Cengkerama Ceria Cinta
Orang
Cinta tak kenal merana tak pula papa,
kencan
dan berpacaran saja urusannya
bermunajat
dengan kepala terbalik dan bibir di toilet,
mata penuh tangis tangis darah perawan
kepala
senantiasa berada di kubangan pun di selokan pula,
bibirnya dipenuhi dengan bekas kecupan
Orang
Cinta mana kenal derita mana pula lara,
sungguh Wajah Kekasih dan Bibirnya Yang
Mendayu Merah dalam hatinya telah bersemayam
Bulan madu di atas
pelangi, badan terasa mengawang-awang, dan bersama Ia, Sang Maha Jelita (al-jamiil) peCinta asyik ma`syuk. Allahu Akbar. Maha Besar Engkau Duhai
Kekasih dalam KejelitaanMu, KeanggunanMu, KelembutanMu, KeSayanganMu. Sungguh
sejadah ini adalah peraduanMu, dan tubuh
jasmani- “ku” nan amat rapuh dan keropos ini adalah kendaraan bulan maduMu di
mana keJelitaanMu memukauku dalam kemahafaqiran dan kemahadho`ifan
‘kesegalaanku” di alam yang penuh tarabir ini. Sungguh dengan Fatihah, sorot indah cahaya KejelitaanMu
Yang Tak terperikan berpendaran, Pujilah diriMu dengan Puja PujiMu dan jadikan
aku sepercikan zarrah PujiMu atas JelitaMu, sungguh tak perlu Kau, duhai
Laylaku atas semua puji, karena diriMu, jelitaMu, molekMu, indah tahi-lalatMu
adalah SeIndah-Indah Puji dan Sesempurna-sempurna Puja. Qulhu yang selalu mengantar
ke awang-awang tinggi, Kau-lah Sang Maha Dia, KejelitaanMu Tak Terperikan oleh apa-pun melainkan
Larik-Larik KemahajelitaanMu sendiri.
Bestari tak kan ungkap
luas bahari dengan sungai, maupun danau
Mentari tak kan singkap
terangnya sendiri dengan lilin, maupun kunang
tak kuasa ucap apapun,
tangan pun di iris, para gadis karena Yusuf berandai, mereka terpukau
tak hendak ungkap apa
pun, hati bergeletar bak belibis, JelitaMu adalah JelitaMu, Wamiz berdendang
Kehidupan ini bagi
peCinta hanyalah kencan dan berpacaran. Ditemani seorang Gadis Gemulai Yang
MahaJelita, desahannya membuat hati berbunga-bunga. Ia senentiasa Diam seribu
bahasa, amat sedikit bicaranya, membuat Pandang MataNya semakin menenung. Ia
senantiasa Dekat dan duduk di sisiku, membuat purnama tampak tak terlalu
terang, dan aku semakin suka suasana remang. Duhai Jelitaku, Kau lah
satu-satunya keceriaan yang berlimpah, tak kuasa aku menatap WajahMu yang Maha
Jelita ke segala arah, juga BibirMu Yang Demikian Indah Memerah, tak kuasa aku mendengar
Cengkerama DiamMu yang membuat jiwaku melayang dalam alam misteri yang demikian
dalam.
Bermunajat
dengan kepala terbalik,
sujud , dengan bibir di toilet, lisan pun hati pun percaya diri pun
terlebur dalam lautan kefaqiran yang teramat asin. Ketakpunyaan apa pun di
depan Kekasih. Tak membawa emas, tak juga mutiara, tak juga perak. Tak membawa
amal, tak pula iman, tak juga ihsan. Tak membawa ketulusan, tak juga keikhlasan
juga niat.Semua apa yang kuucapkan padaMu duhai Kekasih, adalah keluar dari bibir
yang busuk dan lisan yang durhaka pula hati yang mahaegois. Tiada ketulusan apa
pun dari aku si durjana ini, karena itu kubenturkan kepalaku yang penuh dengan
makar dan senantiasa liar ini ke tanah, oh alangkah baiknya bila kulenyap saat
ini, daripada menanggung malu di depan Kekasih.
Bedak dan gincu adalah topeng , bagi Laila Sang Maha Ranum
puji dan puja - ku pada Mu, bak toilet yang hendak
mewangikan parfum
Mata
penuh tangis darah perawan,
penglihatan senantiasa melihat Yang Terpuji dalam bentuk-bentuk yang selalu
membaharu, bal hum fii labsin min kholqin jadiidin. [1]Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu
tentang penciptaan yang baru. Nan
Jelita namun senantiasa perawan, Nan Terang Ceria namun senantiasa bertabir
awan, bila sekejapan mataMu jua telah membuat
setetes menjadi bahari, maka bagaimana pula-lah putih pipiMu kan
meletupkan lahar Gunung Asmara, juga keriting rambutMu, juga kerlingMu? Duhai
Sang Maha Perawan, Yang Suci dan tak tersentuh apapun, Munfarid - Sendiri dalam
KeSendirianMu Yang Mutlak, IndahMu Nan Suci membuat semua bergolak bak darah
perjaka, dan hanya Kau-lah Layla Yang Dirindukan.
