partai
yang melakukan tugas untuk mengemban dakwah kepada al khair (Al-Islam) serta
melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam
hal amar ma’ruf nahi munkar, kita harus memahami bahwa perintah ini bersifat
umum, yaitu ditujukan kepada semua golongan manusia. Hanya saja, beramar ma’ruf
nahi munkar kepada para penguasa merupakan amar ma’ruf nahi munkar yang sangat utama
dibanding yang lain. Pemerintah, selain merupakan pelaksana praktis kebijakan
politik dalam negeri dan luar negeri juga sangat berperan dalam menentukan
segala hal yang berlaku dalam masyarakat. Karenanya, aktivitas amar ma’ruf nahi
munkar dan mengoreksi (muhasabah) penguasa merupakan aktivitas amar ma’ruf yang
lebih utama. Selain itu, karena aktivitas pemerintah adalah aktivitas politik,
maka jamaah/partai yang akan menasehati dan mengoreksi pemerintah haruslah
memahami dan senantiasa bergelut dengan aktivitas politik. Di sinilah posisi
dan peran pokok sebuah partai politik Islam.
Asas asas sistem
politik Islam
Asas
asas sistem politik Islam meliputi:
A.
Hakimiyyah Ilahiyyah
Hakimiyyah atau memberikan kuasa
pengadilan dan kedaulatan hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah
hak mutlak Allah dan tidak dimiliki siapa pun selain Allah.
Firman Allah:
"Dan tidak ada sekutu bagi Nya
dalam kekuasaan Nya." (Al Furqan: 2)
"Bagi-Nya segaIa puji di dunia dan
di akhirat dan bagi Nya segata penentuan (hukum) dan kepada-Nya kamu
dikembalikan." (A1 Qasas: 70)
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah." (A1 An'am: 57)
Hakimiyyah Ilahiyyah
membawa pengertian berikut:
a.
Allah adalah pemelihara
alam semesta yang pada hakikatnya adalah Tuhan yang menjadi pemelihara manusia,
dan tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifat
Ilahiyyah-Nya Yang Maha Esa
b.
Hak untuk
menghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali Allah. Oleh
karena itu, manusia wajib taat dan beribadah kepada-Nya
c.
Hanya Allah sajalah
yang berhak mengeluarkan hukum sebab Dialah satu-satunya Pencipta
d.
Hanya Allah yang
memiliki hak mengeluarkan peraturan sebab Dialah satu-satunya Pemilik
e.
Hukum Allah
adalah sesuatu yang benar sebab hanya Dia saja Yang Mengetahui hakikat segala
sesuatu, dan hanya di tangan-Nyalah penentuan hidayah dan jalan yang selamat
dan lurus.
f.
Teras utama
sistem politik Islam ialah tauhid kepada Allah dalam segi rububiyyah dan
uluhiyyah-Nya.
B.
Risalah
Jalan kehidupan para
rasul diiktiraf oleh Islam sebagai sunan al huda atau jalan-jalan hidayah. Jalan
kehidupan mereka berlandaskan kepada segala wahyu yang diturunkan Allah untuk
diri mereka dan umat mereka. Para rasul sendiri yang menyampaikan hukum Allah
dan syariat-syariat-Nya kepada manusia. Risalah berarti bahwa kerasulan
beberapa orang lelaki di kalangan manusia sejak Nabi Adam hingga kepada Nabi
Muhammad SAW adalah satu asas yang penting dalam sistem politik Islam. Melalui
landasan risalah inilah para rasul mewakili kekuasaan tertinggi Allah di dalam
perundangan dalam kehidupan manusia. Para rasul menyampaikan, menafsir dan menerjemahkan
segala wahyu Allah dengan ucapan dan perbuatan mereka.
Dalam
sistem politik Islam, Allah telah memerintahkan agar manusia menerima segala
perintah dan larangan Rasulullah SAW. Manusia diwajibkan tunduk kepada perintah
Rasulullah SAW dan tidak mengambil hakim selain Rasulullah SAW dalam segala
perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Allah
berfirman:
"Apa
yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi
kamu, maka tinggalkanlah." (Al
Hasyr: 7)
"Dan
Kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah." (An Nisa': 64)
"Dan
barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, akan Kami biarkan mereka bergelimang
daiam kesesatan yang telah mereka datangi, dan Kami masukkan ia ke dalam
jahannam dan jahannam itu adalah seburuk buruk tempat kembali." (An Nisa:
115)
"Maka
demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An Nisa': 65)
C.
Khalifah
Khalifah
berarti perwakilan. Pengertian ini mendefinisikan bahwa kedudukan manusia di
atas muka bumi adalah sebagai wakil Allah. Hal ini juga dimaksudkan bahwa di
atas kekuasaan yang telah diamanahkan oleh Allah, manusia harus melaksanakan
undang undang Allah dalam batas-batas yang ditetapkan. Di atas landasan ini,
manusia bukanlah penguasa atau pemilik, melainkan hanyalah khalifah atau wakil
Allah yang menjadi Pemilik yang sebenarnya.
