BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bidang kesehatan
yang paling terpengaruh oleh dampak globalisasi, yakni antara lain bidang
perumahsakitan, tenaga kesehatan, industri farmasi, alat kesehatan dan asuransi
kesehatan.
Di bidang
perumahsakitan misalnya, manajemen pelayanan kesehatan belum efisien. Mutunya
masih relatif rendah. Disinilah justru letak keunggulan rumah sakit swasta
asing yang telah terbiasa bekerja dengan sistem manajemen profesional.
Kehadiran rumah sakit swasta asing akan menguntungkan kelompok konsumen
tertentu karena mempunyai lebih banyak pilihan pelayanan kesehatan yang kian
bermutu, namun rumah sakit swasta nasional akan tersaingi dan kesenjangan
pelayanan kesehatan antara kelompok yang mampu dan yang kurang mampu akan
menjadi lebih lebar.
Oleh karena itu
upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah langkah terpenting untuk
meningkatkan daya saing usaha Indonesia di sektor kesehatan. Hal ini tidak
ringan karena peningkatan mutu tersebut bukan hanya untuk rumah sakit saja
tetapi berlaku untuk semua tingkatan pelayanan kesehatan mulai dari Puskesmas
Pembantu dan Puskesmas, baik di fasilitas pemerintahan maupun swasta.
Peningkatan
kualitas pelayanan adalah salah satu isu yang sangat krusial dalam manajemen,
baik dalam sektor pemerintah maupun sektor swasta. Hal ini terjadi karena di
satu sisi tuntunan masyarakat terhadap perbaikan kualitas pelayanan dari tahun
ke tahun menjadi semakin besar, sedangkan disisi lain, praktek penyelenggaraan
pelayanan tidak mengalami perbaikan yang berarti.
Dalam
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia diamanatkan bahwa Kesehatan merupakan
salah satu aspek dari hak asasi manusia, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam
pasal 28 H ayat (1) : “ setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pembangunan
Kesehatan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum sebagai yang
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan Kesehatan
tersebut diselenggarakan dengan berdasarkan kepada Sistem Kesehatan Nasional (
SKN ) yaitu suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa Indonesia
secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Sebagai pelaku dari pada penyelenggaraan pembangunan
kesehatan adalah masyarakat, pemerintah ( pusat, provinsi, kabupaten/kota ),
badan legeslatif serta badan yudikatif. Dengan demikian dalam lingkungan
pemerintah baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus saling bahu
membahu secara sinergis melaksanakan pembangunan kesehatan yang terencana,
terpadu dan berkesinambungan dalam upaya bersama-sama mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.
Keberhasilan
pembangunan Kesehatan berperan penting dalam meningkatkan mutu dan daya saing
sumber daya manusia Indonesia. Untuk mencapai keberhasilan dalam pembangunan
bidang kesehatan tersebut diselenggarakan berbagai upaya kesehatan secara
menyeluruh, berjenjang dan terpadu. Dalam hal ini Puskesmas sebagai Unit
Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan merupakan penanggung jawab penyelenggara upaya
kesehatan untuk jenjang pertama di wilayah kerjanya masing-masing. Puskesmas
sesuai dengan fungsinya ( sebagai pusat pembangunan berwawasan kesehatan, pusat
pemberdayaan masyarakat dan keluarga serta pusat pelayanan kesehatan dasar )
berkewajiban mengupayakan, menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan yang
bermutu dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang
berkwalitas dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan Nasional yaitu
terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang.
Pengertian.
Berbicara
masalah mutu pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas, terkandung makna bahwa
Puskesmas berkewajiban menjaga bahkan meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas.
Mutu adalah
gambaran total sifat dari suatu produk atau jasa pelayanan yang berhubungan
dengan kemampuan untuk memberikan kebutuhan kepuasan. Mutu adalah kesesuaian
terhadap permintaan persyaratan ( Dr. Ridwan Amirrudin, SKM., M.Kes., 2007 ).
Mutu
pelayanan kesehatan dasar adalah kesesuaian antara pelayanan kesehatan dasar
yang disediakan / diberikan dengan kebutuhan yang memuaskan pasien atau
kesesuaian dengan ketentuan standar pelayanan .
Tujuan Umum
dan Khusus
Terselenggaranya
pelayanan kesehatan dasar yang bermutu dan memuaskan di Puskesmas dalam rangka
terwujudnya peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
2. Manfaat dan
Tujuan
Dalam
pembuatan Karya Ilmiah ini bertujuan untuk :
v Memberikan penjelasan tentang
kualitas atau mutu pelayanan kesehatan di Indonesia
v Memberikan informasi tentang sejauh
mana pelayanan kesehatan di Indonesia
v Untuk mengetahui beberapa aspek yang
mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Konsep Dasar Mutu Pelayanan Kesehatan
Banyak
pengertian tentang mutu antara lain:
- Mutu adalah tingkat kesempurnaan dan penampilan sesuatu yang sudah diamati ( Wnston Dictionary, 1956 )
- Mutu adalah sifat ang dimiliki oleh suatu progam ( Donabedian,1980 )
- Mutu adalah totalitas dari wujud serta ciri suatu barang atau jasa yang didalamnya terkandung pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna ( DIN ISO 8402, 1986 )
Jadi , Mutu
( quality ) dapat didefinisikan sebagai keseluruhan karakteristik barang atau
jasa yang menunjukkan kemampuan dalam memuaskan kebutuhan konsumen, baik
kebutuhan yang dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat.
Beberapa
pengertian tentang mutu pelayanan kesehatan:
- Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap jasa pemakai pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata- rata penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi ( Azhrul Aswar,1996 )
- Mutu pelayanan kesehatan adalah Memenuhi dan melebihi kebutuhan serta harapan pelanggan melalui peningkatan yang berkelanjutan atas seluruh proses. Pelanggan meliputi pasien, keluarga, dan lainnya yang datang untuk mendapatkan pelayanan dokter, karyawan ( Mary R. Zimmerman )
Secara umum
pengertian mutu pelayanan kesehatan adalah derajat kesempurnaan pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan
menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di rumah sakit atau puskesmas
secara wajar, effisien, dan efektif serta diberikan secara aman dan menuaskan
secara norma , etika, hukum dan sosial budaya dengan memperhatikan keterbatasan
dan kemampuan pemerintah , serta masyarakat konsumen.
Selain itu
mutu pelayanan kesehatan diartikan berbeda sebagai berikut :
1. Menurut pasien/ masyarakat empati , menghargai, dan
tanggap sesuai dengan kebutuhan dan ramah.
2. Menurut petugas kesehatan adalah bebas melakukan
segala sesuatu secara profesional sesuai dengan ilmu pengetahuan, keterampilan
, dan peralatan yang memenuhi standar.
