Keteraturan bumi dan planet-planet
mengitari matahari membuat para ahli fisika menembus dan menyaksikan eksistensi
hukum gravitasi yang menjadi sebab dari keteraturan itu. Sebuah lukisan indah
membuat orang-orang yang dapat mengapresiasinya ingin berjumpa dan mengenal
lebih lanjut pribadi pelukisnya. Amat sulit di sini memisahkan antara hasrat
rasional yang selalu dituntun oleh kausalitas dan prinsip non-kontradiksi logis
dan hasrat irasional yang selalu dituntun oleh gerakan mekar wangi bunga-bunga
hati yang semerbak rancak dan senantiasa mewangi.
Kini, ketika abdigakir ini sedang
berusaha merasionalisasi kumpulan-kumpulan pengalaman ini, dalam imajinasi saya
ada seorang penari wanita bergelayutan mesra di cabang-cabang mawar dan membuat
saya mabuk … mabuk dan mabuk … Saya tak tahu apakah saya saat ini berfikir atau
bermain simfoni. Saya tak tahu apakah saya saat ini sadar ataupun mabuk.
Kemabukan spiritual karena terang
dan lembutnya selarik kecil dari Cinta Tuhan yang dikaruniakan kepada kita,
mengangkat kita ke suatu alam-alam lain. Pada alam-alam tersebut ada pandangan,
sebagaimana kita dapat memandang di dunia. Pada ruang-ruang tersebut ada
pendengaran, sebagaimana kita mendengar di dunia. Cinta Tuhan menarik manusia,
baik lahir maupun batinnya, dan segenap
indera dan persepsinya, ke alam-alam yang lebih tinggi… Alam yang kurang
obyektif jika dilihat dari obyektifitas alam material, tapi sebenarnya adalah
alam yang lebih obyektif jika dilihat dari Obyektifitas Mutlak, Kebenaran Yang
Maha Tunggal.
Kemabukan ruhaniah yang membawa
manusia ke dalam sari kecanduan Cinta Ilahi ini di saru sisi melenyapkan
kesadarannya dalam dunia ini, tapi di sisi lain memberinya kesadaran yang
hakiki tentang hakikat dunia dan segala yang ada ini.
Sentuhan putik benih-benih
berseri
Keceriaan pemabuk dalam
tarian bintang perumpamaan
Ia belah ujung-ujung
kelipnya dan dirajutnya
menjadi manikan murni keriangan
menjadi jantung, darah dan airmata
menjadi lentera gemilang bak pelangi dalam tetes-tetes
embun
atau mentari yang sejuk
O…Syaki, pemilik
anggur-anggur yang mematikan
elang-elangmupun telah
membunuh
jiwa-jiwa yang bagaikan
ayam mengais-gais tanah
maka kupinta racunmu
dengan segera
agar rindu tiada lagi
menyayat
Cincin cendana tanda kematianpun kau berika
Senyum bahagia sang peminum racun
Hari-hari yang cerah telah tiba
Apa itu teofani? Teofani adalah tajalli
Wujud Yang Maha Mutlak tiada tertara
tiada berbanding tiada berbatas apapun walau hanya Nama-Nama. Nama tiada
membatasi wujud, ia hanyalah satu penyebutan Wujud itu sendiri. Tiada selain Wujud Yang Maha
Mutlak ini. Selain Wujud Yang Maha Mutlak ini hanyalah ketiadaan mutlak
(al-‘adam al-muthlaq, atau nothingness).
Hakikat Zat-Nya tiada lain adalah WujudNya yang tiada lain adalah wujud itu
sendiri. Tunggal, tiada terhitung luas, tiada berbatas. Besar, tiada tersifati
dengan sifat apapun. Tunggal, tiada terhitung karena dua-nya tidak pernah ada,
dan tidak ada dua, tiga,… yang mendampinginya dalam apapun. Tunggal tiada tara
dalam KesepianNya yang azali. Inni
usyhiduka wakafaa bika syahiida, … Aku bersaksi tentangMu dan cukuplah
Engkau sebagai saksi. Cukuplah Wujud sebagai saksi atas Wujud. Karena selain
wujud adalah ketiadaan muthlaq. Cukuplah keberadaan sebagai saksi atas
keberadaan. Karena apa yang bisa memperjelas keberadaan? Saksi atas keberadaan
diriNya (existence in-itself), saksi atas ketunggal diriNya (ahadiyyul ma’na),
saksi atas kesempurnaan diriNya (yang Wajib sedang segala selain Ia mungkin,
atau dengan kata lain, yang Ada sedang segala selain Ia tidak ada).
