Saturday, 31 January 2015

MAKALAH ADAT ISTIADAT



BAB I
PENDAHULUAN

1)      Definisi
Al-Maslahan al mursalah artip mutlak (umum) menurut istilah ulama’ ushul adalah kemaslahana yang spari tidak di buatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syari yang menujukan di anggap atau tidak kemaslahan itu, di sebut mutlah (umum) karna tidak di batasi oleh bukti di anggap atau bukti di sia-siakan seperti kemasalahatan yang di harapkan oleh para sahabat dalam menetapkan adanya penjara, atau mencetak uang atau tanah pertanian. Hasil penaklukan para sahabat di tetapkan sebagia milik dan dengan berkewajiban membayar pajak.
Arti bahwa penetapan suatu hukum itu tiada lain kecuali untuk menerapkan untuk menerapkan untuk kemasalahanta umat manusia yakni menarik suatu manfaat, menolak bahaya atau menghilangkan suatu kesulitan umat manusia.

Kemasalahatan yang dituntut oleh hubungan atau lingkungan dan hal-hal baru setelah tidak ada wahyu, sedangkan syar’I tidak mengharapkan dalam suatu hukum dan tidak ada dalil syara tetang di anggap atau tidaknya kemaslahatan itu, maka itulah yang idsebut sifat sesuai yang universal atau dlam istilah lain di sebut “al-maslahah al mursalah”

2)      Alasan ulama yang menjadikan sebagai tujuan, jumhur ulama, kaum muslimin berpendapat bahwa al maslahah al mursalah adalah hujud syara yang di pakaia landasan penetapan hukum yang tidak ada hukumnya dalam sash, ijma kias atau ihtihsan maka id tetapkan hukum yang di tuntut oleh kemasalahatan hukum, dan penetapan hukum berdasarakan kemaslahatan ini tergantung pada adanya saksi syara dengan anggapannya.
Alasan mereka dalam anggapan ini ada dua :
1.      Kemasalahatanumat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka seandainya hukum tidak di tetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru sesuai dengan perkembangan mereka dan penetapan hukum itu hanay berdasarkan anggapan syar’I saja, maka banyak kemasalahatan dunia/manusia di berbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada.
2.      Orang yang mau meneliti penetapan hukum yang di lakukan para sahabat nabi, tabi’in dan imam mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi menetapkan kemasalahatan umum, bukan karna ada saksi di anggap oleh syar’i
3)      Syarat menjadikannya sebagai huj’ah
Para ulama yang mejadikan al-mushlahah al mursalah sebagai huj’ah sangat berhati-hati dalam menggunakannya, sehingga tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan dan napsu. Oleh karna itu mereka menetapkan tiga syarat dalam menjadikannya sebagai huj’ah
1.      Berupa kemasalahatan yang hakiki, bukan kemasalahatan yang semu, artinya menetapkan hukum syara, itu dalam kenyataannya benar-benar menarik suatu manfaat atau menolak bahaya
2.      Berupa kemaslahatan umum bukan kemaslahatan pribadi artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia tau menolak bahaya dari mereka bukan bagi perorangan atau sebagian kecil dari mereka hukum tidak di tetapkan demi kemaslahatan khusus pimpinan atau pembesar saja, dengan tidak melihat mayoritas manusia dan kemaslahatan mereka, kemaslahatan itu bharus untuk mayoritas umat manusia.
3.      Penetapan hukum untuk kemaslahatan ini tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang di tetapkan nash atau ijma, maka tidak sah di anggap suatu kemaslahatan yang menuntut persamaan hak waris antara naka laki-laki dan anak perempuan kemaslahatan semacam ini sia-sia karna bertentangan nas al-qur’an.
Dari sini jelas bahwa kemaslahatan atau dengan istilah lain sifat sesuai bila ada saksi syara yang menujukan di anggap dengan macam-macam anggapan (seperti yang lalu) di sebut sifat yang dianggap oleh syar’I yakni sesuai yang berpengaruh atau sesuai yang sepadan.
Bila ada saksi syara yang menujukkan batalnya anggapan itu maka di sebut sifat sesuai yang percuma dan jika ada saksi syara yang menujukkan di anggap atau tidak dianggap sifat itu, maka di sebut sifat sesuai yang mutlak dalam istilah lain di sebut Al-Maslahah al mursalah.
4)      Alasan ulama yang tidak berhujah dengna al-maslahah al mursalah
Sebagian ulma umat islam berpendapat bahwa kemaslahata umum itu tidak menjadi dasar penetapan hukum, meskipun tidak ada saksi syara yang menyatakan di anggap atua tidak kemaslahatan itu, mereka menggunakan dua alasan :
1.      Syari’at itu sudah mencakup seluruh kemaslahatan manusia, baik nashiyat maupun dengnaapa yang di tujukan oleh kias karna syar’I tidak akan membiarkan manusia dalam kesiagaan dan tidak membiarkan manusia kemaslahatan yang maupun tanpa memberikan petujuk pembentukan hukum untuk kemaslahatan itu, jadi tidak ada kemaslahatan tanpa ada saksi dari syar’I yang menujukan anggapannya, sedangkan kemaslahatan yang tidak ada saksi di syar’I yang menujukkan anggapannya apda hakekatnya adalah bukan kemaslahtan melainkan kemaslahatan semua yang tidak di boleh di jadikan dasr penetapan hukum.
2.      Penetapan hukum berdasarkan kemasalahatan umum adlaah membuka bahwa napsu manusia, seperti para pemimpin, penguasa, ulama memberika fatwa, sebagaian dari mereka kadang-kadang di katakan oleh keinginan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahwa pendpat sahabat yang tidak dapat di jangkau oleh pikiran manusia dapat di jadikan dalil. Agama marka tidak mengatakan melainakn mendegar rasulullah, umpamanya yang pernah dikatakan oleh zaisyah bahwa janin akan tetap berada.