3. Menurut manajer / administrator adalah mendorong
manager untuk mengatur staf dan pasien/ masyarakat yang baik.
4. Menurut yayasan atau pemilik adalah menuntut pemilik
agar memiliki tenaga profesional yang bermutu dan cukup.
Untuk mengatasi
adanya perbedaan dimensi tentang masalah peayanan kesehatan seharusnya pedoman
yang dipakai adalah hakekat dasar dari diselenggaranya pelayanan kesehatan
tersebut. Yang dimaksud hakekat dasar tersebut adalah memenuhi kebutuhan dan
tuntunan para pemakai jasa pelayanan kesehatan yang apabila berhasil dipenuhi
akan menimbulkan rasa puas ( client satisfaction ) terhadap pelayanan kesehatan
yang diselenggarakan.
Jadi yang
dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan adalah menunjuk pada ringkat pelayanan
kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Makin sempurna
kepuasan tersebut, makin baik pula mutu pelayanan kesehatan. Sekalipun
pengertian mutu yang terkait dengan keputusan ini telah diterima secara luas ,
namun penerapannya tidaklah semudah yang diperkirakan. Masalah pokok yang
ditemukan ialah karena kepuasan tersebut bersifat subjektif. Tiap orang,
tergantung dari kepuasan yang dimiliki, dapat saja memiliki tingkat kepuasan
yang berbeda untuk satu mutu pelayanan kesehatan yang sama. Disamping itu
sering pula ditemukan pelayanan kesehatan yang sekalipun dinilai telah
memuaskan pasien, namun ketika ditinjau dari kode etik serta standar pelayanan
profesi, kinerjanya tetap tidak terpenuhi.
Kesimpulan,
Jadi mutu pelayanan kesehatan menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan
kesehatan, di mana di satu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien
sesuai dengan tingkat kepuasan rata- rata penduduk, akan tetapi di pihak lain
dalam tatacara penyelenggaraannya juga sesuai dengan kode etik dan standar
pelayanan profesi yang telah ditetapkan.
B.
Menilai
Mutu Pelayanan Kesehatan
Dalam salah satu tulisannya tentang
Quality Assurance in Hospital, Donabedian mengatakan bahwa
pada waktu yang lalu pertanyaan "Bagaimana mutu pelayanan kesehatan dapat
dinilai" tidak dapat diajukan. Hal itu terjadi karena mutu pelayanan
kesehatan disamakan dengan suatu misteri: nyata, dapat dirasakan dan dihargai,
tetapi bukan subjek yang dapat diukur. Bahkan, sebelumnya usaha ke arah itu
sering dianggap remeh. Tetapi, selanjutnya Donabedian mengatakan bahwa sekarang
kita berada pada arah yang sebaliknya.
Artinya,
penilaian terhadap mutu pelayanan kesehatan semakin menjadi tuntutan berbagai
pihak. Baik dari provider 'pemberi ' pelayanan kesehatan, perusahaan asuransi
kesehatan (pihak ketiga), maupun pihak masyarakat selaku . Selain menjadi
tuntutan semua pihak, ternyata menilai mutu pelayanan kesehatan pun bukan suatu
yang mustahil. Sebenarnya, berbagai topik yang dibicarakan saat ini bukan
merupakan hal yang baru, termasuk masalah mutu pelayanan kesehatan. Bila kita
cermati catatan sejarah, kita akan melihat betapa pada masa lalu tenaga-tenaga
kesehatan telah peduli terhadap masalah yang satu ini. Pada 1860, Florence
Nightingale telah meletakkan dasar mutu pelayanan kesehatan dengan
menyeragamkan sistem pengumpulan data statistik rumah sakit dan evaluasinya. Data yang dikumpulkan oleh Nightingale tersebut menunjukkan angka kematian yang bervariasi antar rumah sakit. Di Amerika Serikat, saat terjadi perkembangan pelayanan kesehatan yang pesat, banyak bermunculan pihak pemberi layanan kesehatan dan perusahaan asuransi sebagai jembatan antara provider dengan konsumen. Oleh karena itu, pada saat itu bermunculanlah berbagai kepentingan yang tak lepas dari masalah politik, ekonomi, sosial, dan aspek hukum. Perhatian terhadap mutu pelayanan kesehatan muncul meskipun pada saat itu orang-orang yang memperhatikan masalah tersebut baru memiliki kemampuan yang terbatas.
menyeragamkan sistem pengumpulan data statistik rumah sakit dan evaluasinya. Data yang dikumpulkan oleh Nightingale tersebut menunjukkan angka kematian yang bervariasi antar rumah sakit. Di Amerika Serikat, saat terjadi perkembangan pelayanan kesehatan yang pesat, banyak bermunculan pihak pemberi layanan kesehatan dan perusahaan asuransi sebagai jembatan antara provider dengan konsumen. Oleh karena itu, pada saat itu bermunculanlah berbagai kepentingan yang tak lepas dari masalah politik, ekonomi, sosial, dan aspek hukum. Perhatian terhadap mutu pelayanan kesehatan muncul meskipun pada saat itu orang-orang yang memperhatikan masalah tersebut baru memiliki kemampuan yang terbatas.
Selanjutnya,
pada 1955, Komisi Gabungan mulai menekankan tentang arti penting audit medik.
Hasilnya, pada Januari 1981 audit medik ditetapkan sebagai bagian dari Quality
Assessment Standard 'Standar Penilaian Mutu'. Standar ini mengharuskan rumah
sakit memperhatikan seluruh data statistik, medical record, komite antibiotik
dalam suatu sistem audit medik, bersamaan pula dengan pengawasan praktik
klinik, laporan insiden, dan lain-lain.
Pada
akhir 1986, Komisi Gabungan tersebut meluncurkan proyek baru yang berjudul The
Agenda for Change 'Agenda untuk Perubahan'. Tujuan program tersebut adalah
untuk membangun suatu pengawasan yang berorientasi pada outcome 'hasil' dan
evaluasi terhadap proses yang dapat membantu suatu rumah sakit atau pihak
pemberi layanan kesehatan lainnya dalam meningkatkan mutu pelayanan. Program
tersebut didesain untuk meningkatkan kemudahan dalam proses akreditasi dan
memberi tekanan pada pentingnya hasil klinis serta
administrasi. Dalam perkembangannya, Komisi Gabungan tersebut mengubah namanya menjadi Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization 'Komisi Gabungan untuk Akreditasi Organisasi Pelayanan Kesehatan'. Penambahan nama tersebut merefleksikan jangkauan yang luas dari pelayanan kesehatan yang unik, yang berbeda dengan organisasi lainnya. Biasanya, ada 2 pertanyaan mendasar yang muncul sehubungan dengan penilaian
medik. Pertama, apa yang dimaksud dengan mutu medik dan pelayanan kesehatan? Kedua, bagaimana cara mengukur yang tepat?
administrasi. Dalam perkembangannya, Komisi Gabungan tersebut mengubah namanya menjadi Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization 'Komisi Gabungan untuk Akreditasi Organisasi Pelayanan Kesehatan'. Penambahan nama tersebut merefleksikan jangkauan yang luas dari pelayanan kesehatan yang unik, yang berbeda dengan organisasi lainnya. Biasanya, ada 2 pertanyaan mendasar yang muncul sehubungan dengan penilaian
medik. Pertama, apa yang dimaksud dengan mutu medik dan pelayanan kesehatan? Kedua, bagaimana cara mengukur yang tepat?
