Saturday, 31 January 2015

MAKALAH PERCERAIAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu naluri manusia, karena dengan adanya perkawinan tumbuh rasa saling memberi, memiliki dan saling membantu, sehingga terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah merupakan suatu model atau performance keluarga yang dicita-citakan oleh setiap orang.
Oleh karena perkawinan/pernikahan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berarti dalam rumah tangga itu seharusnya tercipta adanya hubungan yang harmonis antara suami isteri dan anggota keluarganya berdasarkan adanya prinsip saling menghormati (menghargai) dengan baik, tenang, tenteram dan saling mencintai dengan tumbuhnya rasa kasih sayang.

Menciptakan sebuah rumah tangga yang damai berdasarkan kasih sayang yang menjadi performance merupakan idaman bagi setiap pasangan suami isteri merupakan upaya yang tidak mudah, tidak sedikit pasangan suami isteri yang gagal dan berakhir dengan sebuah perceraian.
Angka perceraian dari waktu ke waktu semakin meningkat. Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Dilihat dari putusnya perkawinan dalam UU Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena karena kematian, karena perceraian, dan karena putusan pengadilan.
Bertolak dari uraian sebab-sebab putusnya perkawinan tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk menelaah sebab-sebab putusnya perkawinan, khususnya mengenai putusnya perkawinan karena perceraian menurut hukum Islam dan UU Perkawinan ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU. NO. 1 TH 1974”.
B.  Rumusan Masalah
Mendasarkan pada uraian latar belakang di atas, maka dalam pembahasan ini yang akan dibahas penulis adalah untuk mengetahui pengaturan perceraian menurut hukum Islam dan UU. No. 1 Th 1974.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perceraian. UU perkawinan menyebutkan adanya 16 hal penyebab perceraian. Penyebab perceraian tersebut lebih dipertegas dalam rujukan Pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana yang pertama adalah melanggar hak dan kewajiban.
Dalam hukum Islam, hak cerai terletak pada suami. Oleh karena itu di Pengadilan Agama maupun pengadilan Negeri ada istilah Cerai Talak. Sedangkan putusan pengadilan sendiri ada yang disebut sebagai cerai gugat. Disinilah letak perbedaannya. Bahkan ada perkawinan yang putus karena li’an, khuluk, fasikh dan sebagainya. Putusan pengadilan ini akan ada berbagai macam produknya.
B.  Sebab-sebab Perceraian
Pada penyebab perceraian, pengadilan memberikan legal formal, yaitu pemberian surat sah atas permohonan talak dari suami. Surat talak tersebut diberikan dengan mengacu pada alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (2), dimana salah satu pihak melanggar hak dan kewajiban. Sehingga, walaupun surat talak tersebut sah secara hukum, namun tidak ada kata kesepakatan diantara dua pihak untuk bercerai. Sebagai contoh, apabila seorang suami menjatuhkan talak satu kepada istrinya, maka talak satu yang diucapkan tersebut harus dilegalkan telebih dahulu di depan pengadilan. Karena pada dasarnya secara syar’i, talak tidak boleh diucapkan dalam keadaan emosi. Sehingga, melalui proses legalisasi di depan pengadilan, terdapat jenjang waktu bagi suami untuk merenungkan kembali talak yang telah terucap. Saat ini Pengadilan Agama memberikan sarana mediasi.
