BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan poligini belakangan
begitu santer dibicarakan orang sejak munculnya kasus pernikahan Abdullah
Gymnastiar, pengasuh pondok pesantren Daruttauhid Bandung, dengan isteri
keduanya. Secara historis, polemik tentang poligini bukan barang baru dalam
konstelasi hukum perkawinan di Indonesia. Sejak pertama kali Kongres Perempuan
Indonesia dilangsungkan pada tanggal 22 Desember 1928, isu poligini sudah
mencuat ke permukaan.
Dalam perspektif
gender, perkawinan model poligini
sulit mewujudkan indikator kesetaraan gender karena kondisi awal dalam
membangun rumah tangga posisi suami istri tidak sama sehingga berpengaruh dalam
ekses, pembagian peran dan tanggung jawab, khususnya dalam pengambilan
keputusan serta penerima manfaat dalam aktifitas rumah tangga. Ketidaksetaraan
ini melahirkan diskriminasi gender yang pada umumnya menimpa pada istri dan
sebagian dari suami. Rumah tangga poligini akan lebih sering menghadapi problem
ketimpangan sosial. Dengan demikian, monogami adalah pilihan tepat untuk
mewujudkan rumah tangga yang penuh dengan sakinah, mawaddah dan
rahmah.
B. Rumusan Masalah
§
Bagaimanakah
poligini menurut kacamata agama Islam..?
§
Bagaimanakah
penerapan hukum poligini di indonesia..?
BAB II
PEMBAHASAN
POLIGINI
DALAM ISLAM DAN UUP No 1 Tahun 1974 SERTA PENERAPAN HUKUM POLIGINI DI INDONESIA
1.
Pengertian
Poligini
Poligini
diartikan kemilikan dua atau lebih isteri dalam waktu yang sama ("having
two or more wives at the same time"), dan poliandri kepemilikan dua suami
atau lebih dalam waktu yang sama ("having two ar more husbands at the same
time"). Istilah yang lebih tepat sesungguhnya ialah poligini, bukan
poligami yang memberi peluang berpasangan dengan sesama jenis, pasangan homo
atau pasangan lesbi.
Persoalan
poligini dalam sudut pandang teologi usianya sama dengan usia manusia itu
sendiri. Dalam Kitab Talmud (Erubin 100b, Bava Batra 73b, Niddah 24b, dan
Sabbat 151b), sejarah jatuhnya manusia dari surga ke bumi karena faktor
poligini. Dalam literatur Yahudi itu
dikatakan, isteri pertama Adam bukan Hawa/Eva, melainkan Lillith. Lillith
diciptakan dari tanah bersama-sama Adam.
Lillith
tidak mau menjadi pelayan maka ia meninggalkan Adam. Jadilah Adam (Hebrew: dari
akar kata alef {sendirian} dan dom {sunyi, diam, bisu}), artinya makhluk yang
merasa sendirian dan kesepian di surga tanpa pasangan.Tuhan lalu menciptakan
pasangan baru Adam yaitu Hawa/Eva dari tulang rusuk Adam sebagai isteri baru.
Sebagai isteri pertama, meskipun sudah berpisah tetap saja Lillith menaruh rasa
cemburu. Ia tidak rela mantan suaminya bahagia di pelukan perempuan lain.
Akhirnya ia bekerjasama dengan iblis yang juga tidak senang dengan kehadiran
Adam yang telah menjadikannya makhluk terkutuk karena menolak sujud kepadanya.
Rekayasa kedua makhluk ini berhasil menipu Adam dan Hawa, makan buah terlarang
yang menyebabkan keduanya jatuh ke bumi penderitaan. Cerita ini juga disinggung
dalam buku-buku tafsir Perjanjian Lama, Issaiah (34:14), yang oleh kalangan
feminis Yahudi-Kristen dianggap sebagai ayat misoginis.
Cerita
tersebut menggambarkan poligini sejak awal sering berkonotasi negatif dalam
dunia kemanusiaan. Dampaknya bukan saja di alami suami dan isteri-isteri tetapi
juga anak dan keturunannya.
Terlepas
cerita ini benar atau salah, kita bisa berandai-andai, sekiranya anak manusia
tidak terlilit dengan problem poligini maka kehidupan kita tetap berada di
dalam surga kebahagiaan. Cerita seperti ini juga mendekatkan poligini kepada
masalah teologi. Hampir semua agama-agama besar mempunyai konsep tentang
poligini, tidak terkecuali dalam Islam, yang dalam kitab-kitab fikih dikenal
dengan konsep "ta`addud al-zaujat". Namun dalam literatur Islam
masalah poligini tidak pernah dihubungkan dengan kisah kejatuhan manusia ke
bumi, karena cerita seperti tadi memang tidak pernah ada dalam Islam.
