Cengkerama Ceria Cinta
Orang Cinta tak kenal
sajadah tak pula mihrab,
berkelana di
bintang-bintang yang tinggi saja perjalanannya
menyelam ke dasar
samudera kolam renang air matanya,
di situ didapatinya
bintang bintang berkelipan
seperti kejap-kejap
kejora mata Sang Maha Ayu,
bintang-bintang pun
berkelipan di dasar samudera
Orang Cinta mana kenal
gurita mana pula hiu,
samuderanya di penuhi
ikan mas, ikan perak dan ikan mutiara, Tak Semua Samudera Mempunyai Mutiara
Dan melayanglah buaian Cinta Nan Sahdu
hingga cahya binta-bintang nan tinggi terlampaui. Orang cinta tak dibatasi
sejadah dan tak pula mihrab, ia telah terlepas dari sangkar formalisme
syari’at, dan terbang melayang dengan sayap-sayap harapannya menuju langit
Hakikat yang teramat biru.
Al-Ittihad al-‘aaqil
wa al-ma’qul, kesatuan ( bukan
persatuan) antara pemikir dan apa yang
difikirkannya. [1]Dalam
kitab Nafasu Ar-Rohmaan, dikutip sebuah hadist qudsi; Ana ‘inda zhonnii ‘abdi bii, Aku sesuai
dengan persangkaan hambaKu atasKu. Tuhan, yakni Sang Maha Realitas, adalah
sesuai dengan apa yang ada dalam batin hambaNya. Pentingnya zhonn kepada -Nya ini mungkin yang dirintihkan oleh
Kekasih para Mukminin, Ashdaqu-shiddiqqiin
Imam ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) dalam doa Kumail Ibn Ziyadnya; Haihaata maa dzaalika zhonnu bika [2]Jauh
Engkau dari itu semua, bukanlah itu zhonn
(persangkaan) atasMu.
Manakala Majnun
senantiasa berfikir tentang Layla, maka Majnun menjadi Layla. Hidungnya menjadi
seperti hidung Layla. Matanya menjadi keindahan dan kecantikan Layla itu
sendiri. Maka, orang Cinta yang mabuk dalam bayang-bayang Keindahan Sang Maha
Ayu, akan menjadi manifestasi Keindahan Sang Maha Ayu. Senyumnya demikian
lembut seperti Sarah, hingga bayi-bayi pun akan menyukainya. Elusnya demikian
romantis penuh getaran, hingga istri-istrinya pun akan merindukannya.
Pembicaraannya demikian mendalam bergelora bak samudera hingga akan
membangkitkan semangat-semangat pengorbanan yang terdalam. Gerak tubuhnya
demikian harmoni dengan semesta hingga seolah awan pun menaunginya, tanah pun
merindukan pijakannya, kemerisik daun-daun pohon jatuh mengiringinya seperti
orkestra Moonlight Sonata yang demikian lembut atau Air on G String dari Bach.
Desah nafasnya bak lagu Farsi, dar
hawayat, mii parayam, mii parayam ruuze-syab (dalam hawaMu, aku terbang,
aku terbang, di suatu malam).
Majnun demikian kumal
tubuhnya,namun anehnya tiap debunya memancarkan wangi-wangian yang aneh. Tak
diperoleh dengan parfum Perancis maupun Isfahan, tak dengan zat-zat kimia
maupun zat-zat alami. Kesturi pun tak mampu menandinginya apa lagi misik maupun
kenari. Hanya peCinta sajalah yang tahu itu adalah aroma darah hati dan air
mata pengGila Cinta. Aroma debu-debu kulit Majnun adalah wangi tubuh Layla sendiri, dan tidak lain.
Demikian cintanya In Tay kepada San Pek, hingga arak-arakan pengantin In Tay terseret badai dan In Tay tersedot oleh kuburan San Pek sang kekasihnya dan akhirnya
terkubur pula bersamanya. [3]
Kau dan aku, satu
Aku jauh, Engkau jauh
Aku dekat, Engkau dekat
Engkau mati, Aku pun mati
Sungguh Sang Maha
Kekasih (Al-Waduudu) membius dan menenung segala zarrah yang maujud dengan
ketakjuban atas Jelita-Nya Sendiri sesuai dengan Hadits Qudsi; kuntu kanzan makhfiyyan(Aku adalah
perbendaharaan Yang Tersembunyi). Dia-lah Sang Maha Perawan nan senantiasa
perawan, yang JelitaNya berpendaran pada segala namun tak tersentuh oleh
segala.
