BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perlakuan semena-mena terhadap perempuan baik yang ditujukan
terhadap fisik, psikis maupun seksual kiranya telah dikenal sejak berabad-abad
yang lalu atau seusia peradaban manusia. Kekerasan terhadap perempuan dapat
dilakukan oleh siapa saja, baik di lingkungan sendiri (domestik) maupun
lingkungan luas (publik). Namun kekerasan terhadap perempuan yang paling
menyedihkan apabila terjadi di dalam lembaga perkawinan, lembaga yang
disakralkan dan bertujuan luhur.
Oleh karena itu perlu dikaji lebih mendalam tentang kekerasan
suami terhadap istri baik dari sisi hukum islam maupun hukum positif. Baik
hukum islam maupun hukum positif tidak membenarkan terjadinya tindak kekerasan
di dalam rumah tangga. Namun, yang masih menjadi perdebatan adalah makna
kekerasan itu sendiri yang sangat bersifat abstrak dan bergantung kepada
individu dan norma masyarakat. Bentuk-bentuk kekerasan biasanya meliputi
kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, kekerasan psikologis dan
kekerasan berlapis. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dapat dilihat
dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi tetapi
tidak terbatas pada hal-hal sebagai berikut: alkohol dan obat-obatan terlarang,
ekonomi, perselingkuhan, psikologis, pemaham yang keliru terhadap ajaran agama,
adanya pihak ketiga, perilaku istri yang menyimpang. Sedangkan faktor eksternal
dilihat dari budaya masyarakat yang memandang istri sebagai interior dan masih
kurangnya perlindungan hukum. Di samping itu, akar permasalahan kekerasan
umumnya berawal dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pasangan
suami istri baik pra nikah maupun sesudah pernikahan. Padahal Islam telah
mengajarkan hak dan kewajiban bagi keduanya, yang apabila benar-benar dipahami
dan dilaksanakan maka tidak akan ada kekerasan rumah tangga. Keefektifan hukum
Islam sangat tergantung kepada pemahaman dan pelaksanaan ajarannya dengan
kaffah, atau dengan kata lain pada ketaatan masing-masing individu dalam
keluarga sebagai sub sistem dari masyarakat, yang pada akhirnya membentuk suatu
masyarakat anti kekerasan. Sedangkan, efektivitas hukum positif sangat
bergantung kepada peraturan dan penegak hukum yang kemudian memberi pengaruh
kepada masyarakat dan keluarga.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Mengetahui pengertian tentang
kekerasan
2.
Mengetahui faktor penyebab
terjadinya kekerasan
3.
Mengetahui bentuk-bentuk kekerasan
yang menimpa perempuan di mana pelakunya harus diberi sanksi yang tegas
4.
Memahami pandangan Islam terhadap
kekerasan
5.
Teologi anti kekerasan terhadap
perempuan
6.
Relasi suami istri dalam rumah
tangga
1.3.
Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita dapat mengetahui dan
memahami penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan memahami pandangan
Islam dalam menyikapi kekerasan, sehingga kita dapat berbenah diri dimulai dari
sekarang untuk berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah sebagai upaya
terhindar dari kekerasan dan berusaha memecahkan masalah dengan cara yang
bersahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Kekerasan
Kekerasan adalah tindakan-tindakan kriminalitas
(jarimah) yang terjadi pada seseorang. Pengertian kriminalitas atau jarimah
dalam Islam adalah tindakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh
syariat Islam sehingga yang disebut kejahatan adalah perbuatan-perbuatan
tercela (al-qobih) yang ditetapkan oleh hukum syara. Inilah standar penting
untuk menilai apakah perbuatan tersebut termasuk kriminalitas atau tidak.
Dengan demikian dalam pandangan Islam, kejahatan bukanlah persoalan laki-laki
atau perempuan, atau masalah menyetarakan hak laki-laki atau perempuan bukanlah
itu inti persoalan. Menuduh wanita berzina tanpa bukti, dihukum oleh Islam.
Perkara ini termasuk qodzaf, dimana pelakunya bisa dihukum 80 kali cambukan (Q.S.
An-Nur: 4). Sama halnya dengan pelacuran, dianggap tindakan kriminalitas dalam
Islam, di mana wanita yang melakukannya akan diberikan sanksi hukum, demikian
juga lelakinya yang pezina.
Islam tidak memandang apakah korban atau pelakunya
laki-laki atau perempuan. Bukan berarti karena kekerasan itu menimpa wanita,
yang melakukannya tidak dihukum. Baik dia laki-laki atau perempuan siapapun
yang melakukannya akan dihukum. Pelacuran, bagaimana pun tetap perbuatan
tercela, tidak peduli laki-laki atau perempuan. Poligami tidak bisa disebut
kekerasan terhadap wanita. Sebab perkara ini tidak dilarang oleh syariat Islam.