Definisi
'mutu' dalam pelayanan kesehatan memang sulit ditunjukkan dengan tepat bila
diharapkan dapat memenuhi semua dimensi. Definisinya akan tergantung dari
perspektif mana kita melihat. Konsumen dapat mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan 'mutu' pelayanan kesehatan adalah kemampuan dokter dalam melakukan
diagnosis dan pengobatan yang tepat. Pihak manajemen rumah sakit dapat
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan adalah kemampuan
rumah sakit dalam memberikan sejumlah pelayanan dengan biaya yang cukup rendah.
Contoh berikut dapat memberikan gambaran
tentang betapa ada sedikit bias dalam pengartian mutu pelayanan kesehatan.
tentang betapa ada sedikit bias dalam pengartian mutu pelayanan kesehatan.
Seorang
pasien datang ke suatu pusat pelayanan kesehatan dengan infeksi saluran
pernapasan atas. Melalui berbagai tes, dokter yang menangani mengetahui bahwa
pasien tersebut mengalami tekanan darah tinggi yang tidak biasa. Dokter
tersebut kemudian memutuskan agar pasien melakukan kunjungan lanjutan untuk
memantau hipertensinya. Namun, pasien tersebut merasa baik-baik saja. Pasien
hanya merasa sedikit demam dan membutuhkan antibiotik. Dokter menjelaskan bahwa
antibiotik tidak efektif melawan virus. Namun, pertemuan ke-2 dan seterusnya
tidak pernah terjadi karena pasien kecewa. Kekecewaan pasien terjadi karena ia
merasa tidak berhasil mendapatkan antibiotik. Sementara itu, dokter tersebut
juga frustasi karena pasiennya tidak datang pada kunjungan berikutnya untuk
penanganan hipertensi. Di lain pihak, rumah sakit lebih melihat pada tingginya
angka kegagalan pertemuan lanjutan yang berkaitan dengan penggunaan berbagai
fasilitas rumah sakit.
fasilitas rumah sakit.
Menurut
Nancy O. Graham, definisi mutu pelayanan kesehatan meliputi masalah teknis,
aspek saintifik, dan art 'seni' dalam memberikan pelayanan. Seni dalam
memberikan pelayanan kesehatan berkaitan dengan cara yang dilakukan dokter
dalam melakukan tindakan medis dan komunikasi terhadap pasien. Lebih lanjut,
Graham mengatakan bahwa suatu hal yang mustahil mendiskusikan arti mutu tanpa
melihat pada nilai-nilai yang ada pada tenaga medis, pasien, dan institusi.
Karena, artinya akan sangat tergantung pada nilai-nilai yang ada
pada ketiga komponen tersebut. Bukan hal yang mustahil bila artinya akan berubah seiring dengan perubahan nilai yang ada pada masyarakat, perubahan ilmu pengetahuan, dan sumber daya yang ada.
pada ketiga komponen tersebut. Bukan hal yang mustahil bila artinya akan berubah seiring dengan perubahan nilai yang ada pada masyarakat, perubahan ilmu pengetahuan, dan sumber daya yang ada.
Tak
pelak lagi bahwa melakukan penilaian terhadap pelayanan kesehatan adalah sesuatu
yang harus dilakukan, termasuk di Indonesia. Audit medik merupakan metode yang
digunakan oleh profesi kedokteran/kesehatan untuk mengevaluasi dan memperbaiki
pelayanan mereka kepada pasien secara sistematik. Idealnya, setiap tenaga medis
harus terbiasa mempertanyakan kepada diri mereka sendiri tentang pelayanan yang
mereka berikan kepada pasien dalam tiga hal. Pertama, adakah tindakan saya yang
keliru, dan jika ada di mana letak kekeliruan tersebut. Kedua, dapatkah kami
memberikan pelayanan yang
lebih baik. Ketiga, apa makna kualitas pelayanan bagi pasien. Dr. Agus Purwadianto, SpF, Ketua IDI wilayah DKI Jakarta, mengatakan bahwa audit medik harus dilakukan pada setiap level pelayanan kesehatan dari tingkat yang paling bawah, yaitu Puskesmas. Sebagai pusat kesehatan yang berada pada lini yang paling depan, Puskesmas juga harus menempatkan dirinya pada jajaran institusi pelayanan kesehatan yang profesional. Namun, masalahnya, mampukah Puskesmas dalam sistem yang ada saat ini melakukan manajemen yang baik? Banyak kalangan yang menilai bahwa banyak hal yang harus diperbaiki terlebih dahulu. Dr. Arend Karel Ponggawa, misalnya. Beliau mengatakan bahwa harus ada kejelasan pada tugas profesi dokter di Puskesmas. Arend menilai bahwa tugas dokter di Puskesmas saat ini tidak
cocok dengan apa yang seharusnya dilakukan seorang dokter. Karena, dokter jadi lebih disibukkan oleh tugas manajerial dan jabatannya sebagai pejabat kecamatan. Ketidakjelasan tugas tersebut jelas akan mempengaruhi kinerja dokter Puskesmas. Beberapa studi tentang hal ini telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan hal yang sama. Tingkat kehadiran dokter yang rendah, program Puskesmas yang tidak jalan, dll. Meskipun demikian, di lain pihak kita tidak dapat menutup mata terhadap kinerja dokter Puskesmas yang tinggi di beberapa tempat. Namun, agaknya kita perlu mengajukan pertanyaan, "Apakah Kepala Puskesmas
harus seorang dokter?" Bukankah pada kenyataannya bila keadaan terus dibiarkan akan memberikan dampak buruk baik bagi dokter, pemerintah, dan masyarakat. Karena, pada kenyataannya, banyak dokter yang mengeluhkan masalah ini. Salah satunya adalah Dr. Fitri, dokter muda yang baru menyelesaikan tugas PTT-nya di Kabupaten Banjarnegara. Fitri mengusulkan agar dokter Puskesmas tidak usah memegang jabatan struktural di Puskesmas, tetapi cukup tugas fungsional saja sebagai tenaga medis. Karena, menurut Fitri, waktu yang hanya 3 tahun di Puskesmas terlalu singkat untuk program Puskesmas dan masyarakat sekitar. "Tugas struktural tersebut sangat menghambat kerja dokter, karena akhirnya dokter disibukkan dengan tugas-tugas tetek bengek yang merepotkan, dan melalaikan tugas utamanya," ujar Fitri.
