Friday 23 January 2015

Imajinasi Kreatif



        
    Sebagaimana kausalitas menunjukkan, -sejelas mentari di siang bolong-, alam-alam yang lebih tinggi itu pula hasrat ilahiyah dalam diri manusia menembus dan menyaksikan alam-alam itu. Secara filosofis alam-alam itu adalah alam-alam yang memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari alam material kasat indera ini. Lebih tinggi dalam artian suatu sebab yang mendahului akibat. Secara fitrah-akliah-qolbiah alam-alam itu lebih menarik jiwa manusia dari pada dunia fana ini.
            Keteraturan bumi dan planet-planet mengitari matahari membuat para ahli fisika menembus dan menyaksikan eksistensi hukum gravitasi yang menjadi sebab dari keteraturan itu. Sebuah lukisan indah membuat orang-orang yang dapat mengapresiasinya ingin berjumpa dan mengenal lebih lanjut pribadi pelukisnya. Amat sulit di sini memisahkan antara hasrat rasional yang selalu dituntun oleh kausalitas dan prinsip non-kontradiksi logis dan hasrat irasional yang selalu dituntun oleh gerakan mekar wangi bunga-bunga hati yang semerbak rancak dan senantiasa mewangi.

            Kini, ketika abdigakir ini sedang berusaha merasionalisasi kumpulan-kumpulan pengalaman ini, dalam imajinasi saya ada seorang penari wanita bergelayutan mesra di cabang-cabang mawar dan membuat saya mabuk … mabuk dan mabuk … Saya tak tahu apakah saya saat ini berfikir atau bermain simfoni. Saya tak tahu apakah saya saat ini sadar ataupun mabuk.
            Kemabukan spiritual karena terang dan lembutnya selarik kecil dari Cinta Tuhan yang dikaruniakan kepada kita, mengangkat kita ke suatu alam-alam lain. Pada alam-alam tersebut ada pandangan, sebagaimana kita dapat memandang di dunia. Pada ruang-ruang tersebut ada pendengaran, sebagaimana kita mendengar di dunia. Cinta Tuhan menarik manusia, baik lahir maupun  batinnya, dan segenap indera dan persepsinya, ke alam-alam yang lebih tinggi… Alam yang kurang obyektif jika dilihat dari obyektifitas alam material, tapi sebenarnya adalah alam yang lebih obyektif jika dilihat dari Obyektifitas Mutlak, Kebenaran Yang Maha Tunggal.
            Kemabukan ruhaniah yang membawa manusia ke dalam sari kecanduan Cinta Ilahi ini di saru sisi melenyapkan kesadarannya dalam dunia ini, tapi di sisi lain memberinya kesadaran yang hakiki tentang hakikat dunia dan segala yang ada ini.

Sentuhan putik benih-benih berseri
Keceriaan pemabuk dalam tarian bintang perumpamaan
Ia belah ujung-ujung kelipnya dan dirajutnya
            menjadi manikan murni keriangan
            menjadi jantung, darah dan airmata
            menjadi lentera gemilang bak pelangi dalam tetes-tetes embun
            atau mentari yang sejuk
O…Syaki, pemilik anggur-anggur yang mematikan
elang-elangmupun telah membunuh
jiwa-jiwa yang bagaikan ayam mengais-gais tanah
maka kupinta racunmu dengan segera
agar rindu tiada lagi menyayat
            Cincin cendana tanda kematianpun kau berika
            Senyum bahagia sang peminum racun
            Hari-hari yang cerah telah tiba

