Kemustahilan adanya kontradiksi dalam semua yang
maujud. Ini adalah hakikat inti prima-principia, yang disebut dengan prinsip
non-kontradiksi (qanun tanaqudh).
Secara lebih terperinci prima - principia ini terdiri atas tiga prinsip;
identitas (qanun dzatiyyah),
non-kontradiksi (qanun tanaqudh) dan
ketiadaan batas (qanun imtina`).
Prinsip identitas artinya sesuatu selalu identik
dengan dirinya sendiri. Prinsip non-kontradiksi artinya sesuatu pasti tidak
sama dengan yang bukan dirinya sendiri. Prinsip ketiadaan batas artinya sesuatu
tidak mungkin sekaligus sesuatu dan bukan sesuatu tersebut pada saat yang
bersamaan.
Contohnya; Tuhan itu Ada. Dan Ada memiliki makna
hanya karena menurut qanun dzatiyyah
Ada itu benar-benar Ada. Kemudian, menurut qanun
tanaqudh, Ada itu pasti tidak sama
dengan tidak Ada. Dan lebih tegas lagi, menurut qanun imtina` , Tuhan itu
Ada dan mustahil tidak Ada.
Demikianlah, tidak
ada satu kebenaran apa pun yang dapat di-tashdiq
tanpa mengakui prima - principia. Karena berarti benar bisa sekaligus
salah, dan sebaliknya.
Dan bahkan tidak
ada satu konsepsi apa pun, baik tunggal maupun majemuk, yang dapat diterima
tanpa sebelumnya mengakui prima - principia. Karena segala sesuatu
kehilangan identitasnya dan tak mungkin diberi identitas tanpa menerima prinsip
ini sebelumnya.
Keberadaannya
dalam akal manusia niscaya, dan jelas bukan merupakan prinsip yang bisa
diturunkan dari fakta maupun prinsip lain.
Karena justru prinsip ini-lah tempat semua bangunan pengetahuan manusia
bertumpu.
Dan
kebenarannya dalam alam obyektif tidak mungkin dapat dibantah. Karena dengan menolak kebenarannya kita akan
kehilangan keseluruhan makna semua yang maujud.
Dan penolakan
kepadanya hanyalah karena perbedaan istilah tentang kontradiksi[1].
Sehingga secara hakiki tidak
mengubah kebenaran prinsip ini yang Mutlak.
Sehingga benarlah
jika dikatakan prinsip dasar seluruh bangunan pengetahuan manusia adalah suatu
ilmu hudhuriy. Karena
prima-principia yang merupakan kenyataan yang paling nyata dari yang nyata
ternyata telah hadir dalam akal
manusia tanpa memerlukan suatu usaha rasional apa pun.
Bahkan sebagian
filsuf[2]
yakin bahwa pada hakikatnya semua ‘ilmu bersifat hudhuriy. Karena bukankah semua ‘ilmu lain lahir dari, oleh dan
untuk prima - principia ini ?
Dan bahkan, prinsip
kesegalaan,- tidak lain adalah prima - principia -, telah ada secara niscaya pada jiwa manusia, sehingga terkadang manusia
disebut sebagai mikro-kosmos. Walaupun secara material manusia sebagian
kecil dari alam materi, namun sebagai intellegebles,
manusia mengandung hakikat semua yang maujud. Sehingga tak salah jika dikatakan
bahwa, seluruh yang ada qua seluruh yang ada telah secara niscaya ada
dalam jiwa manusia, in potentia , dengan memahami bahwa belum tentu
teraktualisasi sempurna. Apakah itu yang dimaksudkan dengan Tuhan tak mungkin
ditampung apapun kecuali di qalbi mu`min?
Dan semoga Ia menjernihkan al-‘aql dari hawa nafsu
sehingga jelas tampak semuapyang benar sebagaimana adanya, kabulkan Yaa Allah
tunjukilah hatiku yang sesat lagi gelap ini.
wallahu a’lam bish-showwab
[1] Ada delapan syarat untuk
membuktikan adanya kontradiksi; kesatuan subyek , kesatuan predikat, kesatuan
tempat, kesatuan waktu, kesatuan potensialitas dan aktualitas, kesatuan keseluruhan
dan sebagian, kesatuan dalam syarat/kondisi, kesatuan dalam al-idhafah. Misalnya, saya mati dan saya
hidup belum tentu merupakan kontradiksi, karena dapat dikatakan saya mati
setahun lagi dan saya hidup sekarang. Ini tidak memenuhi syarat kesatuan waktu.
Contoh lain adalah, saya akan lulus dan saya akan tidak lulus belum tentu
merupakan kontradiksi, karena dapat dikatakan saya akan lulus jika rajin
belajar dan saya akan tidak lulus jika tidak rajin belajar. Contoh ini tidak
memenuhi syarat kesatuan syarat / kondisi.
[2] Seperti halnya ‘Allamah
Muhammad Husain Tabataba`ie.
0 comments:
Post a Comment