lebih baik. Ketiga, apa makna kualitas pelayanan bagi pasien. Dr. Agus Purwadianto, SpF, Ketua IDI wilayah DKI Jakarta, mengatakan bahwa audit medik harus dilakukan pada setiap level pelayanan kesehatan dari tingkat yang paling bawah, yaitu Puskesmas. Sebagai pusat kesehatan yang berada pada lini yang paling depan, Puskesmas juga harus menempatkan dirinya pada jajaran institusi pelayanan kesehatan yang profesional. Namun, masalahnya, mampukah Puskesmas dalam sistem yang ada saat ini melakukan manajemen yang baik? Banyak kalangan yang menilai bahwa banyak hal yang harus diperbaiki terlebih dahulu. Dr. Arend Karel Ponggawa, misalnya. Beliau mengatakan bahwa harus ada kejelasan pada tugas profesi dokter di Puskesmas. Arend menilai bahwa tugas dokter di Puskesmas saat ini tidak
cocok dengan apa yang seharusnya dilakukan seorang dokter. Karena, dokter jadi lebih disibukkan oleh tugas manajerial dan jabatannya sebagai pejabat kecamatan. Ketidakjelasan tugas tersebut jelas akan mempengaruhi kinerja dokter Puskesmas. Beberapa studi tentang hal ini telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan hal yang sama. Tingkat kehadiran dokter yang rendah, program Puskesmas yang tidak jalan, dll. Meskipun demikian, di lain pihak kita tidak dapat menutup mata terhadap kinerja dokter Puskesmas yang tinggi di beberapa tempat. Namun, agaknya kita perlu mengajukan pertanyaan, "Apakah Kepala Puskesmas
harus seorang dokter?" Bukankah pada kenyataannya bila keadaan terus dibiarkan akan memberikan dampak buruk baik bagi dokter, pemerintah, dan masyarakat. Karena, pada kenyataannya, banyak dokter yang mengeluhkan masalah ini. Salah satunya adalah Dr. Fitri, dokter muda yang baru menyelesaikan tugas PTT-nya di Kabupaten Banjarnegara. Fitri mengusulkan agar dokter Puskesmas tidak usah memegang jabatan struktural di Puskesmas, tetapi cukup tugas fungsional saja sebagai tenaga medis. Karena, menurut Fitri, waktu yang hanya 3 tahun di Puskesmas terlalu singkat untuk program Puskesmas dan masyarakat sekitar. "Tugas struktural tersebut sangat menghambat kerja dokter, karena akhirnya dokter disibukkan dengan tugas-tugas tetek bengek yang merepotkan, dan melalaikan tugas utamanya," ujar Fitri.
Permasalahan
dokter Puskesmas baru sekelumit dari sekian banyak peliknya permasalahan
manajerial kesehatan di Indonesia. Masih banyak masalah lain yang harus
diperbaiki. Paradigma ekonomi yang masih mendominasi sebagian besar institusi
pelayanan kesehatan, kesiapan sumber daya kesehatan menjalankan manajerialnya,
ditambah lagi dengan situasi krisis ekonomi yang masih menghantam kita. Namun,
bila kita tidak mau beranjak dan berbenah diri, tentu kita akan semakin
tenggelam dalam keterpurukan. Kuncinya sebenarnya adalah pada diri kita, maukah
kita melakukan perbaikan?
C. Persepsi Mutu Pelayanan Kesehatan
Menurut pasien / masyarakat
Pasien/
masyarakat melihat layanan kesehatan yang bermutu sebagai suatu layanan
kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakan dan diselenggarakan
dengan cara yang sopan dan santun, tepat waktu, tanggap serta mampu
menyembuhkan keluhan serta mencegah berkembangnya atau meluasnya penyakit.
Pandangan
pasien ini sangat penting karena pasien yang merasa puas akan mematuhi
pengobatan dan mau datang berobat kembali
Menurut pemberi pelayanan
Pemberi
layanan kesehatan mengaitkan layanan kesehatan yang bermutu dengan ketersediaan
peralatan , prosedur kerja atau protokol, kebebasan profesi dalam setiap
melakukan layanan kesehatan sesuai dewngan teknologi kesehatan mutakhir, dan
bagaimana keluaran atau layanan kesehatan tersebut.
Sebagai profesi
layanan kesehatan membutuhklan dan mengharapkan adanya dukungan teknis,
administrasi, dan layananan pendukung lainnya yang efektif serta efisien dalam
menyelenggarakan layanan kesehatan yang bernutu tinggi.
Menurut penyambung dana / Asuransi
Penyandang
dana / asuransi mengangap bahwa layanan kesehatan yang bermutu sebagai suatu
layanan kesehatan yang efisien dan efektif. Pasien deharapkan dapat disembuhkan
dalam waktu yang sesingkat mungkin sehingga biaya layanan kesehatan dapat
menjadi efisien. Selanjutnya , upaya promosi kesehatan pencegahan penyakit akan
digalakkan agar pengguna layanan kesehatan semakin berkurang.
Menurut Pemilik Saran Layanan Kesehatan
Pemilik
sarana layanan kesehatan berpandangan bahwa layanan kesehatan yang bermutu
merupakan layanan kesehatan yang menghasilkan pendapatan yang mampu menutupi
biaya operasional dan pemeliharaan, tetapi dengan tarif layanan kesehatan yang
masih terjangkau oleh pasien atau masyarakat , yaitu padatingkat biaya ketika
belum terdapat keluhan pasien masyarakat.
Menurut Administrator Kesehatan / Pemerintah
Administrator
layanan kesehatan tidak langsung memberikan layanan kesehatan , tetapi ikut
bertanggung jawab dalam masalah mutu layanan kesehatan. Kebutuhan akan
supervisi, kebutuhan keuangan dan logistik akan memberikan suatu tantangan dan
terkadang administator layanan kesehatan kurang memperhatikan prioritas
sehingga timbul persoalan dalam layanan kesehatan. Pemusatan perhatian terhadap
beberapa dimensi nutu layanan kesehataan tertntu akan membantu administator
layanan kesehatan dalam menyusun prioritas dan dalam menyediakan apa yang
menjadi kebutuhan dan harapan pasien , sserta pemberi layanan kesehatan.