            Apa itu teofani? Teofani adalah tajalli
            Wujud Yang Maha Mutlak tiada tertara tiada berbanding tiada berbatas apapun walau hanya Nama-Nama. Nama tiada membatasi wujud, ia hanyalah satu penyebutan Wujud  itu sendiri. Tiada selain Wujud Yang Maha Mutlak ini. Selain Wujud Yang Maha Mutlak ini hanyalah ketiadaan mutlak (al-‘adam al-muthlaq, atau nothingness). Hakikat Zat-Nya tiada lain adalah WujudNya yang tiada lain adalah wujud itu sendiri. Tunggal, tiada terhitung luas, tiada berbatas. Besar, tiada tersifati dengan sifat apapun. Tunggal, tiada terhitung karena dua-nya tidak pernah ada, dan tidak ada dua, tiga,… yang mendampinginya dalam apapun. Tunggal tiada tara dalam KesepianNya yang azali. Inni usyhiduka wakafaa bika syahiida, … Aku bersaksi tentangMu dan cukuplah Engkau sebagai saksi. Cukuplah Wujud sebagai saksi atas Wujud. Karena selain wujud adalah ketiadaan muthlaq. Cukuplah keberadaan sebagai saksi atas keberadaan. Karena apa yang bisa memperjelas keberadaan? Saksi atas keberadaan diriNya (existence in-itself), saksi atas ketunggal diriNya (ahadiyyul ma’na), saksi atas kesempurnaan diriNya (yang Wajib sedang segala selain Ia mungkin, atau dengan kata lain, yang Ada sedang segala selain Ia tidak ada).
            Creatio ex nihilo, penciptaan segala yang ada dari nothingness (ketiadaan muthlaq), adalah mustahil. Karena jika ini mungkin, maka ada Penciptaan (Khaliq), dan “ada” nothingness (ketiadaan muthlaq) dan adan makhluq yang diciptakan oleh Khaliq dari nothingness (ketiadaan muthlaq). Sedang ketiadaan muthlaq itu benar-benar tiada ada sehingga tidak memiliki efek apapun. Jadi makhluq apapun diciptakan Khaliq tidak membawakan efek apapun dari nothingness. Artinya “tidak ada” nothingness yang merupakan unsur penciptaan atau mudahnya ketiadaan itu benar-benar tidak ada apa-apa. Kalau “ada” ketiadaan muthlaq yang merupakan unsur penciptaan berarti ada bisa identik dengan tiada, dan ini merupakan kontradiksi.
            Tajalli bukan creatio et nihilo. Kesedihan Tuhan Yang Maha Wujud dan tidak ada yang wujud kecuali Wujud ini digambarkan dalam frasa berikut : “Aku adalah Perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin dikenali. Karena itulah Aku mencipta, agar Aku dikenali”. Frasa ini merupakan kesedihan dari Nama-Nama Tuhan yang ada dalam peti-peti ketidaktahuan. Ketidaktahuan karena tidak ada yang menamakan Nama-Nama tersebut. Tidak ada yang mengenali Nama-Nama tersebut. Tidak ada yang menyebut Nama-Nama tersebut. Kesedihan ini terwujud dalam bentuk Nafas Ilahian (tanaffus) yang tidak lain adalah Kasih (Rahmah) dan eksistensial (ijad), dan yang dalam dunia misteri adalah kasih Wujud Tuhan dengan dan untuk DiriNya sendiri, yaitu, untuk Nama-Nama-Nya sendiri.
            Nama adalah pandangan kepada Wujud dari satu sudut pandang tertentu. Wujud adalah Ar-Rahman. Wujud adalah Ar-Rahim. Wujud adalah Al-Lathiif. Wujud adalah Al-’Azhiim. Wujud adalah Al-Aliyyu. Ar-Rahman adalah Ar-Rahiim adalah Al-Lathiif adalah Al-‘Azhiim adalah Al-‘Aliyyu. Dan Dialah Wujud Al-Muthlaq . dzat Tuhan tidak bisa dibatasi oleh apapun dan tiada terbatas. Sebagai suatu contoh mudah, karena keterbatasan mata kita, maka tidak mungkin kita memandang seluruh aspek sebuah rumah dari segala sudut pandang pada saat yang bersamaan. Jika kita memandang dari atas kita sedang memandang rumah. Jika kita memandang dari samping kita sedang memandang rumah. Jika kita memandang dari penjuru atas kita sedang memandang rumah. Maka ada yang disebut tampak atas, tampak samping, dan lain-lain. seperti itualh Nama. Segala sesuatu selain Tuhan terbatas, minimal oleh kekuasaan Tuhan yang menciptanya. Keterbatasa itu esensial. Hakiki. Hakiki dalam artian yang paling dalam dan tidak berubah dan tidak pernah akan berubah. Keterbatasan esensial segala sealin Zat Tuhan membatasi secara esensial pandangan dari segala keapda Zat Tuhan melewati Nama-Nama. Nama-Nama inilah yang masih mungkin di “pandang” oleh segala selain Zat Tuhan. Hanya Nama, sekali lagi hanya Nama. Bukan Zat Tuhan itu sendiri.
            Betapa tidak sedang Kekasih Allah. Makhluq Allah Yang Paling Sempurna di sekalian alam Rasulullah (S.A.W.W) yang mulia telah bersabda :