Di pengadilan sekarang sudah dimulai sejak adanya Surat Edaran dari Mahkamah Agung No, 1 Tahun 2002. Seluruh hakim di Pengadilan Agama benar-benar harus mengoptimalkan lembaga mediasi tersebut.
Melalui mediasi tersebut, banyak permohonan talak yang ditolak oleh Pengadilan Agama, dengan beberapa alasan. Pertama, karena tidak sesuai dengan ketentuan UU. Kedua, mungkin dari positanya obscuur atau kabur, dan antara posita dan petitumnya bertentangan. Misalnya, istri minta cerai, tetapi dia minta nafkah juga. Sedangkan dalam alasan perceraiannya, si istri menyebutkan bahwa suaminya tidak memberi nafkah selama beberapa bulan berturut-turut.
 Lembaga mediasi yang mulai dioptimalkan sejak tahun 2003, membawa banyak hasil positif. Lembaga mediasi ini selalu berpulang pada syar’i. Al-Qur’an selalu kembali pada lembaga hakam itu. Jadi, hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri. Jadi, setiap perkara yang bisa diarahkan dengan menggunakan lembaga hakam dan mengarah pada syiqoq, sebisa mungkin menggunakan lembaga mediasi.
Alasan-alasan cerai yang disebutkan oleh UU Perkawinan yang pertama tentunya adalah apabila salah satu pihak berbuat yang tidak sesuai dengan syariat. Atau dalam UU dikatakan disitu, bahwa salah satu pihak berbuat zina, mabuk, berjudi, terus kemudian salah satu pihak meninggalkann pihak yang lain selama dua tahun berturut-turut. Apabila suami sudah meminta izin untuk pergi, namun tetap tidak ada kabar dalam jangka waktu yang lama, maka istri tetap dapat mengajukan permohonan cerai melalui putusan verstek.
Selain itu, alasan cerai lainnya adalah apabila salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya, misalnya karena frigid atau impoten. Alasan lain adalah apabila salah satu pihak (biasanya suami) melakukan kekejaman. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menambahkan satu alasan lagi, yaitu apabila salah satu pihak meninggalkan agama atau murtad. Dalam hal salah stau pihak murtad, maka perkawinan tersebut tidak langsung putus. Perceraian merupakan delik aduan. Sehingga apabila salah satu pasangan tidak keberatan apabila pasangannya murtad, maka perkawinan tersebut dapat terus berlanjut. Pengadilan Agama hanya dapat memproses perceraian apabila salah satu pihak mengajukan permohonan ataupun gugatan cerai.
Tata cara pengajuan permohonan dan gugatan perceraian merujuk pada Pasal 118 HIR, yaitu bisa secara tertulis maupun secara lisan. Apabila suami mengajukan permohonan talak, maka permohonan tersebut diajukan di tempat tinggal si istri. Sedangkan apabila istri mengajukan gugatan cerai, gugatan tersebut juga diajukan ke pengadilan dimana si istri tinggal. Dalam hal ini, kaum istri memang mendapatkan kemudahan sebagaimana diatur dalam hukum Islam.
Setelah cerai, maka bagi istri berlaku masa tunggu (masa iddhah), yaitu selama tiga nulam sepuluh hari. Sedangkan bagi wanita yang sedang hamil, maka masa iddhah nya adalah sampai dia melahirkan. Masa idhah tersebut berlaku ketika putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk kasus cerai talak, maka masa iddhah berlaku setelah permohonan talak suami dilegalkan oleh Pengadilan Agama.
Apabila masa iddhah telah lewat dan mantan suami istri ingin kembali rujuk, maka mereka pun dapat kembali rujuk, namun harus dilihat jenis talaknya terlebih dahulu. Secara umum, talak artinya adalah kembali.


