BAB I
PENDAHULUAN
1) Definisi
Al-Maslahan al mursalah artip
mutlak (umum) menurut istilah ulama’ ushul adalah kemaslahana yang spari tidak
di buatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syari yang menujukan di
anggap atau tidak kemaslahan itu, di sebut mutlah (umum) karna tidak di batasi
oleh bukti di anggap atau bukti di sia-siakan seperti kemasalahatan yang di
harapkan oleh para sahabat dalam menetapkan adanya penjara, atau mencetak uang
atau tanah pertanian. Hasil penaklukan para sahabat di tetapkan sebagia milik
dan dengan berkewajiban membayar pajak.
Arti bahwa penetapan suatu hukum
itu tiada lain kecuali untuk menerapkan untuk menerapkan untuk kemasalahanta
umat manusia yakni menarik suatu manfaat, menolak bahaya atau menghilangkan
suatu kesulitan umat manusia.
Kemasalahatan yang dituntut oleh
hubungan atau lingkungan dan hal-hal baru setelah tidak ada wahyu, sedangkan
syar’I tidak mengharapkan dalam suatu hukum dan tidak ada dalil syara tetang di
anggap atau tidaknya kemaslahatan itu, maka itulah yang idsebut sifat sesuai
yang universal atau dlam istilah lain di sebut “al-maslahah al mursalah”
2) Alasan ulama yang menjadikan sebagai tujuan, jumhur ulama, kaum
muslimin berpendapat bahwa al maslahah al mursalah adalah hujud syara yang di
pakaia landasan penetapan hukum yang tidak ada hukumnya dalam sash, ijma kias
atau ihtihsan maka id tetapkan hukum yang di tuntut oleh kemasalahatan hukum,
dan penetapan hukum berdasarakan kemaslahatan ini tergantung pada adanya saksi
syara dengan anggapannya.
Alasan mereka dalam anggapan ini ada dua :
1.
Kemasalahatanumat manusia
itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka seandainya hukum tidak di tetapkan
sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru sesuai dengan perkembangan mereka
dan penetapan hukum itu hanay berdasarkan anggapan syar’I saja, maka banyak
kemasalahatan dunia/manusia di berbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada.
2.
Orang yang mau meneliti
penetapan hukum yang di lakukan para sahabat nabi, tabi’in dan imam mujtahid
akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi menetapkan
kemasalahatan umum, bukan karna ada saksi di anggap oleh syar’i
3) Syarat menjadikannya sebagai huj’ah
Para ulama yang mejadikan
al-mushlahah al mursalah sebagai huj’ah sangat berhati-hati dalam
menggunakannya, sehingga tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan
dan napsu. Oleh karna itu mereka menetapkan tiga syarat dalam menjadikannya
sebagai huj’ah
1.
Berupa kemasalahatan yang
hakiki, bukan kemasalahatan yang semu, artinya menetapkan hukum syara, itu
dalam kenyataannya benar-benar menarik suatu manfaat atau menolak bahaya
2.
Berupa kemaslahatan umum
bukan kemaslahatan pribadi artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam
kenyataannya dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia tau menolak
bahaya dari mereka bukan bagi perorangan atau sebagian kecil dari mereka hukum
tidak di tetapkan demi kemaslahatan khusus pimpinan atau pembesar saja, dengan
tidak melihat mayoritas manusia dan kemaslahatan mereka, kemaslahatan itu
bharus untuk mayoritas umat manusia.
3.
Penetapan hukum untuk
kemaslahatan ini tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang di
tetapkan nash atau ijma, maka tidak sah di anggap suatu kemaslahatan yang
menuntut persamaan hak waris antara naka laki-laki dan anak perempuan
kemaslahatan semacam ini sia-sia karna bertentangan nas al-qur’an.