BAB II
PEMBAHASAN
“AL-URF” (Adat Istiadat)

A.    Pengertian Al-Urf
Al-urf adlaah apa yang dikenal manusia dan menjadi tradisi, baik ucapan perbuatan atau pantangan-pantagan dan disebut jgua adat.
Adat atau (‘urf) menurut pengertian bahsa adalaha kebiasaan yang berlaku dalam perkataan perbuatan/meninggalkan atau meninggalkan perbuatan itu yang sudah menjadi kebiasan orang bayak dan mereka berkata atau berbuat sesuai dengan kebiasaan itu.
Namun menurut istilah para fukaha adat itu terdiri dari 2 macam :
1)      Adat dalam bentuk perbuatan seperti yang berlaku dalam jual beli dengan cara saling memberi (tha’ati) tanpa di sertai dengan ijab kabul
     2)      Adat dalam bentuk perkataan seperti kebiasaan orang melakukan walad hanya untuk anak laki-laki bukan anak perempuan

B.     Macam-macam al’urf
Al-urf (adat) itu adalah dua macam
     1)      Adat yang benar adalah : kebiasaan yang di lakukan manusia tidak bertentangan dengan dalil syari’at tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban seperti adat memninta pekerjaan, adat membagi maskawin 2 di dahulukan dan di lahirkan, adat seorang istir tidak berbulan madu kecuali telah menerima sebagian maskawin dari suaminya dan lain-lain.
      2)      Adat yang rusak adalah : kebiasaan yang di lakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan cara menghalalkan yang haram atau membatalkan kewajiban seperti baynyak kebiasaan mungkar pada saat menghadapi kelahiran, serta kebiasaan memakan barang tiba dan akad perjudian


C.     Hukum al urf
Adat pagi benar wajib  diperhatikan dalam  pembentukan hukum  syara’ dan putusan perkara. Seorang  mujtahid harus memperhatikan ini dalam pembentukan hukum dan bagi hakim juga memperhatikan hal itu dalam setiap keputusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya. Oleh karena itu para ulama’ berkata : adat adalah syari’ah yang dikuatkan dengan hukum.
      Imam malik dalam membina hukum banyak mengambil adat penduduk, kota madinah abu hanifah dan muridnya selalu berbeda pendapat karna berbeda adat, yang berlaku pada masa dan masa muridnya, imam syafi’I ketika sudah berada di bagdad sesuai perubahan, adat pada kedua ktoa sehinggadalam mazhab syafi’i terdapat dua pendapat :
      Dalam mazhab syafi’I banyak di temui ketentuan-ketentuan yang bersumber dari adat yang di antaranya apabila dua orang yang berperkara dan keduanya tidak mampu mengemukakan bukti maka keterangan yang diterima sesuai dengan adat apa bila antara suami istri bersengketa tentang mahar sudah atau belum di serahkan maka di kembalikan kepada adat, kalau seorang bersumpah tidak akan memakan daging tidaklah berdosa kalau ia memakan daging ikan, dan setiap perjanjian di anggap sah. Selama tidak bertentangan dengan syariat islam dan adat yang berlaku.
      Al allamah al marhum ibnu abidin menyusun sebuah kitab yang di beri nama nasyrul araf, filma bunyinya minal ahkami alal urf (semerbak bau harum yang di sadarkan pada kebiasaan) dalam sebuah kata orang bijak.
                          

Di kemas menurut kebiasaannya seperti halnya di tetapkan dalam syarat yang di tetapkan menurut syarat seeprti yang di tetapkan menurut nasyi.
      Hukum yang di dasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan dan tempat, karna masalah baru bisa berubah sebab perubahan maslaah asal oelh karna itu dalam berbeda-beda pendapat para ulama, fiqih berkata, perbedaanitu, ada pada waktu masa bukan pada dalil dan alasan kebiasan secara hakiki, bukan merupakan dalil syara yang tersendiri.
      Adapun adat yang rusak maka tidak boleh di perhatikan karna hukum syara seperti akad pada barang riba atau akad yang mengandung unsur penimpuan maka kebiasaan ini tidak mempunyai pengaruh bahwa akad yang seperit ini tidak di perbolehkan, dalam hukum positip, manusia tidak di akui adanya kebiasaan yang bertentangan dengan hukum dasar atau aturan umum.

