Bagi mahasiswa yang baru belajar tentang
hukum tentu sangat bermanfaat jika disodori definisi atau pengertian hukum
sebelum mengetahui dan mempelajari filsafat hukum.
MacIver menggambarkan masyarakat sebagai
sarang laba-laba, karena di dalamnya terdapat berbagai kaidah yang mengatur
hubungan antarindividu yang bertujuan untuk menciptakan kedamaian, ketertiban,
dan kesejahteraan.[1]
Kaidah/norma sengaja diciptakan agar tidak terjadi benturan-benturan dalam
masyarakat,
terutama anatara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan.
Dengan adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda dan saling berlawanan,
terciptalah 4 (empat) kaedah/norma, yaitu: kaedah kepercayaan (keagamaan),
kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun (adat), dan kaedah hukum.[2]
Dari ke-4 kaedah/norma tersebut hanya kaedah hukum-lah yang lebih melindungi
kepentingan-kepentingan manusia yang sudah dan belum mendapat perlindungan dari
ketiga kaedah tersebut, dengan alasan sebagai berikut:
a.
Dari segi tujuan, kaedah hukum
ditujukan kepada pelaku yang konkrit, untuk ketertiban masyarakat, agar jangan
sampai jatuh korban.
b.
Dari segi isi, kaedah hukum ditujukan
kepada sikap lahir.
c.
Dari segi asal-usul, berasal dari
kekuasaan luar yang memaksa.
d.
Dari segi sanksi, berasal dari
masyarakat secara resmi.
e.
Dari segi daya kerja, membebani
kewajiban dan memberikan hak.
Dengan melihat gambaran mengenai kaedah
hukum sebagaimana telah diuraikan tersebut, rasanya masih terlalu sulit untuk
mendefinisikan hukum, karena memang tidak ada satu pun sarjana yang dapat
membuat pengertian atau definisi hukum secara sempurna. Tentu saja, untuk
mendefinisikan hukum bukanlah pekerjaan yang mudah dan ini terkait dengan
perkembangan sejarah hukum dan aliran-aliran dalam filsafat hukum yang tentunya
dapat mempengaruhi pengertian dari hukum.
Sebagai contoh pertama, pada zaman
Romawi, para pemikir hukum lebih banyak dituntut untuk memberikan sumbangan
pemikiran ke arah pembentukan hukum yang dapat diberlakukan secara luas di
semua wilayah Romawi.
Kedua, pada Zaman Pertengahan, kekuasaan
gereja sedemikian besar sehingga turut melakukan intervensi ke dalam masalah
duniawi, termasuk mengatur pemerintahan, sehingga hukum yang dihasilkan pada
waktu itu bernafaskan keagamaan dengan
mengaitkan inti pemikiran hukum dengan ajaran-ajaran gereja, misalnya saja
Thomas Aquino, yang membagi hukum ke dalam 4 (empat) golongan, yaitu:[3]
Lex Aeterna, Lex Divina, Lex Naturalis,
dan Lex Positivis yang nantinya akan
dikupas dalam bagian lain dari tulisan ini mengenai berbagai aliran dalam
filsafat hukum.
Ketiga, pada abad ke-19 hukum dipengaruhi
oleh perkembangan dunia ekonomi yang dibarengi dengan kedudukan negara yang
semakin kuat dan kukuh dalam hal melakukan kontrol dan mengarahkan masyarakat
ke arah yang dikehendakinya, sehingga pada masa ini lahirlah aliran positivisme
(analitis maupun murni) yang menekankan pentingnya kedudukan negara sebagai
pembentuk hukum. Pada masa ini, pemikiran dari John Austin dan Hans Kelsen
sangat berpengaruh pada dunia ilmu maupun teori hukum, baik pada masa tersebut
maupun sesudahnya.
Di samping itu, masih banyak pendapat
dari pemikir-pemikir hukum lain, seperti Carl von Savigny dan Puchta, juga yang
lainnya yang nantinya akan dibahas dalam madzab filsafat hukum.
[3] Lili
Rasjidi, Op. Cit., halaman 29-30.
0 comments:
Post a Comment