C.  Macam-macam Talak
Terdapat dua jenis talak, yaitu :
§  talak Ba’in
§  talak Raj’i.
Talak Raj’i adalah talak yang diucapkan oleh suami, dan apabila ingin rujuk dalam masa iddhah, maka tidak perlu ada akad nikah baru. Cukup adanya pernyataan dari pihak suami bahwa mereka sudah rujuk. Sedangkan untuk talak Ba’in, yaitu perceraian karena diajukan oleh sang istri.
Talak Ba’in terdiri atas dua jenis, yaitu
§  Ba’in Kubro
§  Ba’in sugro.
Talak Ba’in Kubro dapat diupayakan rujuk, namun harus melalui penghalalan (muhalil). Sedangkan untuk Ba’in Sugro terlepas dari adanya masa masa iddhah atau tidak, tetap harus melalui akad nikah untuk rujuk dan harus melewati prosesi pernikahan sebagaimana awal menikah dulu.
Secara umum, masyarakat hanya mengenal istilah talak sebatas sebutan talak satu, talak dua dan talak tiga. Talak yang dijatuhkan oleh suami disebut sebagai cerai talak. Sedangkan talak yang diajukan oleh istri dinamakan cerai gugat. Jadi sebenarnya ada dua jenis talak. Dari kedua talak ini, akan ada beberapa produk talak. Produk Cerai talak adalah Talak Raj’i, dimana untuk rujuk tidak harus melalui akad baru. Rujuk dalam Talak Raj’i cukup hanya dengan pernyataan suami bahwa dia telah rujuk dengan sang istri. Sedangkan produk cerai gugat adalah talak Ba’in, sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Dalam Talak Bail Kubro, terdapat Li’an dan dzihar. Li’an artinya adalah sumpah seorang suami dan istri bahwa satu sama lain telah berzina. Jadi, masing-masing pihak telah siap dengan konsekuensi dan azhab dari Allah, apabila memang benar mereka berbohong.
Sedangkan dzihar adalah tindakan suami yang mempersamakan istrinya dengan ibu kandungnya. Dalam syariat sama saja dengan mencampuri ibunya. Oleh karena itu, Li’an merupakan perbuatan yang harus diceraikan dengan talak Ba’in Kubro. Dalam hal muhalil, maka si muhalil wajib kumpul dengan istrinya tanpa basa basi. Muhalil tidak boleh disertai dengan mut’ah.
Dalam hal sang istri ingin mengajukan gugatan, maka hal utama yang harus dipersiapkan oleh sang istri adalah surat gugatan. Sedangkan untuk cerai talak, kurang lebih sama. Namun yang perlu dipersiapkan oleh sang suami bukan gugatan, melainkan permohonan untuk melegalkan talak yang sudah terucap.
Alasan untuk mengajukan cerai talak dan cerai gugat kurang lebih sama. Hanya saja dalam cerai talak ada satu perbedaan, yaitu seorang istri yang nusyuz, artinya seorang istri yang tidak taat kepada suami.
Apabila setelah bercerai baik suami maupun istri ingin rujuk kembali, maka peristiwa rujuk tersebut akan tercatat dalam lembar terakhir buku nikah. Demikian halnya apabila para pihak memiliki perjanjian pranikah, maka perjanjian tersebut akan tercatat dalam lembar terakhir buku nikah itu juga, dengan sepengetahuan instansi yang berwenang, yaitu KUA.
Dampak dari suatu perceraian selain mengenai masalah harta, juga mengenai masalah hak wali anak, yaitu bisa terhadap pemeliharaan anak atau hak hadhonah. Masalah lain yang juga cukup pelik adalah masalah pemberian nafkah, yaitu sampai kapankah suami wajib memberikan nafkah terhadap mantan istri setelah mereka bercerai? Apabila talak tersebut datang dari pihak suami, maka suami wajib menafkahi istri sampe masa iddhah nya selesai. Dalam hal talak, maka salah satu pihak dapat mengajukan tuntutan mengenai hak haddhonah dan juga mengenai harta secara bersamaan.
Permasalahan unik lainnya dalam Pengadilan Agama adalah apabila pasangan suami sitri menikah secara Islam. Namun ditengah bahtera rumah tangga, mereka pindah agama. Beberapa tahun kemudian mereka bercerai. Kembali kepada UU Perkawinan UU No.1 Tahun 1974 UU Perkawinan serta merujuk kembali pada UU NO. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah diatur secara lex specialis bahwa pengadilan agama menyelesaikan menerima menyelesaikan dan memeriksa serta menyelesaikan perkara-perkara khususnya tentang masalah berkaitan perceraian yang dilakukan pernikahannya secara agama Islam. Sehingga walaupun di tengah perkawinan mereka telah pindah agama dan memutuskan untuk bercerai, maka perkara perceraian tersebut diselesaikan di Pengadilan Agama sepanjang pernikahan mereka dilaksanakan secara Islam.
Banyak pasangan yang membuat perjanjian pranikah mengenai pemisahan harta. Biasanya masing-masing pihak baik istri maupun suami membuat perjanjian pranikah yang secara garis besar isinya adalah tidak adanya percampuran harta. Sehingga apabila mereka meutuskan untuk bercerai, maka baik istri maupun suami tetap berhak atas harta yang mereka peroleh selama perkawinan tanpa mengkhawatirkan adanya upaya pengambilalihan oleh pihak lain. Apabila mereka bercerai, maka perjanjian pranikah tersebut dapat langsung dieksekusi, yaitu setelah perkara percerain telah memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap.


