menatap Kekasih buhulan
rindu
lidah tertetak menjadi
kelu
orok merah berari membiru
labuan bunda kaku membatu
Hud-Hud Rahmaniyah,
syair ke-dua
O. Prolog
Apakah di surga itu ada warna dan
bunyi sebagaimana di dunia ini? Demikian, kami sibuk berbincang saat bis malam
Bandung-Surabaya yang saya tumpangi beserta Sayyid Musa menyusun
silogisme-silogisme menghadapi tikungan-tikungan Sumedang yang amat tajam
tersebut. Setajam itu pula, terulur kilauan-kilauan berlian argumentasi dari
akal Sayyid Musa, -pancaran hikmah-, yang mengiris-iris semua kegelapan
sehingga terang teofani mengatasi segala yang ada!
“Pertama, warna dan bunyi, ditinjau
dari sebab-sebab materialnya jelas tidak ada di surga. Mengapa? Karena warna
dan bunyi di alam fisik ini ditimbulkan oleh gelombang-gelombang dengan besar
amplitudo tertentu, yang pasti-pasti terbatasi oleh ruang dan waktu. Artinya
mereka bersifat material. Sedang surga pasti-pasti adalah suatu yang bersifat
spiritual (immaterial),” begitu ujar Beliau.
“Tapi Paduka,
apatah nan hendak
kuucapkan tentang
pelangi-pelangi nan
dengannya Ia kecup bibir-bibir hatiku
atau dengan simfoni
yang kemarin dinyanyikanNya?
hijau biru Kubah
Raja nan senantiasa nanar kutatapi?”
demikian aku menjawab pada Beliau.
“Selain itu, oh…, budakku yang penuh
semangat dalam memerangi kebodohannya, …, sekiranya engkau memerlukan bukti
yang lebih akurat secara filosofis, apakah warna itu secara obyektif ada pada
cahaya ataukah merupakan suatu hal yang hanya ada secara subyektif? Demikian
pula apakah bunyi itu obyektif atau subyektif pada gelombang suara? Jelas-jelas
ia bersifat subyektif, -tidak obyektif. Kenapa? Bagi seorang buta atau tuli,
keberadaan obyektif gelombang cahaya atau suara tidak mengharuskan keberadaan
obyektif warna dan bunyi.”
“Jadi warna dan bunyi itu subyektif.
Ia memiliki suatu keberadaan obyektif dalam alam subyektif orang yang melihat
dan mendengarnya. Jadi cahaya dan gelombang suara di alam fisik ini tidaklah
merupakan sumber satu-satunya tampaknya warna maupun terdengarnya bunyi,”
demikian Sayyid menjelaskan panjang lebar.
“Jadi, Paduka
apakah itu hijau dan
biru yang kunikmati sejuknya dalam mimpiku,
ataupun “The Ancient
Melody” yang kudengar sampai aku menggeletar dalam puncak kerinduan dalam
mimpiku itu, duhai Sayyid – ku YM.”
Tanyaku sembari mengagumi bekas-bekas cahaya sujud dan
tafakkurnya yang menjulang Langit.
Beliau
pun menjawab sebagaimana bersya’ir lirih;
“Itulah tempat hamba
mungkin menyentuh Maha Rani,
tempat Muhsin
terkapar penuh lara, dalam buaian pelangi di atas awan,
Itulah tempat aku
senantiasa bertemu dengan Kakekku YM, Ali (a.s, k.w)
dan menciumi
hikmah-hikmahnya.
Itulah Imajinasi Teofani. !”
0 comments:
Post a Comment