Friday, 23 January 2015

Imajinasi Penciptaan



menatap Kekasih buhulan rindu
lidah tertetak menjadi kelu
orok merah berari membiru
labuan bunda kaku membatu

Hud-Hud Rahmaniyah, syair ke-dua

O. Prolog


            Apakah di surga itu ada warna dan bunyi sebagaimana di dunia ini? Demikian, kami sibuk berbincang saat bis malam Bandung-Surabaya yang saya tumpangi beserta Sayyid Musa menyusun silogisme-silogisme menghadapi tikungan-tikungan Sumedang yang amat tajam tersebut. Setajam itu pula, terulur kilauan-kilauan berlian argumentasi dari akal Sayyid Musa, -pancaran hikmah-, yang mengiris-iris semua kegelapan sehingga terang teofani mengatasi segala yang ada!

            “Pertama, warna dan bunyi, ditinjau dari sebab-sebab materialnya jelas tidak ada di surga. Mengapa? Karena warna dan bunyi di alam fisik ini ditimbulkan oleh gelombang-gelombang dengan besar amplitudo tertentu, yang pasti-pasti terbatasi oleh ruang dan waktu. Artinya mereka bersifat material. Sedang surga pasti-pasti adalah suatu yang bersifat spiritual (immaterial),” begitu ujar Beliau.

“Tapi Paduka,
apatah nan hendak kuucapkan tentang
pelangi-pelangi nan dengannya Ia kecup bibir-bibir hatiku
atau dengan simfoni yang kemarin dinyanyikanNya?
hijau biru Kubah Raja nan senantiasa nanar kutatapi?”
demikian aku menjawab pada Beliau.

          
  “Oh…, budakku yang setia, pemilik ukuran yang mahafakir,…, warna dan bunyi, sekiranya kita pandang secara hakiki adalah sesuatu yang tidak mengharuskan adanya sebab-sebab material. Artinya sebab-sebab material timbulnya warna dan bunyi, -seperti panjang gelombang, frekuensi gelombang, kecepatan gelombang, mata, syaraf dan lain-lain-, hanyalah merupakan bagian dari syarat cukup (sufficient conditon) timbulnya warna dan bunyi. Dan sekali-kali bukanlah merupakan syarat cukup itu sendiri, apalagi syarat perlunya. Apa buktinya? Dalam mimpimu yang kauceritakan itu, engkau jelas-jelas menatap warna dan bunyi. Engkau menatap keindahan Istana Kekasih di balik awan, dan Ia pun menyanyi untukmu dengan teramat merdu. Bukankah dikatakan Nabi Daud merupakan peniup seruling di surga?”
            “Selain itu, oh…, budakku yang penuh semangat dalam memerangi kebodohannya, …, sekiranya engkau memerlukan bukti yang lebih akurat secara filosofis, apakah warna itu secara obyektif ada pada cahaya ataukah merupakan suatu hal yang hanya ada secara subyektif? Demikian pula apakah bunyi itu obyektif atau subyektif pada gelombang suara? Jelas-jelas ia bersifat subyektif, -tidak obyektif. Kenapa? Bagi seorang buta atau tuli, keberadaan obyektif gelombang cahaya atau suara tidak mengharuskan keberadaan obyektif warna dan bunyi.”
            “Jadi warna dan bunyi itu subyektif. Ia memiliki suatu keberadaan obyektif dalam alam subyektif orang yang melihat dan mendengarnya. Jadi cahaya dan gelombang suara di alam fisik ini tidaklah merupakan sumber satu-satunya tampaknya warna maupun terdengarnya bunyi,” demikian Sayyid menjelaskan panjang lebar.

“Jadi, Paduka
apakah itu hijau dan biru yang kunikmati sejuknya dalam mimpiku,
ataupun “The Ancient Melody” yang kudengar sampai aku menggeletar dalam puncak kerinduan dalam mimpiku itu, duhai Sayyid – ku YM.”
Tanyaku sembari mengagumi bekas-bekas cahaya sujud dan tafakkurnya yang menjulang Langit.

Beliau pun menjawab sebagaimana bersya’ir lirih;

“Itulah tempat hamba mungkin menyentuh Maha Rani,
tempat Muhsin terkapar penuh lara, dalam buaian pelangi di atas awan,
Itulah tempat aku senantiasa bertemu dengan Kakekku YM, Ali (a.s, k.w)
dan menciumi hikmah-hikmahnya.
Itulah Imajinasi Teofani. !”

0 comments:

Post a Comment