Creatio
ex nihilo, penciptaan segala yang ada dari nothingness (ketiadaan muthlaq), adalah mustahil. Karena jika ini
mungkin, maka ada Penciptaan (Khaliq), dan “ada” nothingness (ketiadaan muthlaq) dan adan makhluq yang diciptakan
oleh Khaliq dari nothingness
(ketiadaan muthlaq). Sedang ketiadaan muthlaq itu benar-benar tiada ada
sehingga tidak memiliki efek apapun. Jadi makhluq apapun diciptakan Khaliq
tidak membawakan efek apapun dari nothingness.
Artinya “tidak ada” nothingness yang
merupakan unsur penciptaan atau mudahnya ketiadaan itu benar-benar tidak ada
apa-apa. Kalau “ada” ketiadaan muthlaq yang merupakan unsur penciptaan berarti
ada bisa identik dengan tiada, dan ini merupakan kontradiksi.
Tajalli bukan creatio et nihilo. Kesedihan Tuhan Yang Maha Wujud dan tidak ada
yang wujud kecuali Wujud ini digambarkan dalam frasa berikut : “Aku adalah
Perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin dikenali. Karena itulah Aku
mencipta, agar Aku dikenali”. Frasa ini merupakan kesedihan dari Nama-Nama
Tuhan yang ada dalam peti-peti ketidaktahuan. Ketidaktahuan karena tidak ada
yang menamakan Nama-Nama tersebut. Tidak ada yang mengenali Nama-Nama tersebut.
Tidak ada yang menyebut Nama-Nama tersebut. Kesedihan ini terwujud dalam bentuk
Nafas Ilahian (tanaffus) yang tidak lain adalah Kasih (Rahmah) dan eksistensial
(ijad), dan yang dalam dunia misteri adalah kasih Wujud Tuhan dengan dan untuk
DiriNya sendiri, yaitu, untuk Nama-Nama-Nya sendiri.
Nama adalah pandangan kepada Wujud
dari satu sudut pandang tertentu. Wujud adalah Ar-Rahman. Wujud adalah Ar-Rahim.
Wujud adalah Al-Lathiif. Wujud adalah
Al-’Azhiim. Wujud adalah Al-Aliyyu. Ar-Rahman adalah Ar-Rahiim adalah
Al-Lathiif adalah Al-‘Azhiim adalah Al-‘Aliyyu. Dan Dialah Wujud Al-Muthlaq . dzat Tuhan tidak bisa
dibatasi oleh apapun dan tiada terbatas. Sebagai suatu contoh mudah, karena
keterbatasan mata kita, maka tidak mungkin kita memandang seluruh aspek sebuah
rumah dari segala sudut pandang pada saat yang bersamaan. Jika kita memandang dari
atas kita sedang memandang rumah. Jika kita memandang dari samping kita sedang
memandang rumah. Jika kita memandang dari penjuru atas kita sedang memandang
rumah. Maka ada yang disebut tampak atas, tampak samping, dan lain-lain.
seperti itualh Nama. Segala sesuatu selain Tuhan terbatas, minimal oleh
kekuasaan Tuhan yang menciptanya. Keterbatasa itu esensial. Hakiki. Hakiki
dalam artian yang paling dalam dan tidak berubah dan tidak pernah akan berubah.
Keterbatasan esensial segala sealin Zat Tuhan membatasi secara esensial
pandangan dari segala keapda Zat Tuhan melewati Nama-Nama. Nama-Nama inilah
yang masih mungkin di “pandang” oleh segala selain Zat Tuhan. Hanya Nama,
sekali lagi hanya Nama. Bukan Zat Tuhan itu sendiri.
Betapa tidak sedang Kekasih Allah.