Allah
berfirman dalam Al-Qur’an:
"Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan
menjadikan seorang khalifah di muka bumi... " (Al Baqarah: 30)
"Kemudian
Kami jadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi sesudah mereka supaya Kami
memperhatikan bagaimana kamu berbuat."(Yunus: 14)
Seseorang khalifah
hanya menjadi khalifah yang sah selama ia benar-benar mengikuti hukum-hukum
Allah. Oleh karena itu, khalifah sebagai asas ketiga dalam sistem politik Islam
menuntut agar tugas tersebut dipegang oleh orang yang memenuhi syarat-syarat
berikut:
-Mereka harus terdiri dari orang-orang
yang benar-benar menerima dan mendukung prinsip-prinsip tanggung jawab yang
terangkum dalam pengertian khilafah
-Mereka
tidak terdiri dari orang-orang zalim, fasiq, fajir dan lalai terhadap Allah serta
bertindak melanggar batas-batas yang ditetapkan-Nya
-Mereka harus terdiri dari orang-orang
yang berilmu, berakal sehat, memiliki kecerdasan, kearifan serta kemampuan
intelek dan fisikal
-Mereka harus terdiri dari orang-orang
yang amanah sehingga tanggung jawab dapat dipikulkan kepada mereka dengan aman
dan tanpa keraguan
Konsep Dasar Politik Islam
Konsep Dasar dalam Politik Islam meliputi:
a.
Imâmah (kepemimpinan).
Pengangkatan pemimpin yang amanah dan
ketaatan rakyat kepada pemimpin adalah konsep politik Islam yang pokok. Para
ulama mengatakan bahwa QS.
An-Nisa ayat 58 di atas
diturunkan untuk para pemimpin pemerintahan (waliyy
al-amri)
agar mereka menyampaikan amanat kepada ahlinya. Ayat berikutnya :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah
kalian kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil amri dari golonganmu! Kemudian jika engkau
berselisih dalam masalah sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul,
jika engkau benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir! Yang demikian itu
lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”
Ayat ini ditujukan kepada rakyat agar
taat kepada pemimpinnya dalam hal pembagian, putusan hukum, dsb. Kewajiban
untuk taat kepada ulil amri
itu tidak berlaku apabila mereka memerintahkan rakyatnya
berbuat maksiat kepada Allah SWT. Oleh karena itu,
“tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam perbuatan maksiat kepada sang Pencipta
(khâliq).”
b.
Syûrâ (konsultasi) atau musyawarah. Allah berfirman dalam
al-Quran:
“Maka karena rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Maka maafkanlah
mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepadanya.” (Ali Imran:
159).
Konsep ini menuntun sebuah proses
pengambilan keputusan atau kebijakan dari seorang pemimpin dalam menjalankan
pemerintahannya. Asas musyawarah yang paling utama berkenaan
dengan pemilihan ketua negara dan orang-orang yang akan mendapat tugas dalam
pemerintahannya. Asas musyawarah kedua berkenaan dengan penentuan jalan dan
cara pelaksanaan UU yang telah dimaktubkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun asas musyawarah yang ketiga berkenaan dengan jalan-jalan menyelesaikan
perkara-perkara yang timbul di kalangan umat. Syûrâ menjadi ruh yang sangat penting bagi partisipasi umat
dalam penentuan kebijakan.
c.
‘Adalah (keadilan). Allah berfirman dalam al-Quran:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian)
berlaku adil dan berbuat kebajikan.” [Al-Nahl: 90].
Keadilan dan kesetimbangan dalam
menentukan kebijakan merupakan prinsip yang dikedepankan dalam politik Islam.
Sistem Islam mengedepankan keadilan dalam inti ajarannya. Dalam pelaksanaannya, prinsip keadilan
yang terkandung dalam sistem politik Islam meliputi dan menguasai segala jenis
perhubungan yang berlaku di dalam kehidupan manusia, termasuk keadilan antara
rakyat dan pemerintah, antara dua pihak yang bersengketa di pengadilan maupun
antara pasangan suami istri atau orang tua dan anak. Pemeliharaan terhadap keadilan
merupakan prinsip nilai sosial utama karena dapat mengukuhkan kehidupan manusia
dalam segala aspeknya.
d.
Kebebasan
Kebebasan
yang dimaksud dalam sistem politik Islam adalah kebebasan yang berlandaskan
kebaikan.
e.
Persamaan atau musawah
Persamaan
yang dimaksud terdiri dari persamaan dalam mendapat dan menuntut hak-hak,
persamaan dalam memikul tanggung jawab menurut porsi masing-masing sebagaimana
ditetapkan dalam undang-undang, dan persamaan berada di bawah naungan
undang-undang.
f.