Sifat-sifat Jalaliyyah-Nya seperti Yang Maha Keras
SiksaNya, Yang Maha Menyesatkan tak mempunyai akar wujudiyyah. Hanyalah ciptaan
fikiran saja. Sebagaimana yang dirintihkan oleh Baginda ‘Ali (‘a.s.), kekasih
para mukminin, dalam doa Kumail Ibn Ziyad-nya; Haihaata anta akromu min ‘an tudhoyyi’a man robbaitah [4]Jauh
Engkau dari itu, Engkau Terlalu Mulia untuk mencampakkan orang yang engkau
ayomi.
Menyelam ke dasar
samudera kolam renang air matanya, yakni orang Cinta sering mengalami cobaan
atau pun derita yang teramat dalam, namun malahan , di situ didapatinya bintang
bintang (harapan) berkelipan Sungguh Orang Cinta memandang sakit sebagai nikmat, pahit sebagai obat, tamparan sebagai
kecupan, cobaan sebagai janji mesra, kehilangan di dunia sebagai janji kencan,
tetakan pedang musuh dalam bara pertempuran sebagai Kecupan Hangat Bibir Merah
Kekasih, mati syahid sebagai Arak-Arakan Pengantin bersama Kekasih, penjara dunia sebagai Kebebasan Untuk
Berkencan dengan Kekasih, sebagaimana dikisahkan Keluarga Rasul (s.a.a.w.)
dalam hal Syahidnya Imam Husein bin ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) cucu Rasulullah (s.a.a.w.) di padang
Karbala, yakni agar Imam Husein(‘a.s.)
mencapai Kedudukan Yang Amat Tinggi di sisi Kekasih AbadiNya, Sang Maha Ayu,
yang tak mungkin dicapai kecuali dengan kesyahidan Beliau di Padang Karbala.
Seperti kejap-kejap
kejora mata Sang Maha Ayu, bintang-bintang pun berkelipan di dasar samudera
.Maka orang Cinta dipenuhi dengan Juta-juta bunga harapan dan persangkaan baik(husnu
azh-zhonn) kepada KekasihNya Yang Abadi,
tak lain adalah kepada Hakikat Semua Realitas yang dihadapinya. Seluruh
samudera maknanya, seluruh Realitas yang dirasakannya, sampai ke palung rahasia
terdalamnya adalah wewangian kesturi Asmara yang tiada terungkap uraian apa pun, ucapan apa pun maupun
ungkapan apapun. Husnu azh-zhonn - nya berkelipan terus menyinari samudera
kehidupannya dengan Harapan wa jannatin
‘ardhuha as-samaawaatu wa al-ardhu, u’iddat lil-muttaqiin,[5][6]
dan(kepada) surga yang (luasnya) seluas langit dan bumi yang disediakan
bagi orang-orang yang bertakwa.
Ke mana kucari, got selokan berbau parfum nan semerbak
harum
Ke mana kucari, tulang-tulang teri yang senikmat coto Bugis
Ke mana kucari, airmata Ya`kub taklain Yusuf purnama senyum
Dalam hati orang Cinta, di mana lembut Asmaranya
memancar magis !
Orang Cinta mana
kenal hiu mana kenal gurita, samudera makna orang Cinta tak takut maupun was-was dengan kenyataan apa pun yang
dihadapinya. Karena hakikat seluruh alam jasad adalah ruh, dan ruh ada di alam
makna, maka semuanya ada di alam makna, dan sungguh hanya Dia-lah Kekasih Nan
Maha Ayu yang adalah ahadiyyu
al-ma’na.[7]
Hiu-hiu yang bertaring menjadi jinak
karena Makna Sejatinya, gurita-gurita berbelalai yang menyebarkan kegelapan
menjadi menerangi karena Makna Hakikinya, tak lain adalah Dia Gadis Sang
Pembawa Cermin Yang Senantiasa Bersolek dengan Bedak JelitaNya sendiri dan
Gincu AyuNya sendiri dan Berdandan dengan baju KeMahaMolekanNya sendiri. Tidak
dikatakan olehnya taring menjadi indah bak bibir merah, namun apa pun adalah
Bibir Merah dan titik. Tidak dikatakan
gurita menjadi domba-domba jinak nan menyenangkan atau merpati yang manja,
namun apa pun adalah Sang Maha Manja. Karena Dia-lah Semua Makna, KeTunggalan
semua makna yang tak terperikan apa pun melainkan Indah-Nya Sendiri.