Tapi menyakiti wanita dengan memukulnya sampai terluka adalah merupakan
kekerasan terhadap wanita, baik dia monogamy atau poligami. Karena memukul
wanita sampai dirinya terluka adalah perbuatan melanggar hukum aturan Allah
SWT.
Definisi KDRT sangat luas, yaitu “semua tindakan
terhadap perempuan atau kelompok yang terkoordinasi lain yang mengakibatkan
atau mungkin mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, seksual, ekonomi,
dan atau psikologis, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan seperti itu.
Pemaksaan atau menghilangkan kebebasan secara sepihak, dalam ruang lingkup
rumah tangga.
Banyak tindak kekerasan dapat digolongkan sebagai
kejahatan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, dan pelecehan seksual. Setiap
bentuk kekerasan didefinisikan secara luas sehingga dapat mengakomodasi
berbagai penderitaan yang dialami perempuan atau anak dalam keluarga. Kekerasan
fisik, misalnya, meliputi tindakan yang mengakibatkan rasa sakit, luka, atau
bekas luka di tubuh seseorang, keguguran, pingsan, dan atau kematian. Kekerasan
psikologis adalah tindakan yang mengakibatkan rasa takut, kehilangan percaya
diri, kehilangan kemampuan untuk mengambil tindakan, rasa tidak berdaya, dan
atau penderitaan jiwa serius.
Kekerasan seksual, termasuk pemaksaan seks terhadap
istri, didefinisikan sebagai tindakan pemaksaan seks, pelecehan seks, hubungan
seks yang abnormal dan tidak diinginkan, pemaksaan seks untuk maksud komersial
dan untuk tujuan tertentu.
Kekerasan ekonomi yang dulu dibatasi hanya pada urusan
nafkah kini luas sekali cakupannya, termasuk membatasi atau melarang seseorang
bekerja di dalam atau di luar rumah.
Pelecehan seks, yang selama ini dianggap lumrah, kini
merupakan kejahatan, ini seperti gurauan tidak pantas yang menyakitkan atu
membuat malu, pertanyaan tentang kehidupan seks atau pribadi seseorang,
menyentuh, meremas atau memegang bagian tubuh dengan berbagai cara tanpa izin.
2.2. Faktor Penyebab Kekerasan
terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap wanita adalah bentuk kriminalitas.
Dan kriminalitas adalah bentuk kejahatan. Sementara kejahatan dalam Islam
adalah perbuatan tercela (al qobih) yang ditetapkan oleh hukum syara’, bukan
yang lain. Sehingga apa yang dianggap sebagai tindakan kejahatan terhadap
wanita harus distandarkan pada hukum syara’.
Dengan demikian, sekali lagi perlu ditegaskan,
kejahatan termasuk terhadap wanita, bukanlah perkara gender (jenis kelamin).
Artinya, Islam menjatuhkan sanksi bukan melihat apakah korbannya laki-laki atau
perempuan. Tidak pula melihat apakah pelakunya laki-laki atau perempuan. Tapi
yang dilihat apakah dia melanggar hukum Allah SWT atau tidak. Disinilah
kekeliruan mendasar, dan kelompok Feminis, yang menganggap kejahatan diukur
berdasarkan kepada gender (seks) korban atau pelakunya Mereka membela
pelacuran, karena dianggap korbannya adalah wanita. Sebaliknya mereka menuduh
poligami kekerasan terhadap wanita, dengan anggapan wanita telah menjadi
korbannya.
Di samping itu kejahatan bukan pula sesuatu yang fitri
(ada dengan sendirinya) pada din manusia. Kejahatan bukan pula profesi yang
diusahakan oleh manusia, juga bukan penyakit yang menimpa manusia. Tapi
kejahatan adalah setiap hal yang melanggar peraturan Allah SWT, siapapun pelakunya.
Sehingga dalam Islam homoseksual adalah kejahatan. Tidak bisa dikatakan sifat
homoseksual adalah fitri atau penyakit jiwa, sehingga dimaklumi keberadaannya.
Tapi homoseksual adalah tindakan seksual yang menyimpang dan syariat Islam.
Pelacuran atau artis dangdut yang merangsang, tetap merupakan kejahatan dalam
Islam. Tidak bisa dengan alasan ini profesi saya, kemudian hal itu dilegalkan.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan
tindakan kriminalitas, termasuk terhadap wanita. Pertama, faktor individu.
Tidak adanya ketakwaan kepada Allah bisa mendorong seseorang untuk melanggar
hukum syara. Karena itu Islam mengingatkan pentingnya ketakwaan individu
seseorang.
Kedua, faktor sistemik. Kejahatan sekarang ini
tidaklah berdiri sendiri. Bisa faktor ekonomi, orang merampok karena lapar atau
mencari uang untuk istrinya yang hamil. Bisa juga faktor politik, seperti
kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan alasan memerangi pemberontak atau
terorisme. Bisa juga muncul dan pengaturan hubungan pria dan wanita yang salah.