Kami tidak mengetahui Engkau sebagaimana seharusnya Engkau diketahui. Kami tidak menyembah-Mu, sebagaimana Engkau seharusnya disembah.”
(40 Hadist, Imam Khomeini, Buku Pertama, Mizan, Cetakan Kedua, 1993, hal 70)

            Tajalli adalah penampakan/manifestasi Nama-Nama Tuhan. Seluruh makhluq yang tercipta tiada lain adalah manifestasi Nama-Nama Tuhan. Wujud Mutlak bagaikan Mentari yang memancarkan Cahaya Keberadaan kepada berbabagai Nama-Nama. Nama-Nama tidaklah memiliki Wujud secara obyektif, mereka hanyalah memiliki wujud secara subyektif atau imajinatif. Ya, bagi Wujud Yang Maha Mutlak Nama tidak mungkin mempunyai keberadaan secara obyektif, kecuali Nama tersebut identik dengan Wujud Yang Maha Mutlak. Jika Nama mungkin mempunyai keberadaan secara obyektif walaupun ia tidak identik dengan Wujud Yang Maha Mutlak, maka ini melanggar prinsip non-kontradiksi.
            Nama-Nama Tuhan yang terkena cahaya Wujud akan berpendar dan mereka akan memancarkan Cahaya Wujud sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Antara Cahaya yang terpancar dari satu Nama dengan Cahaya yang dipancarkan dari Nama lain dapat terjadi berbagai hubungan. Berbagai hubungan tersebut bisa merupakan unifikasi, negasi, interseksi, dan lain-lain. Berbagai hubungan antar Nama kembali memendarkan berbagai Nama-Nama baru yang merupakan manifestasi dari berbagai Nama-Nama yang lebih dulu memperoleh Cahaya Wujud. Ini terjadi terus menerus di berbagai arah sehingga “terciptalah” alam ini sebagai manifestasi dari Nama-Nama Allah. Atau dengan kata lain, seluruh alam ini tidak lain adalah Nama Allah dalam sebuah ceramah Imam Sayyid Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini dijelaskan bahwa;

            “The whole world is a name of Allah, because the name of thing is its sign or symbol and as all the things existing are the signs of Allah, it may be said the the whole world is His Name. At the most it can be said that very few people fully understand how the existing things are the signs of Allah. Most people know only this much that nothing can come into existence automatically.
            …….
            This much can be easily understood by all that exizting things are a sign and a name of Allah. We can say that the whole world is Allah’s name. But the case of this name is diffent from that of the names given to ordinary things. For example if we want to indicate a lamp, or a motor car to someone, we mention its name. The same thing we do in the case of man or Zayd. But evidently that is not possible in the case of the Being possessing infinite sublime qualities.” (Light Within Me, Islamic Seminary Publication, Pakistan, First Edition 1991, pp. 123-124)

            Yang terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut;
            “Seluruh alam adalah Nama Allah, karena nama dari sesuatu adalah tanda atau simbol dan karena seluruh yang ada adalah tanda-tanda Allah, dapat dikatakan bahwa seluruh alam adalah NamaNya. Sungguh dapat dikatakan bahwa sangat sedikit orang yang mengetahui secara penuh bagaimana seluruh yang ada adalah tanda-tanda Allah. Kebanyakan orang tahu tentang hal ini, hanya tentang bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dapat meng-ada secara otomatis.
            …….
            Ini dapat dimengerti lebih muda oleh semuanya bahwa segala sesuatu adalah tanda dan nama Allah, kita katakan bahwa seluruh alam adalah nama Allah. Tapi nama di sini berbeda dengan nama-nama yang diberikan ke hal-hal yang umum. Sebagai contoh, jika ingin menunjukkan lampu atau sepeda motos kepada seseorang, kita menyebutkan namanya. Hal yang sama kita lakukan dalam kasus manusia atau Zayd. Tapi, terbukti bahwa ini tidaklah mungkin dalam konteks Wujud yang memiliki sifat-sifat yang mahatinggi tiada terhingga.”

