Jika
seekor kucing benar-benar berada di rumah, dan kita yakin bahwa “kucing ada di
rumah”, dan kita katakan bahwa “kucing ada di rumah”, maka jelas keyakinan kita
maupun proposisi yang kita nyatakan bernilai benar secara mutlak. Inilah yang
saya maksudkan dengan absolutisme. Setiap peyakin
kebenaran, mesti seorang absolutis. Dapatkah pernyataan ini
kita buktikan secara lebih jelas?
Mari
kita mulai dulu dengan menyusun beberapa struktur lingua-franca untuk
pembahasan kita saat ini. Apa yang dimaksudkan dengan alam dalam pembahasan
kita dalam suatu himpunan. Dalam makalh ini akan ada tiga alam; alam mental, tidak lain adalah himpunan obyek dalam
fikiran manusia; alam eksternal, tidak lain adalah himpunan obeyek di luar
fikiran manusia; dan alam bahasa,
tidak lain himpunan bahasa yang digunakan manusia. Dalam contoh di paragraf
sebelumnya, keberadaan kucing di rumah merujuk pada suatu obyek dalam alam
eksternal. Sedang keyakinan akan keberadaan kucing di fikiran merujuk pada alam
mental. Dan pernyatan “Kucing ada di rumah” merujuk pada alam bahasa.
Seseorang
disebut absolutis, jika dan hanya jika, ia yakin ketiga alam tersebut, -mental, eksternal dan bahasa-, dalam
kondisi tertentu, mungkin selaras. Artinya setiap hal yang ada di alam eksternal
yang difikirkan oleh manusia mungkin ekivalen dengan fikiran
manusia tentang hal itu. Lebih lanjut setiap hal dalam fikiran manusia yang
dinyatakan dalam bahasa mungkin pula ekivalen dengan
pernyataanya di alam bahasa.
Dengan
bahasa yang lebih mudah, absolutis yakin bahwa mental manusia
mungkin
mencapai kebenaran mutlak tentang suatu obyek nyata, dalam arti, sesuaatu
“fikiran” atau “keyakinan” dalam alam mental disebut benar jika ia mencerminkan
keadaan obyektif sebenarnya di alam eksternal. Lebih jauh, absolutis, yakin bahwa
bahasa mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran tersebut.
Sebaliknya
seorang disebut relativis, jika dan hanya jika, ia bukan absolutis. Artinya,
seorang disebut relativis jika salh satu aatau kedua kriteria di bawah ini
terpenuhi;
1.
Ia yakin bahwa
tidak mungkin apa yang ada di alam eksternal ini ekivalen dengan apa yang ada
di alam mental.
2.
Ia yakin bahwa
tidak mungkin menyatakan apa yang aada di alam mental dengan suatu bahasa yang
akurat.
Poin
pertama menghancurkan hubungan antara alam mental manusia dengan alam
eksternal. Artinya seluruh bangunan
pengetahuan dan keyakinan manusia runtuh, karena semua pengetahuan dan
keyakinan manusia tidak ekivalen dengan apa pun dalam realitas sebenarnya. Poin
kedua menghancurkan kemungkinan untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan
keyakinan manusia apa pun.
Relativisme
sejati dalam defenisi seperti di atas
tidak mempunyai signifikansi sedikitpun untuk di bahas, karena jelas semua
proposisinya pun hancur. Kenapa? Karena seluruh bangunan pengetahuan dan
keyakinan sendiri pun termasuk proposisi-nya (poin pertama dan poin kedua)
tersebut tidak mewakili kenyataan apa pun (berdasar poin pertama), atu jika
tidak, seluruh pengetahuan dan keyakinannya sendiri termasuk proposisi-nya (poin
pertama dan kedua) tidak mungkin
dikomunikasikan sama sekali (berdasar pon kedua).
Filsafat
barat modern menyandarkan dirinya dalam berbagai relativisme parsial yang
akan diuraikan di bawah ini.
Rene
Descartes, yang sering disebut sebagai Bapak
Filsafat Modern, mengatakan dalam “Le Discours de la Methode” :
“Berhubung indra ada kalanya menipu kita, saya berniat menganggap bahwa apa
yang biasa ditampilkan oleh indra kita itu sebenarnya tidak ada. Di samping
itu, mengingat bahwa ada orang-orang yang keliru ketika menalar masalah
geometri yang paling sederhana, sampai-sampai melakukan paralogi, serta
mengingat pila bahwa saya sendiri pun mungkin keliru seperti yang lain, maka
saya buang semua penalaran yang sebelumnya pernah saya buat sebagai pembuktian.