2.
Agama dan
Poligini
Hampir semua
agama dalam perkembangannya melarang atau memberikan pembatasan ketat terhadap
poligini. Agama Hindu, Budha, Yahudi, dan Nasrani semula memberikan pengakuan
terhadap eksistensi poligini. Agama-agama tersebut terpengaruh dengan asumsi
budaya masyarakat bahwa makin banyak istri makin tinggi status sosial
laki-laki. Pusat-pusat peradaban dunia di masa silam seperti Babilonia, Syiria,
dan Mesir juga telah lama mengenal poligini. Para raja mereka tidak asing lagi
dengan poligini, bahkan di Cina, laki-laki mempunyai isteri 3000 orang adalah
tidak asing.
Demikian
pula agama besar sebelum Islam seperti Hindu, Budha, Yahudi dan Nasrani telah
memberikan pengakuan terhadap eksistensi poligini. Banyaknya isteri pada
masa-masa klasik tersebut menjadi indikator dalam penentuan status sosial.
Dalam Bibel tidak ditemukan ayat yang tegas menolak poligini. Dalam Bibel malah
diceritakan King Salamon (Sulaiman) mempunyai isteri 700 orang.
Larangan
poligini dalam agama Kristen muncul kemudian setelah renaisans, ketika
hukum-hukum gereja banyak menyerap hukum-hukum Romawi, sementara hukum Romawi
banyak dipengaruhi oleh para pemikir humanis, terutama setelah Kaisar Yustianus
menetapkan "Corpus Luris Civils" --biasa disebut Corpus Luris
Yustianus-- yang berisi hukum-hukum kekeluargaan.
Dari Romawi
hukum-hukum tersebut menyebar ke berbagai pelosok dunia dan dikembangkan
imperialisme Barat, seperti Napoleon yang terkenal dengan "code
civil", yang menganut azas monogami. Napoleon Bonaparte yang menjadi
simbol kekuatan Perancis menerapkan "code civil" ke berbagai negara
jajahannya, termasuk Belanda yang kemudian menjajah Indonesia dan menerapkan
Buegerlijk Watbook (BW), yang juga menganut monogami.
Bagaimanakah poligini menurut kacamata agama Islam..?
Bagaimanakah poligini menurut kacamata agama Islam..?
3.
Islam dan
Poligini
Jika
dianalisa pendapat para ulama mengenai kedudukan pologini maka ditemukan tiga
pola pemikiran, yaitu,
§
Ulama yang
tidak mengakui keberadaan poligini,
§
Ulama yang
mengakui poligini dengan syarat yang amat ketat,
§
Ulama yang
mengakui poligini dengan syarat longgar.
Golongan
yang menolak keberadaan poligini berpendapat sesungguhnya Islam menganut
prinsip monogami dan mengecam praktek poligini sebagai perpanjangan tradisi
Arab pra-Islam. Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada kenyataan bahwa
pertama kali Tuhan mencipta manusia hanya seorang laki-laki (Adam) dan seorang
perempuan (Hawa) kemudian mereka berdua kawin dan berkembang biak, sebagaimana
dinyatakan dalam A-Qur`an Surat Al-Nisa (4:1)
Muhammad
Abduh cenderung menganut pendapat ini dengan mengatakan boleh saja seorang
laki-laki kawin lebih dari seorang perempuan tetapi harus memenuhi syarat adil
sebagaimana ditegaskan dalam Surat An-Nisa (4:3), akan tetapi lebih lanjut ia
mengatakan syarat adil ini sesungguhnya teramat susah dicapai seorang laki-laki
yang berpoligini. Apalagi Abduh menganut pendapat Abu Hanifah bahwa keadilan
dalam ayat tersebut meliputi tempat tinggal, pakaian, makanan, dan hubungan
suami isteri. Abduh juga melihat dampak poligini pada umumnya membawa masalah
dalam kehidupan rumah tangga, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Dengan
demikian poligini dianggapnya tidak sejalan dengan semangat ajaran Islam yang
mengobsesikan keadilan.
Senada
dengan pendapat Abduh, Abu Zahrah menampik kemungkinan seorang laki-laki dapat
berlaku adil kepada isteri-isterinya dengan mengutip Surat An Nisa :129,
……………………………………………………………….
