1. Pengertian Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
BMT adalah lembaga keuangan mikro yang
dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syari’ah), menumbuhkembangkan bisnis
usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta
membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua
fungsi : Baitul Tamwil (Bait = Rumah, at Tamwil = Pengembangan Harta) -
melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam
meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan
mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya.
Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) – menerima titipan dana zakat, infak
dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan
amanahnya.
2.
Dasar atau badan hukum
didirikannya BMT
Dasar hukum didirikannya BMT adalah Al-qur’an surat
At-Taubah ayat 60 dan103 dimana ayat tersebut menerangkan tentang kewajiban
zakat terhadap umat Islam, pada masa Rasulullah SAW pemengutan Zakat belum
tertata dengan rapi serta belum ada lembaga yang menampung hasil zakat tersebut
oleh karena itu Rasulullah membuat kebijakan untuk membangun lembaga khusus
untuk menaruh uang dari hasil zakat tersebut yang diberi nama Baitul Maal.
3. Sejarah
Perkembangan Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
3.1. Masa
Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul
Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap
harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu
Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu
harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh
hampir selalu habis dibagi‑bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan
untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah
dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa
menunda‑nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai
peruntukannya masing-masing.
3.2. Masa
Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah yang
sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah
beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau
mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya.
Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh
muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa
barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke
pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab.
Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.”
Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang
jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana
aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada
Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.”
Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan
(ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan
seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul
Mal.
3.3. Masa
Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Selama memerintah, Umar bin Khaththab
tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu
yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang
berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir
(700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang
Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta
milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian
musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di
antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti
kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).
3.4. Masa
Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada
masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya,
tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul
Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123
H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang
menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam
jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia
memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi
Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir
serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman)
menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan
oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal
sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal,
sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak
kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).
3.5. Masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali,
yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu
Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo
kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
3.6. Masa
Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika Dunia Islam berada di bawah
kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi
menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh
kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa
pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan
Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
3.7. Sejarah BMT di
Indonesia
Sejarah BMT
ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid
Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi
usaha kecil. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI sebagai sebuah gerakan
yang secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil
(PINBUK). BMT adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip
bagi hasil (syari’ah), menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam
rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir
miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Baitul Tamwil (Bait =
Rumah, at Tamwil = Pengembangan Harta) - melakukan kegiatan pengembangan
usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi
pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan
menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal =
Harta) – menerima titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta mengoptimalkan
distribusinya sesuai dengan pertaturan dan amanahnya.[1]
4.
Visi dan Misi serta Tujuan
di dirikannya BMT
Visi BMT
adalah mewujudkan kualitas masyarakat di
sekitar BMT yang selamat, damai dan sejahtera dengan mengembangkan lembaga dan usaha BMT dan POKUSMA yang maju
berkembang, terpercaya, aman, nyaman, transparan,
dan berkehati-hatian.
Misi BMT
adalah mengembangkan POKUSMA dan BMT
yang maju berkembang, terpercaya, aman,
nyaman, transparan, dan berkehati-hatian sehingga terwujud kualitas masyarakat di sekitar BMT yang selamat, damai
dan sejahtera.
BMT bertujuan mewujudkan kehidupan keluarga dan
masyarakat di sekitar BMT yang selamat, damai dan sejahtera.Untuk mencapai visi
dan pelaksanaan misi dan tujuan BMT, maka BMT melakukan usaha-usaha yaitu mengembangkan
kegiatan simpan pinjam dengan prinsip bagi hasil/syariah dan mengembangkan
lembaga dan bisnis Kelompok Usaha Muamalah yaitu kelompok simpan pinjam yang
khas binaan BMT.
Jika BMT telah
berkembang cukup mapan,
memprakarsai pengembangan badan usaha sektor riil ( BUSRIL ) dari Pokusma
–pokusma sebagai badan usaha
pendamping menggerakkan ekonomi riil
rakyat kecil di wilayah kerja BMT
tersebut yang manajemennya terpisah sama
sekali dari BMT.
Mengembangkan
jaringan kerja dan jaringan bisnis BMT
dan sektor riil (BUSRIL) mitranya sehingga menjadi barisan semut yang
tangguh sehingga mampu mendongkrak kekuatan ekonomi bangsa Indonesia.
