BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perkawinan
merupakan salah satu naluri manusia, karena dengan adanya perkawinan tumbuh
rasa saling memberi, memiliki dan saling membantu, sehingga terwujud keluarga
yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah
merupakan suatu model atau performance keluarga yang dicita-citakan oleh setiap
orang.
Oleh karena
perkawinan/pernikahan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal, berarti dalam rumah tangga itu seharusnya tercipta adanya hubungan
yang harmonis antara suami isteri dan anggota keluarganya berdasarkan adanya
prinsip saling menghormati (menghargai) dengan baik, tenang, tenteram dan
saling mencintai dengan tumbuhnya rasa kasih sayang.
Menciptakan
sebuah rumah tangga yang damai berdasarkan kasih sayang yang menjadi
performance merupakan idaman bagi setiap pasangan suami isteri merupakan upaya
yang tidak mudah, tidak sedikit pasangan suami isteri yang gagal dan berakhir
dengan sebuah perceraian.
Angka
perceraian dari waktu ke waktu semakin meningkat. Perceraian terjadi apabila
kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan
ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) tidak memberikan
definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan
serta penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan
apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Dilihat dari putusnya
perkawinan dalam UU Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena
karena kematian, karena perceraian, dan karena putusan pengadilan.
Bertolak
dari uraian sebab-sebab putusnya perkawinan tersebut di atas, penulis
berkeinginan untuk menelaah sebab-sebab putusnya perkawinan, khususnya mengenai
putusnya perkawinan karena perceraian menurut hukum Islam dan UU Perkawinan ke
dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM
DAN UU. NO. 1 TH 1974”.
B. Rumusan Masalah
Mendasarkan
pada uraian latar belakang di atas, maka dalam pembahasan ini yang akan dibahas
penulis adalah untuk mengetahui pengaturan perceraian menurut hukum Islam dan
UU. No. 1 Th 1974.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perceraian
Perceraian
merupakan salah satu sebab putusnya perceraian. UU perkawinan menyebutkan
adanya 16 hal penyebab perceraian. Penyebab perceraian tersebut lebih
dipertegas dalam rujukan Pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI),
dimana yang pertama adalah melanggar hak dan kewajiban.
Dalam hukum
Islam, hak cerai terletak pada suami. Oleh karena itu di Pengadilan Agama
maupun pengadilan Negeri ada istilah Cerai Talak. Sedangkan putusan pengadilan
sendiri ada yang disebut sebagai cerai gugat. Disinilah letak perbedaannya.
Bahkan ada perkawinan yang putus karena li’an, khuluk, fasikh dan sebagainya.
Putusan pengadilan ini akan ada berbagai macam produknya.
B. Sebab-sebab Perceraian
Pada
penyebab perceraian, pengadilan memberikan legal formal, yaitu pemberian surat
sah atas permohonan talak dari suami. Surat talak tersebut diberikan dengan
mengacu pada alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (2), dimana
salah satu pihak melanggar hak dan kewajiban. Sehingga, walaupun surat talak
tersebut sah secara hukum, namun tidak ada kata kesepakatan diantara dua pihak
untuk bercerai. Sebagai contoh, apabila seorang suami menjatuhkan talak satu
kepada istrinya, maka talak satu yang diucapkan tersebut harus dilegalkan
telebih dahulu di depan pengadilan. Karena pada dasarnya secara syar’i, talak
tidak boleh diucapkan dalam keadaan emosi. Sehingga, melalui proses legalisasi
di depan pengadilan, terdapat jenjang waktu bagi suami untuk merenungkan
kembali talak yang telah terucap. Saat ini Pengadilan Agama memberikan sarana
mediasi.
Di
pengadilan sekarang sudah dimulai sejak adanya Surat Edaran dari Mahkamah Agung
No, 1 Tahun 2002. Seluruh hakim di Pengadilan Agama benar-benar harus
mengoptimalkan lembaga mediasi tersebut.