"Dan sekali-kali kamu tidak
akan sanggup berbuat adil terhadap wanita-wanita sekalipun kamu telah berusaha
keras....".
Yang menarik
dari pendapat Abu Zahrah ialah cara mengartikan ayatini bahwa bilangan dua,
tiga, dan empat dalam surat itu bukanlah menyatakan bilangan yang dapat
direalisir tetapi pada hakekatnya melarang, seperti sindiran orang Arab,
"if`al ma syi`ta" (kerjakanlah sekehendak hatimu) artinya jangan
lakukan perbuatan itu.
Sedangkan
golongan yang membenarkan poligini dengan persyaratan ketat ialah jumhur ulama
Ahlu Sunnah, termasuk Sayid Sabiq dan Wahbah Suhail. Mereka berpendapat
poligini adalah izin dari Tuhan untuk kaum laki-laki sebagaimana dalam
Al-Qur`an, "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senang, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya."
Jumhur ulama
menetapkan syarat pologini antara lain, tidak mengumpulkan isteri lebih dari
empat orang, tidak dengan muhrim, tidak mengumpulkan perempuan yang berfamili
dekat, misalnya mengumpulkan kakak beradik sekaligus, atau ibu dan anak atau
saudara ayahnya atau saudara ibunya, tidak dengan perempuan yang berbeda agama,
dan adil terhadap isteri-isteri dengan ukuran misalnya menyediakan tempat
tinggal masing-masing isteri, persamaan waktu menginap masing-masing isteri,
berperasangka yang sama (baik) kepada masing-masing isteri.
Wahbah
Zuhail menambahkan adanya izin dari qadli atau hakim dengan mempertimbangkan
berbagai aspek.
Jumhur ulama
tidak menekankan praktik poligini Rasulullah sebagai dasar berpoligini, karena
beliau mendapatkan dispensasi khusus dari Allah Swt. Jumhur ulama menolak
praktek poligini Rasulullah didasari nafsu biologis seperti yang dituduhkan
para orientalis, tetapi semuanya itu mempunyai maksud dan tujuan tertentu yang
erat kaitannya dengan misi yang diemban beliau sebagai seorang Rasul.
Sedangkan
golongan yang menerima poligami tanpa syarat yang ketat dapat dilihat pendapat
sejumlah ulama Syiah dan sebagian kecil ulama Sunni. Analisis pendapat ini
dapat dilihat dari analisis huruf "waw" dan penggunaan istilah
bilangan di dalam Surat An-Nisa sebagaimana dapat dilihat di dalam uraian Sayid
Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah.
Kalau jumhur
ulama Ahlu Sunnah mengartikan hurus "waw" dalam ayat tersebut dengan
"atau" sehingga berfungsi sebagai alternatif yang berarti "dua,
tiga, atau empat". Mereka berpendapat bahwa batas maksimum yang
diperbolehkan ialah empat orang. Mengawini lebih dari itu secara bersamaan
tidak dibenarkan dan hubungan dengan perempuan kelima dan seterusnya adalah
hubungan zina yang patut dikenakan hukuman rajam. Demikian pula anak-anak yang
lahir dari padanya dihukum anak zina dan tidak sah mewarisi ayahnya.
Sedangkan
pendapat minoritas ulama yang propoligami tanpa syarat ketat, seperti pendapat
minoritas ulama Syiah, menafsirkan "matsna wa tsulatsah wa ruba",
lebih dari empat orang, karena "waw" pada ayat itu tidak berarti
"atau" melainkan berarti simbol penambahan. Rumusnya 2+3+4=9, sama
dengan jumlah isteri Nabi. Ada yang menafsirkan "waw" dan bentuk kata
"matsna, tsulatsah, dan ruba" dengan rumus 2+2=4, 3+3=6, 4+4=8,
sehingga menjadi 4+6+8=18.
Penafsiran
lainnya memahami arti "waw" sebagai simbol perkalian, sehingga
rumusnya, 2x3x4=24. Bahkan ada yang tidak membatasi jumlah maksimumnya karena
kata, "fankihu ma thaba lakum min al-nisa" adalah lafaz yang berlaku
mutlak, sedangkan angka sesudahnya bukanlah pembatas melainkan hanya keterangan
untuk menghilangkan kebingungan kepada "mukhathab" yang mungkin
menyangka bahwa menikahi lebih dari satu perempuan adalah tidak dibolehkan.
