Friday, 23 January 2015

Syarah kalimat “langit dan mentari”



Adapun sumber segala kehidupan adalah langit. Langit artinya bukan bumi. Arti lebih luasnya adalah bukan dunia atau bukan termasuk alam materi. Langit artinya sesuatu yang lebih tinggi dari bumi. Lebih tinggi dalam artian konsepsional. Sebagaimana sebab mendahului akibat. Dapat dikatakan sebab memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari akibat.
            Adapun sari kehidupan adalah gerak dan perubahan. Dan gerak memerlukan energi. Karena energi-lah melakukan gerak. Perubahan tiada lain adalah efek-efek gerak, ia pun memerlukan energi. Dari mana datangnya energi untuk seluruh kehidupan di bumi? Dari matahari, sang surtya yang senantiasa perkasa menebarkan milyun-milyun-milyun……. fotonnya ke jagat raya. Dan sepercik, -sebagian amat kecil-, dari foton-foton itu sampai ke bumi, menghidupi berjuta tanaman, tanaman menghidupi berjuta hewan, hewan dan tanaman menghidupi brjuta hewan lain maupun manusia. Sumber enegri semua kehidupan di bumi adalah energi matahari.

            Adapun mentari dalam sya;ir di atas memiliki tafsiran kias yang lebih luas. Mentari diartikan sebagai Cahaya Wujud Mutlaq, sumber iluminasi semua wujud lain. Mengapa?
            Perhatikan sebuah benda. Ia tak akan tampak ada tanpa adanya cahaya. Baik dari segi obyektif maupun subyektif. Dalam kegelapan mutlak, tiada akan tampak wujud apapun, lebih dalam lagi. Perhatikan sebuah benda. Ia adalah materi. Telah diketahui bahwa massa tiada lain adalah energi yang diam terkungkung dalam suatu struktur tertentu. Dengan kondisi tertentu ia dapat berubah menjadi energi. Energi dalam bentuk apa? Cahaya! Inilah yang terjadi pada bom maupun matahari. Jadi dalam relung-relung atomik sati-sari benda tiada lain adalah cahaya.
            Karena itu dalam sya’ir ini cahaya digunakan untuk mengkiaskan sesuatu yang lebih umum lagi, yiatu ‘kebendaan’ suatu benda. Sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip niscaya rasional dalam diri kita senantiasa menanyakan pada kita mengapa dunia ini ada, mengapa ini ada, mengapa itu ada? Segala sesuati yang maujud membutuhkan Sebab. Dan sebab itu-lah yang memberikan eksistensi padanya. maka dapat kita buat rantai-rantai pertanyaan kenapa ini ada, misalnya jawabnya karena x1 (sesuatu pertama) ada. Selanjutnya dapat kita tanya lagi, kenapa x1 ada (sesuatu kedua) ada, jawabnya karena x2, dan seterusnya. Maka tiada mungkin rantai ini tidak berawal, seandainya ia tidak berawal dari-mana semua mata-rantai lain memperoleh eksistensinya? Jadi pasti harus ada satu ujung sebab yang memiliki eksistensi mandiri, tidak tergantung kepada lain. sebab ini keberadaannya harus dan ketiadaannya mustahil.
            Sebab pertama adalah Keberadaan Mutlaq (Al-Wujud Al-Muthlaq). Artinya jawaban dari pertanyaan apa itu sebab pertama, adalah sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri. Karena jika sebab pertama itu sesuatu selain keberadaan maka ia harus memiliki sebab lain yang memberinya keberadaan. Dan karena ternyata iru masih memiliki sebab, maka ia bukan sebab pertama. Namun kalau ia tidak memiliki sebab lain, maka ia tidak mungkin memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Yakni keberadaan. Padahal, secara aprior, kita yakini bahwa kita dan hal-hal lain itu ada secara real. Artinya realitas membenarkan adanya keberadaan bukan subyektif atau imajinatif.
            Sebab pertama itu tunggal. Kenapa? Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri. Atau wujud qua wujud. Misal ada dua ujung rantai sebab, dengan kata lain ada dua sebab pertama. Dan sebab pertama satu adalah keberadaan itu sendiri. Misal sebab pertama kedua adalah sesuatu selain sebab pertama satu. Maka ia adalah sesuat yang bukan keberadaan itu sendiri dan artinya ia bukan sebab pertama. Jadi jika ada dua ujung rantai sebab, kedua sebab pertama tersebut harus identik. Argumen ini dapat dikembangkan untuk berapapun ujung rantai sebab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, jika ada banyak ujung rantai sebab, maka mereka semua harus identik. Artinya hanya ada satu sebab pertama. Satu yang tidak mempunyai kemungkinan sama sekali untuk dijumlahkan menjadi dua. Argumen ini berdasarkan suatu premis bahwa   keberadaan mempunyai makna yang ekivalen pada semua yang maujud, pada Wujud Wajib maupun Wujud Mumkin. (Lihat Carutan Wahdatul-Wujud, Sayyidina Musa Husein Al-Bangili Al-Habsyi dan Syarhe-Mandzhumah, Mulla Hadi Sabzavary). Sebagai sebuah contoh argumen sederhana dari premis ini adalah bahwa ketiadaan A, ketiadaan B dan ketiadaan segala sesuatu memiliki maksa yang identik. Maka karena ketiadaan segala sesuatu memiliki makna yang identik, keberadaan A, keberadaan B, keberadaan segala sesuatu yang masing-masing merupakan negasi dari ketiadaan A, ketiadaan B, keberadaan segala sesuatu yang masing-masing merupakan negasi dari ketiadaan A, ketiadaan B, ketiadaan segala sesuatu memiliki makna yang identik. Dan sesuatu yang secara subyektif identik (satu) pasti secara obyektif satu adanya, sebagaimana bahwa satu bayangan pada cermin tidak mungkin dihasilkan oleh dua obyek  di depan cermin.
            Sebab pertama itu tidak terbagi. Tidak terbagi dalam arti logis. Artinya tidak mungkin tersusun atas sesuatu-sesuatu lain yang lebih kecil. Kenapa? Kalau ia terbuat dari sesuatu-sesuatu yang lain yang lebih kecil, maka sesuatu-sesuatu yang lain lebih kecil itu apa? Jika salah satu dari sesuatu-sesuatu yang lebih kecil itu adalah keberadaan mutlak maka yang lainnya adalah ketiadaan mutlak. Dan karena yang lain adalah ketiadaan mutlak berarti sesuatu-sesuatu yang lain itu tidak ada. Jadi hanya ada satu sesuatu yang tidak lain adalah keberadaan mutlak itu sendiri. Jika tidak ada diantara sesuatu-sesuatu itu yang merupakan keberadaan, maka darimana mereka memiliki keberadaannya? Tentu memerluka sebab. Lebih lanjut, jika sebabnya adalah gabungan diantara sesuatu-sesuatu tersebut yang telah kita sepakati sebagai sebab pertama, ini akan membuat satu rantai sebab tanpa ujung lagi, dan telah dibuktikan bahwa ini tidak mungkin. Kemungkinan lain adalah bahwa memang ada sebab selain dirinya yang memberikan keberadaan pada sesuatu-sesuatu ini, dan berarti sesuatu-sesuatu ini maupun gabungannya bukanlah merupakan sebab pertama.
            Sebab pertam itu tidak bersifat material. Kenapa? Karena materi adalah sesuatu yag terbatas oleh ruang dan waktu. Jika sebab pertama itu materi, maka ia terbatas oleh ruang dan waktu. Ada dua keadaan yang mungkin di sini. Kemungkinan pertama adalah ruang dan waktu adalah sesuatu yang lebih luas dari sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak termasuk sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak termasuk sebab pertama. Karena sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri maka sesuatu selain sebab pertama itu tidak ada. Kemungkinan kedua adalah bahwa sebab pertama tersbeut adalah ruang dan waktu itu sendiri. Kalau sebab pertama identik dengan ruang dan waktu, berarti ia terbagi, karena ruang dan waktu dapat dibagi menjadi bagian-bagian ruang dan bagian-bagian waktu yang lebih kecil. Dan ini kontradiksi, karena keberadaan mutlak tidak terbagai.
            Jadi dapat dibayangkan bahwa sumber segala yang maujud adalah Matahai Wujud Mutlaq yang memancarkan cahaya wujudnya, memberikan keberadaan dari segala sesuatu yang ada. Mentari ini bukanlah merupakan sesuatu yang material, ia tidak terikat ruang dan waktu, tapi meliputi itu semua, karena Ia lah yang memberikan keberadaan pada wujud-wujud mungkin selain diriNya. Sang Maha Surya perkasa yang ada di ufuk tertinggi langit dari segala sesuatu. Demikianlah maka terucap baris pertama dari sya’ir di atas.