            Nama memberikan berbagai esensi yang berbada kepada Wujud Yang MahaTunggal. Nama memberikan berbagai makna konsepsional yang berbeda kepada Wujud Yang MahaTunggal. Nama memberikan berbagai gradasi yang berbeda kepada Wujud Yang MahaTunggal. Esensi, makna konsepsional maupun gradasi diberikan dalam alam yang imajinatif atau subyektif. Imajinatif jika dipandang relatif terhadap Wujud Yang Maha Mutlak. Kenapa? Karena telah dibuktikan bahwa jika keberadaan dari Wujud Yang Maha Mutlak obyektif, maka tidak mungkin semua selain dirinya mempunyai keberadaan yang obyektif kecuali identik dengan Wujud Yang Maha Mutlak itu sendiri. Karena jelas bahwa Wujud Yang Maha Mutlak keberadaanya benar-benar obyektif, maka segala sesuatu yang nampak “ghair” atau “Wujud Yang Maha Mutlak ini hanya “ada” secara subyektif saja, bukan secara obyektif. Artinya penciptaan semua di alam plural ini terjadi dalam alam imajinasi, bukan alam nyata. Maha Suci Ia Yang Maha Nyata dan tidak ada suatu apa pun yang Nyata kecuali Ia.
            Qur’an mengatakan : Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi …(QS. An-Nur 33). Tidak dikatakan bahwa langit dan bumi diberi iluminasi oleh cahaya. Alasannya adalah bahwa langit dan bumi adalah non-entitas (bukan sesuatu). Tidak ada apapun dalam dunia kita yang mempunyai eksistensi independen. Tidak ada yang maujud kecuali Allah, (Paragraf ini dicuplik dari penjelasan Imam Khomeini dalam buku Light Within Me, hal 126-127)…
            Dengan rahmatNya, dan petunjukNya serta berkah Nabi-Nya Muhammad (S.A.W.W) dan para Imam Suci (a.s), penulis mengajak seluruh pembaca sekalian untuk merenungi makna kata imajinasi yang digunakan di sini. Imajinasi di sini bukanlah fantasi. Imajinasi di sini adalah pemahaman. Seperti yang telah dikutip oleh Prof. Henry Corbin dari Syaikh Al-Akbar ‘Ibnu ‘Arabi;

            “This the world is pure representation (mutawahham), there is no substantial existence; that is the meaning of Imagination… Understand then who you are, understand what your selfhood is, what your relation is with the Divine Being; understand whereby you are He and whereby you are other than He, That is, the world, or Whatever you may choose to call it. For it is in proportion to this knowledge that the degrees of preeminence among Sages are determined. “(Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, Henry Corbin, Princeton University Press, Princeton, N.J., 1969, pp. 192).

            Yang terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut;
            “Jadi alam ini adalah representasi murni (mutawahham), tidak ada keberadaan yang substansial; itulah makna Imajinasi….. Pahamilah kemudian siapa Anda, pahamilah apa kedirian Anda, apa hubungan Anda dengan Wujud Tuhan; pahami bahwa Anda adalah Dia dan bahwa Anda adalah selain Dia. Itulah, alam, atau apapun yang Anda pilih untuk menyebutnya. Karena derajat keutamaan di antara orang-orang yang selamat, sebanding dengan pengetahuan ini.”
           
