Saturday, 31 January 2015

MAKALAH PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA”


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
                        Pembaruan dalam Islam yang timbul pada periode sejarah Islam mempunyai tujuan, yakni membawa umat Islam pada kemajuan, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Perkembangan Islam dalam sejarahnya mengalami kemajuan dan juga kemunduran. Bab ini akan menguraikan perkembangan Islam pada masa pembaruan. Pada masa itu, Islam mampu menjadi pemimpin peradaban. Mungkinkah Islam mampu kembali menjadi pemimpin peradaban?
Dalam bahasa Indonesia, untuk merujuk suatu kemajuan selalu dipakai kata modern, modernisasi, atau modernisme. Masyarakat barat menggunakan istilah modernisme tersebut untuk sesuatu yang mengandung arti pikiran, aliran atau paradigma baru. Istilah ini disesuaikan untuk suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan, baik oleh ilmu pengetahuan maupun tekhnologi.


1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas  mata pelajaran bahasa Agama. Selain itu juga untuk memberikan pemahaman bagi pembaca mengenai sejarah perkembangan agama Islam di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah telah menunjukkan bahawa masyarakat Indonesia pra-Islam, di sekitar abad ketujuh dan sebelumnya, adalah masyarakat dagang dengan ciri kosmopolitan yang sangat kental.
Bahkan Burger menyatakan bahawa, jauh sebelum masa pra-sejarah, masyarakat Indonesia telah berkenalan dengan bangsa-bangsa lain di luar kepulauan.
Perkembangan yang menarik buat masyarakat Indonesia adalah bahawa lambat laun ciri agrarisnya lebih menonjol dibandingkan dengan ciri baharinya. Dampak penonjolan ini sangat besar pengaruhnya terhadap bentuk kerajaan, sistem kekuasaan, dan corak keagamaan masyarakatnya.
Dengan demikian dapat pula berpengaruh terhadap struktur sosial yang berkembang pada masa itu.
Bagi Indonesia, dampak kedatangan para pedagang sangat berpengaruh terhadap penyebaran agama Islam di nusantara. Apalagi bila diingat bahawa, sejak dimulainya proses penyebaran Islam di Indonesia, belum terdapat suatu organisasi dakwah yang mapan untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat luas.
Proses tersebarnya Islam pada waktu itu, semata-mata mengandalkan kemampuan dan ketekunan tenaga-tenaga da'i pedagang atau guru sufi. Kerana itu, sangat beralasan bila dikatakan proses penyebaran Islam di Indonesia membutuhkan waktu yang relative lama bahkan berabad-abad.
Latarbelakang sejarah berkembangnya kelompok pedagang Muslim di kepulauan Indonesia merupakan indikasi bahawa Islam disebarluaskan kepada masyarakat oleh kaum pedagang. Mereka tidak semata-mata berperanan sebagai pedagang, namun sekaligus bertindak sebagai da'i guru agama (Islam), orang sufi yang memberikan bimbingan keagamaan dan kehidupan sehari-hari kepada masyarakat setempat
Karena itu, terdapat kesan kuat bahawa Islam di Indonesia, pada awalnya, berpusat di kota yang juga merupakan pusat kegiatan dagang dan komersial. Pemeluk- pemeluk pertamanya adalah golongan pedagang –suatu masyarakat yang ketika itu, menempati posisi kelas sosial yang cukup baik.
Dalam penyebarannya kemudian, Islam dipeluk oleh masyarakat kota, baik dari lapisan atas mahupun lapisan bawah.
Keberhasilan Islam menembus dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, serta menjadikan dirinya sebagai agama utama bangsa ini, merupakan suatu prestasi yang luar biasa. Hal itu, terutama, jika dilihat dari segi geografis, di mana jarak Indonesia dengan Negara asal Islam, Jazirah Arab, cukup jauh. Kini, Islam relatif telah berkembang di seluruh kepulauan Indonesia. Tetapi hal itu tidak bererti bahawa masyarakat Indonesia sepenuhnya menerima Islam.
Sebagaimana di dunia Islam pada umumnya, proses Islamisasi tetap berlanjutan dan, pada kenyataannya hal itu merupakan suatu proses yang tidak pernah selesai.
Makalah ini akan mengelaborasi berbagai masalah sekitar perkembangan Islam di Indonesia, terutama yang berkait dengan aspek-aspek politik, hukum dan ekonomi. Di samping itu, juga akan dibahas upaya-upaya atau peranan Majelis Ulama Indonesia dalam perkembangan Islam di Indonesia.

ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
Islam adalah sebuah ajaran yang fleksibel dalam pengertian bahawa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai universal. Dengan ciri demikian itu, ajaran Islam dapat berhadapan dengan berbagai bentuk dan jenis situasi kemasyarakatan. Kerana watak ajaran seperti itu, maka Islam tidak secara serentak menggantikan seluruh tatanan nilai yang telah berkembang di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum datangnya Islam. Bahkan, hingga taraf-taraf tertentu, nilai-nilai kemasyarakatan yang telah ada, seperti rendah hati, sabar, mementingkan orang lain dan sebagainya, disubordinasikan ke dalam ajaran Islam. Sebab ajaran-ajaran seperti itu, juga dikandung oleh Islam.
Oleh kerana itu, dalam sub judul ini, akan dibahas tentang berbagai aspek perkembangan Islam di Indonesia, terutama dalam kaitan dengan aspek politik, hukum dan ekonomi.
A. ASPEK POLITIK.
Di antara ciri-ciri Islam yang dapat menduduki rankingpar -excellence (istimewa) ialah
kerana sifatnya yang universal, setiap aspek kehidupan tidak terlepas dar
peraturannya tidak terkecuali aspek politik. Kerananya tidak heran bila dalam nas- nasnya senantiasa kita dapatkan berbagai hukum yang berhubungan dengan urusan kenegaraan berikut sistem pemerintahannya, hukum perang dan damai serta hubungan international antara negara Islam dengan negara lainnya.
Membahas pembangunan politik di Indonesia dalam perspektif Islam akan melahirkan dua pemikiran penting, iaitu pemikiran tentang hubungan antara politik dan Islam dan perlakuan oleh berbagai kekuatan politik terhadap Islam terutama dalam sejarah perkembangan politik di Indonesia. Sejak zaman kolonial sampai era kemerdekaan, tindakan dan kebijakan berbagai kekuatan politik terhadap Islam di Indonesia, tampak dalam peranan yang dimainkan oleh para pemimpin yang berorientasi kepada Islam. Peranan tersebut adalah implikasi dari situasi yang mereka hadapi dan dalam hubungan dialogis politik Islam dengan budaya politik Indonesia yang selalu berubah.
Dalam wacana tentang orientasi, gerakan atau institusionalisasi Islam di Indonesia sering digunakan istilah-istilah: "Islam Kultural", "Islam Struktural", dan "Islam Politik". Istilah "Islam Kultural" dan "Islam Struktural", tidak lazim digunakan dalam wacana Islam di luar Indonesia, meskipun istilah-istilah ini sebenarnya cukup tepat untuk menjelaskan fenomena perkembangan Islam yang terjadi di Indonesia dengan di luar, yakni adanya orientasi pada hampir semua gerakan Islam di luar Indonesia pada Islam struktural dan ideologis, meski tidak semuanya mendukung atau terlibat dalam Islam politik. Namun, penggunaan istilah-istilah ini sering kurang pasti, terutama tentang "Islam structural" dan "Islam politik" yang sering dianggap identik.
Untuk menelusuri lebih jauhter m- ter m tersebut, paling tidak kita perlu membedakan karakteristik Islam ke dalam dua perspektif.Pertama, adalah institusionalisasi ajaran Islam, termasuk dalam konteks pembentukan sistem nasional, yang dikelompokkan ke dalam Islamc ul tur al dan Islams truc tural;Ked ua, gerakan atau aktifitas Islam, yang dikelompokkan dalam gerakan Islam kultural dan Islam politik. Namun demikian, terlepas dari kedua dikotomi istilah di atas, penulis akan berkonsentrasi sekitar perkembangan politik Islam di Indonesia, baik pada masa kolonial mahupun pada masa kemerdekaan.
  1. Politik dan Islam di Masa Kolonial
Islam di Indonesia adalah bahagian yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia, sehingga Islam merupakan agama yang paling banyak dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Signifikansi hubungan yang begitu erat antara Islam dan Indonesia sebagai suatu daerah territorial, menyebabkan penjajahan lebih dari tiga abad oleh Belanda dan Jepun gagal dalam upaya deislamisasi agar akidah Islam tercabut dari umat Islam.9 Sebab melalui hubungan itu juga menjelaskan terinternalisasinya nilai-nilai Islam baik dalam bentuk akidah, pesan-pesan moral dan sosial dalam diri pemeluknya guna membendung kolonialisme.
Agaknya, uraian di atas ada benarnya, sebab mengakarnya Islam di Indonesia tidak terlepas dari sebuah proses panjang program sosialisasi Islam yang dilakukan oleh para pemuka Islam melalui aktifitas dakwah dan pendidikan. Dalam proses tersebut, Islam di Indonesia telah berhadapan dengan berbagai tentangan ideologi, budaya, dan kekuatan sosial politik penguasa, sehingga memaksa Islam harus tampil dalam berbagai bentuk gerakan, seperti, gerakan Islam melawan kolonialisme, sebagai Islam politik, dan Islam sebagai kekuatan moral, kultural dan intelektual.
