BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Statistik kejadian pernikahan dini meningkat berlalunya
waktu. Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media
(audio, visual dan audiovisual) akan pernikah dini yang dilakukan tidak hanya
1-2 selebritis namun segelintir orang dengan tingkat pemberitaan tinggi
sehingga menyebabkan proses conditioning
terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses conditioning sendiri adalah proses adaptasi yang dilakukan oleh
masyarakat akan berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang
berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan
dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.
Berbagai pemberitaan tersebut lah (spesifikasi :
pemberitaan pernikahan dini yang dilakukan oleh selebritis) yang
melatarbelakangi kami untuk memilih topik “Pernikahan Dini” sebagai topik yang
diangkat dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari berbagai pemberitaan akan
“Pernikahan Dini” yang terjadi, masih banyak orang yang salah mengartikan
pernikahan dini dan tidak mengerti baik-buruknya jenis pernikahan ini. Hal itu
juga termasuk salah satu faktor yang melatar belakangi diangkatnya topik
“Pernikahan Dini” ini.
Kami berharap agar makalah ini dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya sebagai sumber informasi terkait topik pernikahan siri. Maka
dari itu, kami tim penyusun berusaha sebaik-baiknya untuk mengumpulkan berbagai
informasi dari berbagai sumber dan narasumber untuk dimasukkan ke dalam makalah
ini agar kelak dapat dijadikan sebagai referensi oleh pihak-pihak yang
membutuhkan.
1.2 Tujuan
Tujuan
pembuatan makalah ini antara lain :
a.
agar siswa (pembaca makalah dan audiens presentasi)
memahami berbagai definisi akan pernikahan dini.
b.
agar siswa dan siswi mengerti dan mengetahui landasan
hukum terkait memnikah diusia dini baik ditinjau dari sudut pandang Islam dan
pembahasan berbagai rancangan undang-undang.
c.
agar siswa mengetahui dampak positif dan dampak negatif
dari prenikahan dini.
d.
siswa dapat mengeluarkan berbagai pendapatnya terkait
pernikahan diusia dini dan berdiskusi satu sama lain.
e.
Memenuhi salah satu syarat atau tugas mata pelajaran
pendidikan agama islam.
1.3 Manfaat
a.
Dengan penjelasan yang detail dan berbagai kajian akan
negatif-positifnya pernikahan diusia dini, siswa akan dapat mengerti bahwa
menikah diusia dini lebih banyak menimbulkan hal negatif dan pada akhirnya
dapat dijadikan pencegahan akan terjadinya pernikahan dini.
b.
Membantu berbagai kalangan untuk menyamakan pikiran akan
tidak baiknya menikah diusia dini terutama untuk latar belakang non-kekurangan
biaya.
c.
Membantu mensosialisasikan apa sebenarnya pernikahan dini
itu dan tindakan apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi angka terjadinya
pernikahan diusia dini.
d.
Menambah pengetahuan siswa agar memahami berbagai fakta,
pro dan kontra terkait pernikahan diusia dini dan hukum-hukum yang terkait di
dalam pernikahan dini.
BAB II
LANDASAN
TEORI
2.1. Definisi Pernikahan Dini
Pernikahan
Dini merupakan sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang
sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative, setidaknya menurut penawaran
Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983, melalui tulisannya berjudul Bagaimana
Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja? Ketika fitnah syahwat kian tak
terkendali, ketika seks pranikah semakin merajalela, terutama yang dilakukan
oleh kaum muda yang masih duduk di bangku-bangku sekolah, tidak peduli apakah
dia SMP bahkan SD, apalagi SMA maupun perguruan tinggi.
Tapi sederet
pertanyaan dan kekhawatiranpun muncul. Nikah diusia remaja, mungkinkah? Siapkah
mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa tidak mengganggu
sekolah? Dan masih banyaksederetpertanyaanlainnya.
Dari sisi
psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir. Bahwa pernikahan di
usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung perceraian,
karena kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa betul.
Hal ini terbaca jelas dalam senetron “Pernikahan Dini” yang pernah ditayangkan
di salah satu stasiun televisi. Beralasan memang, bahwa mental dan kedewasaan
lebih berarti dari sekedar materi, untuk menciptakan sebuah rumah tangga yang
sakinah seperti yang diilustrasikan oleh sinetron tersebut.
- Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi
Sebetulnya,
kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial
telah dijawab dengan logis dan ilmiah oleh Muhammad Fauzil Adhim dalam bukunya
“Indahnya Pernikahan Dini”, juga oleh Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya
“Children Development Through”: bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di
bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik,
bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan
seseorang bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untukmengatasi kenakalan
kaum remaja yang kian tak terkendali.
Di kedua buku
itu (dan juga di sekitar kita) ada banyak bukti empiris dan tidak perlu
dipaparkan disini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan
justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang
(seperti tertera sederet nama orang sukses yang melakukan pernikahan dini).
Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis,
pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga
kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak (Muhammad Fauzil Adhim,
Indahnya Pernikahan Dini, 2002). Bahkan menurut Abraham M. Maslow, pendiri
psikologi humanistik yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di usia
dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih
sempurna dibanding dengan mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan
yang sebenarnya, menurut M. Maslow, dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan
mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan
psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia, mampu
mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan ibid).
Bagaimana
dengan hasil penelitian di salah satu kota
di Yogya bahwa angka perceraian meningkat signifikan karena pernikahan dini?
Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah
pernikahan yang diakibatkan “kecelakaan” (yang disengaja). Hal ini bisa
dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan
kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat.
Adapun urgensi
pernikahan terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja barangkali tidak bias
dibantah. Takut rasanya ketika kita mendengar hasil sebuah penelitian bahwa 90%
mahasiswi di salah satu kota
besar di negara muslim ini sudah tidak perawan lagi. Pergaulan bebas atau free
sex sama sekali bukan nama yang asing di telinga kaum remaja, saat ini. Kita
akan menyaksikan kehancuran yang berlangsung pelan-pelan, tapi sangat
mengerikan para gadis (yang sudah tidak gadis lagi) hamil di luar nikah. Untuk
menanggulangi musibah kaum remaja ini hanya satu jawabnya: nikah.
- Pernikahan Dini dalam Perspektif Agama
Jika menurut
psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25, maka
bagaimana dengan agama? Rasulullah saw.Bersabda:
“Wahai para
pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah.
Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih
menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena
puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).
Hadits di atas
dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu? Mengapa
kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah mencap
aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh bisa
ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau
telah mencapai usia limabelas tahun. Ada
apa dengan syabab?
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Nabi savv,
“perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad dan Abu Dawud).
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Nabi savv,
“perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad dan Abu Dawud).
Pesan Nabi di
atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan sebuah
isyarat bahwa padausia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki potensi
menuju kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Nabi saw, Sembilan belas Abad
yang silam. Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi
(baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum
remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan
oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat
Abdullah bin Mas’ud ra, selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda
yang masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang
shalihah.
Salah satu
faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah
kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman.
Bukankah Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah, seperti yang
tersirat dalam suratal-Nur ayat 32 yang artinya, “dan jika mereka miskin maka
Allah akan membuatnya kaya dengan karunia-Nya”. Bukankah Rasul-Nya juga
menjamin kita dengan sabdanya, “Barang siapa yang ingin kaya, maka kawinlah.
2.2. Cinta dan Perkawinan
Satu hari,
Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?”
Gurunya
menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan
tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu
menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah
menemukan cinta”
Plato pun
berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa
membawa apapun.
Gurunya
bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?”
Plato menjawab,
“Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur
kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan,
tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi
tak kuambil ranting tersebut Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru
kusadari bahwasanya ranting – ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus
ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya”
“Gurunya
kemudian menjawab ” Jadi ya itulah cinta”
Di hari yang
lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, “Apa itu perkawinan? Bagaimana saya
bisa menemukannya?”
Gurunya pun
menjawab “Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa
boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja.
Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu
telah menemukan apa itu perkawinan”
Plato pun
menjawab, “Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir
setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan
ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan
untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan
untuk mendapatkannya
Gurunyapun
kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan”
Cinta itu
semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan.
Cinta adanya di
dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih.
Ketika
pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah
kehampaan… tiada sesuatupun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali.
Waktu dan masa
tidak dapat diputar mundur.
Terimalah cinta
apa adanya.
Perkawinan
adalah kelanjutan dari Cinta.
Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya.
Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya.
Ketika
kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia – sialah waktumu dalam mendapatkan
perkawinan itu, karena sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.
perkawinan itu, karena sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Hukum Pernikahan
Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan
suatu perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
ijin dari kedua orang tua.