Dari sini jelas bahwa kemaslahatan atau dengan istilah lain sifat
sesuai bila ada saksi syara yang menujukan di anggap dengan macam-macam
anggapan (seperti yang lalu) di sebut sifat yang dianggap oleh syar’I yakni
sesuai yang berpengaruh atau sesuai yang sepadan.
Bila ada saksi syara yang menujukkan batalnya anggapan itu maka di
sebut sifat sesuai yang percuma dan jika ada saksi syara yang menujukkan di
anggap atau tidak dianggap sifat itu, maka di sebut sifat sesuai yang mutlak
dalam istilah lain di sebut Al-Maslahah al mursalah.
4) Alasan ulama yang tidak berhujah dengna al-maslahah al mursalah
Sebagian ulma umat islam berpendapat bahwa kemaslahata
umum itu tidak menjadi dasar penetapan hukum, meskipun tidak ada saksi syara
yang menyatakan di anggap atua tidak kemaslahatan itu, mereka menggunakan dua
alasan :
1.
Syari’at itu sudah mencakup
seluruh kemaslahatan manusia, baik nashiyat maupun dengnaapa yang di tujukan
oleh kias karna syar’I tidak akan membiarkan manusia dalam kesiagaan dan tidak
membiarkan manusia kemaslahatan yang maupun tanpa memberikan petujuk
pembentukan hukum untuk kemaslahatan itu, jadi tidak ada kemaslahatan tanpa ada
saksi dari syar’I yang menujukan anggapannya, sedangkan kemaslahatan yang tidak
ada saksi di syar’I yang menujukkan anggapannya apda hakekatnya adalah bukan
kemaslahtan melainkan kemaslahatan semua yang tidak di boleh di jadikan dasr
penetapan hukum.
2.
Penetapan hukum berdasarkan
kemasalahatan umum adlaah membuka bahwa napsu manusia, seperti para pemimpin,
penguasa, ulama memberika fatwa, sebagaian dari mereka kadang-kadang di katakan
oleh keinginan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama,
bahwa pendpat sahabat yang tidak dapat di jangkau oleh pikiran manusia dapat di
jadikan dalil. Agama marka tidak mengatakan melainakn mendegar rasulullah,
umpamanya yang pernah dikatakan oleh zaisyah bahwa janin akan tetap berada.
BAB II
PEMBAHASAN
“AL-URF” (Adat Istiadat)
A. Pengertian Al-Urf
Al-urf adlaah apa yang dikenal manusia
dan menjadi tradisi, baik ucapan perbuatan atau pantangan-pantagan dan disebut
jgua adat.
Adat atau (‘urf) menurut pengertian
bahsa adalaha kebiasaan yang berlaku dalam perkataan perbuatan/meninggalkan
atau meninggalkan perbuatan itu yang sudah menjadi kebiasan orang bayak dan
mereka berkata atau berbuat sesuai dengan kebiasaan itu.
Namun menurut istilah para fukaha
adat itu terdiri dari 2 macam :
1)
Adat dalam bentuk perbuatan
seperti yang berlaku dalam jual beli dengan cara saling memberi (tha’ati) tanpa
di sertai dengan ijab kabul
2)
Adat dalam bentuk perkataan
seperti kebiasaan orang melakukan walad hanya untuk anak laki-laki bukan anak
perempuan
B. Macam-macam al’urf
Al-urf (adat) itu adalah dua macam
1) Adat yang benar adalah : kebiasaan yang di lakukan manusia tidak
bertentangan dengan dalil syari’at tidak menghalalkan yang haram dan tidak
membatalkan kewajiban seperti adat memninta pekerjaan, adat membagi maskawin 2
di dahulukan dan di lahirkan, adat seorang istir tidak berbulan madu kecuali
telah menerima sebagian maskawin dari suaminya dan lain-lain.
2)
Adat yang rusak adalah :
kebiasaan yang di lakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan cara
menghalalkan yang haram atau membatalkan kewajiban seperti baynyak kebiasaan
mungkar pada saat menghadapi kelahiran, serta kebiasaan memakan barang tiba dan
akad perjudian
C. Hukum al urf
Adat pagi benar wajib
diperhatikan dalam pembentukan
hukum syara’ dan putusan perkara.