Melalui
mediasi tersebut, banyak permohonan talak yang ditolak oleh Pengadilan Agama,
dengan beberapa alasan. Pertama, karena tidak sesuai dengan ketentuan UU.
Kedua, mungkin dari positanya obscuur atau kabur, dan antara posita dan
petitumnya bertentangan. Misalnya, istri minta cerai, tetapi dia minta nafkah
juga. Sedangkan dalam alasan perceraiannya, si istri menyebutkan bahwa suaminya
tidak memberi nafkah selama beberapa bulan berturut-turut.
Lembaga mediasi yang mulai dioptimalkan sejak
tahun 2003, membawa banyak hasil positif. Lembaga mediasi ini selalu berpulang
pada syar’i. Al-Qur’an selalu kembali pada lembaga hakam itu. Jadi, hakam dari
pihak suami dan hakam dari pihak istri. Jadi, setiap perkara yang bisa
diarahkan dengan menggunakan lembaga hakam dan mengarah pada syiqoq, sebisa
mungkin menggunakan lembaga mediasi.
Alasan-alasan
cerai yang disebutkan oleh UU Perkawinan yang pertama tentunya adalah apabila
salah satu pihak berbuat yang tidak sesuai dengan syariat. Atau dalam UU
dikatakan disitu, bahwa salah satu pihak berbuat zina, mabuk, berjudi, terus
kemudian salah satu pihak meninggalkann pihak yang lain selama dua tahun
berturut-turut. Apabila suami sudah meminta izin untuk pergi, namun tetap tidak
ada kabar dalam jangka waktu yang lama, maka istri tetap dapat mengajukan
permohonan cerai melalui putusan verstek.
Selain itu,
alasan cerai lainnya adalah apabila salah satu pihak tidak dapat menjalankan
kewajibannya, misalnya karena frigid atau impoten. Alasan lain adalah apabila
salah satu pihak (biasanya suami) melakukan kekejaman. Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menambahkan satu alasan lagi, yaitu apabila salah satu pihak meninggalkan
agama atau murtad. Dalam hal salah stau pihak murtad, maka perkawinan tersebut
tidak langsung putus. Perceraian merupakan delik aduan. Sehingga apabila salah
satu pasangan tidak keberatan apabila pasangannya murtad, maka perkawinan
tersebut dapat terus berlanjut. Pengadilan Agama hanya dapat memproses
perceraian apabila salah satu pihak mengajukan permohonan ataupun gugatan
cerai.
Tata cara
pengajuan permohonan dan gugatan perceraian merujuk pada Pasal 118 HIR, yaitu
bisa secara tertulis maupun secara lisan. Apabila suami mengajukan permohonan
talak, maka permohonan tersebut diajukan di tempat tinggal si istri. Sedangkan
apabila istri mengajukan gugatan cerai, gugatan tersebut juga diajukan ke pengadilan
dimana si istri tinggal. Dalam hal ini, kaum istri memang mendapatkan kemudahan
sebagaimana diatur dalam hukum Islam.
Setelah
cerai, maka bagi istri berlaku masa tunggu (masa iddhah), yaitu selama tiga
nulam sepuluh hari. Sedangkan bagi wanita yang sedang hamil, maka masa iddhah
nya adalah sampai dia melahirkan. Masa idhah tersebut berlaku ketika putusan
hakim berkekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk kasus cerai talak, maka masa
iddhah berlaku setelah permohonan talak suami dilegalkan oleh Pengadilan Agama.
Apabila masa
iddhah telah lewat dan mantan suami istri ingin kembali rujuk, maka mereka pun
dapat kembali rujuk, namun harus dilihat jenis talaknya terlebih dahulu. Secara
umum, talak artinya adalah kembali.
C. Macam-macam Talak
Terdapat dua jenis talak, yaitu :
§ talak Ba’in
§ talak Raj’i.
Talak Raj’i
adalah talak yang diucapkan oleh suami, dan apabila ingin rujuk dalam masa
iddhah, maka tidak perlu ada akad nikah baru. Cukup adanya pernyataan dari
pihak suami bahwa mereka sudah rujuk. Sedangkan untuk talak Ba’in, yaitu
perceraian karena diajukan oleh sang istri.