Seperti pergaulan bebas, telah menyebabkan munculnya perzinaan. Dapat pula
faktor hukum (sanksi) yang tidak membuat orang jera melakukan kejahatan.
Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan.
Untuk persoalan sistemik ini, dibutuhkan penerapan
hukum syara yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan.
Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak
diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi.
Kekerasan dalam rumah tangga juga, kalau hanya dilihat dan istri harus mengabdi
kepada suami pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat
baik kepada istri. Kekerasan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti
fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya Daulah
Khilafah Islam yang akan menerapkan hukum syara secara kaffah dan menyeluruh.
2.3. Bentuk-bentuk Kekerasan
yang Menimpa Perempuan
Berdasarkan syariat Islam ada beberapa bentuk
kekerasan atau kejahatan yang menimpa wanita di mana pelakunya harus diberikan
sanksi yang tegas. Namun sekali lagi perlu ditegaskan kejahatan ini bisa saja
menimpa laki-laki, pelakunya juga bisa laki-laki atau perempuan. Berikut ini
beberapa perilaku jarimah dan sanksinya menurut Islam terhadap pelaku:
1.
Qadzaf, yakni melempar tuduhan.
Misalnya menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa
diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 kali cambukan. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT: “San orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan
yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka
deralah 80 kali.” (Q.S. An-Nur [24]: 4-5).
2.
Membunuh, yakni ‘menghilangkan’
nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qishos (hukuman mati).
Firman Allah SWT: Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh.” (Qs. al-Baqarah [2] : 179)
3.
Mensodomi, yakni menggauli wanita
pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Dan Ibnu
Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda: Allah tidak akan melihat seorang
laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada
duburnya.” Sanksi hukumnya adalah tazir, berupa hukuman yang diserahkan
bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama
terjadi.
4.
Penyerangan terhadap anggota
tubuh. Sanksi hukumnya adalah kewajiban membayar diyat (100 ekor unta),
tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerang terhadap lidah dikenakan sanksi
100 ekor unta, 1 biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta), satu kaki 1/2 diyat, luka
yang sampai selaput batok kepala 1/3 diyat, luka dalam 1/3 diyat, luka sampai
ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, setiap jari kaki dan tangan 10 ekor
unta, pada gigi 5 ekor unta, luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta
(lihat Nidzam al-‘Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).
5.
Perbuatan-perbuatan cabul seperti
berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya)
dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Kalau wanita
itu adalah orang yang berada dalam kendalinya, seperti pembantu rumah tangga,
maka diberikan sanksi yang maksimal
6.
Penghinaan. Jika ada dua orang
saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, maka
keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun (lihat Nidzam al-’Uqubat,
Syaikh Dr. Abdurrahnian al-Maliki).
Jarimah vs Ta’dib
Dalam konteks rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan
memang seringkali terjadi, baik yang menimpa istri, anak-anak, pembantu rumah
tangga, kerabat ataupun suami. Misal ada suami yang memukuli istri dengan
berbagai sebab, ibu yang memukul anaknya karena tidak menuruti perintah orang
tua, atau pembantu rumah tangga yang dianiaya majikan karena tidak beres
menyelesaikan tugasnya. Semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga itu pada
dasarnya harus dikenai sanksi karena merupakan bentuk kriminalitas (jarimah).
Perlu digarisbawahi bahwa dalam konteks rumah tangga,
suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya agar taat kepada
Allah SWT. Hal ini sesuai firman Allah SWT yang artinya: “Wahai orang yang beriman
jagalah dirimu dan keluargamu dan api neraka...” (Q.S. at-Tahrim [66]: 6).
Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa dilakukan dengan
“pukulan”. Nah, “pukulan” dalam konteks pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan
dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas.
Kaidah itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan
pukulan yang menyakitkan, apalagi sampai mematikan; pukulan hanya diberikan
jika tidak ada cara lain (atau semua cara udah ditempuh) untuk memberi
hukuman/pengertian; tidak boleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh memukul lebih dan tiga kali pukulan (kecuali sangat terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul anak di bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya, dll.
hukuman/pengertian; tidak boleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh memukul lebih dan tiga kali pukulan (kecuali sangat terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul anak di bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya, dll.
Dengan demikian jika ada seorang ayah yang memukul
anaknya (dengan tidak menyakitkan) karena si anak sudah berusia 10 tahun lebih
namun belum mengerjakan shalat, tidak bisa dikatakan ayah tersebut telah menganiaya
anaknya. Toh sekali lagi, pukulan yang dilakukan bukanlah pukulan yang
menyakitkan, namun dalam rangka mendidik.
