Cengkerama Ceria
Cinta
Orang Cinta tak kenal duka ta pula nestapa,
Tawa dan canda ria saja kesehariannya
bermajlis dengan wajahseyum dan tawa-tawa ringan
kasih dan silaturahim saja keberadaanya
mengaduk air es manis yang segar sembari bergurau
minum-minum ari bersama menjadi bak Anggur
Orang Cinta tak kenal jahat tak pula sengsara,
di dalam majlis Wajah Ratu Yang Cantik saja lah yang
menyala
Maka apakah sumber dari semua nestapa? Adalah
fikiran, yang melayang-layang menimbulkan kehawatiran. Adalah awan-awan syak
dan khayalan, yang berkata kenapa begini kepana begitu sedangkan mestinya
begini dan begitu.
Sedang Orang yang dimabuk Cinta pada Tuhan-nya,
tak punya khayalan apa pun selain keindahan Tuhan semata. Ia tak melihat apa
pun yang telah dan akan terjadi melainkan atas izin Kekasih. yang telah me”wujud”-kan setiap sesuatu dengan
Cintanya yang teramat nikmat. Mereka mengatakan sungguh cubitan perih Farah
Yang Ayu adalah kenikmatan, dan tamparannya tak beda dengan elusan, juga tangis
keluhnya tak beda pula dengan senyuman, dan kemarahannya kepadaku adalah
cemburu, yakni tanda cintanya.
Ana ‘inda
zhonnii ‘abdi. Aku (Allah) atas
persangkaan hambku. Demikian sebuah Hadist Qudsi mengatakan. Maka Sang Penggila
Cinta Ilahi, masuk kedalam Samudera Harapan yang indah-indah dari Kekasihnya,
gelombang raja’ (harapan), bahari amal (angan-angan), palung-palung tamani’
(harapan yang teramat dalam bak angan-angan). Realitas di hadapannya adalah bak
hujan RahmatNya dari langit seeprti lautan cahaya merah mud ayang tampak di
mana-mana, dan tiada apa pun yang tak terliputinya.[1]
Realitas dihadapannya adalah Wajah Kekasih Yang Maha Cantik, yang berpendaraan
di mana-mana, yang mencahayai segala sesuatu.[2]
Apa-apa yang terwujud adalah Sifat-Sifat
Jamaliyyah-Nya, Sifat-Sifat Keindahan-Nya, sedang apa-apa yang tidak kita
ketahui, apa-apa yang tersembunyi, apa-apa yang termanifestasi adalah
Sifat-Sifat Jalaliyyah-Nya. Sungguh Sifat Jalaliyyah-Nya tidaklah real, ia
hanya muncul dari fikiran. Maka dikatakan rahmatMu
mendahului murkaMu, ampunanMu mendahului siksaMu atau wahai Yang Maha Cepat Ridho-Nya.[3]
Demkianlah maka begi orang Cinta, tak kan
menyentuhnya lagi khawatir tak pula kesedihan. [4] Wajah-wajah pada hari itu ceria, kepada
Tuhan-Nya mereka melihat[5]
Ada ‘Muhammad ada ‘Ali (s.a.w.w.). Ada Musa ada
Harun (‘a.s). Ada Ya’qub ada Yusuf (‘a.s). Ada ‘Ali ada Fatimah (‘a.s). Ada
‘Ali (‘a.s) ada Kumayl Ibn Ziyad (r.’a).
dan seterusnya. Innama al-mu’minuuna
ikhwah. Sesungguhnya mukmin itu bersaudara.[6] Kasih-sayang (ar-rahiimu) di antara
mereka adalah satu kemestian[7] Dan merupakan salah satu manifestasi dari
nama-Nya Ar-Rahiim. Karena Syamsuddin
dari Tabriz mencitntai Sang Maha Sarah, demikian pula Jalaluddin dari Rum
mencintai Sang Maha Sarah, maka Syamsuddin bersesuaian jiwanya dengan
Jalaluddin, juga Jalaluddin pasti tanassub
dengan Syamsuddin, maka jadilah Syamsuddin dari Tabriz Sahabat Sejati
Jalaluddin Rumi sepanjnag hidupnya.
Bagi Zulaikha, Yusuf Sang Pangeran
Bagi “ali, Fatimah lah Snag Ratu
Bagi Rumi, Syamsuddin lah Sang Maharaja
Bagi Muhyiddin Ibn Aarabi, Fathiman Cordoba lah Sang
Ayu
Kasih-sayang dalam persaudaraan para peCinta
seperti larik-larik cahaya yang berpantulan, dan qalbu para peCinta seperti cermin. Dari mana Wajah Kekasih mulai
terpatut? Dari Hati Yang Teragung, haqiqat
Muhammad (s.a.w.w.). Kemudian bergradasi turun ke cermin-cermin hari para
Imam, para Nabi, para Malaikat muqorrobin, dan para shiddiqiin, kemudian para syuhada dan para sholihiin. Berungtulah orang yang bertemu dengan ruh-ruh suci ini
dalam mimpinya ataupun dalam sadarnya.