Makhluq Allah Yang Paling Sempurna di sekalian alam Rasulullah (S.A.W.W) yang
mulia telah bersabda :
“Kami tidak mengetahui Engkau sebagaimana
seharusnya Engkau diketahui. Kami tidak menyembah-Mu, sebagaimana Engkau
seharusnya disembah.”
(40 Hadist, Imam
Khomeini, Buku Pertama, Mizan, Cetakan Kedua, 1993, hal 70)
Tajalli adalah
penampakan/manifestasi Nama-Nama Tuhan. Seluruh makhluq yang tercipta tiada
lain adalah manifestasi Nama-Nama Tuhan. Wujud Mutlak bagaikan Mentari yang
memancarkan Cahaya Keberadaan kepada berbabagai Nama-Nama. Nama-Nama tidaklah
memiliki Wujud secara obyektif, mereka hanyalah memiliki wujud secara subyektif
atau imajinatif. Ya, bagi Wujud Yang Maha Mutlak Nama tidak mungkin mempunyai
keberadaan secara obyektif, kecuali Nama tersebut identik dengan Wujud Yang
Maha Mutlak. Jika Nama mungkin mempunyai keberadaan secara obyektif walaupun ia
tidak identik dengan Wujud Yang Maha Mutlak, maka ini melanggar prinsip
non-kontradiksi.
Nama-Nama Tuhan yang terkena cahaya
Wujud akan berpendar dan mereka akan memancarkan Cahaya Wujud sesuai dengan
sudut pandang masing-masing. Antara Cahaya yang terpancar dari satu Nama dengan
Cahaya yang dipancarkan dari Nama lain dapat terjadi berbagai hubungan.
Berbagai hubungan tersebut bisa merupakan unifikasi, negasi, interseksi, dan
lain-lain. Berbagai hubungan antar Nama kembali memendarkan berbagai Nama-Nama
baru yang merupakan manifestasi dari berbagai Nama-Nama yang lebih dulu
memperoleh Cahaya Wujud. Ini terjadi terus menerus di berbagai arah sehingga
“terciptalah” alam ini sebagai manifestasi dari Nama-Nama Allah. Atau dengan
kata lain, seluruh alam ini tidak lain adalah Nama Allah dalam sebuah ceramah
Imam Sayyid Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini dijelaskan bahwa;
“The whole world is a name of Allah,
because the name of thing is its sign or symbol and as all the things existing
are the signs of Allah, it may be said the the whole world is His Name. At the
most it can be said that very few people fully understand how the existing
things are the signs of Allah. Most people know only this much that nothing can
come into existence automatically.
…….
This much can be easily understood
by all that exizting things are a sign and a name of Allah. We can say that the
whole world is Allah’s name. But the case of this name is diffent from that of
the names given to ordinary things. For example if we want to indicate a lamp,
or a motor car to someone, we mention its name. The same thing we do in the
case of man or Zayd. But evidently that is not possible in the case of the
Being possessing infinite sublime qualities.” (Light Within Me, Islamic
Seminary Publication, Pakistan, First Edition 1991, pp. 123-124)
Yang terjemahan bebasnya kira-kira
sebagai berikut;
“Seluruh alam adalah Nama Allah,
karena nama dari sesuatu adalah tanda atau simbol dan karena seluruh yang ada
adalah tanda-tanda Allah, dapat dikatakan bahwa seluruh alam adalah NamaNya.
Sungguh dapat dikatakan bahwa sangat sedikit orang yang mengetahui secara penuh
bagaimana seluruh yang ada adalah tanda-tanda Allah. Kebanyakan orang tahu
tentang hal ini, hanya tentang bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dapat
meng-ada secara otomatis.
…….
Ini dapat dimengerti lebih muda oleh
semuanya bahwa segala sesuatu adalah tanda dan nama Allah, kita katakan bahwa
seluruh alam adalah nama Allah. Tapi nama di sini berbeda dengan nama-nama yang
diberikan ke hal-hal yang umum. Sebagai contoh, jika ingin menunjukkan lampu
atau sepeda motos kepada seseorang, kita menyebutkan namanya. Hal yang sama
kita lakukan dalam kasus manusia atau Zayd. Tapi, terbukti bahwa ini tidaklah
mungkin dalam konteks Wujud yang memiliki sifat-sifat yang mahatinggi tiada
terhingga.”