Demikian pula istri yang tidak taat kepada suami atau nusyuz, misal tidak mau melayani suami padahal tidal ada uzur (sakit atau haid), maka tidal bisa disalahkan jika suami memperingatkannya dengan “pukulan” yang tidak menyakitlan. Atau istri yang melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga karena disibukkan berbagai urusan di luar rumah, maka bila suami melarangnya Ia luar rumah bukan berarti bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bukan berarti suami telah menganiaya istri melainkan justru untuk mendidik istri agar taat pada syariat.
Semua itu dikarenakan istri wajib taat kepada suami selama suami tidak melanggar syara’. Rasulullah SAW menyatakan: “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dan pintu mana saja yang engkau sukai.” [HR. Ahmad 1/191, di-shahih-kan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ No 660, 661)
Demikian pula istri yang tidak taat kepada suami atau nusyuz, misal tidak mau melayani suami padahal tidal ada uzur (sakit atau haid), maka tidal bisa disalahkan jika suami memperingatkannya dengan “pukulan” yang tidak menyakitlan. Atau istri yang melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga karena disibukkan berbagai urusan di luar rumah, maka bila suami melarangnya Ia luar rumah bukan berarti bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bukan berarti suami telah menganiaya istri melainkan justru untuk mendidik istri agar taat pada syariat.
Semua itu dikarenakan istri wajib taat kepada suami selama suami tidak melanggar syara’. Rasulullah SAW menyatakan: “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dan pintu mana saja yang engkau sukai.” [HR. Ahmad 1/191, di-shahih-kan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ No 660, 661)
Namun di sisi lain, selain kewajiban taat pada suami,
wanita boleh menuntut hak-haknya seperti nafkah, kasih sayang, perlakuan yang
baik dan sebagainya. Seperti firman Allah SWT: “Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Qs. al-Baqarah
[2]: 228)
2.4. Pandangan Islam Terhadap
kekerasan dalam Rumah Tangga
Pandangan seperti mi, tentu saja juga didasarkan pada
banyak teks-teks hadits Nabi Muhammad SAW. Di antaranya:
Dalam riwayat Bahz bin Hakim bin Muawiyah, bahwa
kakeknya bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah, apa hak isteri kita, dan
apa yang boleh kita lakukan dengannya dan apa yang tidak boleh dilakukan? Nabi
menjawab: “Kamu berhak menggauli istrimu bagaimanapun cara yang kamu suka, kamu
harus memberi makan dari yang kamu makan, memberinya pakaian seperti yang kamu
pakai, jangan mencemooh muka istri dan jangan memukulnya.” (Hadits Riwayat Imam
Abu Dawud, lihat: Ibn al-Atsir, Juz VII, hlm. 329, Nomor Hadits: 4717).
Iyas bin Ibdillah bin Abi Dzubab ra berkata: “Bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian memukul para perempuan!”. Lalu
datang Umar ra kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Para
istri itu nanti berani (melawan) suami mereka, berikan kami izin untuk tetap
memukul mereka”. Tetapi kemudian banyak sekali perempuan yang mendatangi
keluarga Rasulullah SAW, mengadukan perilaku suami mereka. Maka Rasulullah saw
pun bersabda, “Sesungguhnya banyak perempuan mendatangi keluarga Muhammad
sambil mengadukan perilaku suami mereka. Mereka (para suami yang memukul
isteri) itu bukanlah orang-orang yang baik”. (Riwayat Abu Dawud) (lihat: Ibn al-Atsir,
juz VII hal. 330, no. hadits: 4719).
Riwayat lain, dalam hadits Bukhari, Muslim, dan
at-Turmudzi, dan ‘Abdullah bin Zam’ah, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu memukul isterinya, layaknya
seorang hamba saja, padahal di penghujung hari, Ia mungkin akan menggaulinya.”
(Hadits Riwayat Imam Bukhari, lihat: Shahih Bukhari, Kitab al-Nikah, Ma Yakrahu
li dharb al-Nisa’, Nomor Hadits: 4805).
Ini peringatan yang tegas dan Nabi SAW agar suami
tidak memukul isterinya. Karena masih banyak cara dan media lain, yang tidak
mencederai kemanusiaan perempuan. Tidak sekadar berbicara, Nabi SAW memiliki
teladan baik dengan melaksanakan pandangannya itu. Selama hidup berumah tangga,
Nabi tidak pernah sekalipun memukul isteri-isterinya. Padahal, perbedaan di antara Nabi dan
isteri-isterinya kerap terjadi dan beberapa di antaranya menimbulkan ketegangan
hubungan suami-isteri. Namun, Nabi tak sekalipun menempuh cara kekerasan, baik
kekerasan fisik, perkataan, psikis, seksual, maupun ekonomi. Seperti yang
diceritakan ‘Aisyah ra, dalam suatu hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dan
Imam Abu Diwud:
“Bahwa Rasulullah tak pernah memukul pembantu dan
tidak juga perempuan.” (Hadits Riwayat Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab al-Adab,
Fi al-Tajawuz fi al-Amri, Nomor Hadits: 4154)
Nabi sendiri bersedia bersabar ketika menghadapi berbagai perbedaan dan
perlakuan dan isterinya. Bahkan, Nabi memberikan kesempatan kepada mereka untuk
mengekspresikan keinginan mereka, memberikan masukan, dan menentukan pilihan
yang sesuai dengan harapan mereka. Tanpa ada kata-kata penghinaan, pelecehan,
menghardik, apalagi ucapan-ucapan keji dan kotor, Nabi menghadapi mereka dengan
kesabarannya.