Menurut ikatan profesi
Keberhasilan
penerapan pendekatan jaminan mutupelayanan kesehata akan menimbulkan kepuasan
pasien. Dengan demikian, tugas pelayanan kesehatan selama ini dianggap suatu
beban yang berat dan ada kalanya disertai dengan keluhan / kritikan pasien dan/
masyarakat akan berubah menjadi suatu kepuasan kerja. Jaminan mutu pelayanan
kesehatan akan menghindarkan terjadinya malpraktik sehingga dokter dapat
terhindar dari tuntunan pasien.
D. Hubungan Antara Kepuasan , Harapan Dan Persepsi Pasien Terhadap Pelayanan
Kesehatan Yang Diterima
Kepuasan
terhadap pelayanan kesehatan akan dinyatakan melalui hal- hal sebagai berikut:
Komunikasi dari mulut ke mulut
Informasi
yang diperoleh dari asien atau masyarakat yang memperoleh pelayanan yang
mmuaskan ataupun tidak, akan menjadi informasi yang dapat digunakan untuk
sebagai referensi untuk menggunakan atau memilih jasa pelayanan kesehatan
tersebut.
Kebutuhan pribadi
Pasien atau
masyarakat selalu membutuhkan pelayanan kesehatan yang tersedia sebagai
kebutuhan pribadi yang tersedia pada waktu dan tempat sesuai dengan kebutuhan.
Pasien atau masyarakat mengharapkanadanya kemudahan dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang baik dalam keadaan biasa ataupun gawat darurat.
Pengalaman Masa lalu
Pasien atau
masyarakat yang pernah mendapatkan pelayanan kesehatan yang memuaskan akan
kembali ke pelayanan kesehatan yang terdaulu untuk memperoleh layanan kesehatan
yang memuaskan sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan pengalaman yang lalu.
Komunikasi eksternal
Sosialisasi
yang luas dari sistem pelayanan kesehatan mengenai fasilitas, sumber daya manusia,
serta kelebihan – kelebihan yang dimiliki suatu konstitusi pelayanan kesehatan
akan mempengaruhi pemakaian jasa pelayanan oleh masyarakat atau pasien.
E. Dimensi Mutu Yang Digunakan Untuk Mengevaluasi Mutu
Yang Digunakan
Mutu suatu
organisasi pemberi pelayanan yang sulit diukur dan lebih bersifat subjektif
sehingga aspek mutu menggunakan beberapa dimensi/ karakteristik sbb:
² Communication, yaitu komunikasi atau
hubungan antara penerima dengan pemberi jasa.
² Credibility adalah kepercayaan pihak
penerima jasa terhadap pemberi jasa.
² Security, yaitu keamanan terhadap
jasa yang ditawarkan
² Knowing the Custoer, yaitu
pengertian dari pihak pemberi jasa pada penerima jasa atau pemahaman atau
pemberi jasa terhadap kebutuhan dengan harapan pemakai jasa
² Tangible, yaitu bahwa dalam
memberikan pelayana terhadap pelanggan harus diukur atau dibuat standarnya
² Realibility, yaitu konsistensi kerja
pemberi jasa dan kemampuan pemberi jasa
² Responsiveness, yaitu tanggapan
pemberi jasa terhadap kebutuhan dan penerima jasa
² Competence, yaitu kemampuan atau
keterampilan pemberi jasa yang dibutuhkan setiap orang dalam perusahaan untuk
memberikan jasanya kepada penerima jasa
² Access, yaitu kemudahan pemberi jasa
untuk duhubungi oleh pihak pelanggan
² Courtessy, yaitu kesopanan, aspek
perhatian, kesamaan dalam hubungan personal
F. Manfaat Program Jaminan Mutu
Jaminan mutu
pelayanan kesehatan atau Quality Assurance in Healthcare merupakan salah satu
pendekatan atau upaya yang sangat mendasar dalam memberikan pelayanan terhadap
pasien. Kita sebagai profesional pelayanan kesehatan baik sebagai perorangan
ataupun kelompok harus selalu berupaya memberikan pelayanan kesehatn yang
terbaik mutunya kepada semua pasien.
Pendekatan
jaminan mutu pelayanan kesehatan tersebut baik yang menyangkut organisasi,
perencanaan ataupun penyelenggaraan pelayanan kesehatan itu sendiri telah
menjadi suatu kiat manajemen yang sistematis serta terus menerus dievaluasi dan
disempurnakan. Bidan berperan penting dalam penerapan mutu manajemen pelayanan
kesehatan baik secara langsung ataupun tidak langsung saat penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kepada pasien.
Adanya
perubahan sosial budaya masyarakat dan perkembangan pengetahuan dan teknologi,
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan perkembangan informasi
yang begitu cepat , serta diikuti oleh tuntutan masyarakat akan pelayanan
kesehatan yang baik , mengharuskan sarana pelayanan kesehatan untuk
mengembangkan diri secara terus- menerus seiring dengan perkembangan yang ada
pada masyarakat tersebut.
G. Muramnya Mutu
Pelayanan Kesehatan Di Indonesia
Pelayanan
kesehatan yang baik merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Semua orang ingin
merasa dihargai, ingin dilayani, ingin mendapatkan kedudukan yang sama di
mata masyarakat. Kebutuhan ini adalah wujud dari level kedua Teori Maslow. Akan
tetapi sering terdapat dikotomi dalam upaya pelayanan kesehatan di Indonesia.
Sudah begitu banyak kasus yang menggambarkan betapa suramnya wajah pelayanan
kesehatan di negeri ini. Seolah-olah pelayanan kesehatan yang baik hanya
diperuntukkan bagi mereka yang memiliki dompet tebal. Sementara orang-orang
kurang mampu tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang adil dan
proporsional. Orang-orang miskin sepertinya tidak boleh sakit.
Tidak
dapat dimengerti apa yang membuat adanya jurang pemisah antara si kaya dan si
miskin dalam domain pelayanan kesehatan. Dokter yang ada di berbagai rumah
sakit sering menunjukkan jati dirinya kepada pasien secara implisit. Bahwa
menempuh pendidikan kedokteran itu tidaklah murah. Oleh sebab itu sebagai buah
dari mahalnya pendidikan yang harus ditempuh, masyarakat harus membayar arti
hidup sehat itu dengan nominal yang luar biasa.
Pelayanan
kesehatan sepertinya sering tidak sebanding dengan mahalnya biaya yang
dikeluarkan. Rumah sakit terkadang tidak melayani pasien dengan baik dan ramah.