D.    Mazhab sahabat
Banyak sahabat yang mampu berijtihad dan telah mengeluarkan fatwa dalam maslaah agama, karna itu banyak para ulama berusaha membukukan fatwa para ulama berusaha membukukan fatwa para sahabat bahkan ada yang mencatatnya pada kumpulan hadits seperti kitab muwatha, imam malik yang berlaku pada mada dan masa muridnya imam syafi’I ketiak sudah berada dimesir banyak merubah pendaptannya ketika masih berada di bagdad sesuai dengan perubahan adat pada kedua kota itu sehingga dalam mazhab syafi’I terdapat dua pendapatan mazhab qadim.
Dalam mazhab hanafi banyak ditemui ketentuan-ketentuan yang bersumber dari adat yagn diantaranya apabila dua orang yang berperkara dan keduanya idak mampu menemukakan bukti maka keterangan yang diterima sesuai dengan adat apabila antara suami istri bersengketa tetang mahar sduah atau belum diserahkan maka dikembalikan kepada adat, kalau seorang berseumbpah tidak akan memakan daging tidaklah berdosa kalau ia memakan daging ikan, dan setiap perjanjian dianggap sah selama tidak bertentangan dengan syariat islam dan adat yang berlaku.
Al-allamah al-marhum ibnu abidin menyusun sebuah kitab yagn diberikan nama nashrul araf, filma bunyinya minal ahami alal urfi (semerbak bau harum dalam hukum yang disandarkan pada kebiasaan) dalam sebuah kata ornag bijak.


“dikenal menurut kebiasaanya seperti halnya ditetapkan dalam syarat yang ditetapkan menurut syarat seperti yagn ditetapkan menurut nasy.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berbuah seiring perubahana waktu dan tempat, karna maslah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal oleh karna itu dalam perbedaan pendapat para ulama fikih berkata, perbedaan itu ada pada waktu dan masa bukan pada dalil dan alasan kebiasan secara hakiki bukan merupakan dalil syara yang tersendiri.
Adapun adat yagn rusak maka tidak boleh diperhatikan karna memperhatikan adat yang rusak berrari menentang dalil syara atau membatalkan hukum syara seperti akad pada barang riba atau akad yagn mengandung unsur penipuan maka kebiasaan ini tidak mempunyai pengaruh bahwa akad seperti ini tidak diperbolehkan, dalam hukum positif manusia tidak diakui adanya kebiasaan yang bertentangan dengan hukum dasar atau aturan umum

E.     Syar’un man qablana
Kalau lqur’an atau sunah yang sahih membicarakan hukum yang di syariatkan kepada umat yang telah lam;au dan di terangkan pula bahwa hukum itu berlaku juga bagi umat islam karna adanya pengakuan dari syariat islam, upaya mengenai hukum puasa yang di terangkan dalam firman Allah :


Artinya :
Hai orang-orang yang beriman di wajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.
Demikian jugakalau di dlaam al-quran atau sunnah di terangkan syari’at umat yang telah mapu dn dijelaskan pula bahwa ketentuan itu di cabut maka dalam hal ini tidak ada perbedaan pendpat bahwa ketentuan itu tidak pula berlaku bagi umat islam dengan alasan bahwa ketentuan dalam syari’at telah mencabutnya.
Upamanya dalam syariat nabi musa bagi orang yang berdosa tidak diampuni dosanya terkecuali ia membunuh dirinya sedniri, pakaian yangkena nakjis tidak dapat disucikan terkecuali dengan dipotong bagian yagn kena najis semua ketentuan itu tidak sesuai lagi dengan syariat islam karna itu telah dihapuskan.
Namun apabila allah dan rasul menerangkan ketentuan syaraiat rasul-rasul yang terdahlu dan tidak dijelaskan bahwa ketentuan itu diwajibkan juga kepada ummat islam/dihapuskan dari syariat islam seperti dalam pirman allah:



Artinya :
Dan kami telah menetapkan terhadap mereka didalam (at-taurat) bahwa sanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, maka dengan mata hidung dengna hidung dengna teliga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisahnya.
Jamruhal ulama dalam mazhab hunafi dan sebagaian ulama dalam mazhab maliki dan syafii mengatakan bahwa ketentuan itu juga berlaku bagiumat islam dan ummat islam wajib melaksanakannya selama tidak ditemukan karna ketentua itu adalah juga syariat allah yang diturunkan kepada para rasul dalam mazhab hanafi hukuman khisas dijatuhkan kepada seorang muslim yang membunuyh yang bukan muslim (zimmi) namun bagian ulama mengatakan ketetntuan itu tidak berlaku untuk ummat islam karna syariat islam mengbuat suruh ketentuan syariat islam yang telah lampau kecuali telah diakui oleh syariat islam.




DAFTAR PUSTAKA

1.      Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih oleh Prop. H. M. Asywadie Syukur, L.L (1990)
2.      Ilmu usul fiqih oleh Prof Dr. Abdul Wahhab Khalllaf (2003)

0 comments:

Post a Comment