Nama memberikan berbagai esensi yang
berbada kepada Wujud Yang MahaTunggal. Nama memberikan berbagai makna konsepsional
yang berbeda kepada Wujud Yang MahaTunggal. Nama memberikan berbagai gradasi
yang berbeda kepada Wujud Yang MahaTunggal. Esensi, makna konsepsional maupun
gradasi diberikan dalam alam yang imajinatif atau subyektif. Imajinatif jika
dipandang relatif terhadap Wujud Yang Maha Mutlak. Kenapa? Karena telah
dibuktikan bahwa jika keberadaan dari Wujud Yang Maha Mutlak obyektif, maka
tidak mungkin semua selain dirinya mempunyai keberadaan yang obyektif kecuali
identik dengan Wujud Yang Maha Mutlak itu sendiri. Karena jelas bahwa Wujud
Yang Maha Mutlak keberadaanya benar-benar obyektif, maka segala sesuatu yang
nampak “ghair” atau “Wujud Yang Maha Mutlak ini hanya “ada” secara subyektif
saja, bukan secara obyektif. Artinya penciptaan semua di alam plural ini terjadi
dalam alam imajinasi, bukan alam nyata. Maha Suci Ia Yang Maha Nyata dan tidak
ada suatu apa pun yang Nyata kecuali Ia.
Qur’an mengatakan : Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi …(QS.
An-Nur 33). Tidak dikatakan bahwa langit dan bumi diberi iluminasi oleh
cahaya. Alasannya adalah bahwa langit dan bumi adalah non-entitas (bukan
sesuatu). Tidak ada apapun dalam dunia kita yang mempunyai eksistensi
independen. Tidak ada yang maujud kecuali Allah, (Paragraf ini dicuplik dari
penjelasan Imam Khomeini dalam buku Light Within Me, hal 126-127)…
Dengan rahmatNya, dan petunjukNya
serta berkah Nabi-Nya Muhammad (S.A.W.W) dan para Imam Suci (a.s), penulis
mengajak seluruh pembaca sekalian untuk merenungi makna kata imajinasi yang
digunakan di sini. Imajinasi di sini bukanlah fantasi. Imajinasi di sini adalah
pemahaman. Seperti yang telah dikutip oleh Prof. Henry Corbin dari Syaikh
Al-Akbar ‘Ibnu ‘Arabi;
“This the world is pure
representation (mutawahham), there is no substantial existence; that is the
meaning of Imagination… Understand then who you are, understand what your
selfhood is, what your relation is with the Divine Being; understand whereby
you are He and whereby you are other than He, That is, the world, or Whatever
you may choose to call it. For it is in proportion to this knowledge that the
degrees of preeminence among Sages are determined. “(Creative Imagination in
the Sufism of Ibn ‘Arabi, Henry Corbin, Princeton University Press, Princeton,
N.J., 1969, pp. 192).
Yang terjemahan bebasnya adalah sebagai
berikut;
“Jadi alam ini adalah representasi
murni (mutawahham), tidak ada keberadaan yang substansial; itulah makna
Imajinasi….. Pahamilah kemudian siapa Anda, pahamilah apa kedirian Anda, apa
hubungan Anda dengan Wujud Tuhan; pahami bahwa Anda adalah Dia dan bahwa Anda
adalah selain Dia. Itulah, alam, atau apapun yang Anda pilih untuk menyebutnya.
Karena derajat keutamaan di antara orang-orang yang selamat, sebanding dengan
pengetahuan ini.”
Dalam Doa Kumayl Ibnu Ziyad, Imam
Ali bin Abi Thalib (a.s) merintih kepada Allah;
“Aturooka
mu’adzidzibi binaarika ba’da tauhiidika
waba’da man thowaa ‘alaihi qolbii min ma’rifatika
walahijaabihhi lisaani min dzikrika
wa’taqadahuu dhomiiri min hubbik
wa ba’da shidqi’tiroofi wadu’aaii khoodi’an li rubuubiyyatik
Haihaata …
Anta akromu min an tudhoyyi an man robbaitah”
Yang
terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut:
“Apakah
Engkau akan menyiksaku dengan neraka-Mu,
setelah aku mentauhidkan-Mu
setelah hatiku tenggelam dalam makrifat-Mu
setelah lidahku bergetar menyebut-Mu
setelah jantungku terikat dengan cinta-Mu
setelah segala ketulusan pengakuan dan permohonanku
seraya tunduk bersimpuh pada rububiyah-Mu?