Dokter terkadang melakukan diagnosis yang cenderung asal-asalan.Suramnya wajah
pelayanan kesehatan di Indonesia haruslah menjadi pelajaran bagi semua pihak
untuk memperbaiki kondisi tersebut. Bukan hanya peranan dokter ataupun Menteri
Kesehatan dalam perwujudan hidup sehat melainkan partisipasi semua masyarakat
Memilih
berobat ke luar negeri tidak bisa dianggap sebagai sebuah tindakan mengkhianati
bangsa. Karena kenyataannya rumah sakit-rumah sakit yang ada di Indonesia tidak
memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk memberikan kredit jaminan kesehatan
lebih baik pada pasiennya. Namun ada pihak-pihak tertentu yang melakukan
perawatan ke luar negeri karena ketidakpercayaannya terhadap kapasitas
dokter-dokter dan rumah sakit yang ada di negeri ini.
H. Permasalahan yang Mempengaruhi Pelayanan Medis Rumah
Sakit
Lingkungan politik, ekonomi dan sosial yang serba
tidak menentu sebagai dampak berkepanjangan dari krisis multidimensional di
negara ini, mengakibatkan organisasi milik pemerintah maupun swasta sulit
menentu arah perkembangan di masa mendatang. Bahkan untuk beberapa di antara
organisasi tersebut yang menjadi masalah bukannya perkembangan, tetapi
bagaimana organisasinya bisa tetap hidup di tengah berbagai tantangan mulai
dari desentralisasi sampai globalisasi dan liberalisasi perdagangan. Demikian
pula hal yang terjadi pada banyak fasilitas pelayanan medik milik pemerintah
maupun swasta.
Kenyataan yang kini dihadapi di negara ini berikut
dengan aneka ragam permasalahannya, menurut organisasi untuk beradaptasi
terhadap berbagai perubahan lingkungan yang perlu diakomodasikan demi
kelangsungan hidup organisasi, maupun perkembangan selanjutnya.
Permasalahan pokok yang dihadapi oleh Sistem Pelayanan
Medik, antara lain adalah:
- Ada kesenjangan antara kebutuhan dan permintaan terhadap pelayanan rumah sakit. Dibandingkan negara-negara tetangga, jumlah tempat tidur rumah sakit di Indonesia relatif masih rendah, yaitu 60 tempat tidur RS per 100.000 penduduk, atau ke-8 paling rendah di dunia dalam rasio tempat tidur dibandingkan jumlah penduduk. Angka ini di Indonesia hampir relatif tak berubah sejak 10 tahun terakhir. Sebenarnya kebutuhan riil akan pelayanan kesehatan di Indonesia sangat besar. Ini tercermin dari derajat kesehatan yang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Angaka kematian ibu masih sekitar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun pasokan tempat tudur rumah sakit masih sangat rendah, ternyata pemakaian tempat tidur juga masih rendah. Bed Occupancy Rate (BOR) hanya sekitar 55-57 persen selama 10 tahun terakhir. Rata-rata tiap hari dari 100.000 penduduk hanya 30 orang yang sedang dirawat di rumah sakit. Data di atas menunjukkan bahwa kebutuhan yang tinggi ini tak diiringi dengan permintaan yang tinggi.
- Menurunnya hari-hari rawat sebesar 12,3 persen pada ruang rawat kelas III RSU pemerintah untuk pasien miskin selama dekade terakhir, ini menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat yang menurun di samping ketidakjangkauan pembiayaan, padahal setiap tahunnya total hari rawat meningkat 1 persen.
- Jenjang rujukan antara Puskesmas dengan semua kelas RSU tidak berjalan secara hierarkis sesuai kebutuhan. Begitu pula rujukan antara RSU kelas A, B, C, dan D tidak berjalan secara efektif dan efisien. Pemerataan mendapatkan pelayanan medik yang bermutu, efisien dan berkesinambungan belum dirasakan oleh masyarakat luas.
- Hampir 50 persen dari masyarakat yang mempunyai keluhan sakit sama sekali tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan formal. Sebagian besar dari mereka melakukan pengobatan sendiri, sedangkan sisanya berobat ke dukun atau bahkan sama sekali tidak berobat.
- Adanya perbedaan pemahaman antara pejabat/instansi di pusat dan daerah tentang hakekat otonomi daerah di bidang kesehatan. Masalah ini sangat berkaitan erat dengan masalah sosialisasi dan kebutuhan tindak lanjut dari peraturan perundang-undangan yang baru.
- Konflik kepentingan antara pusat dan daerah adalah keberaneka ragaman dan kelokalan. Sementara pengalaman masa lalu lebih didominasi oleh wajah tunggal dalam segala bidang dengan pola penyeragaman dan terpusat. Keanekaragaman dan kelokalan itu dapat terlihat dari:
- Peraturan daerah
- Sumber daya daerah
Kemungkinan akan semakin melebarnya
jurang kesenjangan di bidang kesehatan (pelayanan medis) karena adanya
perbedaan antara daerah yang kaya dan daerah yang miskin dilihat dari
pendapatan daerah, juga antara daerah yang memiliki (concern) secara politis
tinggi dengan yang perhatiannya rendah.
- RS pendidikan beban ganda pendidikan dan pelayanan, kepemimpinan ganda Depdikbud-Depkes, karena masalah RS pendidikan menjadi beban RS karena mahasiswa menjadi beban pembiayaan RS (subsidi pendidikan masih tinggi).
- Pemerintah belum mampu menjamin pengadaan darah yang aman dan memadai.
- RS masih terlalu besar mensubsidi PT Askes dengan tarif ditetapkan oleh Askes dengan adanya SKB 2 menteri. Jadi perlu ditinjau kembali kerjasama Askes dengan RS/Puskesmas.
Dari
permasalahan di atas dapat ditentukan 11 pokok isu strategis, yaitu:
± Rendahnya pemanfaatan fasilitas medik oleh masyarakat
karena masih rendahnya keterjangkauan secara biaya, geografis dan pengetahuan;
± Adanya kesenjangan anatara kebutuhan dan permintaan
terhadap pelayanan medik yang tersedia;
± Kesenjangan pelayanan medik antara daerah;
± Kerjasama lintas sektor, lintas program dan lintas
unit dalam pembangunan kesehatan masih belum optimal;
± Mekanisme pasar yang tidak terkendali di
kota/kabupaten sebagai dampak negatif globalisasi dan perubahan yang cepat dari
masyarakat;
± Desentralisasi manajemen pelayanan kesehatan masih
lebih banyak ditentukan oleh suprasistem di luar Depkes;
± Ditjen Pelayanan Medik belum memiliki konsep
desentralisasi;
± Mutu SDM yang kurang profesional;
± Reformasi sistem pelayanan medik yang berazaz
demokrasi, akuntabilitas dan transparansi belum tercapai;
± Kurangnya pemberdayaan masyarakat dalam sistem
pelayanan medik;
± Sistem rujukan pelayanan medik yang belum berjalan
secara efektif dan efisien.