Samuderanya dipenuhi
oleh ikan mas, ikan perak dan ikan mutiara, Tak Semua Samudera Memiliki
Mutiara. Makna Realitas dalam ruh Orang
Cinta maupun dalam imaji-imajinya adalah Keindahan gelinjang-gelinjang
ikan-ikan yang berwarna-warni dan bersalam-salaman dengan gelembungnya. Seperti
akuarium raksasa yang menyimban ribuan lumba-lumba bermata mutiara berkilauan,
dan dapat berbicara dengan bahasa-bahasa diamnya maupun kerlingnya.
O, kasih,
kauinginkan mutiara dan berlian, dan mengitari bazaar-bazaar ramai,
dan di situ apa yang kau temukan?
Sungguh mutiara-mutiara dan berlian di bazaar,
tak pernah luput dari iri, tamak dan loba.
Mutiara sejati?
Adalah dalam samudera hatimu. Di dasarnya,
walau terapung jelas dan meliputi seluruh samudera
.
Janganlah mencari singa garang di taman safari,
karena di sana
mereka enggan berlari,
tapi carilah
harimau ganas di hutan rimba amazon,
kerna di sana mereka garang sendiri
.
Sungguh tak semua samudera memiliki mutiara,
namun hati orang Cinta senantiasa berkilauan
bak mata peri Cantik yang menenung,
ribuan perjaka
hingga tercenung.
Hati dipenuhi
imaji-imaji indah tentangNya. Ataukah imaji-imaji IndahNya ini yang telah
menjadi hati itu sendiri ? Maka Ruh yang terus menerus mabuk dalam ingatan atas
Wajah Cantik-Nya telah menjadi JelitaNya. Jiwa yang penuh harap atas
AmpunanNya, menjadi harapan AmpunanNya. Dan menjadi AmpunanNya itu sendiri.
Mungkin inilah yang
dimaksud oleh Syaikh Al-Akbar dengan “Tuhan “dicipta” dalam hati”, atau yang
disebut dalam sebuah riwayat bahwa Tuhan tak dapat ditampung langit dan bumi
namun ia dapat ditampung oleh hati mukmin. Tuhan, yakni dalam maqom ZatNya Yang
Maha Kudus, tak pernah terperikan oleh apa pun. Tapi Tuhan, yakni dalam maqom
sebagai Tuhan Sekalian Alam (robb
al-‘aalamiin) akan sesuai dengan apa-apa yang dibayangkan oleh marbub (baca; insan yang dituhaninya)
kepadaNya.
Sungguh Tuhan adalah al-jam’u baina al-naqdayn , kumpulan
dari sifat-sifat yang bertentangan. Dia-lah Al-qoriibu (Yang Maha Dekat), Dia
pula-lah Al-ba’iidu(Yang Maha Jauh), maka dikatakan orang yang sedang berdoa
mesti yakin bahwa Allah adalah Yang Maha Dekat, hingga Allah akan benar-benar
menjadi Yang Maha Dekat dan akan mengabulkan doa-doanya. Wa idzaa sa`alaka ‘ibaadii ‘annii, fa innii qoriib, ujiibu ad-da’wata
ad-daa’I idzaa da’aan. Dan ketika hambaku bertanya kepadamu tentang aku,
maka sesungguhnya Aku dekat, ku kabulkan doa orang yang berdoa ketika mereka
berdoa.
Seorang jahil
mengatakan; kami tak membutuhkan syafa’at siapa pun, karena kami ingin diadili
seadil-adilnya oleh Tuhan. Kami tidak ingin seperti anak kecil. Seorang dewasa
harus bertanggung-jawab akan semua perbuatannya. Na’uudzubillaahi min dzaalik. Padahal para Nabi dan para Wali, tak ada satu
pun yang berani berdoa Yaa Allah adililah kami seadil-adilnya, malahan mereka
berdoa Yaa Allah Ampunilah dosa-dosa kami seluruhnya. Atau, Yaa Allah tutupilah
semua kesalahanku. Atau, Yaa Allah tak kuharapkan apa pun kecuali karuniaMu.
Betapa sombong orang yang mengharapkan diadili seadil-adilnya oleh Allah.
Mereka benar-benar akan diadili oleh Allah sebagaimana keinginan mereka
sendiri.
Innallooha
yaghfirudz-dzunuuba jamii’a
[8]Sesungguhnya
Allah mengampuni dosa-dosa seluruhnya. Dan bukankah junjungan kita YM Imam’Ali
bin Abi Thalib (‘a.s.) merintihkan; am
kaifa askunu fi an-naari wa rojaa `I ‘afwuka Mungkinkah ku - tinggal di
neraka padahal harapanku adalah ampunan Mu. [9] Di sini seolah disiratkan bahwa sekiranya
masih ada harapan atas ampunan Nya, maka tak mungkin seseorang akan disiksa
olehNya.