Tidak………,
Engkau terlalu mulia untuk mencampakkan orang yang Engkau
ayomi,”
Syaikhul Akbar Ibn ‘Arabi bersyair;
Engendered
being is only imagination,
yet in truth it is the Real.
He who has understood this point
has grasped the mysteries of the Path
(Fusuus 159, Ibn ‘Arabi,
diambil dari The Sufi Path of Knowledge,
William C. Chittick, State
University of New York Press, Albany,
1989, pp. 143)
Terjemahan bebasnya kira-kira adalah
sebagai berikut;
Bermacam-macam
wujud hanyalah imajinasi,
tapi sebenarnya itu adalah Yang Nyata.
Ia yang telah mengetahui hal ini
telah memahami rahasia dari Jalan
Imajinasi di sini adalah Imajinasi
Aktif, -yang tidak lain merupakan suatu organ tajalli yang esensial karena ia
adalah organ penciptaan dan karena penciptaan tidak lain adalah tajalli. Wujud
Yang Maha Mutlak adalah Penciptaan karena Ia ingin mengenal dirinya sendiri
dalam wujud-wujud yang mengenal-Nya. Jadi Imajinasi Aktif tidak dapat disifati
sebagai ilusif, karena ia adalah organ dan substansi penampakan yang mesti dan
spontan ini. Wujud manifestasi kita adalah Imajinasi uhan; dan Imajinasi kita
sendiri adalah Imajinasi dalam Imajinasi-Nya. (Paragraf ini disadur juga dari
Creative Imagination in the Sufism of
Ibn ‘Arabi, Henry Corbin, Princeton University Press, princeton, N.J,
1969, pp. 190)
Imajinasi teofani mempunyai dua
fungsi; sebagai Imajinasi penciptaan yang mengimajinasikan Penciptaan dan
Imajinasi Makhluk yang mengimajinasikan Penciptaan. Hati (al-qalb) merupakan
suatu “organ lembut” dalam diri manusia yang mempunyai kemampuan menangkap
visi-visi teofanik. Visi-visi teofanik adalah pandangan-pandangan kepada
berbagai tajalli Tuhan yang ada dalam alam Imajinasi teofani.
Eksisitensi alam terbentang luas
dalam alam Imajinasi. Untuk memperjelas hal ini mari kita renungi sejenak
tentang imajinasi kita. Sifat-sifat imajinasi kita sama dengan sifat-sifat
eksistensi alam ini. Imajinasi kita, -seperti yang kita alami di alam mimpi-,
merupakan barzakh antara ruh dan jasad, sedang eksistensi alam ini merupakan
barzakh antara Wujud Mutlak dengan ketiadaan Mutlak. Seperti alam yang kita lihat
dalam mimpi adalah spiritual dan material, bermakna dan berbentuk, demikian
pula alam yang dilihat oleh Tuhan dalam “mimpi”-Nya terbentuk dari Wujud dan
ketiadaan. Ketika kita angun tidak dan ingin memahami mimpi kita, kita berusaha
menginterpretasikan mimpi tersebut atau pergi ke ahli tafsir mimpi untuk
melakukannya bagi kita. Demikian juga, ketika kita mati dan “bangun” ke mimpi
kosmik Tuhan, kita akan memperoleh interpretasi atau tafsir mimpi kita.
(walaupun kebangunan itu sendiri adalah tahap lain dalam mimpi kosmik).
Alam ini adalah Dia sekaligus bukan
Dia (Huwa/Laa Huwa). Argumentasi filosofisnya amat simpel, kalau alam ini bukan
Dia berarti ada sesuatu selain Dia. Padahal Dia adalah Keberadaan Mutlak,
sehingga selain Dia pasti adalah ketiadaan mutlak. Sebaliknya kalau alam
ini Dia, maka karena alam ini tersusun
atas beberapa entitas yang lebih kecil. Dia-pun tersusun (murakkab). Dan
Keberadaan Mutlak jelas tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil (Baca
kemabli Renungan Kedua di buku ini Renungan Tauhid). Renungan mendalam tentang
eksistensi alam ini menyadarkan kita akan adanya sifat dasar eksistensi yang
mendua (ambigu) ini.
