Pandang
Segala Sesuatu sebagai Sesuatu, maka hakikatnya bukan lain adalah Wujud Maha
Gemilang Yang Maha Mutlak. Kenapa? Telah dibuktikan bahwa Hanya Ia yang Ada secara
Obyektif, dan selain Ia tiada secara Obyektif. Jika hakikat, dari segala
sesuatu bukanlah Keberadaan itu sendiri (wujud qua wujud atau wujudun bima huwa
wujudun), maka dari mana Segala Sesuatu tersebut memiliki keberadaan? Dan jika
Segala Sesuatu tersebut tidak memiliki keberadaan maka ia tidak ada dan ini
tidak mungkin.
Jadi
segala sesuatu yang tampak di mata ataupun tersirat di hati ataupun terdengar
di telinga ataupun terasa di pembuluh dara, ataupun segala sesuatu yang ada di
alam obyektif-praktis ini tiada lain hanyalah Citra buhulan Terang. Citra
buhulan pancaran Cahaya Wujud Mutlak yang terpancara dari Wujud Tunggal ke alam
ketiadaan mutlak (Al-;adam Al-muthlaw, -atau nothingness). Cahaya tersebut terpancar dalam imajinasi,
memunculkan berbagai “keberadaan” wujud-wujud yang mungkin, dan berbagai
wujud-wujud yang mungkin tersebut lebih lanjut menjadi cermin dan prisma yang
membiaskan –Cahaya tersebut menjadi Lautan Gemilang Cahaya. Di antara
Cahaya-Cahaya tersebut jika terbuhul (terikat) dengan suatu struktur-struktur
tertentu muncullah citra-citra. Citra-Citra muncul seperti buih yang muncul di
lautan. Citra-Citra adalah buih-buih dalam lautan Wujud Cerlang Gemilang.
Jadi
jauhar dari Segala Sesuatu adalah Dzat Tuhan Yang Maha Agung, -Sang Wujud Mutlak
Yang Maha Tunggal Yang Tiada Terbagi oleh berbagai penyifatan-, Tapi tidak ada
satu bagian apapun yang tampak oleh indera maupun fikiran kita dari alam ini
yang dapat diidentikkan dengan Tuhan. Segala Sesuatu adalah Tuhan, tapi tidak
ada sesuatu apapun yang masih mungkin dicerap oleh indera maupun fikiran kita
yang identik dengan Tuhan. Inilah yang mungkin sering disebutkan dengan istilah
“Huwa/Laa Huwa,- Dia dan tidak Dia-“. Segala Sesuatu adalah Ia, tapi tidak ada
sesuatu apapun yang ada dalam kejamakan ataupun keduaan ini yang identik dengan
Ia. Tidak suatu konsepsi subyektif siapapun yang mampu mencerap pengertian yang
sempurna tentang Ia, Wujud Yang Maha Sempurna dalam KeTunggalan dan
KeTakterbagiannya. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan kalimat “Ma arrafnaka
bihaqqi ma’rifatik, -Tidak-lah kami kenali diriMu dengan pengenalan yang
sebenarnya-“ atau dengan kalimat “Duhai Yang senantiasa kurindukan tanpa pernah
kubayangkan”.
Jadi
kesimpulannya? Seluruh apapun yang dituliskan dalam makalah ini tentang Ia
pasti tidak bisa menggambarkanNya sebagaimana adaNya! dan apa artinya, anggap
saja seluruh isi makalah ini adalah
hiburan lepasa senja yang tidak mengandung Kebenaran sama sekali! Sebagaimana
yang telah dikatakan oleh Guruku tct, Maulana Rumi, “Sesungguhnya para filosof
itu berdiri di atas kaki kayu”. Bagaimana mungkin “melihatnya” dengan cara
apapun kecuali dengan “PenglihatanNya” ? “Yaa man laa ya’lamu ma huwa wa laa
KAIFA huwa wa laa aina huwa wa laa HAITSU huwa illa huwa”.
Dan kepadaNyalah aku berlindung dari keburukan segenap
kebodohan kami, dan Semoga keberkahan Sholawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya
yang suci senantiasa bagi kita semua.
0 comments:
Post a Comment