            Dalam Doa Kumayl Ibnu Ziyad, Imam Ali bin Abi Thalib (a.s) merintih kepada Allah;
            “Aturooka mu’adzidzibi binaarika ba’da tauhiidika
            waba’da man thowaa ‘alaihi qolbii min ma’rifatika
            walahijaabihhi lisaani min dzikrika
            wa’taqadahuu dhomiiri min hubbik
            wa ba’da shidqi’tiroofi wadu’aaii khoodi’an li rubuubiyyatik
            Haihaata …
            Anta akromu min an tudhoyyi an man robbaitah”

Yang terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut:

            “Apakah Engkau akan menyiksaku dengan neraka-Mu,
            setelah aku mentauhidkan-Mu
            setelah hatiku tenggelam dalam makrifat-Mu
            setelah lidahku bergetar menyebut-Mu
            setelah jantungku terikat dengan cinta-Mu
            setelah segala ketulusan pengakuan dan permohonanku
            seraya tunduk bersimpuh pada rububiyah-Mu?
            Tidak………,
            Engkau terlalu mulia untuk mencampakkan orang yang Engkau ayomi,”

            Syaikhul Akbar Ibn ‘Arabi bersyair;
            Engendered being is only imagination,
                        yet in truth it is the Real.
            He who has understood this point
                        has grasped the mysteries of the Path
(Fusuus 159, Ibn ‘Arabi, diambil dari The Sufi Path of Knowledge,
William C. Chittick, State University of New York Press, Albany,
1989, pp. 143)

            Terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;
            Bermacam-macam wujud hanyalah imajinasi,
                        tapi sebenarnya itu adalah Yang Nyata.
            Ia yang telah mengetahui hal ini
                        telah memahami rahasia dari Jalan

            Imajinasi di sini adalah Imajinasi Aktif, -yang tidak lain merupakan suatu organ tajalli yang esensial karena ia adalah organ penciptaan dan karena penciptaan tidak lain adalah tajalli. Wujud Yang Maha Mutlak adalah Penciptaan karena Ia ingin mengenal dirinya sendiri dalam wujud-wujud yang mengenal-Nya. Jadi Imajinasi Aktif tidak dapat disifati sebagai ilusif, karena ia adalah organ dan substansi penampakan yang mesti dan spontan ini. Wujud manifestasi kita adalah Imajinasi uhan; dan Imajinasi kita sendiri adalah Imajinasi dalam Imajinasi-Nya. (Paragraf ini disadur juga dari Creative Imagination in the Sufism of  Ibn ‘Arabi, Henry Corbin, Princeton University Press, princeton, N.J, 1969, pp. 190)
            Imajinasi teofani mempunyai dua fungsi; sebagai Imajinasi penciptaan yang mengimajinasikan Penciptaan dan Imajinasi Makhluk yang mengimajinasikan Penciptaan. Hati (al-qalb) merupakan suatu “organ lembut” dalam diri manusia yang mempunyai kemampuan menangkap visi-visi teofanik. Visi-visi teofanik adalah pandangan-pandangan kepada berbagai tajalli Tuhan yang ada dalam alam Imajinasi teofani.
            Eksisitensi alam terbentang luas dalam alam Imajinasi. Untuk memperjelas hal ini mari kita renungi sejenak tentang imajinasi kita. Sifat-sifat imajinasi kita sama dengan sifat-sifat eksistensi alam ini. Imajinasi kita, -seperti yang kita alami di alam mimpi-, merupakan barzakh antara ruh dan jasad, sedang eksistensi alam ini merupakan barzakh antara Wujud Mutlak dengan ketiadaan Mutlak. Seperti alam yang kita lihat dalam mimpi adalah spiritual dan material, bermakna dan berbentuk, demikian pula alam yang dilihat oleh Tuhan dalam “mimpi”-Nya terbentuk dari Wujud dan ketiadaan. Ketika kita angun tidak dan ingin memahami mimpi kita, kita berusaha menginterpretasikan mimpi tersebut atau pergi ke ahli tafsir mimpi untuk melakukannya bagi kita. Demikian juga, ketika kita mati dan “bangun” ke mimpi kosmik Tuhan, kita akan memperoleh interpretasi atau tafsir mimpi kita. (walaupun kebangunan itu sendiri adalah tahap lain dalam mimpi kosmik).
            Alam ini adalah Dia sekaligus bukan Dia (Huwa/Laa Huwa). Argumentasi filosofisnya amat simpel, kalau alam ini bukan Dia berarti ada sesuatu selain Dia. Padahal Dia adalah Keberadaan Mutlak, sehingga selain Dia pasti adalah ketiadaan mutlak. Sebaliknya kalau alam ini  Dia, maka karena alam ini tersusun atas beberapa entitas yang lebih kecil. Dia-pun tersusun (murakkab). Dan Keberadaan Mutlak jelas tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil (Baca kemabli Renungan Kedua di buku ini Renungan Tauhid). Renungan mendalam tentang eksistensi alam ini menyadarkan kita akan adanya sifat dasar eksistensi yang mendua (ambigu) ini.
            Mungkin tidak ada frasa yang dapat demikian gamblang dan simpel yang menjelaskan hal ini lebih dari Sabdar Amirul Mukminim Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam Nahjul-Balaghah;
“Dia (Allah) maujud bukan karena suatu ciptaan. Bukan pula muncul dari ketiadaan. Dia “ada” bersama dengan segala sesuatu namun tidak dengan suatu kesertaan. Bukan pula Dia lain dari segala sesuatu disebabkan keterpisahan darinya. Dia adalah Pelaku, namun tanpa (menggunakan) gerak ataupun alat. Maha Melihat, meskipun sebelum adanya suatu makhluk apa pun. Sendiri, disebabkan tak adanya sesuatu yang dengannya Ia merasa terikat ataupun gelisah bila ia terpisah dari-Nya.” (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 22).