Kesebelas
isu strategis tersebut berkaitan dengan mutu, efisiensi, keadilan dan
pemerataan pelayanan medik.
I. Reorientasi Konsep Pelayanan Rumah
Sakit
Berbeda dengan paradigma lama yang berorientasi pada
aspek negatif penyakit (angka kesakitan, angka kematian, angka kecacatan),
paradigma baru pengembangan pelayanan rumah sakit memasuki millenium III
berorientasi pada nilai positif kesehatan yang bertujuan meningkatkan kualitas
hidup seoptimal mungkin, pengurangan penderita fisik dan kejiwaan serta
peningkatan martabat dan kemampuan untuk mandiri, sekalipun mengidap penyakit
kronis dan fatal.
Kesehatan dipandang sebagai sumber daya yang
memberikan kemampuan pada individu, kelompok, dan masyarakat untuk meningkatkan
kemampuan mengelola bahkan merubah pola hidup, kebiasaan dan lingkungan. Hal
ini sesuai dengan arah pembangunan kesehatan kita yang meninggalkan paradigma
lama menuju paradigma sehat, dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010.
Mengembangkan RS menjadi suatu "Institusi
Sehat" menghasilkan:
- RS yang semula adalah "wahana penyembuhan" perlu berubah menjadi "wahana pemeliharaan kesehatan" bagi seluruh anggota atau "kekuatan keluarga".
- RS harus mampu berubah bentuk dan sistem pelayanannya sesuai dengan tuntutan kliennya yang tidak lagi harus orang atau penduduk sakit, tetapi adalah manusia atau penduduk sehat yang ingin tetap sehat.
Karena
sifatnya pemeliharaan, maka RS bukan lagi hanya menjadi "rumahnya orang
yang sedang sakit akan tetapi juga menjadi suatu "tempat pemeliharaan
kesehatan yang menyenangkan" juga meliputi orang sehat. Implikasi yang
paling penting dari dampak reformasi ini adalah dihasilkannya reorientasi
pelayanan rumah sakit serta pemberdayaan terhadap pasien dan karyawannya.
J. Pelayanan Medis Prima
Departemen Kesehatan pada tahun 1999 mengeluarkan
kebijakan mengenai pelayanan prima untuk mengantisipasi masalah dan tantangan
di bidang pelayanan kesehatan. Di bidang perumahsakitan pelayanan kepada pasien
berdasarkan standar keahlian untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien,
sehingga pasien dapat memperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan
kepercayaan kepada rumah sakit. Melalui pelayanan prima rumah sakit diharapkan
akan menghasilkan keunggulan kompetentif (competentif advantage) melalui
pelayanan yang bermutu, efisien, inovatif dan menghasilkan customer
responsiveness.
Cara pandang pelayanan prima adalah:
a) Karyawan medik, paramedik, dan karyawan lain merupakan
aset terpenting rumah sakit yang harus diberdayakan. Mutu proses pelayanan
kesehatan hanya akan dapat meningkatkan kalau karyawan mempunyai komitmen dan
kompeten dalam pekerjaannya.
b) Efisiensi rumah sakit merupakan prasyarat pelaksanaan
yang bertanggung jawab atas misi sosial yang diemban. Efisiensi dapat dicapai
tidak hanya dari upaya manajerial. Efisiensi proses pelayanan akan mampu
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
c) Inovasi pelayanan medis rumah sakit melalui
pemanfaatan teknologi tepat guna yang cost effective dan strategi diferensiasi
pelayanan adalah suatu cara untuk merebut pasar. Pemanfaatan teknologi tepat
guna dan diferensiasi teknologi maju akan menghasilkan pemberdayaan profesional
untuk komitmen pada visi.
d) Kunci sukses pengelolaan rumah sakit sebagai badan usaha terletak pada
bagaimana mengelola sifat self developing, self governing, dan self disciplining
dari profesional agar terjadi pemberdayaan profesional untuk melaksanakan
pemberdayaan customer, sehingga terjadi pelayanan prima.
e) Mutu proses pelayanan rumah sakit akan meningkatkan
kepuasan pengguna pelayanan kesehatan. Nilai-nilai kepuasan pengguna harus
diperhatikan dengan baik, sehingga akan menghasilkan pemberdayaan para pengguna
(customer responsiveness). Kepuasan para pengguna akan memicu kesuksesan dalam
keuangan secara berkesinambungan.
f) Kesuksesan dalam bidang ekonomi akan memungkinkan
rumah sakit berbuat banyak untuk mewujudkan berbagai misi, termasuk melindungi
orang miskin, menjadi tempat bergantung hidup anggota organisasi, dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Lebih lajut, kesuksesan ekonomi
(keuangan) akan meningkatkan mutu proses pelayanan dan komitmen sumber daya
manusia.
Pelayanan kesehatan, memiliki tiga fungsi yang saling
berkaitan, saling berpengaruh dan saling bergantungan, yaitu fungsi sosial
(fungsi untuk memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat pengguna pelayanan
kesehatan ), fungsi teknis kesehatan (fungsi untuk memenuhi harapan dan
kebutuhan masyarakat pemberi pelayanan kesehatan) dan fungsi ekonomi (fungsi
untuk memenuhi harapan dan kebutuhan institusi pelayanan kesehatan). Ketiga
fungsi tersebut ditanggung jawab oleh tiga pilar utama pelayanan kesehatan
yaitu, masyarakat (yang dalam prakteknya dilaksanakan bersama antara pemerintah
dan masyarakat), tenaga teknis kesehatan (yang dilaksanakan oleh tenaga
profesional kesehatan) dan tenaga adminstrasi/manajemen kesehatan (manajemen/
adminstrator kesehatan).
Tujuan pelayanan kesehatan adalah tercapainya derajat
kesehatan masyarakat yang memuaskan harapan dan kebutuhan derajat masyarakat
(consumer satisfaction), melalui pelayanan yang efektif oleh pemberi pelayanan
yang memuaskan harapan dan kebutuhan pemberi pelayanan (provider satisfaction),
pada institusi pelayanan yang diselenggarakan secara efisien (institutional
satisfaction). Interaksi ketiga pilar utama pelayanan kesehatan yang serasi,
selaras dan seimbang, merupakan paduan dari kepuasan tiga pihak, dan ini
merupakan pelayanan kesehatan yang memuaskan (satisfactory healty care).
Dalam menghadapi persaingan, maka rumah sakit harus
meningkatkan program peningkatan kualitas dan evaluasi secara berkelanjutan.