Duhai Yang Harapan KepadaNya adalah satu Pintaan
dan Pintaan KepadaNya tak pernah Ia Kecewakan
Duhai Yang Jeritan Sakit KepadaNya adalah satu
Permohonan
dan Permohonan KepadaNya tak pernah Ia Patahkan
Duhai Yang kefaqiran hambaNya kepadaNya adalah satu
Kemestian
dan tak pernah
Ia jumpai kefaqiran melainkan Ia Cukupkan
Duhai Yang kepapaan dan kesalahan hambaNya adalah Keniscayaan
dan tak pernah Ia jumpa dengan dosa hambaNya melainkan
Ia Sembunyikan
Bukankah salah satu
akibat dosa yang terberat adalah putus harapan? Imam ‘Ali bin Abi Thalib YM
menyebutkan dalam doa Kumail Ibn Ziyad, Allohummaghfiliya
adz-dzunuuba allatii taqtho’u ar-roja` Allohummaghfirliya
adz-dzunuuba allatii tunzilu al-bala`.[10]
Yaa Allah ampunilah diriku dari dosa-dosa yang memutuskan harapan. Yaa
Allah ampunilah diriku dari dosa-dosa yang menurunkan bala`.Mungkin dapat
diibaratkan dari doa tersebut bahwa putus harapan adalah sebab bencana. Ditinjau dari sudut pandang
lain dapat dikatakan putus harapan-lah hakikat al-bala` atau bencana. Imam
‘Ali Zainal ‘Abidin As-Sajjad (‘a.s.) berdoa;
… laa arjuu illa fadhlahu… , tak
kuharapkan apa pun kecuali karuniaNya. [11]
Kembali Imam ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) berseru kepada Allah, fa bi’izzatika istajib li du’aa`ii,
waballighni munaaya, wa laa taqtho’ min fadhlika rojaa`ii.[12]’
Demi KebesaranMu, perkenankan doaku, sampaikan diriku pada cita-citaku,
jangan putuskan harapanku akan KaruniaMu
Maka, semoga hati
sejahil-jahil makhluk dan hamba paling durhaka ini masih diisi penuh oleh
sangka baik pada Sang Maha Jelita. Semoga relung-relungnya yang teramat kotor
masih digeletarkan oleh Wahai hamba-hambaKu yang berlebihan atas dirinya janganlah
berputus asa akan Rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
seluruhnya. Semoga ruh hamba yang nista ini meninggalkan raga ini dengan
senyuman tangis harapan akan CintaNya, AmpunanNya dan Bahari RahmatNya, juga cangkir al-haudh Mushtofa dan keluarganya
yang disucikan. (s.’a. w.w.).
seluruhnya kehidupan ini bak Rusa-Rusa bermata
mutiara,
moga hatiku masih terbuka untuk menatap kejapan mata
nya nan bak kejora
seluruhnya kehidupan ini bak padang perburuan rumput
maupun sahara,
moga dadaku masih bergairah dan birahi nyalang untuk
memanah ataupun terpanah Asmara
seluruhnya kehitupan ini bak Peri-Peri berwajah Cantik
Membara,
moga rasaku masih bergelora dan membara untuk memeluk
Wajah Molek Sang Dara
seluruhnya kehidupan ini bak arak-arakan nan Gembira,
moga ceriaku masih b erkembangan bak bunga tulip untuk
teriakkan yel-yel, Asmara ku slalu dibuai Asmara
wa allohu a’lam bi ash-showwab
[1] Sebuah proposisi
dasar filsafat Mulla Shadra, yang mengatakan bahwa antara pemikir dan yang
difikirkannya pada hakikatnya adalah identik.
[2] Doa Kumayl Ibn
Ziyad.
[3] Dari kisah cinta
legendaris di Cina, San Pek In Tay.
[4] Doa Kumayl Ibn
Ziyad.
[5] QS Ali ‘Imran
133
[6] Doa Kumayl Ibn
Ziyad.
[7] Menurut sebuah
riwayat dari al-ma’shuumiin (‘a.s.) Allah adalah ahadiyyu al-ma’na.
[8] QS 49;53
[9] Doa Kumayl Ibn
Ziyad.
[10] Doa Kumayl Ibn
Ziyad.
[11] Doa Hari Ahad
Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin(‘a.s.),
[12] Doa Kumayl Ibn
Ziyad.
0 comments:
Post a Comment