Aliran Sejarah
Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich Carl
von Savigny (1778-1861) dan Puchta (1789-1846). Sebagian dari pokok ajarannya
ialah bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh
dari dan dengan rakyat, berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati,
manakala rakyat kehilangan kepribadiannya (das
recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke vort, bilden sich aus mit
diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen eigentuum lichkeit
verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.
Paton memberikan sejumlah catatan
terhadap pemikiran Savigny sebagai berikut:
1) Jangan
sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai volksgeist dari masyarakat secara
keseluruhannya.
2) Tidak
selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja, karena dalam
kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang tidak akan
terbentuk tanpa perjuangan keras.
3) Jangan
sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat perhatian, karena
walaupun volksgeist itu dapat menjadi
bahan kasarnya, tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk diproses
menjadi bentuk hukum.
4) Dalam banyak
kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar daripada yang diakui oleh
penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi
dan mendapat pengaruh dari Hukum Perancis.
Tulisan von
Savigny sebenarnya merupakan reaksi langsung terhadap Thibaut , di samping itu
juga hendak memberi tempat yang
terhormat bagi hukum rakyat Jerman yang asli di negara Jerman sendiri. Von
Savigny berkeinginan agar hukum Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional
Jerman. Tantangan von Savigny terhadap kodifikasi Perancis itu telah
menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak memiliki kodifikasi hukum
perdata. Pengaruh pandangan von Savigny juga terasa sampai jauh ke luar batas
negeri Jerman.
Sedang Puchta, termasuk penganut aliran
sejarah dan sebagai murid von Savigny
berpendapat bahwa hukum dapat berbentuk:
1) Langsung,
berupa adat-istiadat.
2) Melalui
undang-undang.
3) Melalui ilmu
hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Namun ketika
pembentukan hukum tersebut masih berhubungan erat dengan jiwa bangsa (volksgeist) yang bersangkutan.
Lebih lanjut, Puchta membedakan
pengertian “bangsa” ke dalam dua jenis, yaitu bangsa dalam pengertian etnis
yang disebut “bangsa alam” dan bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan
organis yang membentuk satu negara. Adapun yang memiliki hukum yang sah
hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan “bangsa alam”
memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang
hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang
terorganisasi dalam negara. Negera mengesahkan hukum itu dengan membentuk
undang-undang, Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian
rupa, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya,
yakni praktik hukum dalam adat-istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh
ahli-ahli hukum. Adat-istadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah
disahkan oleh negara. Sama halnya dengan pengolahan hukum oleh kaum Yuris,
pikiran-pikiran mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya
berlaku sebagai hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak
membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak membentuk undang-undang tanpa bantuan
kaum yuris, tanpa menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan
sebagai adat-istiadat.
Dengan adanya pemikiran dan pandangan
puchta yang demikian ini, menurut Theo Huijbers dikatakan tidak jauh berbeda
dengan Teori Absolutisme negara dan Positivisme Yuridis.[1]
Buku Puchta yang terkenal berjudul Gewohnheitsrecht.
0 comments:
Post a Comment