Tuesday, 3 February 2015

Berbagai Aliran Dalam Filsafat Hukum dan Perbedaannya

Dalam filsafat hukum dikenal pembagian pelbagai aliran atau mazhab, yang dikemukakan oleh beberapa orang sarjana, antara lain F.S.G. Northrop dan Lili Rasjidi.[1]
      Northrop membagi aliran atau madzhab filsafat hukum ke dalam 5 (lima) aliran, yaitu:
a.       Legal Positivism.
b.      Pragmatic Legal Realism.
c.       Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence.
d.      Functional Anthropological or Sociological Jurisprudence.
e.      Naturalistic Jurisprudence.

Sedangkan Lili Rasjidi membagi aliran/madzhab filsafat hukum ke dalam 6 (enam) aliran besar, masing-masing:
a.       Aliran Hukum Alam:
1)      Yang Irrasional.
2)      Yang Rasional.
b.      Aliran Hukum Positif:
1)      Analitis.
2)      Murni.
c.       Aliran Utilitarianisme.
d.      Madzhab Sejarah.
e.      Sociological Jurisprudence.
f.        Pragmatic Legal Realism.
      Selain kedua orang tokoh tersebut ada juga sarjana lain, yaitu Soehardjo Sastrosoehardjo yang membagi filsafat hukum ke dalam 9 (sembilan) aliran atau madzhab, yaitu:[2]
a.       Aliran Hukum Kodrat/Hukum Alam.
b.      Aliran Idealisme Transendental (Kantianisme).
c.       Aliran Neo Kantianisme.
d.      Aliran Sejarah.
e.      Aliran Positivisme.
f.        Aliran Ajaran Hukum Umum.
g.       Aliran Sosiologi Hukum.
h.      Aliran Realisme Hukum.
i.         Aliran Hukum Bebas.
      Ketiga sarjana tersebut dalam membagi-bagi aliran dalam filsafat hukum tidak sama, karena memang tergantung pada penafsiran masing-masing orang dalam memilah-milahkan aliran dalam filsafat hukum.
      Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pembagian aliran/madzhab filsafat hukum menurut pendapat dari Lili Rasjidi, seorang guru besar imu hukum dari Universitas Padjadjaran, Bandung dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Aliran Hukum Alam:   
      Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku secara universal dan abadi.[3]
      Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1)      Irrasional:
      Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wyclife.
      Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu:
a)    Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
b)   Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
c)    Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan penjelmaan dari rasio manusia.
d)   Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.
       Penulis lain, William Occam dari Inggris mengemukakn adanya hirarkis hukum, dengan penjelasan sebagai berikut:
a)    Hukum Universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang bersumber dari rasio alam.
b)   Apa yang disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat berasal dari alam.
c)    Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat diubah oleh penguasa.
      Occam juga berpendapat bahwa hukum identik dengan kehendak mutlak Tuhan Sementara itu Fransisco Suarez dari Spanyol berpendapat demikian, manusia yang bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh suatu peraturan umum yang harus memuat unsusr-unsur kemauan dan akal. Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat dan waktu. Berdasarkan akalnya manusia dapat menerima hukum alam tersebut, sehingga manusia dapat membedakan antara yang adil dan tidak adil, buruk atau jahat dan baik atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima oleh manusia adalah sebagian saja, sedang selebihnya adalah hasil dari akal (rasio) manusia.
1)        Rasional:
      Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah zaman Renaissance (pada saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang apa yang baik dan buruk penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya, antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf.
      Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), ia menekankan adanya peranan rasio manusia dalam garis depan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah sebagai satu-satunya sumber hukum.
      Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis (kritik der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).[4]
      Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia (homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir yang bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze), tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada manusia ideala berkepribadian humanistis.
      Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan bagian dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah bahwa manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk berjuang bagi kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.
      Katagori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Jadi, di sini sudah terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong melawan penguasa negara, sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari Immanuel Kant juga dapat digolongkan ke dalam aliran positivisme. Pendapat Kant ini diikuti oleh Fichte yang mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari rasio manusia.
       Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah Hegel dari Jerman. Yang dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata menurut nalar adalah nyata, dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was vernunftig ist, das ist wirklich ist, das ist vernunftig. What is reasonable is real, and what is real is reasonable). Tidak ada antimoni antara nalar/akal dengan kenyataan atau realitas. Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan proses perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak yang senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan mencakup seluruh tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan permulaan dan kelahiran segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan dialektis melalui tesa, antitesa, san sintesa yang berlangsung secara berulang-ulang dan terus-menerus. Filsafat hukum dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan esensinya juga dikuasai oleh hukum dialektika. Negara merupakan perwujudan jiwa mutlak, demikan juga dengan hukum.

b. Aliran Hukum Positif
      Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar undang-undang, dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
1)      Analitis
      Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari tempat asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang agak lain, yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu Analytical Jurisprudence. Austin membagi hukum atas 2 hal, yaitu:
a)      Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.
b)      Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
-          hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.
-          Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.
Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum. 
2)      Murni
      Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam. Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam, walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
      Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu (hukum) adalah susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah. Adapun pokok-pokok ajaran Kelsen adalah sebagai berikut:
a)      Tujuan teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain adalah meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi.
b)      Teori filsaft hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki, masalah cipta, bukan karsa dan rasa.
c)       Hukum adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap) yang dikuasai oleh hukum kausalitas.   
d)      Teori/filsafat hukum adalah teori yang tidak bersangkut paut dengan kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.
e)      Teori hukum adalah formal, teori tentang ara atau jalannya mengatur perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.
f)       Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum yang senyatanya.
Fungsi teori hukum ilah menjelaskan hubungan antara norma-norma dasar dan norma-norma lebih rendah dari hukum, tetapi tidak menentukan apakah norma dasar itu baik atau tidak. Yang disebut belakangan adalah tugas ilmum politik, etiika atau agama.


      [1] Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, halaman 26-27.
      [2] Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 1.
      [3] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995, halaman 102.
     
      [4] Soehardjo Sastrosoehardjo, Op. Cit., halaman 12.

0 comments:

Post a Comment