5. Produk dan
Mekanisme Operasional BMT[2]
Secara
umum produk BMT dalam rangka melaksanakan fungsinya tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi empat hal yaitu:
a. Produk penghimpunan dana (funding)
b. Produk penyaluran dana (lending)
c. Produk jasa
d. Produk tabarru’: ZISWAH (Zakat,
Infaq, Shadaqah, Wakaf, dan Hibah)
Operasional BMT
Sistem bagi hasil adalah pola
pembiayaan keuntungan maupun kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan
berdasarkan perhitungan yang disepakati bersama. BMT biasanya berada di
lingkungan masjid, Pondok Pesantren, Majelis Taklim, pasar maupun di lingkungan
pendidikan. Biasanya yang mensponsori pendirian BMT adalah para aghniya (dermawan), pemuka agama,
pengurus masjid, pengurus majelis taklim, pimpinan pondok pesantren,
cendekiawan, tokoh masyarakat, dosen dan pendidik. Peran serta kelompok
masyarakat tersebut adalah berupa sumbangan pemikiran, penyediaan modal awal,
bantuan penggunaan tanah dan gedung ataupun kantor. Untuk menunjang permodalan,
BMT membuka kesempatan untuk mendapatkan sumber permodalan yang berasal dari
zakat, infaq, dan shodaqoh dari orang-orang tersebut. Hasil studi Pinbuk (1998)
menunjukkan bahwa lembaga pendanaan yang saat ini berkembang memiliki kekuatan
antara lain:
o Mandiri dan mengakar di masyarakat,
o Bentuk organisasinya sederhana,
o Sistem dan prosedur pembiayaan mudah,
o Memiliki jangkauan pelayanan kepada pengusaha
mikro. Kelemahannya adalah :
o Skala usaha kecil,
o Permodalan terbatas,
o Sumber daya manusia lemah,
o Sistem dan prosedur belum baku.Untuk mengembangkan
lembaga tersebut dari kelemahannya perlu ditempuh cara-cara pembinaan sebagai
berikut:
o Pemberian bantuan manajemen, peningkatan kualitas
SDM dalam bentuk pelatihan,
standarisasi sistem dan prosedur,
o Kerjasama dalam penyaluran dana,
o Bantuan dalam inkubasi bisnis.
Pola Tabungan dan Pembiayaan
v
Tabungan
Tabungan atau simpanan dapat
diartikan sebagai titipan murni dari orang atau badan usaha kepada pihak BMT.
Jenis-jenis tabungan/simpanan adalah sebagai berikut:
©
Tabungan persiapan qurban;
©
Tabungan pendidikan;
©
Tabungan persiapan untuk nikah;
©
Tabungan persiapan untuk melahirkan;
©
Tabungan naik haji/umroh;
©
Simpanan berjangka/deposito;
©
Simpanan khusus untuk kelahiran;
©
Simpanan sukarela;
©
Simpanan hari tua;
©
Simpanan aqiqoh.
v Pola Pembiayaan
Pola pembiayaan terdiri dari bagi
hasil dan jual beli dengan mark up (tambahan atas modal) serta
pembiayaan non profit.
©Bagi Hasil
Bagi hasil dilakukan antara
BMT dengan pengelola dana dan antara BMT dengan penyedia dana
(penyimpan/penabung). Bagi hasil ini dibedakan atas:
Musyarakah, adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek
dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab
atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing.
Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al amal)
menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan
usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati
bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al amal akan kehilangan
sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill selama proyek
berlangsung.
Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar.
Muzaraah, adalah dengan memberikan l kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.
Musaaqot, adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si
penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.
©Jual Beli dengan Mark Up (tambahan atas modal)
Jual beli dengan mark up merupakan tata cara jual beli yang dalam
pelaksanaannya, BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa)
melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai
penjual kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli tambah keuntungan bagi
BMT atau sering disebut margin/mark up. Keuntungan yang diperoleh BMT
akan dibagi kepada penyedia dan penyimpan dana. Jenis-jenisnya adalah:
-
Bai Bitsaman Ajil (BBA), adalah proses jual beli
dimana pembayaran dilakukan secara lebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan
kemudian.
-
Bai As Salam, proses jual beli dimana
pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
-
Al Istishna, adalah kontrak order yang
ditandatangani bersamaan antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan jenis
barang tertentu.
-
Ijarah atau Sewa, adalah dengan memberi
penyewa untuk mengambil pemanfaatan dari sarana barang sewaan untuk jangka
waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama.
-
Bai Ut Takjiri, adakah suatu kontrak sewa yang
diakhiri dengan penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah
diperhitungkan sedemikian rupa sehingga padanya merupakan pembelian terhadap
barang secara berangsur.
-
Musyarakah Mutanaqisah, adalah kombinasi antara
musyawarah dengan ijarah (perkongsian dengan sewa). Dalam kontrak ini kedua
belah pihak yang berkongsi menyertakan modalnya masing-masing.