Seorang mujtahid harus memperhatikan ini
dalam pembentukan hukum dan bagi hakim juga memperhatikan hal itu dalam setiap
keputusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia
adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya. Oleh
karena itu para ulama’ berkata : adat adalah syari’ah yang dikuatkan dengan hukum.
Imam malik
dalam membina hukum banyak mengambil adat penduduk, kota madinah abu hanifah
dan muridnya selalu berbeda pendapat karna berbeda adat, yang berlaku pada masa
dan masa muridnya, imam syafi’I ketika sudah berada di bagdad sesuai perubahan,
adat pada kedua ktoa sehinggadalam mazhab syafi’i terdapat dua pendapat :
Dalam mazhab
syafi’I banyak di temui ketentuan-ketentuan yang bersumber dari adat yang di
antaranya apabila dua orang yang berperkara dan keduanya tidak mampu
mengemukakan bukti maka keterangan yang diterima sesuai dengan adat apa bila
antara suami istri bersengketa tentang mahar sudah atau belum di serahkan maka
di kembalikan kepada adat, kalau seorang bersumpah tidak akan memakan daging
tidaklah berdosa kalau ia memakan daging ikan, dan setiap perjanjian di anggap
sah. Selama tidak bertentangan dengan syariat islam dan adat yang berlaku.
Al allamah
al marhum ibnu abidin menyusun sebuah kitab yang di beri nama nasyrul araf,
filma bunyinya minal ahkami alal urf (semerbak bau harum yang di sadarkan pada
kebiasaan) dalam sebuah kata orang bijak.
Di kemas menurut kebiasaannya
seperti halnya di tetapkan dalam syarat yang di tetapkan menurut syarat seeprti
yang di tetapkan menurut nasyi.
Hukum yang
di dasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan dan tempat, karna masalah
baru bisa berubah sebab perubahan maslaah asal oelh karna itu dalam
berbeda-beda pendapat para ulama, fiqih berkata, perbedaanitu, ada pada waktu
masa bukan pada dalil dan alasan kebiasan secara hakiki, bukan merupakan dalil
syara yang tersendiri.
Adapun adat
yang rusak maka tidak boleh di perhatikan karna hukum syara seperti akad pada
barang riba atau akad yang mengandung unsur penimpuan maka kebiasaan ini tidak
mempunyai pengaruh bahwa akad yang seperit ini tidak di perbolehkan, dalam
hukum positip, manusia tidak di akui adanya kebiasaan yang bertentangan dengan
hukum dasar atau aturan umum.
D. Mazhab sahabat
Banyak sahabat yang mampu
berijtihad dan telah mengeluarkan fatwa dalam maslaah agama, karna itu banyak
para ulama berusaha membukukan fatwa para ulama berusaha membukukan fatwa para
sahabat bahkan ada yang mencatatnya pada kumpulan hadits seperti kitab muwatha,
imam malik yang berlaku pada mada dan masa muridnya imam syafi’I ketiak sudah
berada dimesir banyak merubah pendaptannya ketika masih berada di bagdad sesuai
dengan perubahan adat pada kedua kota itu sehingga dalam mazhab syafi’I
terdapat dua pendapatan mazhab qadim.
Dalam mazhab hanafi banyak ditemui
ketentuan-ketentuan yang bersumber dari adat yagn diantaranya apabila dua orang
yang berperkara dan keduanya idak mampu menemukakan bukti maka keterangan yang
diterima sesuai dengan adat apabila antara suami istri bersengketa tetang mahar
sduah atau belum diserahkan maka dikembalikan kepada adat, kalau seorang
berseumbpah tidak akan memakan daging tidaklah berdosa kalau ia memakan daging
ikan, dan setiap perjanjian dianggap sah selama tidak bertentangan dengan syariat
islam dan adat yang berlaku.