Dari beberapa teks hadits ini, dengan jelas bisa
ditegaskan bahwa kekerasan sama sekali tidak sesuai dengan perilaku, nasehat,
dan peringatan Nabi SAW. Pemukulan atau segala bentuk periaku kekerasan lain
adalah bertentangan dengan prinsip pergaulan yang baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf),
tidak sesuai dengan anjuran penghinaan terhadap perempuan (ma akramahunna illa
karim), dan pelanggaran terhadap wasiat Nabi SAW untuk berbuat baik terhadap
perempuan (istawshu bin nisa’i khairan). Lebih dahsyat lagi, mereka yang memukul
isterinya, dijuluki oleh Nabi SAW sebagai orang-orang yang jahat dan busuk
(laysa ula’ika bi khiyarikum). Memukul isteri, apapun alasannya, adalah
bertentangan dengan anjuran, harapan, dan perilaku sehari-hari Nabi SAW
terhadap para isterinya. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa pemukulan
bukanlah solusi tepat bagi pendidikan, apalagi pendidikan bagi orang dewasa,
seperti isteri. Oleh karena itu, wajar apabila Nabi saw dalam banyak kesempatan
sering menyindir orang-orang.
Bahz bin Hakim bin Mu’awiyah berkata, bahwa kakeknya
bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah, apa hak isteri kita, dan apa yang
boleh kita lakukan dengannya dan apa yang tidak boleh dilakukan? Nabi menjawab:
“Kamu berhak menggauli isterimu bagaimanapun cara yang kamu suka, kamu harus
memberi makan dari yang kamu makan, memberinya pakaian seperti yang kamu pakai,
jangan mencemooh muka istri dan jangan memukulnya.” (Sunan Abu Dawud, Lihat:
Ibn al-Atsir, Jami’ al-Ushul, Juz VII, hlm. 329, Nomor Hadits: 4717).
Kekerasan terhadap perempuan, dalam bentuk apapun
adalah tindak kedzaliman yang diharamkan dan bertentangan dengan prinsip
kerahmatan. Untuk mereduksi kejahatan kekerasan ini, Islam menawarkan konsep keadilan
relasi antara laki-laki dan perempuan. Pada relasi
suami-istri misalnya, Islam menegaskan konsep ‘pasangan’ atau zawaj, yang satu adalah pakaian bagi yang lain: melengkapi, menutupi, menentramkan dan membahagiakan. Jika relasi yang adil ini terbangun dalam kehidupan rumah tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dihindari. Karena kekerasan, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi pada dasarnya adalah cermin ketidakrukunan keluarga akibat relasi yang timpang, relasi yang tidak adil, di antara mereka, dan itu dilarang oleh ajaran Islam.
suami-istri misalnya, Islam menegaskan konsep ‘pasangan’ atau zawaj, yang satu adalah pakaian bagi yang lain: melengkapi, menutupi, menentramkan dan membahagiakan. Jika relasi yang adil ini terbangun dalam kehidupan rumah tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dihindari. Karena kekerasan, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi pada dasarnya adalah cermin ketidakrukunan keluarga akibat relasi yang timpang, relasi yang tidak adil, di antara mereka, dan itu dilarang oleh ajaran Islam.
Kekerasan Bukan Media Pendidikan. Dalam beberapa buku
fiqh, terutama yang membicarakan secara khusus mengenai hak dan kewajiban suami-istri,
ada penegasan bahwa seorang suami diperbolehkan memukul istri, ketika terjadi
kasus-kasus tertentu; seperti nusyuz, meninggalkan kewajiban agama, berbuat
kemungkaran, atau melakukan sesuatu yang mencederai martabat suami. Pemukulan
ini diperbolehkan sebagai media pendidikan, bukan sebagai hak mutlak yang kapan
pun dan di mana pun bisa dilakukan suami.