Seliuran cahaya terkadang menyialukan terkadang
menyejikkan, semuanya adalah gambar-gambar Wajah Kekasih. Konon sampai di
akhirat pun para peCinta hanyalah mencari gambar Wajah-Wajah Kekasih di
pasar-pasar para bidadari. Maka, di dunia ini merak mencari Kesejukan dan
Kecantikan-Nya melalui wasilah
kasih-sayang sesama peCinta, yang tak lain adalah manifestasi dari Nama Kasih
Khusus-Nya yakni Ar-rohiim
Adakah gincu yang tak
luntur dengan kecupan
Adakah wajah ayu tak
peyot dengan cermin cembung
Aakah wajah nan tetap
ealau cermin-cermin berpecahan
Adakah wajah yang tetap
putih walau cermin-cermin berdebu
Para peCinta menjawab, adalah Wajah-Nya yang
kulihat dari “cermin” hati saudaraku di Fulan. Adalah Wajah-nYa yang kulihat
dari “cermin” hai istetiku di Fulan. Adalah Wajah-Nya yang berpantulan di
“cermin-cermin” hari berdebu para Saudara kami yang mulia. Maka betapa Indah
dan sejuk hawa para peCinta. Bukankah Imam Khomeini telah bersya’ir,
kutaktemukan
kejernihan dalam majlis para darawisy
dalam
tempat menyediri, tak ku dengan sapaan memanggil-Nya
kutak
baca buku-buku dari Sahabat di madrasah
di
puncak menara, pun tak kulihat getar suara Yang Tercinta
ku
tak singkap apa pun dalam lelembaran kitab
Dalam
pelajaran Kitab Suci, ku tak dituntung kemanapun
kulewati
usaiku di kuil, penuh dengan kesia-siaan
di
antara sahabat, ku tak peroleh obat tak pula derita
pada lingkaran para pecinta ku kan pergi
dan di sana ada semilir sepir dari tanam pemilih hati,
juga jejak-jeka
“Kami”
dan “Aku” dari intelek adalah tali “ikal”
itiada
lagi “Aku” dan “Kami” dalam tapa sepi pemabuk[8]
Di kamar Hana Akiko, “Bunga Anak Terang”, seorang geisha terekmukan di Kyoto, apa pun
menjadi wangi dan memabukkan. Parfum-nya tak lain adalah keindahan dan kesempurnaan
kecantikan Akiko, juga denting-denting shamishen
yang dipetiknya. Seperti gelombang musim gugur, saat harapan-harapan
berjatuhan. Atau seperti angin musim dingin, saat duka melanda. Atau seperti
hangat musim semi, dan mekarnya Sakura-Sakura. Atau seperti panas lembab musim
panas yang membakar dan terik, saat birahi menggelegak danpara lelaki pun
kehausan. Demikian pula dalam majlis peCinta, apa pun akan memabukkan.karena
semua bergerak dan berputar-putar mengitari Wujud Yang Maha Ayu. Karena di dalam
majlis esensi-esensi dan nama-nama mulai berlenyapan. Tiada lagi “Kami”, tiada
lagi “Aku”, yang ada hanyalah “Dia” Si Ayu Yang Senantiasa Bertabir. Maka
teguklah segelas air es di sana, niscaya akan kau rasakan bak whisk dari ler,
atau Heinekken dari Jerman.
Wa
allhou a’lam bi ash-showab
[1] Allohumma inni as’aluka bi
raohmatika al-latii wasi’at kulla syai’ Yaa Allah, aku bermohon dengan rahmatmu
yang meliputi segala sesuatu (Doa Kumayl Ibn Ziyad, Imam Ali bin Abi Thalib
(k.w))
[2] Wa bi nuuri wajhika al-ladzii
adhoo ‘a lahu kullu syai’. Dan demi cahaya WajahMu yang menyinari segala
sesuatu (Doa Kumayl Ibn Ziyad, Imam Ali bin Abi Thalib (k.w))
[3] Yaa sarii’ar-ridhoo. Wahai
Yang Cepat Ridho-Nya. (Doa Kumayl Ibn
Ziyad, Imam Ali bin Abi Thalib (k.w))
[4] A laa inna auliyaa’ Allohi
laa khoufun ‘alaihin wa laa hum yahzanuun. Ingatlah, sesungguhnya wali-wali
Allah bagi mereka tidak ada ketakutan tidak pula mereka bersedih (QS Yunus; 62)
[5] Wajuuhuy-yauma ‘idzin
naadhiroh, ilaa robbiha naazhiroh (QS Al-Qiyamah 22-23)
[6] QS Al-Hujuraat;10
[7] ruhamaa’u bainahum (QS
Al-Fath 29)
[8] Diterjemahkandan disadur
bersama oleh Sayyid Husain Shahab Palembangi dan Dimitri Mahayana, 1997, akan
diterbikan segera.
0 comments:
Post a Comment