Umumnya
negara-negara Islam menganut pendapat jumhur ulama, yang membolehkan poligini
dengan syarat-syarat yang lebih ketat. Menurut hasil penelitian Tahir Mahmood
dalam karyanya, "Famili Law Reform in The Muslim World", hukum
terapan poligini di setiap negara ternyata sangat dipengaruhi beberapa faktor,
antara lain faktor sosial-budaya, politik lokal dan pengaruh mazhab yang dianut
di negara tersebut.
Di Turki,
Hukum Kekeluargaannya (The Turkish Code) tidak membenarkan seorang laki-laki
melakukan poligini. Seorang laki-laki baru dapat dibenarkan kawin lagi jika ia
mempunyai bukti yang kongkrit bahwa isterinya telah meninggal dunia atau telah
ditalak, sedangkan untuk menjatuhkan talak menurut perundang-undangan Turki
sangat ketat.
Kalangan
ulama Turki menganggap isyarat kebolehan poligini dalam Al-Quran hanya berlaku
dalam kondisi yang sangat khusus khusus. Mereka menganggap poligini sebagai
salahsatu bentuk penyimpangan sosial ("social disorder"). Ini bisa
dimaklumi karena kedekatan geografis dan kultural Turki dengan Eropa, yang
menganut kultur monogami. Sebelum seseorang laki-laki melangsungkan perkawinan,
rencana perkawinan tersebut terlebih dahulu harus diumumkan beberapa hari
sebelumnya. Perkawinan dapat digugat bila di kemudian hari terbukti calon
pengantin mempunyai isteri atau suami yang sah dan perkawinan dinyatakan batal
manakala di kemudian hari ternyata salah seorang dari pasangan tersebut terikat
dengan tali perkawinan.
Di Tunisia
larangan berpoligami juga sangat tegas. Perkawinan kedua dinyatakan tidak sah,
bahkan lebih tegas lagi karena dalam pasal 18 Undang-Undang Kekeluargaan
Tunisia mengancam satu tahun penjara atau denda sebanyak 240.000 frans. Umumnya
ulama Tunisia dapat menerima pasal 18 di atas karena mereka melihat dan
menyadari kondisi obyektif masyarakat Tunisia sudah menghendaki adanya berbagai
pembaharuan, termasuk pelarangan praktek poligini.
Di Pakistan,
meskipun dinyatakan sebagai Negara Republik Islam, negara ini juga dengan
bersikap ketat dan tegas terhadap praktek poligini. Untuk melakukan poligini
mesti harus memperoleh izin dari Dewan Arbitrase atau Dewan Tahkim, sedangkan
anggota dewan ini terdiri atas wakil-wakil suami dan isteri peratama serta
ketua dari Dewan Persatuan Lokal UU Kekeluargaan Pakistan 1962 mengancam
hukuman penjara maksimun satu tahun, atau denda sebanyak-banyaknya 5.000 rupee
atau kedua-duanya bagi mereka yang melanggar pasal-pasal poligini.
Di Irak,
sebelum Saddam Husain jatuh, juga menerapkan ketentuan poligini dengan
persyaratan yang amat ketat. Para pemohon diseleksi secara ketat oleh hakim dan
hakim pun mempunyai pedoman ketat di dalam mengabulkan peraktek poligini.
Undang-Undang
Kekeluargaan Irak menetapkan tiga syarat pokok, yaitu pertama, suami mempunyai
kemampuan untuk membiayai lebih dari seorang isteri, kedua, praktik poligini
dilakukan melalui prosedur yang sah, ketiga praktik poligami dilakukan dengan
pertimbangan kemaslahatan. Bagi orang yang melanggar ketentuan poligini
dikenakan hukuman setahun penjara atau denda serendah-rendahnya 100 dinar.
Syiria juga termasuk salah satu negara Islam yang dikenal sangat ketat terhadap
praktik poligini. Agak mirip dengan Irak, praktik poligini di negeri ini juga
lebih banyak ditentukan oleh "qadli".
Qadli berhak
mencegah perkawinan kedua terhadap seseorang bila yang bersangkutan dipandang
tidak mampu membiayai isteri-isteri dan anak-anaknya atau akan mendatangkan
kemudaratan rumah tangganya. Hanya saja di Syiria praktek poligini tidak sampai
membatalkan perkawinan dan pelanggar poligini tidak dicantumkan secara tegas
dalam kitab perundang-undangannya.
Sedangkan
negara-negara muslim lainnya seperti Mesir, Sudan, Iran, Kuwait, Saudi Arabia
dan di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, masih memberikan peluang untuk
berpoligini asal memenuhi syarat. Persyaratan yang ditetapkan di negara-negara
tersebut masing-masing berbeda satu sama lain, tergantung mazhab dan kondisi
obyektif yang dominan di dalam masyarakat.