Kebolehan ini didasarkan pada ayat 34 dan surat an-Nisa dan beberapa
teks hadits. Di antaranya, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Jika si istri
melakukan perbuatan keji yang nyata, maka kamu (suami) bisa melakukan sesuatu
terhadap mereka, dengan meninggalkan tidur bersama mereka, atau memukul yang
tidak mencederai. Jika mereka taat kepadamu (tidak lagi melakukan perbuatan
keji itu), maka janganlah kamu mencari-cari alasan (untuk berbuat aniaya)
terhadap mereka”. (Riwayat Muslim, Lihat: Ibn al-Atsir, juz VII, hal. 328-329,
no. hadits: 4716)
Dalam Mazhab Hanafi, seperti dikatakan Syekh Abdul
Qodir ‘Audah, pemukulan hanya diperbolehkan jika seorang suami sudah melakukan
tahapan-tahapan; memberi nasihat dan berpisah ranjang. Dia tidak diperkenankan
menggunakan media pemukulan, langsung tanpa diawali dengan nasihat baik. Jika
suami melakukannya, maka ia telah melampaui batas, berdosa dan bisa diminta
pertanggung-jawaban atau diajukan ke pengadilan. Pemukulan juga tidak diperkenankan
sampai mencederai dan atau melukai tubuh perempuan. Karena pemukulan yang
seperti ini, bukanlah pemukulan sebagai media pendidikan, tetapi sudah
merupakan penyiksaan. Karena itu, bisa diajukan ke pengadilan. (lihat: Abdul
Qadir ‘Audah; at-Tasyri’ al-Jinai’ fi at-Tasyri’ ai-Islami, juz I, halaman 413-418).
Sebelumnya, Imam ‘Atha - (w. 126 H / 744 M) salah
seorang ulama pada masa tabi’in - berpandangan bahwa memukul istri itu hukumnya
makruh dan tidak patut untuk dijadikan media pendidikan; apapun alasan yang ada
di benak suami. Pandangan ini didasarkan pada teks-teks hadits yang secara
eksplisit melarang seseorang memukul perempuan. (Lihat: Ibn ‘Arabi, Ahkim
al-Qur’an, Juz I, hlm. 420) . Dan ulama kontemporer, Syaikh Muhammad Thahir Ibn
‘Asyur, seorang ulama besar pemimpin Jaini’ah Zaitunah Tunisia, menyatakan bahwa wewenang
memukul istri diberikan kepada suami demi kebaikan kehidupan rumah tangga.
Ketika pemukulan tidak lagi bisa efektif untuk memulihkan kehidupan rumah
tangga yang baik, maka wewenang itu bisa dicabut. Bahkan, pemerintah bisa
melarang tindakan pemukulan itu dan menghukum mereka yang tetap menggunakan
pemukulan sebagai media pemulihan hubungan suami-isteri.
2.5. Teologi Anti Kekerasan
terhadap Perempuan
Jika melihat kekerasan sebagai kekerasan, apalagi
dampak yang diakibatkan, hampir bisa dipastikan semua orang menolak dan
menganggapnya sebagai suatu kejahatan kemanusiaan. Dalam bahasa agama Islam,
kekerasan adalah suatu kedzaliman dan kemudharatan yang pasti diharamkan. Kekerasan
adalah tindakan menyakiti, mencederai dan membuat orang lain berada dalam
kesulitan. Dan semua ini adalah haram.
Perbincangan akan berbeda jika kekerasan dilakukan
sebagai alat pertahanan dan serangan, atau sebagai media pendidikan dan
seseorang yang dinobatkan sebagai pendidik kepada seseorang yang dijadikan
sebagai anak didik. Peperangan misalnya, sebagai suatu kekerasan yang paling
dahsyat, banyak memperoleh legitimasi jika merupakan pertahanan dan serangan
atau kemungkinan suatu penyerangan. Sekalipun, tidak sedikit juga yang saat ini
mempertanvakan efektifitas peperangan untuk membangun peradaban perdamaian.
Sementara kekerasan verbal dan atau fisik, saat ini masih banyak diadopsi oleh
negara terhadap rakyat, orang tua terhadap yang lebih muda, guru terhadap
murid, pelatih terhadap yang dilatih, atau suami terhadap istri, semua dengar
alasan untuk mendidik. Sekalipun, tentu saja sudah sedemikian banyak yang menentang
media kekerasan sebagai pendidikan.
Logika pertahanan, nampaknya tidak relevan dijadikan
dasar untuk memahami fenomena kekerasan yang dialami perempuan. Karena dalam
masyarakat kebapakan, hampir tidak ada anggapan bahwa perempuan adalah sosok
yang mengancam dan akan menyerang, sehingga seseorang perlu mempertahankan diri
dengan menyerang melakukan kekerasan terlebih dahulu kepada perempuan. Bisa
dipastikan, bahwa fenomena kekerasan terhadap perempuan, tidak bisa dipahami
sebagai strategi pertahanan. Karena itu, hampir tidak bisa ditemukan, pandangan
keagamaan yang membolehkan tindakan tertentu yang bisa berupa kekerasan
terhadap perempuan, dengan alasan pertahanan diri dan serangan.