Atau juga seperti Sabda  Beliau yang lain dalam Nahjul-Balaghah;
“Tiada Ia “mendiami” sesuatu sehingga dapat disebut. Ia “ada” di sana. Dan tiada Ia berpisah dari sesuatu sehingga dapat disebut. Ia “tidak ada” di sana.” (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 24).

            Mengenai ketidak tersusunan (ketakterpilah-pilahan)-Nya, ini dapat diketahui dengan merenungi Sabda Beliau berikut ini:
“Maka barangsiapa meletakkan suatu sifat kepada-Nya, sama saja dengan seseorang yang menyertakan sesuatu dengan-Nya. Dan barang siapa menyertakan sesuatu dengan-Nya, maka ia telah menduakan-Nya. Dan barang siapa menduaka-Nya, maka ia telah memilah-milahkan (Zat)-Nya. Dan barang siapa memilah-milahkan-Nya, maka ia sesungguhnya tidak mengenal-Nya. Dan barang siapa tidak mengenal-Nya, akan melakukan penunjukan kepada-Nya, maka ia telah membuat batasan tentang-Nya. Dan barang siapa berkata : “Di manakah Dia? , maka sesungguhnya ia telah menganggap-Nya terkandung dalam sesuatu. Dan barang siapa berkata: “Di atas apakah Dia?”, maka sesungguhnya ia telah mengosongkan sesuatu dari (kehadiran)-Nya.” (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 22).
            Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi mengutip ayat Qur’an yang menunjukkan kepada realitas Huwa/Laa Huwa dari alam ini Qur’an mengatakan. “Bukan engkau yang melepar ketika engkau melempar, tapi Tuhan yang melempar.” (QS 8 : 17). Ayat tersebut menegaskan realitas individu dari Nabi, kemudian menegaskan dengan mengatakan bahwa sebenarnya Tuhan-lah yang berada di balik permunculan tersebut. Syaikh Al-Akbar melanjutkan,
“But the clear formulation of this question is terribly difficult. Verbal expression (‘ibaara) falls short of it and conceptualization (tasawwur) cannot define it, because it quickly escapes and its properties are contradictory. It is like His wordf, “You did not throw, “so He negated “whwn you threw,” so He affirmed, “but God threw, “so He negated the engendered existence (kwan) of Muhammad and affirmed Himself as identical (‘ain) with Muhammad, since He appointed for him the name “God”. (II 216.12) (The Sufi Path of knowledge, William C. Chitick, State University of New York Press, Albany. 1989, pp. 115)

Terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;
“Tapi formulasi yang jelas mengenai pertanyaan ini amat sulit. Ekspresi verbal (‘ibaara) tak bisa mengungkapkannya dan konseptualisasi (tasawwur) tidak dapat mendefinisikannya, karena ini akan lepas dengan segera dan sifat-sifatnya kontradiktif. Ini adalah seperti firmanNya, “bukan engkau yang melempar, “maka Ia menegasikan, “ketika engkau melempar”, maka Ia menegaskan, “tapi Tuhan yang melempar, “maka Ia menegaskan eksistensi (kawn) Muhammad dan menegaskan Diri-Nya identik (‘ain) dengan Muhammad, karena Ia menunjuk baginya nama “Tuhan.”