Pembiayaan Non Profit
Sistem ini disebut juga
pembiayaan kebajikan. Sistem ini lebih bersifat sosial dan tidak profit
oriented. Dalam BMT pembiayaan ini sering dikenal dengan Qard yang bertujuan
untuk kegiatan produktif yang secara aplikatif peminjam dana hanya perlu
mengembalikan modal yang dipinjam dari BMT apabila sudah jatuh tempo, yang
tentu dengan beberapa criteria UMK yang harus dipenuhi.
6.
Peraturan Hukum Terkait dengan BMT
BMT
dapat didirikan dalam bentuk KSM (kelompok Swadaya Masyarakat) atau Koperasi[3].
Sebelum menjalankan usahanya, KSM mesti mendapatkan sertifikat operasi dari
PINBUK (Pusat Inkubasi bisnis Usaha Kecil). Sementara PINBUK itu sendiri mesti
mendapat pengakuan dari Bank Indonesia (BI) sebagai Lembaga Pengembang Swadaya
Masyarakat (LPSM) yang mendukung Program Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok
Swadaya Masyarakat yang dikelola oleh Bank Indonesia (PHBK-BI). Selain dengan
badan hukum kelompok Swadaya Masyarakat, BMT juga bisa didirikan dengan
menggunakan badan hukum koperasi, baik Koperasi Serba Usaha diperkotaan,
Koperasi Unit Desa di pedesaan, maupun Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) di
lingkunan pesantren.
Berkenaan
dengan Koperasi Unit Desa dapat mendirikan BMT telah diatur dalam Petunjuk
Menteri Koperasi dan PPK tanggal 20 Maret 1995 yang menetapkan bahwa bila
disuatu wilayah dimana telah ada KUD dan KUD tersebut telah berjalan baik dan
organisasinya telah diatur dengan baik, maka BMT bisa menjadi Unit Usaha Otonom
(U2O) atau Tempat Pelayanaan Koperasi (TPK) dari KUD tersebut. Sedangkan bila
KUD yang telah berdiri itu belum berjalan dengan baik, maka KUD tersebut dapat
di operasikan sebagai BMT.
DI
wilayah-wilayah berbasis pesantren, masyarakat dapat mendirikan BMT dengan
menggunakan badan hukum Koperasi Pondok Pesantren. Dalam hal penggunaan
Kopontren sebagai badan hukum BMT, keberadaan BMT di Kopontren tersebut adalah
senbagai Unit Usaha Otonom atau tempat Pelayanaan Koperasi sebagaimana dalam
KUD. Apabila di pesantren itu belum terbentuk Kopontren, maka civitas
peasantren dapat mendirikan Kopontren dan BMT secara bersama-sama. Untuk itu,
panitia penyiapan pendirian BMT dapaat bekerja sama dengan Puskopontren, Kantor
Departeman Agama, Kantaor Departemen Koperasi dan PPK di kabipaten setempat.
Penggunaan
badan hukum KSM dan Koperasi untuk BMT itu disebabkan karena BMT tidak termasuk
kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan UU nomor 7 tahun 1992 dan UU
nomor 10 Tahun 1998 tyentang Perbankan, yang dapat diopersikan untuk menghimpun
dan menyalurkan dana masyarakat. Menurut UU pihak yang berhak menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, baik
dioperasikan dengan cara konvensional maupun syariah atau bagi hasil. Namun
demikian, kalau BMT dengan badan hukum KSM atau Koperasi itu telah berkembang
dan telah memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak menajemen dapat mengusulkan
diri kepada Pemerintah agar BMT itu dijadikan sebagia BPRS (Bank Perkreditan
Rakyat Syariah) dengan badan huukum koperasi atau perseroan terbatas.
Selain itu BMT dalam menjalankan dan menggunakan
produk-produknya mengacu kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) yang dijelaskan dalam uraian berikut:
Implementasi akad bagi hasil dalam produk BMT di
bidang penghimpunan dana sebagaimana disebut di atas dalam bentuk simpanan,
sedangkan implementasinya dalam produk penyaluran dana adalah pada produk
Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah. Secara teknis
mengenai penerapan akad mudharabah dalam bentuk pembiayaan dapat dibaca
dalam Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah
(Qiradh) dan untuk penerapan akad musyarakah dalam produk pembiayaan
dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah.
Sedangkan
implementasi akad murabahah, salam, dan istishna,
khususnya dalam praktik BMT secara teknis dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No.