Hak menghisab pihak pemerintah dan mendapat penjelasan
tindakan
Prinsip
ini didasarkan pada kewajiban pemerintah untuk melakukan musyawarah dalam hal
yang berkaitan dengan urusan negara dan umat. Prinsip ini termaktub dalam
firman Allah:
“… maka berilah keputusan di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat adzab yang berat karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (Sad: 26)
Prinsip-prinsip
Dasar Politik (Siyasah) Islam
Prinsip-prinsip Dasar Politik (Siyasah) Islam diantaranya:
a.
kedaulatan, yakni kekuasaan
itu merupakan amanah. Kedaulatan yang mutlak dan legal adalah milik Allah. Al-Maududi dalam
bukunya It’s Meaning and Message (1976: 147-148) menegaskan,”Kepercayaan
terhadap keesaan (tauhid) dan kedaulatan Allah adalah landasan dari
sistem sosial dan moral yang dibawa oleh Rasul Allah. Kepercayaan itulah
yang merupakan satu-satunya titik awal dari filsafat politik dalam Islam.” Kedaulatan ini
terletak di dalam kehendak-Nya seperti yang dapat dipahami dari syari’ah.
Syari’ah sebagai sumber dan kedaulatan yang aktual dan konstitusi ideal, tidak
boleh dilanggar. Sedang masyarakat Muslim, yang diwakili oleh konsensus rakyat
(ijma’ al-ummah), memiliki kedaulatan dan hak untuk mengatur diri
sendiri.
b.
syura dan ijma’. Mengambil keputusan
dalam semua urusan kemasyarakatan dilakukan melalui konsensus dan konsultasi
dengan semua pihak. Kepemimpinan negara dan pemerintahan harus ditegakkan
berdasarkan persetujuan rakyat melalui pemilihan secara adil, jujur, dan
amanah. Sebuah pemerintahan atau sebuah otoritas yang ditegakkan dengan cara-cara
non-syari’ah tidak dapat ditolerir dan tidak dapat memaksa kepatuhan rakyat
c.
semua warga negara
dijamin hak-hak pokok tertentu. Menurut Subhi Mahmassani dalam bukunya Arkan Huquq al-Insan, beberapa
hak warga negara yang perlu dilindungi diantaranya jaminan terhadap keamanan
pribadi, harga diri dan harta benda, kemerdekaan untuk mengeluarkan
pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara adil tanpa
diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis dan
kesehatan, serta keamanan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi
d.
hak-hak negara. Semua warga negara, meskipun yang oposan
atau yang bertentangan pendapat dengan pemerintah sekalipun harus tunduk kepada otoritas negara yaitu
kepada hukum-hukum dan peraturan negara.
e.
hak-hak khusus dan
batasan-batasan bagi warga negara yang non-Muslim—memiliki hak-hak sipil yang
sama. Karena negara
ketika itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh pengambil keputusan yang
memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr) harus sanggup
menjunjung tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam, prinsip dan
kerangka kerja konstitusional pemerintahan seperti ini, terungkap dalam
Konstitusi Madinah atau “Piagam Madinah” pada era kepemimpinan Rasulullah di
Madinah, yang mengayomi masyarakat yang plural.
f.
ikhtilaf dan konsensus yang
menentukan. Perbedaan
pendapat diselesaikan berdasarkan keputusan dari suara mayoritas yang harus
ditaati oleh seluruh masyarakat. Prinsip mengambil keputusan menurut suara
mayoritas ini sangat penting untuk mencapai tujuan bersama.
Menuru pendapat lain, prinsip-prinsip negara dalam Islam meliputi juga : 1) prinsip tauhid (kekuasaan/jabatan
pemerintahan itu sebagai amanah); 2) prinsip keadilan; 3) prinsip kedaulatan
rakyat; 4) prinsip musyawarah; 5) prinsip kesamaan di hadapan hukum (equality
before the law) ; 6) prinsip kebebasan rakyat; 7) prinsip
persatuan; 8) prinsip persaudaraan; 9) prinsip gotong-royong dalam ridha Ilahi;
10) prinsip kepatuhan rakyat; 11) prinsip perdamaian; 12) prinsip
kesejahteraan; 13) prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia.