Namun dalam prakteknya didalam masyarakat sekarang ini masih banyak
dijumpai sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan di usia muda atau di
bawah umur. Sehingga Undang-undang yang telah dibuat,
sebagian tidak berlaku di suatu daerah tertentu meskipun Undang-Undang tersebut
telah ada sejak dahulu. Di Indonesia pernikahan dini berkisar 12-20% yang
dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan
usia muda usia rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan
dini dengan usia pengantin di bawah usia 16 tahun sebanyak 26,95%. Di
Tasikmalaya sendiri khususnya di desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten
Tasikmalya yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda berjumlah lebih
dari 15 orang.
Padahal
pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki
25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis
sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan
secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis
dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk
melindungi baik sera psikis emosional, ekonomi dan sosial.
Melakukan
pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat
mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih
jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian
masyarakat yang melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena
adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan
perkawinan usia muda atau di bawah umur.
3.2.
Dampak Pernikahan Dini
Baru saja kita
mendengar berita diberbagai media tentang kyai kaya yang menikahi anak
perempuan yang masih belia berumur 12 tahun. Berita ini menarik perhatian
khalayak karena merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya,
perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan
anak dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini atau
perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan
dibawah umur dapat dikemukakan sbb.:
- Dampak terhadap hukum
Adanya
pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
a. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
a. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Pasal 6 (2)
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orang tua.
b.
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
1.) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
2.) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
1.) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
2.) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
c. UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO
Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.
Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.
Amanat
Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap
memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari
perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Sungguh
disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut.
Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak
dari perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua. Sesuai dengan 12 area
kritis dari Beijing Platform of Action, tentang perlindungan terhadap anak
perempuan.
- Dampak biologis
Anak secara
biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga
belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika
sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma,
perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya
sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang
demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami
atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang
anak.
3. Dampak Psikologis
Secara psikis
anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan
menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit
disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada
perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu,
ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan
(Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya
yang melekat dalam diri anak.
4. Dampak Sosial
Fenomena sosial
ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias
gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap
pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran
agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan
lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias
gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
5.
Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku
seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan
anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan
tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan
se-akan2 menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15
tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta
rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan
seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku
bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain. Dari uraian tersebut jelas bahwa
pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih banyak mudharat
daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus
disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia
dini atau anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi
anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan
class-action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak
Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus
melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk melihak adanya pelanggaran terhadap
perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana
dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, UU Perkawinan, UU PTPPO).
3.3. Upaya Menyikapi atau mencegah Terjadinya
Pernikahan Dini
Sedikit di
permukaan atau terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat
luas. Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan
dengan anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih
seperti ini biasa jadi bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangan di
kalangan umat muslim tentang kesahihan informasi mengenai pernikahan anak di
bawah umur yang dilakukan Nabi SAW dengan Aisyah r.a. Selain itu, peraturan
perundang – undangan yang belaku di Indonesia dengan sangat jelas
menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi
pihak – pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan
pernikahan anak di bawah umur. Pemerintah harus berkomitmen
serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah
umur sehingga pihak – pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di
bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu,
pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang – undang terkait
pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi – sanksi bila melakukan
pelanggaran dan menjelaskan resiko – resiko terburuk yang bisa terjadi akibat
pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya
tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah
sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak
dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta
berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di
sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus
terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur
sehingga kedepannya di harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban
akibat pernikahan tersebut dan anak – anak Indonesia bisa lebih optimis dalam
menatap masa depannya kelak.
BAB IV
KESIMPULAN
- Kesimpulan
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang
dari satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna
nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah
pernikahan. Sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan usia muda ini
dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk
melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur. Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
- Saran
Menikahlah kamu diusia yang cukup
matang. Idealnya untuk perempuan adalah
21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ
reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat
serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara
laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang
kehidupan keluarga untuk melindungi baik sera psikis emosional, ekonomi dan
sosial.
DAFTAR PUSTAKA
a. Artikel “Rancangan Undang-Undang Materil
oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan”
b.
Google.com
keyword : definisi PERNIKAHAN DINI
c.
Buku Agama
Islam Sekolah Menengah Atas kelas XII
0 comments:
Post a Comment