Mungkin tidak ada frasa yang dapat
demikian gamblang dan simpel yang menjelaskan hal ini lebih dari Sabdar Amirul
Mukminim Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam Nahjul-Balaghah;
“Dia (Allah) maujud bukan
karena suatu ciptaan. Bukan pula muncul dari ketiadaan. Dia “ada” bersama
dengan segala sesuatu namun tidak dengan suatu kesertaan. Bukan pula Dia lain
dari segala sesuatu disebabkan keterpisahan darinya. Dia adalah Pelaku, namun
tanpa (menggunakan) gerak ataupun alat. Maha Melihat, meskipun sebelum adanya
suatu makhluk apa pun. Sendiri, disebabkan tak adanya sesuatu yang dengannya Ia
merasa terikat ataupun gelisah bila ia terpisah dari-Nya.” (Mutiara Nahjul
Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 22).
Atau
juga seperti Sabda Beliau yang lain dalam Nahjul-Balaghah;
“Tiada Ia “mendiami”
sesuatu sehingga dapat disebut. Ia “ada” di sana. Dan tiada Ia berpisah dari
sesuatu sehingga dapat disebut. Ia “tidak ada” di sana.” (Mutiara Nahjul
Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 24).
Mengenai ketidak tersusunan
(ketakterpilah-pilahan)-Nya, ini dapat diketahui dengan merenungi Sabda Beliau
berikut ini:
“Maka barangsiapa
meletakkan suatu sifat kepada-Nya, sama saja dengan seseorang yang menyertakan
sesuatu dengan-Nya. Dan barang siapa menyertakan sesuatu dengan-Nya, maka ia
telah menduakan-Nya. Dan barang siapa menduaka-Nya, maka ia telah
memilah-milahkan (Zat)-Nya. Dan barang siapa memilah-milahkan-Nya, maka ia
sesungguhnya tidak mengenal-Nya. Dan barang siapa tidak mengenal-Nya, akan
melakukan penunjukan kepada-Nya, maka ia telah membuat batasan tentang-Nya. Dan
barang siapa berkata : “Di manakah Dia? , maka sesungguhnya ia telah
menganggap-Nya terkandung dalam sesuatu. Dan barang siapa berkata: “Di atas
apakah Dia?”, maka sesungguhnya ia telah mengosongkan sesuatu dari
(kehadiran)-Nya.” (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan,
Bandung, 1990, hal. 22).
Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi mengutip
ayat Qur’an yang menunjukkan kepada realitas Huwa/Laa Huwa dari alam ini Qur’an
mengatakan. “Bukan engkau yang melepar ketika engkau melempar, tapi Tuhan yang
melempar.” (QS 8 : 17). Ayat tersebut menegaskan realitas individu dari Nabi,
kemudian menegaskan dengan mengatakan bahwa sebenarnya Tuhan-lah yang berada di
balik permunculan tersebut. Syaikh Al-Akbar melanjutkan,
“But the clear formulation
of this question is terribly difficult. Verbal expression (‘ibaara) falls short
of it and conceptualization (tasawwur) cannot define it, because it quickly
escapes and its properties are contradictory. It is like His wordf, “You did
not throw, “so He negated “whwn you threw,” so He affirmed, “but God threw, “so
He negated the engendered existence (kwan) of Muhammad and affirmed Himself as
identical (‘ain) with Muhammad, since He appointed for him the name “God”. (II
216.12) (The Sufi Path of knowledge, William C. Chitick, State University of
New York Press, Albany. 1989, pp. 115)
Terjemahan
bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;
“Tapi formulasi yang jelas
mengenai pertanyaan ini amat sulit. Ekspresi verbal (‘ibaara) tak bisa
mengungkapkannya dan konseptualisasi (tasawwur) tidak dapat mendefinisikannya,
karena ini akan lepas dengan segera dan sifat-sifatnya kontradiktif. Ini adalah
seperti firmanNya, “bukan engkau yang melempar, “maka Ia menegasikan, “ketika
engkau melempar”, maka Ia menegaskan, “tapi Tuhan yang melempar, “maka Ia menegaskan
eksistensi (kawn) Muhammad dan menegaskan Diri-Nya identik (‘ain) dengan
Muhammad, karena Ia menunjuk baginya nama “Tuhan.”
