Tuesday, 3 February 2015

Aliran Sejarah

Aliran Sejarah
      Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich Carl von Savigny (1778-1861) dan Puchta (1789-1846). Sebagian dari pokok ajarannya ialah bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat, berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen eigentuum lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.

      Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai berikut:
1)      Jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.
2)      Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja, karena dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras.
3)      Jangan sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat perhatian, karena walaupun volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya, tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi bentuk hukum.
4)      Dalam banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar daripada yang diakui oleh penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari Hukum Perancis.
Tulisan von Savigny sebenarnya merupakan reaksi langsung terhadap Thibaut , di samping itu juga hendak memberi tempat  yang terhormat bagi hukum rakyat Jerman yang asli di negara Jerman sendiri. Von Savigny berkeinginan agar hukum Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional Jerman. Tantangan von Savigny terhadap kodifikasi Perancis itu telah menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak memiliki kodifikasi hukum perdata. Pengaruh pandangan von Savigny juga terasa sampai jauh ke luar batas negeri Jerman.
      Sedang Puchta, termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid von Savigny  berpendapat bahwa hukum dapat berbentuk:
1)      Langsung, berupa adat-istiadat.
2)      Melalui undang-undang.
3)      Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Namun ketika pembentukan hukum tersebut masih berhubungan erat dengan jiwa bangsa (volksgeist) yang bersangkutan.
      Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian “bangsa” ke dalam dua jenis, yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut “bangsa alam” dan bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara. Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
      Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negera mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang, Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik hukum dalam adat-istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Adat-istadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara. Sama halnya dengan pengolahan hukum oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adat-istiadat.
      Dengan adanya pemikiran dan pandangan puchta yang demikian ini, menurut Theo Huijbers dikatakan tidak jauh berbeda dengan Teori Absolutisme negara dan Positivisme Yuridis.[1] Buku Puchta yang terkenal berjudul Gewohnheitsrecht.


      [1] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 120-121.

0 comments:

Post a Comment