Persyaratan
melakukan poligami menurut imam-imam mazhab, termasuk Syiah pada umumnya tidak
mempunyai perbedaan yang prinsip, yaitu kemampuan sang suami memberikan jaminan
lahir batin kepada para isterinya dan prosedurnya tidak menyalahi ketentuan
syariah.
Bagaimanakah
penerapan hukum poligini di indonesia..?
4.
Kasus
Poligini di Indonesia
Indonesia
yang dikenal sebagai negara muslim terbesar, menerapkan hukum poligini relatif
lebih longgar dibandingkan negara-negara muslim lain.
Ini disebabkan karena masih adanya
praktik kawin bawah tangan, yakni perkawinan yang tidak tercatat melalui Kantor
Urusan Agama, tetapi hanya dilakukan oleh wali atau orang yang dikuasakan oleh
wali calon isteri.
Masyarakat
menganggap perkawinan ini sah secara agama, meskipun tidak sesuai dengan
ketentuan UU No.1 tahun 1974. Pada umumnya praktek poligini melalui perkawinan
bawah tangan, karena laki-laki tidak mesti direpotkan oleh persyaratan
poligini, meskipun mereka menyadari perkawinan itu tidak diakui dan
konsekuensinya anak dan isteri tidak berhak mendapatkan warisan jika perkawinan
mereka bubar.
Sesungguhnya
praktik poligini dalam UU tersebut juga diatur secara ketat, namun praktiknya
sulit ditegakkan karena semata-mata mengandalkan kesadaran dan kejujuran
masyarakat. Memang ada PP No 10 tahun 1983 dan PP No 45 tahun 1991, yang
mengatur praktik poligini bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI dam Polri, serta
pegawai BUMN, tetapi sanksi bagi pelaku poligini dianggap belum mamadai. Oleh
karena itu praktisi hukum menilai masih perlu perangkat hukum lain untuk
memberikan kekuatan dalam menerapkan UU tersebut.
Pihak
Departemen Agama bekerjasama dengan instansi terkait telah menyelesaikan sebuah
legal draf yang dikenal dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan
Agama tentang Perkawinan. Rancangan UU ini sudah diajukan ke Presiden untuk
selanjutnya diproses ke DPR.
Jika UU ini
disahkan, maka sulit bagi seseorang melangsungkan perkawinan di bawah tangan
karena semua pihak yang terlibat dalam proses perkawinan tersebut diancam
dengan hukuman denda dan kurungan.
Yang berhak
mendapatkan hak perwalian untuk mengawinkan orang hanya orang yang dizinkan di
dalam UU tersebut. Ini artinya ustadz, imam, atau kyai, tidak lagi segampang
sebelumnya mengawinkan orang karena diancam dengan hukum pidana. Tujuan
penerapan RUU ini ialah agar institusi perkawinan itu berwibawa dan betul-betul
sesuai dengan tuntutan hukum perkawinan dalam Islam, yang bukan hanya sebagai
kontrak sosial biasa ("aqd al-tamlik") tetapi juga bernilai sakral
("aqd al-ibadah").
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa Poligini dalam perpektif hukum dapat dicermati
melalui tiga jalur:
1.
Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
2.
PP
nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil,
3.
Instruksi
Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dalam Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa asas perkawinan yang
dianut oleh undang-undang ini adalah monogami, namun bukan monogami mutlak,
akan tetapi monogami terbuka. Adapun ketentuan dalam PP nomor 10 tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil dijelaskan
bahwa PNS maupun militer tidak mudah melakukan poligini. Mereka bahkan harus
minta izin atasannya jika menginginkan poligini. PNS pria yang akan beristeri
lebih dari seorang dan PNS wanita yang akan menjadi isteri kedua, ketiga atau
keempat dari seorang yang bukan PNS diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu
dari pejabat yang berwenang.
Dalam Kompilasi Hukum
Islam, pada dasarnya, sebagaian besar ketentuan poligini mengadopsi secara
langsung dari Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. KHI ini
lebih ditujukan untuk proses hukum yang berlaku di Pengadilan Agama, institusi
khusus untuk para pihak yang beragama Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Bustanul Arifin,
pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya,
Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
http://m.antaranews.com, Telaah - Poligini.htm
Tihami, Sohari Sahrani, Fikh
Munakahat : Kajian Fikh Lengkap, Jakarta : Rajawali Pers, 2009
kompilasi hukum
islam
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
0 comments:
Post a Comment