Dan terakhir karena beranggapan bahwa sekua fikiran yang muncul pada waktu kita
sadar dapat juga datang ketika sedang tidur tanpa ada yang benar satu pun. Saya
memutuskan untuk berpendapat bahwa segala pendapat yang pernah terlintas dalam
angan-angan tidal lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya. Namun
segera sesudahnya saya menyadari bahwa
sementara saya berfikir bahwa semuanya tidak benar, saya sebagai yang
memikirkanya haruslah merupakan sesuatu. Saya perhatikan bahwa kebenaran ini :
Saya berfikir, jadi saya ada (Cogito
ergo sum) begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptis yang
paling berlebihan-pun tidak mampu menggoyahkannya.”
Pertama,
Descartes meyakini ketidak-absahan indera karena indera mungkin salah.
Kedua,
Descartes meyakini ketidak-absahan penalaran kerana penalaran mungkin salah.
Ketiga,
Descartes meyakini ketidak-absahan pemikiran karena fikiran tidak mampu
membadakan yang khayal (atau mimpi) dan yang nyata.
Jelas
argumentasi Descartes ini salah.
Kenapa?
Pertama,
karena argumentasi ini menghancurkan dirinya
sendiri. Dengan tiga proposisi berturut-turut ini, jelas
1.
Hubungan
antara alam eksternal dan alam fikiran manusia terputus total.
2.
Segala jenis
penalaran apa [un nafi
3.
Segala jenis
pemikiranapa pun tidak absah,
Sehingga
jika benar seseorang meyakini ketiga
proposisi ini, tidak mungkin ia mempunyai pengetahuan ataupun keyakinan apa
pun.
Kedua, dalam tiap proposisi dalam
argumentasi tersebut terdapat kesalahan pengambilan kesimpulan karena terlalu
menggeneralisasi. Contohnya adalah proposisi pertama,
karena indera mungkin salah, maka kita mesti meyakini bahwa indera mungkin
salah, tidak bisa digeneralisasikan menjadi bahwa indera selalu salah sehingga
ia tidak mingkin pula ia benar. Demikian pula terjadi pada proposisi kedua dan
ketiga.
Saya
yakin Descartes sendiri tidak meyakini ketiga proposisi tersebut dalam artian
yang hakiki. Contoh yang jelas adalah ketika Descartes menyatakan Cogito
ergo sum (Aku berfikir, maka aku ada). Sebenarnya saat ini, Descaartes
telah menggunakan metode penalaran silogisme Aristoteles;
Premis
minor : Sesuatu yang berfikir pasti
ada.
Premis
minor : Aku befikir.
Konklusi : Aku ada.
Ini dapa
dilihat langsung dalam pernyataan Descartes dalam dua paragraf berikutnya “La
discours de la methode”;
“Saya
perhatikan bahwa dalam dalil “saya
berfikir, jadi saya ada” tak ada suatu
pun yang menjamin kebenarannya selain bahwa saya melihat dengan sangat
jelas bahwa untuk berfikir saya harus ada.”
Analisa
historis mungkin menjelaskan kenyataan bahwa mungkin bagi kita untuk memahami “kesalahan logika” Descartes sebagai
upaya untuk melawan sketisisme yang
merajalela saat itu.
Lain
lagi dengan Emmanuel Kant, yang membatasi
alam eksternal di mana hukum logika berlaku. Menurut Kant; ilmu matematis
memiliki kebenaran absolut, ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman
inderawi memiliki kebenaran relatif, dan subyek-subyek metafisika tak mungkin
dicapai oleh akal manusia sama sekali. Pernyataan Kant ini mempunyai dua
kemungkinan.
Pertama, pernyataan bahwa
suyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia dalam arti
harfiah. Tapi, bagaimana mungkin kita bisa menilai
pernyataan Kant ini salah atau benar, sedang pernyataan itu sendiri menyangkut
hal yang meta-fisis sehingga hal ini tak mungkin dicapai oleh akal kita sama
sekali?
Kedua, jika artinya subyek-subyek
metafisika tak mungkin dibahasakan sama sekali oleh akal manusia.
Dalam hal ini, karena proposisi hal ini pula termasuk hal yang metafisis,
proposisi ini pun tak mungkin dibahasakan sama sekali. Jadi seharusnya
biarkanlah proposisi ini melanglang buana dalam alam mental kita tanpa pernah
dinyatakan bahkan oleh Kant sendiri.
Relativisme
parsial jenis lain mungkin seperti apa yang dinyatakan
oleh Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus -nya;
“Sesuatu yang memang dapat
dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat
dikatakan sebaiknya didiamkan saja.”