            Kembali menurut Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi, realitas Huwa/Laa Huwa menemukan ekspresinya yang terjelas dalam kosmos melalu imajinasi (khayaal).Dalam mimpi, sebagai contoh, yang merupakan sebuah fungsi imajinasi, seorang manusia melihat benda-benda material yang tidak merupakan benda material. Obyek-obyek yang dilihatnya mempunyai bentuk material, tapi mereka tidak ada di dunia benda-benda material, tapi dalam alam imajinasi/jiwa. Imajinasi dapat menangkap sebuah makna (ma’na) tanpa bentuk luar apapun dan memberikannya kepada sebuah bentuk sensorik tertentu.
            Perlu penulis tekankan di sini bahwa kemenduaan (ambiguitas) alam ini tidak melanggar prinsip non-kontradiksi logis. Alam sekaligus sebagai Huwa/Laa Huwa tidak kontradiktid. Kenapa? Karena alam adalah Huwa di lihat dari satu sudut pandang, dan alam adalah Laa Huwa ditinjau dari sudut pandang lain. Ditinjau dari eksistensinya alam adalah Huwa. Sedang ditinjau dari esensinya yang membuat alam ini nampak plural-, alam adalah Laa Huwa. Di sini penulis kurang setuju dengan pendapat. Mahaguru penulis YM. Syaik Al-Akbar Ibn ‘Arabi yang dikutip oleh William C. Chittick sebagai berikut;

            “God posseses stregth because of the inaccessibility (‘izza) of some, -or all- of the possible things, that is, the fact that they do not accept opposites. One of the effects of strength is the creation of the World of Imagination in order to make manifest within it the fact that it bring together all opposites (al-jam’bayn al-addad). It is impossible for snse perception or the rational faculty to bring together opposites, but it is not impossible for imagination.” (The Sufi Path of Knowledge, William C. Chittick, State University of New York Press, Albany, 1989, pp. 115).

Terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;
“Tuhan mempunyai kekuatan karena ketaktercapaian (‘izza) beberapa, -atau semua-, hal-hal yang mungkin, yaitu bahwa mereka tidak menerima hal-hal yang berlawanan. Satu dari efek kekuatan adalah penciptaan Dunia Imajinasi untuk membuat manifestasi di dalamnya kenyataan bahwa ia membawa bersama seluruh hal-hal yang berlawanan (al-jam’byan al-addaad). Adalah tidak mungkin bagi persepsi inderawi ataupun fakultas rasional untuk membawa bersama hal-hal yang berlawanan, tapi ini mungkin untuk imajinasi.”