Kembali menurut Syaikh Al-Akbar Ibn
‘Arabi, realitas Huwa/Laa Huwa menemukan ekspresinya yang terjelas dalam kosmos
melalu imajinasi (khayaal).Dalam mimpi, sebagai contoh, yang merupakan sebuah
fungsi imajinasi, seorang manusia melihat benda-benda material yang tidak
merupakan benda material. Obyek-obyek yang dilihatnya mempunyai bentuk
material, tapi mereka tidak ada di dunia benda-benda material, tapi dalam alam
imajinasi/jiwa. Imajinasi dapat menangkap sebuah makna (ma’na) tanpa bentuk
luar apapun dan memberikannya kepada sebuah bentuk sensorik tertentu.
Perlu penulis tekankan di sini bahwa
kemenduaan (ambiguitas) alam ini tidak melanggar prinsip non-kontradiksi logis.
Alam sekaligus sebagai Huwa/Laa Huwa tidak kontradiktid. Kenapa? Karena
alam adalah Huwa di lihat dari satu
sudut pandang, dan alam adalah Laa Huwa
ditinjau dari sudut pandang lain. Ditinjau dari eksistensinya alam adalah Huwa. Sedang ditinjau dari esensinya
yang membuat alam ini nampak plural-, alam adalah Laa Huwa. Di sini penulis kurang setuju dengan pendapat.
Mahaguru penulis YM. Syaik Al-Akbar Ibn ‘Arabi yang dikutip oleh William C.
Chittick sebagai berikut;
“God
posseses stregth because of the inaccessibility (‘izza) of some, -or all- of
the possible things, that is, the fact that they do not accept opposites. One
of the effects of strength is the creation of the World of Imagination in order
to make manifest within it the fact that it bring together all opposites
(al-jam’bayn al-addad). It is impossible for snse perception or the rational
faculty to bring together opposites, but it is not impossible for imagination.”
(The Sufi Path of Knowledge, William C. Chittick, State University of New York
Press, Albany, 1989, pp. 115).
Terjemahan
bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;
“Tuhan mempunyai kekuatan
karena ketaktercapaian (‘izza) beberapa, -atau semua-, hal-hal yang mungkin,
yaitu bahwa mereka tidak menerima hal-hal yang berlawanan. Satu dari efek
kekuatan adalah penciptaan Dunia Imajinasi untuk membuat manifestasi di
dalamnya kenyataan bahwa ia membawa bersama seluruh hal-hal yang berlawanan
(al-jam’byan al-addaad). Adalah tidak mungkin bagi persepsi inderawi ataupun
fakultas rasional untuk membawa bersama hal-hal yang berlawanan, tapi ini
mungkin untuk imajinasi.”
Perlu
penulis sedikit garis bawahi di sini bahwa Syaikh Al-Akbar berpendapat bahwa
“penciptaan” telah menghasilkan watak ambigu eksistensi alam. Selanjutnya,
Beliau YM. Menafsirkan ambiguitas eksistensi alam ini sebagai kontradiksi
rasional, sehingga fakultas rasional tidak akan bisa menerimanya. Sedang kami,
penulis yang mahanista dan mahadho’if ini sedikit ingin mengungkapkan pendapat
kami yang sedikit berbeda, yaitu; ambiguitas eksistensi alam ini bukan
kontradiksi rasional, sehingga fakultas rasional bisa menerimanya. Tapi,
penulis sepakat bahwa hal ini bisa dimengerti oleh imajinasi, dan penulis
sepakat pula dengan implikasi praktisnya bahwa hal ini bisa dimengerti oleh
imajinasi, dan penulis sepakat pula dengan implikasi praktisnya bahwa dalam
memahami alam ini diperlukan pada penggunaan yang optimal fakultas imajinasi.