Al-allamah al-marhum ibnu abidin
menyusun sebuah kitab yagn diberikan nama nashrul araf, filma bunyinya minal
ahami alal urfi (semerbak bau harum dalam hukum yang disandarkan pada
kebiasaan) dalam sebuah kata ornag bijak.
“dikenal menurut kebiasaanya
seperti halnya ditetapkan dalam syarat yang ditetapkan menurut syarat seperti
yagn ditetapkan menurut nasy.
Hukum yang didasarkan pada adat
akan berbuah seiring perubahana waktu dan tempat, karna maslah baru bisa
berubah sebab perubahan masalah asal oleh karna itu dalam perbedaan pendapat
para ulama fikih berkata, perbedaan itu ada pada waktu dan masa bukan pada
dalil dan alasan kebiasan secara hakiki bukan merupakan dalil syara yang
tersendiri.
Adapun adat yagn rusak maka tidak
boleh diperhatikan karna memperhatikan adat yang rusak berrari menentang dalil
syara atau membatalkan hukum syara seperti akad pada barang riba atau akad yagn
mengandung unsur penipuan maka kebiasaan ini tidak mempunyai pengaruh bahwa
akad seperti ini tidak diperbolehkan, dalam hukum positif manusia tidak diakui
adanya kebiasaan yang bertentangan dengan hukum dasar atau aturan umum
E. Syar’un man qablana
Kalau lqur’an atau sunah yang sahih
membicarakan hukum yang di syariatkan kepada umat yang telah lam;au dan di
terangkan pula bahwa hukum itu berlaku juga bagi umat islam karna adanya
pengakuan dari syariat islam, upaya mengenai hukum puasa yang di terangkan
dalam firman Allah :
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman di wajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.
Demikian jugakalau di dlaam al-quran atau sunnah di terangkan syari’at
umat yang telah mapu dn dijelaskan pula bahwa ketentuan itu di cabut maka dalam
hal ini tidak ada perbedaan pendpat bahwa ketentuan itu tidak pula berlaku bagi
umat islam dengan alasan bahwa ketentuan dalam syari’at telah mencabutnya.
Upamanya dalam syariat nabi musa bagi orang yang berdosa tidak diampuni
dosanya terkecuali ia membunuh dirinya sedniri, pakaian yangkena nakjis tidak
dapat disucikan terkecuali dengan dipotong bagian yagn kena najis semua
ketentuan itu tidak sesuai lagi dengan syariat islam karna itu telah
dihapuskan.
Namun apabila allah dan rasul menerangkan ketentuan syaraiat
rasul-rasul yang terdahlu dan tidak dijelaskan bahwa ketentuan itu diwajibkan
juga kepada ummat islam/dihapuskan dari syariat islam seperti dalam pirman
allah:
Artinya :
Dan kami telah menetapkan terhadap mereka didalam (at-taurat) bahwa
sanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, maka dengan mata hidung dengna hidung dengna
teliga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisahnya.
Jamruhal ulama dalam mazhab hunafi dan sebagaian ulama dalam mazhab
maliki dan syafii mengatakan bahwa ketentuan itu juga berlaku bagiumat islam
dan ummat islam wajib melaksanakannya selama tidak ditemukan karna ketentua itu
adalah juga syariat allah yang diturunkan kepada para rasul dalam mazhab hanafi
hukuman khisas dijatuhkan kepada seorang muslim yang membunuyh yang bukan
muslim (zimmi) namun bagian ulama mengatakan ketetntuan itu tidak berlaku untuk
ummat islam karna syariat islam mengbuat suruh ketentuan syariat islam yang
telah lampau kecuali telah diakui oleh syariat islam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih oleh Prop. H. M. Asywadie
Syukur, L.L (1990)
2. Ilmu usul fiqih oleh Prof Dr. Abdul Wahhab Khalllaf (2003)
0 comments:
Post a Comment