Kepala senantiasa
berada di kubangan pun di selokan pula,
bibirnya dipenuhi dengan bekas kecupan. FirmanNya; a lam yajidka yatiiman fa aawaa, wa wajadaka dhoollan fahaadaa, wa
wajadaka ‘aa`ilan fa aghnaa. [2]Bukankah
Ia mendapati engkau dalam keadaan yatim lalu Ia melindungimu, Bukankah Ia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung(sesat), lalu Ia memberimu petunjuk.
Dan Ia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Ia memberikan
kecukupan. Sungguh Engkaulah Sang Maha Sarah Nan Jelita namun tak jijik
kusta hamba, Yang Wangi pun tak menjauh bahkan mengelus aroma tak sedap hamba,
Yang Maha Suci namun bahkan mengasihi jiwa lacur hamba, Yang Senantiasa Memberi
Kelembutan tanpa membutuhkan balasan apa pun. Imam ‘Ali(‘a.s.) merintihkan; Yaa man arqodanii fii mihaadi umnihi wa
amaanih, wa aiqodhonii ilaa maa manahani bihi min minanihi wa ihsaanih,
wa kaffa akuffas-suu`I ‘anniii biyadihii wa sulthoonih[3]
Duhai Yang meletakkan ku pada kemudahan
dalam buaian keamanan dan perlindunganNya, dan Yang telah membangunkan aku pada
karunia dan kebaikan Nya yang telah diberikan kepadaku, dan yang melindungi aku
dari carak-cakar kejahatan dengan tanganNya dan kekuatanNya.
Manakala bayangan
Kekasih Yang Jelita telah mengisi pandangan, maka orang Cinta merintih Indahnya
KeJelitaanMu tak terperi oleh pandanganku, maka jadilah JelitaMu sebagai
pandanganku, dan pandanglah JelitaMu dengan CantikMu sendiri, duhai Al-Jamiil.
Dan dengarlah merdu suaramu dengan dendangMu sendiri, duhai Al-Jamiil. Dan pula
kemericikan sungai rahmatMu rasakanlah dengan Sifat RahmanMu, Wahai Cahaya Yang
Maha Kasih. Maka, hati atau hakikat atau ruh orang Cinta seluruhnya menjadi
embel-embelNya semata. Orang cinta tak
kenal derita tak pula nestapa, karena Seluruh Realitas (baginya maupun
sebenarnya) hanyalah Keindahan Keriting RambutNya ataupun Merah GincuNya. Sungguh Wajah Kekasih dan BibirNya Yang
Merah Mendayu dalam hatinya telah bersemayam. Telah kekal, wa
yabqoo wajhu robbika dzu al-jalaali wa al-ikraam.[5] Dan kekallah Wajah TuhanMu yang memiliki
Keagungan dan Kemuliaan. Imam Khomeini bersya`ir; dengan sekilasan pandang dariNya, mungkin setetes akan menjadi Bahari.[6]
Imam ‘Ali (‘a.s.) merintih; Yaa man tawahhada bi al-‘izzi wa al-baqa, wa
qoharo ‘ibaadahu bi al-mauti wa al-fanaa`i.
[7]Wahai
Nan Esa dalam KeMuliaan dan Kekekalan, dan menaklukkan hamba-hambaNya dengan
maut dan kefanaan
Semua adalah Wujud
dan Wujud itu Sempurna
Semua adalah Sempurna
Realitas kemarin, esok maupun lusa, adalah Wujud, dan
Sempurna
Cinta mengantar jiwa menuju altar,
disitulah jiwa menjadi kepompong dan Sang Maha Jiwa
tersingkap
Wujud adalah hakikat segala maupun belukar,
Jelitanya adalah Esanya dalam segala nan tak
terungkap.
Engkau Sendirian,
Bertahta Sendirian, Bersemayam Sendirian, Bercengkerama Diam Sendirian, Dalam
Samudera KeagunganMu, Wahai Tuhan Khidir dan Musa, Wahai Tuhan Muhammad
dan ‘Ali, Wahai Tuhan Imam-Imam Yang Maksum, dan Wahai Tuhan Sekalian Alam.
Wa allohu a’lam bi
ash-showab
0 comments:
Post a Comment