Alih-alih mengatakan penciptaan ini tidak rasional atau tidak logis penulis mengatakan bahwa penciptaan ini
rasional dan logis walaupun penjelasan secara mendetail tentang penciptaan
secara rasional murni sulit. Penulis yakin bahwa penjelasan yang benar dari
fakultas imajinatif tentang penciptaan tidak pernah dan tidak akan pernah
melanggar prinsip non-kontradiksi logis. Tapi, penulis pun yakin bahwa kalau
pun kelihatannya ada sedikit perbedaan antara pendapat Syaikh Al-Akbar dengan
pendapat ini, perbedaan itu hanyalah karena masalah pengungkapannya saja, dan
tidak hakiki.
Meminjam istilah Imannuel Kant,
memahami kosmologi penciptaan dalam dan dengan Imajinasi Teofani adalah
termasuk dalam hal-hal yang supra-logis, yang jika dicoba dianalisis secara
rasional tapi kurang matang akan menjerumuskan kita pada hal-hal yang nampaknya
kontradiktif (biasanya disebut sebagai paralogisme). Seperti halnya apakah
bijak berusaha memahami secara logis alunan “Air on G-String” dari komponis
besar Johann Sebastian Bach? Tentu tidak tepat. Makna yang disampaikan oleh
“Air on G-String” harus dipahami dengan rasa seni, tidak dengan logika. Tapi
ini bukan berarti bahwa “Air on G-String” itu tidak logis. Karena tidak
melanggar hukum logika manapun. Pernyataan yang lebih tepat adalah “Air on
G-String” semestinya tidak dipahami dengan logika. Demikian pula hakikat pesan
yang hendak disampaikan oleh Syaikh Al-Akbar, pahamilah penciptaan dengan
Imajinasi Aktif, dengan Imajinasi Teofani. Hanya Imajinasi dalam Imajinasi-Nya
lah yang paling tepat untuk memahami keseluruhan hakikat alam yang imajinatif ini.
Mari kita renungi sebuah cuplikan dari doa Ash-Shobah Imam ‘Ali bin Abi Thalib
(a.s) berikut ini;
“Yaa man qorba min
khothorootizh-zhunuun
wa ba’uda al-lahazhootil
‘uyuun”
yang
terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;
“Wahai yang dekat dengan
khatharaati azh-zhunuun (pikiran yang melintas) dan jauh dari pandangan mata.”
Bagaimana kita bisa naik ke
alam-alam kesadaran yang lebih tinggi bangun dari satu impian masuk ke dalam
impian lain yang lebih nyata dan memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang lebih
tinggi? Doa dan zikir baik yang nampak maupun yang khofiy, disertai dengan tafakkur terus menerus tentang Tuhan
mungkin merupakan satu cara. Betapa rindunya kita akan suatu maqam yang lebih
di miliki oleh Pemimpin Para Wali Yang Mulia Amirul Mukminim Imamul Muthadin
‘Ali bin Abi Thalib (a.s) yang diisyaratkan dalam Sabda Beliau berikut ini;
Seorang laki-laki bernama
Dzi’lib Al-Yamani bertanya: “Dapatkah Anda melihat Tuhanmu, wahai Amir
Al-Mukmini?” Jawab Imam Ali a.s : “Akankah aku menyembah sesuatu yang tidak
kulihat?!” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanya orang itu lagi. Maka beliau
memberikan penjelasannya: “Dia (Allah) takkan tercapai oleh penglihatan mata,
tapi oleh mata-hati yang penuh dengan hakikat keimanan. Ia dekat dari segalanya
tanpa sentuhan. Jauh tanpa jarak. Berbicara tanpa harus berpikir. Berkehendak
tanpa perlu berencana. Berbuat tanpa memerlukan tangan. Lembut tetapi tidak
tersembunyi. Besar tapi tidak teraih. Melihat tapi tidak bersifat inderawi.
Maha Penyayang tapi tidak bersifat lunak.
Wajah-Wajah merunduk di
hadapan keagungan-Nya. Jiwa-jiwa bergetas karena ketakutan terhadap-Nya.
(Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal.
25).
Wallohu a’lam bish-showab.
Walhamdulilahirobbil’alamin. Washolallohu ‘ala sayyidun Muhammadin wa
aalihith-thoohiriin. Wa la haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiim.
manteb mas ...
ReplyDeletesuwun penjelasannya