Secara
khusus, Wittgenstein menyebutkan tiga hal yang tidak dapat diungkapkan secara
jelas - yang disebutnya sebagai The Mystical-,
sehingga sebaiknya didiamkan saja, yaitu ;
1. “Subyek
tidak termasuk dalam lingkup dunia, melainkan hanya merupakan suatu
batas dunia.”
2. “Kematian bukanlah merupakan suatu
peristiwa kehidupan, sebab kematian itu bukan merupakan kehidupan yang dijalani.”
3. “Allah tidak menyatakan diri-Nya dalam
dunia.”
Jadi,
jika seseorang meyakini proposisi Wittgenstein tersebut, ia tidak akan pernah
mempermasalahkan adanya dirinya sendiri sebagai subyek, ada atau tidaknya
kematian bahkan ada atau tidaknya Tuhan.
Relativisme
parsial ala Wittgenstein
tidak mengakui adanya alam mental, dan Wittgenstein langsung merelasikan alam
kenyataan dengan alam bahasa. Lebih lanjut, ia membatasi alam eksternal yang
dapat dirlasikan secara ekivalen dengan bahasa yang akurat, yaitu alam
non-mistikal. Maka jika benar Wittgenstein berpendapat seperti ini, jelas
pendapatnya salah. Kenapa?
Karena argumentasinya menghancurkan
dirinya sendiri.
Pada
saat Wittgeinstein membahas ketiga hal yang termasuk ke dalam The
Mystcal, subyek, kematian, dan
Allah, karena mereka semua tidak
termasuk dalam lingkup dunia, maka dari-mana ia memperoleh kesimpula itu?
Kalau dikatakan dari alam bahasa itu sendiri, bukankah menurutnya setiap
proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas?
Dan bukankah menurutnya jelas adalah mewakili suatu keadaan faktual tertentu?
Jadi secara otomatis, karena Wittgenstein memperoleh kesimpulan tentang subyek, kematian, dan Allah dari alam
eksternalnya, ia musti memperolehnya dari alam mentalnya. Jadi argumentasi
Wittgenstein memestikan keberadaan alam mental, minimal alam mentalnya sendiri.
Proposisi,
“Sesuatu yang memang dapat dikatakan
haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan
sebaiknya didiamkan saja,” Ini sendri tidak jelas. Kenapa? Karena masih
bisa dipertanyakan lagi apa arti jelas dan arti “jelas” bagi setiap orang
relatif. Misalnya ; mungkin kata “gaya” jelas artinya bagi seorang fisikawan,
tapi tidak jelas artinya bagi fisikawan lain. Misalnya lagi dapatkan Anda
menjelaskan kepada sya kapan sebuah jambu yang dimakan seseorang masih disebut
jambu atau sudah menjadi bukan jambu? Jadi karena arti “jelas” itu relatif,
tentu ia tidak dijamin jelas artinya bagi setiap orang. Arinya proposisi ini
sendiri, didiamkan saja. Didiamkan seperti rumput yang bergoyang.
Keadaan
orang yang meyakini paham relativis ini mengingatkan saya pada “Shummum
bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun.” (Mereka
tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali). Relativis seolah
kehilangan seluruh inderanya, karena mereka sendirilah yang menafikannya.
Kemudian bagaimana mereka bisa mengreksi kebenaran seluruh pengetahuan dan
keyakinannya?
Kembali
pada pembahasan semula, seorang yang meyakini pengetahuan ataupun keyakinan
apapun mesti adalah absolutis. Kenapa? Karena jika ia tidak absolutis maka mustahil
ia yakin apa pun yang ada dalam fikirannya mempuyai relasi dengan suatu yang
benar-benar ada di alam nyata atau mustahil ia yakin bahwa ppernyataan
keyakinan dalam alam bahasa sesuai dengan apa yang ada dalam fikirannya
sendiri. Sehingga, ia tidak akan meyakini apapun atau walaupun meyakini
terpaksa diam seribu bahasa akan keyakinannya tersebut.
Sebagai
penutup, saya mengajak anda semua merenungi; wa qul jaa ‘al-haqqa wa
zahaaqal-baathil, innal baathila kaana zahuuqa. (Dan katakan, telah
tiba kebenaran dan telah lenyap kebatilan, dan sesungguhnya kebatilan itu
benar-benar sirna). Yang benar tetap
benar, dan harus kita katakan benar.
Yang salah tetap salah, dan mestilah
sirna.
0 comments:
Post a Comment