Talak Ba’in terdiri atas dua jenis,
yaitu
§ Ba’in Kubro
§ Ba’in sugro.
Talak Ba’in
Kubro dapat diupayakan rujuk, namun harus melalui penghalalan (muhalil).
Sedangkan untuk Ba’in Sugro terlepas dari adanya masa masa iddhah atau tidak,
tetap harus melalui akad nikah untuk rujuk dan harus melewati prosesi
pernikahan sebagaimana awal menikah dulu.
Secara umum,
masyarakat hanya mengenal istilah talak sebatas sebutan talak satu, talak dua
dan talak tiga. Talak yang dijatuhkan oleh suami disebut sebagai cerai talak.
Sedangkan talak yang diajukan oleh istri dinamakan cerai gugat. Jadi sebenarnya
ada dua jenis talak. Dari kedua talak ini, akan ada beberapa produk talak.
Produk Cerai talak adalah Talak Raj’i, dimana untuk rujuk tidak harus melalui
akad baru. Rujuk dalam Talak Raj’i cukup hanya dengan pernyataan suami bahwa
dia telah rujuk dengan sang istri. Sedangkan produk cerai gugat adalah talak
Ba’in, sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Dalam Talak
Bail Kubro, terdapat Li’an dan dzihar. Li’an artinya adalah sumpah seorang
suami dan istri bahwa satu sama lain telah berzina. Jadi, masing-masing pihak
telah siap dengan konsekuensi dan azhab dari Allah, apabila memang benar mereka
berbohong.
Sedangkan dzihar adalah tindakan
suami yang mempersamakan istrinya dengan ibu kandungnya. Dalam syariat sama
saja dengan mencampuri ibunya. Oleh karena itu, Li’an merupakan perbuatan yang
harus diceraikan dengan talak Ba’in Kubro. Dalam hal muhalil, maka si muhalil wajib
kumpul dengan istrinya tanpa basa basi. Muhalil tidak boleh disertai dengan
mut’ah.
Dalam hal
sang istri ingin mengajukan gugatan, maka hal utama yang harus dipersiapkan
oleh sang istri adalah surat gugatan. Sedangkan untuk cerai talak, kurang lebih
sama. Namun yang perlu dipersiapkan oleh sang suami bukan gugatan, melainkan
permohonan untuk melegalkan talak yang sudah terucap.
Alasan untuk
mengajukan cerai talak dan cerai gugat kurang lebih sama. Hanya saja dalam
cerai talak ada satu perbedaan, yaitu seorang istri yang nusyuz, artinya
seorang istri yang tidak taat kepada suami.
Apabila
setelah bercerai baik suami maupun istri ingin rujuk kembali, maka peristiwa
rujuk tersebut akan tercatat dalam lembar terakhir buku nikah. Demikian halnya
apabila para pihak memiliki perjanjian pranikah, maka perjanjian tersebut akan
tercatat dalam lembar terakhir buku nikah itu juga, dengan sepengetahuan
instansi yang berwenang, yaitu KUA.
Dampak dari suatu perceraian selain mengenai masalah harta, juga mengenai masalah hak wali anak, yaitu bisa terhadap pemeliharaan anak atau hak hadhonah. Masalah lain yang juga cukup pelik adalah masalah pemberian nafkah, yaitu sampai kapankah suami wajib memberikan nafkah terhadap mantan istri setelah mereka bercerai? Apabila talak tersebut datang dari pihak suami, maka suami wajib menafkahi istri sampe masa iddhah nya selesai. Dalam hal talak, maka salah satu pihak dapat mengajukan tuntutan mengenai hak haddhonah dan juga mengenai harta secara bersamaan.
Dampak dari suatu perceraian selain mengenai masalah harta, juga mengenai masalah hak wali anak, yaitu bisa terhadap pemeliharaan anak atau hak hadhonah. Masalah lain yang juga cukup pelik adalah masalah pemberian nafkah, yaitu sampai kapankah suami wajib memberikan nafkah terhadap mantan istri setelah mereka bercerai? Apabila talak tersebut datang dari pihak suami, maka suami wajib menafkahi istri sampe masa iddhah nya selesai. Dalam hal talak, maka salah satu pihak dapat mengajukan tuntutan mengenai hak haddhonah dan juga mengenai harta secara bersamaan.
Permasalahan
unik lainnya dalam Pengadilan Agama adalah apabila pasangan suami sitri menikah
secara Islam. Namun ditengah bahtera rumah tangga, mereka pindah agama.
Beberapa tahun kemudian mereka bercerai. Kembali kepada UU Perkawinan UU No.1
Tahun 1974 UU Perkawinan serta merujuk kembali pada UU NO. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, telah diatur secara lex specialis bahwa pengadilan agama
menyelesaikan menerima menyelesaikan dan memeriksa serta menyelesaikan
perkara-perkara khususnya tentang masalah berkaitan perceraian yang dilakukan
pernikahannya secara agama Islam. Sehingga walaupun di tengah perkawinan mereka
telah pindah agama dan memutuskan untuk bercerai, maka perkara perceraian
tersebut diselesaikan di Pengadilan Agama sepanjang pernikahan mereka
dilaksanakan secara Islam.
Banyak
pasangan yang membuat perjanjian pranikah mengenai pemisahan harta. Biasanya
masing-masing pihak baik istri maupun suami membuat perjanjian pranikah yang
secara garis besar isinya adalah tidak adanya percampuran harta. Sehingga
apabila mereka meutuskan untuk bercerai, maka baik istri maupun suami tetap
berhak atas harta yang mereka peroleh selama perkawinan tanpa mengkhawatirkan
adanya upaya pengambilalihan oleh pihak lain. Apabila mereka bercerai, maka
perjanjian pranikah tersebut dapat langsung dieksekusi, yaitu setelah perkara
percerain telah memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap.
D. Alasan Untuk Bercerai
Berikut ini
adalah beberapa alasan sah yang membolehkan seseorang bercerai menurut Islam:
1.
Penyiksaan
secara fisik, mental ataupun emosional; ketika seorang pasangan menjadi kasar
secara fisik, menyiksa secara emosi atau mental dan ia tidak mau untuk berubah
dengan mencoba untuk mengikuti terapi atau konseling maka hal itu adalah alasan
yang sah untuk meminta cerai. Zulm (ketidakadilan) tidak dapat ditoleransi
dalam Islam bagi siapapun yang melakukannya.
2.
Bila
perkawinan gagal memenuhi sasaran dan tujuan yang telah dicanangkan sebelumnya;
hal ini bisa terjadi karena ketidakcocokkan antara suami isteri;
ketidakcocokkan yang terlihat dari tidak dapat didamaikannya kembali manakala
terjadi perbedaan antara suami isteri akibat emosi, suka atau tidak suka akan
suatu hal.
3.
Pengkhianatan
dalam rumah tangga; yang dapat menjadi sebab utama atas ketidakharmonisan dalam
rumah tangga; karena rumah tangga dibangun atas dasar kepercayaan dan
kejujuran; yang tujuan utamanya adalah menjaga kesucian dan kerendahan hati
orang yang ada di dalam rumah tangga itu sendiri; sekali saja dasar rumah
tangga itu sudah dirusak dan terkikis maka akan sangat sulit untuk mengembalikannya
lagi dan saat itulah mungkin perceraian menjadi jalan keluar terakhir.
4.
Ketika suami
yang semestinya bertindak sebagai pencari nafkah dan menjadi kepala keluarga
tapi gagal dalam mengemban tanggung jawab tersebut dan sang istri kemudian
memutuskan bahwa ia sudah tidak sanggup lagi atas kelalaian suaminya yang tidak
bertanggungjawab terhadap keluarga.
Namun sebelum memutuskan untuk
bercerai ada dua cara yang layak dicoba yang bisa ditempuh oleh pasangan suami
istri:
a)
Mencari
nasihat dari seseorang yang arif, bijaksana, berilmu, berpengalaman dan mencoba
mencari pemecahan atas masalah yang dihadapi oleh suami istri dengan
mempertimbangkan masukan serta nasihat dari orang tersebut;
b)
Jika langkah
diatas tidak berhasil maka kedua pasangan dianjurkan untuk mendatangi KUA
(Kantor Urusan Agama); dimana di KUA kedua pasangan diharuskan memiliki pihak
ketiga yang dapat mewakili kepentingan masing-masing pasangan. Mereka harus
menyetujui keputusan yang nantinya akan disepakati.
Alasan untuk ini adalah bahwa seringkali
manusia menjadi sibuk dengan urusan suka atau tidak suka mereka yang sementara
sehingga mereka tidak bisa melihat kelemahan dan sifat-sifat buruk yang ada
pada diri mereka sendiri. Maka dari itu mereka dianjurkan untuk mencari
pengetahuan dan nasihat dari seseorang yang memiliki ilmu dan pengalaman, yang
nantinya dapat membantu mereka memperkuat diri mereka sendiri untuk memperbaiki
sifat dan prilaku mereka.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan
pemaparan dan pembahasan di atas sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa
hukum Islam telah mengatur secara universal mengenai masalah perceraian
tersebut, namun nampak bahwa yang membedakan itu adalah pada sisi/tataran aplikasi
dan pengaturannya saja mengingat adanya perbedaaan sistem sosial, sistem budaya
atau bahkan sistem politik di masing-masing negara tersebut berbeda.
Aturan umum hukum dalam ajaran
Islam mengenai hukum asal thalaq/cerai ini adalah makruh. Dimana Orang
laki-laki merdeka dan dewasa berhak menceraikan isterinya sampai batas minimal
3 kali. Dan dianggap sah pula, jika seseorang menyandarkan thalaq dengan salah
satu sifat atau syarat2.
Hampir
di seluruh negara Islam (mayoritas penduduknya muslim) permasalahan mengenai
perceraian antara suami isteri telah dikenal atau bahkan telah
dihukum-positifkan. Begitu pula di Indonesia hukum Islam tentang Ath-Thalaq ini
telah diqanunkan menjadi sebuah hukum positif yang merupakan rujukan dan
kepastian hukum bagi umat Islam di Indonesia, yaitu sebagaimana termaktub dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Menurut
hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974, perceraian adalah salah satu sebab
putusnya perkawinan. Perceraian tidak hanya berakibat pada pasangan itu saja,
tetapi akan berakibat pula pada pemeliharaan anak, harta bersama dan masalah
pemberian nafkah.
Pada saat ini, banyak masyarakat yang tidak mengetahui tata cara perceraian menurut hukum Islam. Masyarakat hanjya mengetahui adanya talak 1, talak 2 dan talak 3 saja tanpa mengetahui dengan jelas maksud dari semuanya itu.
Pada saat ini, banyak masyarakat yang tidak mengetahui tata cara perceraian menurut hukum Islam. Masyarakat hanjya mengetahui adanya talak 1, talak 2 dan talak 3 saja tanpa mengetahui dengan jelas maksud dari semuanya itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Tihami, Sohari Sahrani, Fikh
Munakahat : Kajian Fikh Lengkap, Jakarta : Rajawali Pers, 2009
Sayyid Sabiq, Fiqh
As-Sunnah, Daar Al-Fikr, Cairo, 1984.
Bustanul Arifin,
pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya,
Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Muhammad Rawas
Qal’ahji, Mausul Fiqhi Umar Ibnil Khatab, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1999.
Musthafa Diibul
Bigha, At-Thadzhiib Fii Adillati Matnil Ghaayah Wat Taqrib, Daar
Al-Fikr, Kairo, 1994.
H. Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992
0 comments:
Post a Comment