“Langit dan Mentari”


            Jadi yang dimaksud dengan kalimat ini adalah, bahwa saat kita melihat semua realitas maka di atas semua realitas tersebut, terda[at Langitnya. Langit dalam artian logis, artinya sesuatu yang memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari realitas itu sendiri. Dan di atas langit ada langit, di atas Langit ada Langi, di atasnya lagi ada langit, ……., dan di puncak langi dari segala langit terdapat. Ia sebagai Mentari Wujud Mutlak, yang memberikan Cahaya Wujud kepada segala yang maujud. Semuanya tiada tanpa Ia. Semuanya tiada tanpa Ada. Semuanya tiada tanpa Ia. Sang Wujud Yang Mutlak. Jadi semuanyam baik segenap indera kita, mata kita, perasaan kita maupun semua hal yang ada di lua diri kita tiada tanpa Ia, Sang Wujud Mutlak. Oleh karena itu sebelum kita melihat berbagai fenomena, maka secara subyektif maupu obyektif kita “melihat” dulu “Al-Wujud Al-Muthlaq” yang memberikan keberadaan dan merupakan satu-satunya keberadaan bagi semua yang maujud. Hal itu seolah disyaratkan oleh ucapan “Butalah mereka yang tiada melihatNya di pelupuk matanya”, atau “Aku meliha Tuhanku dengan mata hatiku”, atau “Tiada Ia kecuali Ia”. Ia mendahului seluruh kedipan mata yang melihat, telinga yang mendengarm hidung yang bernafas, hati yang berdetak, pembuluh darah yang berdegup malu, rasa yang mulai bergeletas. Ia menyertai mereka semua setiap saat dan setiap waktu dan di setiap hal yang tiada dapat dibatasi oleh waktu apapun dan ruang apapun.

0 comments:

Post a Comment