Yang lazim diperbincangkan adalah bahwa perempuan
harus dididik sekalipun pada akhirnya dengan media kekerasan untuk selalu
berada pada nilai-nilai keluhuran. Pada konteks relasi suami-istri misalnya,
perempuanlah yang harus diluruskan suami agar kembali pada keutuhan perkawinan.
Perempuan dididik, diberi nasihat, dipisah dari ranjang atau kamar, dihardik
bahkan boleh dipukul; agar mereka tetap patuh dan berada pada kehidupan perkawinan
ideal. Asumsinya, perempuanlah yang bersalah, karena itu harus diberi pelajaran
oleh suami. Padahal, bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya. Suami yang
menjadi penyebab. Tetapi pada konteks ini, perempuan tidak punya wewenang untuk
mendidik dengan media kekerasan. Marah atau suara keras pun tidak
diperkenankan. Mungkin perempuan hanya boleh memberi nasihat lalu kemudian
bersabar.
Dengan demikian, membicarakan fenomena Kekerasan yang
menimpa perempuan bisa dijelaskan dalam dua pembahasan. Pertama, kekerasan
sebagai tindak kedzaliman dan kemudharatan. Dan ini diharamkan secara bulat
oleh seluruh ulama Islam. Kedua, kekerasan sebagai media pendidikan. Dan ini
yang perlu didiskusikan lebih lanjut dengan perspektif yang lebih memihak
kepada perempuan.
Kekerasan adalah Kedzaliman. Secara prinsip, Islam adalah
agama yang mengharamkan segala bentuk tindakan menyakiti kepada diri sendiri
atau kepada orang lain; baik secara verbal maupun tindakan nyata terhadap salah
satu anggota tubuh. Secara konseptual, misi utama kenabian Muhammad SAW adalah
untuk kerahmatan bagi seluruh alam. Kekerasan, sekecil apapun bertentangan secara
diametral dengan misi kerahmatan
yang diemban. “Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk (menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam”. (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107)
yang diemban. “Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk (menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam”. (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107)
Prinsip kerahmatan ini secara konseptual menjadi dasar
peletakan pondasi pembahasan hukum Islam dan bangunan etika da1am bangunan
etika dalam berelasi antar sesama. Seperti perlunya berbuat baik, memberikan
manfaat, saling membantu, pengaharaman menipu, pelarangan tindak kekerasan, dan
pernyataan perang terhadap segala bentuk keczaliman. Bentuk-bentuk kekerasan
apapun bisa dikategorikan sebagai tingakan kdzaliman, yang bertentangan dengan
misi kerahmatan.
“Tidak (demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan
diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya
dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka sedih hati.”
(Q.S. Al-Baqarah [2] :112)
‘Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al-A’raf [7];56)
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat
dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu
mendapat azab yang pedih”. (Q.S. asy-Syura [42]: 42)
“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliman terhadap
diri-Ku, dan Aku jadikan kedzaliman itu juga haram di antara kamu, maka
janganlah kamu saling mendzalimi satu sama lain.” (Hadis Qudsi, Sahih Muslim, kitab
al-Birr wa ash-Shilah wa al-Adab, no. Hadits: 4674)
“Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara satu dengan
yang lain, karena seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain, tidak
diperkenankan mendzalimi, menipu, atau melecehkannya.” (Sahih Muslim, no.
hadits: 2564)
Prinsip kerahmatan dan anti kedzaliman menjadi basis
dan relasi sosial dalam kehidupan manusia. Itu sebabnya, segala tindak
kekerasan seseorang terhadap yang lain adalah haram. Sebaliknya, setiap orang
harus saling berbuat balk dan membantu satu sama lain. Yang kuat, misalnya,
membantu yang lemah. Yang kaya membantu yang miskin, yang berilmu memberikan
ilmu kepada yang tidak berilmu dan seterusnya. Prinsip ini juga menjadi basis
bagi ajaran mengenai hubungan suami dan isteri. Karena itu, al-Qur’an
mengumpamakan keduanya laksana pakaian bagi yang lain. Suami adalah pakaian
bagi isteri. Begitu juga sebaliknya, isteri adalah pakaian bagi suami.
Sebagaimana pakaian, yang satu adalah pelindung bagi yang lain. Tidak boleh ada
kesewenang-wenangan oleh pihak yang satu terhadap yang lain, karena
kesewenang-wenangan adalah tindakan biadab yang mencederai prinsip kerahmatan
Islam dan konsep pasangan suami-istri yang digariskan al-Qur’an.
Secara tegas, surat an-Nisa
ayat 19 menegaskan pentingnya berbuat baik antara suami dan istri ban surat ath-Thalaq ayat ke-6
melarang keras perlakuan kekerasan, kemudharatan terhadap istri, termasuk
mempersempit ruang gerak mereka. Perintah berbuat balk dan larangan kekerasan terhadap perempuan, juga bisa kita jumpai dalam banyak wasiat Nabi Muhammad SAW.
mempersempit ruang gerak mereka. Perintah berbuat balk dan larangan kekerasan terhadap perempuan, juga bisa kita jumpai dalam banyak wasiat Nabi Muhammad SAW.