04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual Beli Salam, dan Fatwa DSN MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual
Beli Istishna. Sewa-menyewa merupakan perjanjian yang obyeknya adalah manfaat
atas suatu barang atau pelayanan, sehingga bagi pihak yang menerima manfaat
berkewajiban untuk membayar uang sewa/upah (ujrah). Selain itu BMT juga
menerapkan sistem sewa menyewa. Dalam praktik BMT akad sewa-menyewa ini
diterapkan dalam produk penyaluran dana berupa pembiayaan ijarah dan
pembiayaan ijarah muntahia bit tamlik (IMBT), yang penjelasannya adalah
sebagai berikut:
1) Ijarah adalah transaksi
sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Secara teknis
mengenai penerapan akad ijarah di BMT dapat mengacu pada Fatwa DSN MUI
No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
2) Ijarah Muntahia Bit Tamlik
(IMBT), adalah transaksi sewa-menyewa yang memberikan hak opsi di akhir masa
sewa bagi pihak penyewa untuk memiliki barang yang menjadi obyek sewa melaluai
mekanisme hibah ataupun melalui mekanisme beli. Secara teknis mengenai
implementasi IMBT ini dapat dibaca dalam ketentuan Fatwa DSN MUI No.
27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Mutahiyah bi Al-Tamlik.
Dalam operasional BMT transaksi pinjam-meminjam
yang bersifat sosial diman kegiatan pinjam-meminjam ini dikenal dengan nama
pembiayaan qardh, yaitu pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan
kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau
cicilan dalam jangka waktu tertentu. Ada juga qardh al-hasan
(pinjaman kebajikan), yang pada dasarnya dalam hal nasabah tidak mampu
mengembalikan, maka seyogyanya pihak pemberi pinjaman bisa mengikhlaskannya.
Secara teknis mengenai pembiayaan qardh ini mengacu pada Fatwa DSN MUI
No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang al Qardh.
7. Perkembangan dan pertumbuhan BMT di Indonesia
Perkembangan BMT di Indonesia dewasa ini
ukup mencengangkan, tumbuh ratusan BMT, bahkan mungki ribuan. Menurut catatan
BMT Center Indonesia (semacam induknya BMT se-Indonesia) anggotanya ada sekitar
138 unit dengan 348 kantor cabang (niriah.com). Itu baru yang menginduk atau
menjadi anggota BMT Center, padahal yang tidak menjadi anggota, sangat jauh
lebih banyak. Artinya, masyarakat sangat membutuhkan sebuah lembaga keuangan
seperti ini, lembaga keuangan yang sederhana dalam pengaksesan pembiayaan
(kredit) dengan tidak meninggalkan aspek prudential, dengan bagi hasil (margin)
yang jauh lebih rendah dari rentenir. Masyarakat usaha kecil selama ini merasa
kesulitan untuk mengakses kredit ke perbankan, karena usahanya belum tertata.
8.
Dampak Perkembangan dan Pertumbuhan BMT bagi
perekonomian Indonesia
Pembiayaan
kepada pengusaha mikro selama ini selalu terkendala permasalahan outstanding
pembiayaan yang kecil yang karena itu biaya operasional pembiayaan menjadi tinggi
membuat pihak perbankan enggan memberikan pembiayaan. Kendala lainnya
persyaratan perbankan, bankable atau yang secara teknis mengharuskan adanya
jaminan liquid dll yang tidak dimiliki oleh sector UMK. Adanya keinginan yang
kuat untuk mengatasi kendala-kendala diatas itulah yang menginspirasi kehadiran
BMT.
Bila
dibandingkan dengan kekuatan lembaga keuangan mikro lain dalam hal besaran
pembiayaan atau kredit, kekuatan BMT memang belum seberapa, dari total
pembiayaan yang disalurkan kepda UMK.
Namun jika
ditinjau dari segi jumlah penerima manfaat, maka kita dapat melihat jumlah yang
dilayani oleh BMT jauh lebih banyak, dan yang lebih menarik lagi jumlah
pembiayaan tiap unit usahapun lebih kecil, sehingga dapatlah disimpulkan bahwa
pembiayaan pada BMT lebih mampu untuk menyentuh pengusaha mikro sebagai unit
usaha terkecil, akan tetapi memiliki jumlah unit usaha paling besar di
Indonesia.
9. Prospek Strategi dan Kendala Baitul Maal wat Tamwil
(BMT)
Koperasi syariah atau akrab dikenal
dengan sebutan Baitulmal wattamwil (BMT) mengalami perkembangan cukup
signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, sebuah lembaga inkubasi
bisnis BMT mengestimasi saat ini terdapat sebanyak 3.200 BMT dengan nilai aset
mencapai Rp 3,2 triliun. Bisnis tersebut hingga akhir tahun ini diproyeksi
mencapai Rp 3,8 triliun. Meski demikian, Chief Secretary Organization (CSO) BMT
Center, Noor Azis, yakin bahwa BMT di Indonesia masih bisa terus dikembangkan.