Prinsip-prinsip utama yang melandasi program peningkatan kualitas dan evaluasi
adalah:
- Customer Focus
- Perhatian rumah sakit difokuskan pada pengguna, baik internal mapun eksternal.
- Kewajiban dan hak pengguna telah ditetapkan, jelas dikomunikasikan dan dilaksanakan.
- Umpan balik pengguna, diteliti dan digunakan untuk melakukan perbaikan.
- Kepemimpinan (Leadership)
- Kepemimpinan harus tampak di lingkungan rumah sakit
- Nilai-nilai rumah sakit tercermin dalam praktek
- Pelayanan rumah sakit terkoordinasi dengan baik
- Perbaikan Kinerja Rumah Sakit
- Pencapaian misi dan tujuan organisasi harus terukur
- Hasil-hasil yang dicapai digunakan untuk peningkatan kinerja
- Perbaikan yang terus menerus harus menjadi perhatian untuk rumah sakit.
- Kegiatan perbaikan yang berkelanjutan melibatkan setiap orang.
- Outcome dan Perbaikan-Perbaikan
- Setiap standard memiliki outcome yang diharapkan.
- Outcome yang ditetapkan haurs dapat dipenuhi.
- Ada bukti-bukti perbaikan outcome.
- Upaya penerapan Best Practice
- Pelayanan medik rumah sakit harus sesuai stadard dan kode etik.
- Rumah sakit memanfaatkan informasi dari majalah ilmiah, seminar- seminar dan kerja sama dengan pihak lain untuk meningkatkan kinerja.
- Tersedia data yang menjelaskan bahwa rumah sakit telah menerapkan pelayanan medis terbaik (best practice).
Salah satu strategi penting untuk melakukan evaluasi
peningkatkan kualitas pelayanan medik rumah sakit adalah melalui standarisasi
dan akreditasi.
Walaupun penilaian outcome pada akreditasi
rumah sakit baru dimulai dengan empat clinical indicators dan baru pada
beberapa rumah sakit yang mengakui akreditasi 12 pelayanan, namun diharapkan
bagi rumah sakit-rumah sakit yang telah terakreditasi program akreditasi ini
dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan program pengendalian mutu untuk
menghasilkan outcome yang baik dari berbagai pelayanan, termasuk
pelayanan medis.
Departemen Kesehatan akan terus bekerjasama dengan
berbagai stakeholder terkait untuk mengoptimalisasikan akreditasi RS.
Pelaksanaan akreditasi oleh badan akreditasi yang independent berbasis outcome,
difokuskan pada kebutuhan dan harapan customer dan dengan komponen
pelayanan yang menjawab EEQS Equity, Efficiently, Quality and Sustainability),
agar RS dapat bersaing di tingkat regional bahkan internasional.
Untuk mengatasi kesenjangan antara kondisi pelayanan
medik di Indonesia dengan keunggulan rumah sakit swasta asing, rumah
sakit-rumah sakit di Indonesia perlu melakukan aliansi strategi. Aliansi
bertujuan untuk memperoleh keunggulan kompetitif, meningkatkan fleksibilitas
untuk mengantisipasi perubahan-perubahan pasar dan teknologi.
Aliansi dalam sistem pelayanan kesehatan digolongankan
ke dalam dua jenis:
- Aliansi lateral: berbagai jenis organisasi serupa berkumpul bersama mengambil keuntungan dari sumber daya yang dikumpulkan sehingga dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan setiap anggota yang pada gilirannya meningkatkan seluruh jaringan.
- Aliansi integratif: organisasi-organisasi pelayanan kesehatan bekerjasama dengan tujuan utama untuk memperkuat posisi pasar dan meningkatkan keunggulan kompetitif. Integrasi ke hilir berupa hubungan dengan praktek dokter bersama, home care (ambulatory) ataupun dengan pengelola asuransi. Integrasi ke hulu dapat berupa hubungan dengan pabrik farmasi, pembuangan alat-alat kedokteran, sekolah-sekolah perawat, jaringan laboratorium klinik sampai ke dunia pendidikan kedokteran.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Pelayanan
kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public goods) dengan
tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit
tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan
kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi kesehatan, pemberantasan
penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan
keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan
masyarakat lainnya.
b.
Saran –
saran
Agar selalu
menerapkan Asuhan keperawatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien maupun
keluarga,sehingga dapat menentukan asuhan keperawatan yang sesuai baik bagi
individu maupun keluarga. Komunikasi dengan pasien maupun keluarga perlu
ditingkatkan terutama mengenai sesuatu yang berhubungan dengan rencana dan
tujuan keperawatan yang akan diberikan, sehingga pasien atau keluarga
mengetahui rencana dan jenis perawatan yang akan diterimanya. Meningkatkan
disiplin kepada karyawan yang sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga dapat
menumbuhkan kehandalan pelayanan kesehatan dan akhirnya meningkatkan mutu
pelayanan di Puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA
- Alimul, Aziz. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika.
- __________. 2004. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta : Widya Medika.
- 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika.
- Anjaswati, Tri. 2002. Analisis Tingkat Kepuasan Klien terhadap Perilaku “Caring” Perawat.
- Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi IV). Jakarta : Rineka Cipta.
- BPS. 2008. Pendataan Program Perlindungan Sosial. BPS. Jakarta.
- Depkes. 2008. Petunjuk Tehnis Program Jaminan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas dan Jaringannya. Jakarta : Dirjen Binkesmas.
- Aditama. Tjandra Yoga. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Universitas Indonesia Press. Jakarta, 2002.
- Ahmad Djojosugito, Kebijakan Pemerintah Dalam Pelayanan Kesehatan Menyongsong AFTA 2003, Pusat Data dan Informasi PERSI, Jakarta, 2001.
- Azwar. Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara. Jakarta. 1996.
- Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
- Boy S, Sabarguna, Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit, Penerbit Konsorsium Rumah Sakit Islam Jateng DI Yogyakarta, 2004.
- Depkes RI, Rancangan Pembangunan Kesehatan 2005, Jakarta, 2005.
- Depkes RI, Standar Pelayanan Rumah Sakit, Cetakan IV, Jakarta, 1996.
- , Renstra Pembangunan Kesehatan 2005 - 2009, Jakarta, 2005.
- Effendy. Nasrul. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi Kedua. EGC : Jakarta, 1998.
- Eli Nurachma, Asuhan Keperawatan Bermutu Di Rumah Sakit, Jurnal Keperawatan dan Penelitian Kesehatan, Jakarta, 2007.
- Entjang. I.. Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Citra Aditya Bakti. Jakarta, 2003.
- Guwandi. Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit. Rineka Cipta. Jakarta, 1991.
- Laksono Trisantoro, Good Governance dan Sistem Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Surabaya, 2005.
0 comments:
Post a Comment