Tujuan Politik Menurut
Islam
Tujuan
sistem politik dan pemerintahan Islam sebagaimana yang telah digariskan para
fuqaha adalah:
a.
memelihara
keimanan menurut prinsip-prinsip yang telah disepakati oleh ulama Islam
b.
melaksanakan
proses pengadilan di kalangan rakyat dan menyelesaikan masalah di kalangan
orang-orang yang berselisih
c.
menjaga keamanan
daerah-daerah Islam agar manusia dapat hidup dalam keadaan damai dan tentram
d.
melaksanakan
hukuman-hukuman yang ditetapkan syara’ demi melindungi hak –hak manusia
e.
melancarkan
jihad terhadap golongan yang menentang Islam
f.
menjaga
perbatasan negara dengan berbagai persenjataan untuk menghadapi kemungkinan
serangan dari luar
g.
mengendalikan
urusan pengutipan cukai, zakat dan sedekah sebagaimana yang ditentukan oleh
syara’
h.
mengatur
anggaran belanja perbendaharaan negara agar tidak digunakan secara boros atau
kikir
i.
mengangkat
pegawai-pegawai yang cakap dan jujur dalam mengawal kekayaan negara
j.
menjalankan
pergaulan dan pemeriksaan yang rapi dalam segala hal demi memimpin dan
melindungi negara
2.
Partai politik
Islam mengedepankan syariat Islam dalam melaksanakan fungsi politik
Suatu partai politik berbasis Islam
baru benar-benar disebut sebagai partai politik Islam apabila mengedepankan
syariat Islam. Keberadaan partai politik yang bekerja untuk Islam wajib
memenuhi syarat berikut:
1. Partai itu harus dari beranggotakan
kaum muslimin saja
2.Partai Islam haruslah menjadikan
aqidah Islam sebagai dasar keberadaannya dan menjadikan syariat Islam sebagai tolak
ukur dari hukum yang dijadikan pegangannya.
3. Partai itu beraktivitas mengajak
kepada kebaikan. Dalam tafsir Jalalain “mengajak kepada al khoir” berarti
mengajak kepada dinul Islam.
4. Partai ini harus beraktivitas menyeru
kepada yang ma’ruf (melaksanakan syariat) dan mencegah kemungkaran (mencegah pelanggaran
terhadap syariat). Bahkan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar ini merupakan bagian
terpenting dari keberadaan partai politik tersebut dalam masyarakat Islam,
yaitu mengawasi para penguasa (‘muhasabah lil Hukam’) serta memberikan nasehat
apabila dalam aktivitas pemerintahannya terdapat penyimpangan dan penyelewengan
terhadap syariat Islam, misalnya bersikap dzalim, fasik dan lain-lain. Semua
ini merupakan kegiatan politik dan bagian yang amat penting serta menjadi ciri
utama dari kegiatan partai-partai politik dalam Islam. seperti beranggotakan
orang Islam dan menjadikan aqidah Islam sebagai dasar keberadaannya. Kehadiran
partai politik ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi umat Islam dalam
menyuarakan aspirasi dan berperilaku politik sesuai dengan syariat Islam yang
berlaku.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
- Politik menurut Islam merupakan salah satu sarana untuk melaksanakan syariat Allah. Asas-asas politik Islam meliputi Hakimiyyah Ilahiyyah yang berarti hukum tertinggi hanyalah hak mutlak Allah, Risalah yang berarti mengikuti jejak Nabi dan Khalifah yang berarti manusia sebagai wakil Allah. Sedangkan konsep dasar dalam politik Islam meliputi imamah (kepemimpinan), syura (konsultasi) atau musyawarah, ‘adalah atau keadilan, kebebasan, persamaan atau musawah, dan hak untuk menghisab pihak pemerintah dan mendapat penjelasan atas tindakannya. Adapun prinsip-prinsip dasar politik (siyasah) Islam meliputi kedaulatan, syura dan ijma’, semua warga negara dijamin hak-hak pokok tertentu, hak-hak negara, hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga negara yang non-Muslim, dan ikhtilaf dan konsensus yang menentukan. Sistem politik Islam secara keseluruhan bertujuan untuk mensejahterakan umat Islam pada khususnya dalam segala aspek kehidupan.
- Sebagai wujud keterlibatan umat Islam dalam sistem politik di Indonesia, maka bermunculanlah berbagai partai politik Islam yang secara konseptual dan praktek dijalankan menurut syariat agama. Partai ini baru benar-benar disebut sebagai partai politik Islam apabila memenuhi beberapa syarat yang ditentukan, seperti beranggotakan orang Islam dan menjadikan aqidah Islam sebagai dasar keberadaannya. Kehadiran partai politik ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi umat Islam dalam menyuarakan aspirasi dan berperilaku politik sesuai dengan syariat Islam yang berlaku.
2.
Saran
a.
Untuk partai
politik Islam, hendaknya tetap menjalankan fungsinya sebagai partai politik dan
memegang teguh akidah dan syariat Islam dengan mengedepankan pemahaman terhadap
politik Islam secara mendalam
b.
Untuk masyarakat,
hendaknya berperan aktif dalam mernciptakan suasana politik yang kondusif dan
demokratis
DAFTAR PUSTAKA
1.
Poerwadarminta,
W.J.S. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
0 comments:
Post a Comment