Syaratnya, adanya dukungan dan komitmen pemerintah dalam mendorong perkembangan
bisnis lembaga keuangan non bunga tersebut. Salah satu bentuk dukungan itu
adalah melahirkan berbagai regulasi yang melindungi binsis keuangan mikro.
Searah dengan
perubahan zaman, perubahan tata ekonomi dan perdagangan, konsep baitul mal yang
sederhana itu pun berubah, tidak sebatas menerima dan menyalurkan harta tetapi
juga mengelolanya secara lebih produktif untuk memberdayakan perekonomian
masyarakat. Penerimaannya juga tidak terbatas pada zakat, infak dan shodaqoh,
juga tidak mungkin lagi dari berbagai bentuk harta yang diperoleh dari
peperangan. Lagi pula peran pemberdayaan perekonomian tidak hanya dikerjakan
oleh negara.
Selain itu,
dengan kehadiran BMT di harapkan mampu menjadi sarana dalam menyalurkan
dana untuk usaha bisnis kecil dengan mudah dan bersih, karena didasarkan pada
kemudahan dan bebas riba/bunga, memperbaiki/meningkatkan taraf hidup masyarakat
bawah, Lembaga keuangan alternatif yang mudah diakses oleh masyarakat bawah dan
bebas riba/bunga,Lembaga untuk memberdayakan ekonomi ummat,mengentaskan
kemiskinan,meningkatkan produktivitas.
Jika
kita membicarakan bagaimana kita membuat strategi untuk menumbuh kembangkan BMT
di Indonesia dengan melihat prospek BMT yang telah kita bahas pada pembahasan
diatas, ternyata ada beberapa strategi untuk meningkatkan kinerja untuk
meningkatkan prospek dari BMT tersebut antara lain:
o Optimalisasi lembaga
pemerintahan yang mengadakan pendanaan BMT secara melalui lembaga swasta
seperti lembaga PT. Permodalan Nasional Madani terhadap BMT, akan tetapi itu dirasa kurang cukup
kontributif untuk pengembangan BMT, karena belum ada penanganan khusus dari
lembaga pemerintahan.
o
Optimalisasi linkage program untuk penambahan permodalan
BMT, baik itu antara BMT dan BPRS serta Bank Syariah, sehingga kemungkinan
likuidasi BMT terjadi akan semakin mengecil.
o
Sedangkan proses pengembangan BMT dapat dilakukan
dengan proses berikut:
o Mengidentifikasi ulang
kuantitas dan kualitas BMT dan UMK di Indonesia.
o Koordinasi dengan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dalam pengadaan pelatihan bagi para
pengelola BMT agar manajemennya bisa berkembangan.
o
Sosialisasi akan eksistensi BMT kepada masyarakat
melalui media massa, sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui adanya BMT
dan keunggulannya
10.
Kendala-kendala yang
dihadapi oleh BMT
Dalam perkembangan BMT
tentunya tidak lepas dari berbagai kendala. Adapun kendala-kendala tersebut
diantaranya:
1.
Akumulasi kebutuhan dana masyarakat belum bisa dipenuhi BMT.
2.
Adanya rentenir yang memberikan dana yang memadai dan pelayanan yang baik
dibanding BMT.
3.
Nasabah bermasalah.
4.
Persaingan tidak Islami antar BMT.
5.
pengarahan pengelola pada orientasi bisnis terlalu dominant sehingga mengikis
sedikit rasa idealis.
6.
Ketimpangan fungsi utama BMT, antara baitul mal dengan baitutamwil.
7.
SDM kurang.
8.Evaluasi Bersama BMT.
Daftar Pustaka
Karnaen A.
Perwaatmadja. Membumikan ekonomi Islam di Indonesia, (Depok: Usaha Kami,1996),
hlm.216
Prof. Dr. Ir. M. Amin
Azis. Tata
Cara Pendirian BMT. Jakarta:
PKES Publishing, 2008
Ir. H. Saat Suharto. Peranan Permodalan BMT
dalam Pemberdayaan Sektor UMK. www.niriah.com
hendrakholid.net/blog/2009/04/baitul-maal-wa-tamwil/
A. Djazuli dan Yadi
Janwari, lembaga-lembaga
Perekonomian Umat: Sebuah Pengenalan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, hal:
191-192A. Djazuli dan Yadi Janwari, lembaga-lembaga Perekonomian Umat:
Sebuah Pengenalan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, hal: 191-192
0 comments:
Post a Comment