Perlu penulis sedikit garis bawahi di sini bahwa Syaikh Al-Akbar berpendapat bahwa “penciptaan” telah menghasilkan watak ambigu eksistensi alam. Selanjutnya, Beliau YM. Menafsirkan ambiguitas eksistensi alam ini sebagai kontradiksi rasional, sehingga fakultas rasional tidak akan bisa menerimanya. Sedang kami, penulis yang mahanista dan mahadho’if ini sedikit ingin mengungkapkan pendapat kami yang sedikit berbeda, yaitu; ambiguitas eksistensi alam ini bukan kontradiksi rasional, sehingga fakultas rasional bisa menerimanya. Tapi, penulis sepakat bahwa hal ini bisa dimengerti oleh imajinasi, dan penulis sepakat pula dengan implikasi praktisnya bahwa hal ini bisa dimengerti oleh imajinasi, dan penulis sepakat pula dengan implikasi praktisnya bahwa dalam memahami alam ini diperlukan pada penggunaan yang optimal fakultas imajinasi. Alih-alih mengatakan penciptaan ini tidak rasional atau tidak logis  penulis mengatakan bahwa penciptaan ini rasional dan logis walaupun penjelasan secara mendetail tentang penciptaan secara rasional murni sulit. Penulis yakin bahwa penjelasan yang benar dari fakultas imajinatif tentang penciptaan tidak pernah dan tidak akan pernah melanggar prinsip non-kontradiksi logis. Tapi, penulis pun yakin bahwa kalau pun kelihatannya ada sedikit perbedaan antara pendapat Syaikh Al-Akbar dengan pendapat ini, perbedaan itu hanyalah karena masalah pengungkapannya saja, dan tidak hakiki.
            Meminjam istilah Imannuel Kant, memahami kosmologi penciptaan dalam dan dengan Imajinasi Teofani adalah termasuk dalam hal-hal yang supra-logis, yang jika dicoba dianalisis secara rasional tapi kurang matang akan menjerumuskan kita pada hal-hal yang nampaknya kontradiktif (biasanya disebut sebagai paralogisme). Seperti halnya apakah bijak berusaha memahami secara logis alunan “Air on G-String” dari komponis besar Johann Sebastian Bach? Tentu tidak tepat. Makna yang disampaikan oleh “Air on G-String” harus dipahami dengan rasa seni, tidak dengan logika. Tapi ini bukan berarti bahwa “Air on G-String” itu tidak logis. Karena tidak melanggar hukum logika manapun. Pernyataan yang lebih tepat adalah “Air on G-String” semestinya tidak dipahami dengan logika. Demikian pula hakikat pesan yang hendak disampaikan oleh Syaikh Al-Akbar, pahamilah penciptaan dengan Imajinasi Aktif, dengan Imajinasi Teofani. Hanya Imajinasi dalam Imajinasi-Nya lah yang paling tepat untuk memahami keseluruhan hakikat alam yang imajinatif ini. Mari kita renungi sebuah cuplikan dari doa Ash-Shobah Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) berikut ini;
“Yaa man qorba min khothorootizh-zhunuun
wa ba’uda al-lahazhootil ‘uyuun”
yang terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;
“Wahai yang dekat dengan khatharaati azh-zhunuun (pikiran yang melintas) dan jauh dari pandangan mata.”

            Bagaimana kita bisa naik ke alam-alam kesadaran yang lebih tinggi bangun dari satu impian masuk ke dalam impian lain yang lebih nyata dan memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang lebih tinggi? Doa dan zikir baik yang nampak maupun yang khofiy, disertai dengan tafakkur terus menerus tentang Tuhan mungkin merupakan satu cara. Betapa rindunya kita akan suatu maqam yang lebih di miliki oleh Pemimpin Para Wali Yang Mulia Amirul Mukminim Imamul Muthadin ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) yang diisyaratkan dalam Sabda Beliau berikut ini;
Seorang laki-laki bernama Dzi’lib Al-Yamani bertanya: “Dapatkah Anda melihat Tuhanmu, wahai Amir Al-Mukmini?” Jawab Imam Ali a.s : “Akankah aku menyembah sesuatu yang tidak kulihat?!” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanya orang itu lagi. Maka beliau memberikan penjelasannya: “Dia (Allah) takkan tercapai oleh penglihatan mata, tapi oleh mata-hati yang penuh dengan hakikat keimanan. Ia dekat dari segalanya tanpa sentuhan. Jauh tanpa jarak. Berbicara tanpa harus berpikir. Berkehendak tanpa perlu berencana. Berbuat tanpa memerlukan tangan. Lembut tetapi tidak tersembunyi. Besar tapi tidak teraih. Melihat tapi tidak bersifat inderawi. Maha Penyayang tapi tidak bersifat lunak.
Wajah-Wajah merunduk di hadapan keagungan-Nya. Jiwa-jiwa bergetas karena ketakutan terhadap-Nya. (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 25).

            Wallohu a’lam bish-showab. Walhamdulilahirobbil’alamin. Washolallohu ‘ala sayyidun Muhammadin wa aalihith-thoohiriin. Wa la haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiim.

1 comments: