“Man
tamanthaqa faqad fazandaqa” , demikian
ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti
harfiahnya kira-kira adalah, “Barang
siapa menggunakan logika maka ia telah kafir.”
Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak
salah? Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan? Dan apa pula
konsekuensinya jika ia mutlak salah? Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa
benar sekaligus bisa salah secara bersamaan atau secara fuzzy ? Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti
ini fuzzy
atau relatif?
Logika adalah kaidah-kaidah berfikir.
Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi
bahasa mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas
di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau
mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini mustahil (tidak mungkin). Bahkan
mustahil pula dalam semua khayalan yang mungkin (all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama
dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip
berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara
spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan harus selalu diterima
kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini
sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak
mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi,
akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam
lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh bagunan agama, filsafat,
sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.
Sebagai contoh perkataan ‘Ibn
Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah
logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip
non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah . Artinya
seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan,
atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak
bermakna, maka pernyataan itu sendiri “Man tamanthaqa faqad fazandaqa” juga
nafi. Tak bermakna. Tak perlu dipikirkan.
Menerima kebenaran pernyataan beliau
tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan tersebut
benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena
beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau
kafir. Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini
benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil benar. Karena
kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.
“Wa qul jaa ‘al-haqqa
wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana zahuuqa.” Dalam pandangan saya, Islam jelas menentang
adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak
mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar. Dalam dunia
dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah. Golongan
relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui
pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain. Beberapa
pemikiran yang mendasari gelombang filsafat pasca-modernis juga merupakan
cerminan dari pandangan golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus
1995, hal 76, DR.Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas
menentang keras sikap golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan
sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan shopisme Yunsni, semua yang jelas-jelas
ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi
golongan positivis pasca- Renaisance,
semua yang tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi
pengikut Marx dan Hegel, kontradiksibukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi
arah gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern, yang mendasarkan
pemiokirannya pada language games ala
Wittgenstein ataupun Russel seyiap propisisi adalah bahasa, dan setiap bahasa
nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap keberanan itu relatif.
Adapun sufastaiyyah, misalnya
sama. Menghancurkan kaidah dasar logoka. Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam tingkatan
ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis
meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel
meniadaknnya sebagai watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun
Russel menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnaya kepada alam
di luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia.
Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya
sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik.
Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang
benar telah menghantarkan para filosof besar
pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socraets dengan The
Most Beauty -nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles
dengan prime-mover-nya.. ‘Ibn Arabi dengan al-jam’u
bainal-‘addaad (coincindentia in
oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir
nya. Mulla
Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary
dengan Al-Wujud Al-Muthlaq-nya. Jelas-jelas penerapan logika bagi
mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke
seluruh pori-pori rohaninya yang mingkin. Atau dengan kata lain, mencapai
hakikat. Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur
filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya.
Tentang Aristoteles, sebuah riwayat menyatakan bahwa ia adalah seorang
nabi yang didustakan ummatnya. Tentang ‘Ibn ‘Arabi, tidak ada yang
menyangsingkan sebagai salah seorang sufi terbesar sepanjang sejarah dengan tak
terhitung pengalaman ruhani yang
tertulis di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali
haji ke Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan
kekasih-Nya. Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan super-executive untuk mencapai hakikat.
Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama , tanpa logika agama tak-kan
dapat terpahami. Jadi apakah logika menentang agama?
0 comments:
Post a Comment