D.  Alasan Untuk Bercerai
Berikut ini adalah beberapa alasan sah yang membolehkan seseorang bercerai menurut Islam:
1.      Penyiksaan secara fisik, mental ataupun emosional; ketika seorang pasangan menjadi kasar secara fisik, menyiksa secara emosi atau mental dan ia tidak mau untuk berubah dengan mencoba untuk mengikuti terapi atau konseling maka hal itu adalah alasan yang sah untuk meminta cerai. Zulm (ketidakadilan) tidak dapat ditoleransi dalam Islam bagi siapapun yang melakukannya.
2.      Bila perkawinan gagal memenuhi sasaran dan tujuan yang telah dicanangkan sebelumnya; hal ini bisa terjadi karena ketidakcocokkan antara suami isteri; ketidakcocokkan yang terlihat dari tidak dapat didamaikannya kembali manakala terjadi perbedaan antara suami isteri akibat emosi, suka atau tidak suka akan suatu hal.
3.      Pengkhianatan dalam rumah tangga; yang dapat menjadi sebab utama atas ketidakharmonisan dalam rumah tangga; karena rumah tangga dibangun atas dasar kepercayaan dan kejujuran; yang tujuan utamanya adalah menjaga kesucian dan kerendahan hati orang yang ada di dalam rumah tangga itu sendiri; sekali saja dasar rumah tangga itu sudah dirusak dan terkikis maka akan sangat sulit untuk mengembalikannya lagi dan saat itulah mungkin perceraian menjadi jalan keluar terakhir.
4.      Ketika suami yang semestinya bertindak sebagai pencari nafkah dan menjadi kepala keluarga tapi gagal dalam mengemban tanggung jawab tersebut dan sang istri kemudian memutuskan bahwa ia sudah tidak sanggup lagi atas kelalaian suaminya yang tidak bertanggungjawab terhadap keluarga.
Namun sebelum memutuskan untuk bercerai ada dua cara yang layak dicoba yang bisa ditempuh oleh pasangan suami istri:
a)      Mencari nasihat dari seseorang yang arif, bijaksana, berilmu, berpengalaman dan mencoba mencari pemecahan atas masalah yang dihadapi oleh suami istri dengan mempertimbangkan masukan serta nasihat dari orang tersebut;
b)      Jika langkah diatas tidak berhasil maka kedua pasangan dianjurkan untuk mendatangi KUA (Kantor Urusan Agama); dimana di KUA kedua pasangan diharuskan memiliki pihak ketiga yang dapat mewakili kepentingan masing-masing pasangan. Mereka harus menyetujui keputusan yang nantinya akan disepakati.
Alasan untuk ini adalah bahwa seringkali manusia menjadi sibuk dengan urusan suka atau tidak suka mereka yang sementara sehingga mereka tidak bisa melihat kelemahan dan sifat-sifat buruk yang ada pada diri mereka sendiri. Maka dari itu mereka dianjurkan untuk mencari pengetahuan dan nasihat dari seseorang yang memiliki ilmu dan pengalaman, yang nantinya dapat membantu mereka memperkuat diri mereka sendiri untuk memperbaiki sifat dan prilaku mereka.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan dan pembahasan di atas sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa hukum Islam telah mengatur secara universal mengenai masalah perceraian tersebut, namun nampak bahwa yang membedakan itu adalah pada sisi/tataran aplikasi dan pengaturannya saja mengingat adanya perbedaaan sistem sosial, sistem budaya atau bahkan sistem politik di masing-masing negara tersebut berbeda.
Aturan umum hukum dalam ajaran Islam mengenai hukum asal thalaq/cerai ini adalah makruh. Dimana Orang laki-laki merdeka dan dewasa berhak menceraikan isterinya sampai batas minimal 3 kali. Dan dianggap sah pula, jika seseorang menyandarkan thalaq dengan salah satu sifat atau syarat2.
Hampir di seluruh negara Islam (mayoritas penduduknya muslim) permasalahan mengenai perceraian antara suami isteri telah dikenal atau bahkan telah dihukum-positifkan. Begitu pula di Indonesia hukum Islam tentang Ath-Thalaq ini telah diqanunkan menjadi sebuah hukum positif yang merupakan rujukan dan kepastian hukum bagi umat Islam di Indonesia, yaitu sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Menurut hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974, perceraian adalah salah satu sebab putusnya perkawinan. Perceraian tidak hanya berakibat pada pasangan itu saja, tetapi akan berakibat pula pada pemeliharaan anak, harta bersama dan masalah pemberian nafkah.
Pada saat ini, banyak masyarakat yang tidak mengetahui tata cara perceraian menurut hukum Islam. Masyarakat hanjya mengetahui adanya talak 1, talak 2 dan talak 3 saja tanpa mengetahui dengan jelas maksud dari semuanya itu.
 

DAFTAR PUSTAKA

Tihami, Sohari Sahrani, Fikh Munakahat : Kajian Fikh Lengkap, Jakarta : Rajawali Pers, 2009
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Daar Al-Fikr, Cairo, 1984.
Bustanul Arifin, pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Muhammad Rawas Qal’ahji, Mausul Fiqhi Umar Ibnil Khatab, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.
Musthafa Diibul Bigha, At-Thadzhiib Fii Adillati Matnil Ghaayah Wat Taqrib, Daar Al-Fikr, Kairo, 1994.
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992

0 comments:

Post a Comment