Dan Amr bin al-Ahwash ra, bahwasanya dia mendengar
Rasulullah SAW pada Haji Wada’ bersabda setelah mengawali dengan hamdalah,
nasehat-nasehat dan kisah, baginda bersabda: “Ingatlah, aku wasiatkan kalian
untuk berbuat baik terhadap perempuan, karena mereka sering menjadi sasaran
pelecehan di antara kalian, padahal kalian tidak berhak atas mereka, kecuali
berbuat baik”.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Orang yang paling sempurna imannya di antara kamu, adalah orang yang paling
baik akhlaknya. Dan orang yang terbaik di antara kamu, adalah mereka yang
berbuat baik terhadap istri mereka”. (Sunan at-Turmudzi, kitab Ar-radha’, bab
ma ja’a fi haqq al-mar’ah ‘ala zawjiha)
2.6. Relasi Suami-Istri dalam
Rumah Tangga
Kehidupan rumad tangga adalah dalam kontes menegakkan
syariat Islam, menuju ridho Allah SWT. Suami dan istri harus saling melengkapi
dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat
takwa. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dan yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat
oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At-Taubah
[9]: 1)
Sejalan dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas antara
suami dan istri, dan tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami
berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Sebaliknya,
suami memiliki Kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan
nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang makruf.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. an-Nisa [4]: 19: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dan apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah denqan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 19) Nash ini merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli istri—lstri mereka secara ma’ruf. Menurut ath-Thabari, ma’ruf adalah menunaikan hak-hak mereka. Beberapa mufassir menyatakan bahwa ma’ruf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; mernperbagus ucapan dan perbuatan. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri istrinya, selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. an-Nisa [4]: 19: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dan apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah denqan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 19) Nash ini merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli istri—lstri mereka secara ma’ruf. Menurut ath-Thabari, ma’ruf adalah menunaikan hak-hak mereka. Beberapa mufassir menyatakan bahwa ma’ruf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; mernperbagus ucapan dan perbuatan. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri istrinya, selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan.
Jika masing-masing, baik suami maupun istri menyadari
perannya dan melaksanakan hak Dan kewajiban sesuai syariat Islam, niscaya tidak
dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan karena biduk rumah
tangga dibangun dengan pondasi syariat Islam, dikemudikan dengan kasih sayang
dan diarahkan oleh peta iman. Wallahu’alam bi shawab.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.
Kekerasan yaitu tindakan-tindakan
kriminalitas (jarimah) yang terjadi pada seseorang. Pengertian kriminalitas
(jarimah) dalam Islam adalah tidakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan
oleh syariat Islam.
2.
Faktor penyebab terjadinya
kekerasan terhadap perempuan
-
faktor individu, dengan tidak
adanya ketakwaan kepada Allah bisa mendorong seseorang melanggar hukum syara’.
-
Faktor sistemik yaitu berupa
berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan
nilai-nilai ruhiah dan menafikan perlindungan atas eksistensi manusia.
3.
Beberapa perilaku jarimah dan
sanksinya menurut Islam
1)
Qadzaf, yakni melempar tuduhan
2)
Membunuh, yakni menghilangkan
nyawa seseorang
3)
Mensodomi yakni menggauli wanita
pada duburnya
4)
Penyerangan terhadap anggota tubuh
5)
Perbuatan-perbuatan cabul
6)
Penghinaan.
4.
sebagai umat Islam kita harus
menjadikan Nabi SAW sebagai teladan (uswah hasanah) semestinya tidak pernah
berpikir untuk memukul perempuan seperti yang tidak pernah Nabi lakukan, tidak
membiarkan siapapun untuk memukul perempuan seperti yang tidak pernah Nabi
biarkan, apalagi menganjurkan pemukulan dengan alasan dalil agama. Nabi tegas memandang
mereka yang memukul perempuan sebagai orang yang tidak bermoral.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif,
Rudyanto. 2006. Pandangan Islam terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga.
http://.www.mail.archieve.com/wanita.muslimah@yahoo group.com/msg/4828.html
Ma’ruf, Farid.
2008. kekerasan Terhadap Wanita.
http://baitijanati.wordpress.com/2008/01/14/kekerasan_terhadap_wanita_Bukan_Perkara_gender
Munir, Lili
Zakiyah. 2007. Stop Kekerasan Terhadap Perempuan.
http://www2.kompas.com/kompas_cetak/0511/26/swara/222846/.html
Syahputra,
Akmaluddin. 2008. Kajian hukum Islam dan Hukum Positif tentang Tindak Kekerasan
Suami terhadap Istri.
0 comments:
Post a Comment