Bentuk-bentuk gerakan tersebut di atas sebagai akibat dari upaya umat Islam untuk menjadikan Islam sebagai agama yang dinamis melalui pola-pola sosialisasi seperti pola akomodasi, modifikasi dan sosialisasi, sehingga Islam tersosialisasi dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat Indonesia.
Menurut Fachry Ali, dinamika Islam yang tampil dalam berbagai bentuk gerakan, sangat dipengaruhi oleh dominasi Barat, baik yang bersifat "positif" seperti dalam bentuk intelektualisme, sains dan teknologi, mahupun dalam hal-hal"negati ve" seperti kolonialisme. Namun demikian, untuk menghadapi dominasi itu, Islam sangat kaya dengan doctrinal dan pengalaman politik yang dapat ditranformasi dan direkonstruksi menjadi ideologi politik tanpa meminjam ideologi lain.
Berbeda dengan Fachry Ali, Yusril Ihza Mahendra mengklaim bahawa gerakan Islam dipengaruhi oleh faktor rekayasa-rekayasa politik penguasa dan faktor-faktor persaingan antara kelompok bangsa sendiri.
Mengamati berbagai uraian di atas, dapat ditegaskan bahawa faktor-faktor tersebut menjadi faktor-faktor dominan dalam dinamika gerakan Islam di Indonesia baik pada masa kolonial dan terus berlanjutan hingga saat sekarang ini.
Gerakan-gerakan yang dilakukan kekuatan Islam agaknya mendapat banyak tentangan dari pihak kolonial. Sebab pemerintah kolonial Belanda dalam melestarikan penjajahannya di Indonesia menerapkan berbagai tindakan guna melumpuhkan kekuatan Islam. Penjajah Belanda seringkali melakukan tindakan tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia, invasi, eksploitasi sumber-sumber ekonomi dan sumber daya manusia yang hanya menguntungkan pihaknya. Mereka juga melakukan upaya de-Islamisasi dan depolitisasi terhadap umat Islam.
Namun demikian, berbagai bentuk penindasan dan kebijakan Belanda tidak menjadikan umat Islam Indonesia lumpuh, bahkan mereka menjadikan Islam sebagai dasar pembentukan identitas bangsa dan lambang perlawanan terhadap imperialisme. Mereka bersatu dalam perjuangan Islam melawan kolonial Belanda. Bagi mereka, Islam tidak sekadar agama secara formal tetapi juga sebagai way of
life.
Menganalisis berbagai uraian di atas, dapat difahami bahawa, selama penjajahan kolonial Belanda, Islam secara utuh mampu tampil dalam bentuk gerakan melawan kolonialisme Belanda dan sebagai Islam politik dalam wujud partai politik seperti Sarikat Islam dan Partai Islam Indonesia waktu itu dapat memberikan pendidikan politik kepada rakyat dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain Politik
Islam Hindia Belanda yang berusaha melaksanakan deislamisasi untuk menjauhkan
umat Islam dari kegiatan politik (depolitisasi) telah mengalami kegagalan.
  1. Politik dan Islam di Era Kemerdekaan
Seperti halnya di era kolonial, pembangunan politik di Indonesia pada masa kemerdekaan baik pada masa kepemimpinan orde lama mahupun orde baru, tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Islam dan umatnya. Jika masa kolonial Islam berhadapan dengan ideologi kolonialisme, maka di masa kemerdekaan Islam berhadapan dengan ideologi tertentu, seperti komunisme dengan segala perangkatnya.
Sejarah politik bangsa Indonesia menegaskan bahawa Islam melalui para pemimpinnya mempunyai andil besar mulai dari menanamkan nilai-nilai nasionalisme sampai perumusan Undang-Undang Dasar Negara. Ketika menyusun Undang- Undang Dasar NKRI, para tokoh Islam berhasil memasukkan rumusan kalimat: "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya," dalam Piagam Jakarta.


Rumusan tersebut tampaknya merupakan perwujudan dari aspirasi yang muncul sebelumnya, bahawa kemerdekaan merupakan peluang bagi umat Islam melaksanakan ajarannya dalam kehidupan bernegara sebagaimana dicetuskan tokoh-tokoh Sarikat Islam (SI) di akhir tahun 1920.
Ketika sidang-sidang konstituante membahas tentang dasar Negara, para pemimpin Islam kembali menyuarakan aspirasinya agar Islam dijadikan sebagai dasar Negara. Namun demikian usaha ini mendapat banyak tentangan dari berbagai pihak. Bahkan kondisi ini menyebabkan Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Julai 1959 untuk memberlakukan kembali UUD 1945 sekaligus membubarkan konstituante.
Di masa pemerintahan Orde Baru, umat Islam belum juga berhasil menetapkan Islam sebagai dasar Negara. Sebaliknya, pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai ideologi Negara dan satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerana itu, ideologi politik lainnya, termasuk Islam tidak diberi hak untuk hidup dan berkembang. Akibatnya, umat Islam dan juga umat lainnya tidak dibenarkan menampilkan Islam dalam bentuk Islam politik seperti terwujud dalam bentuk partai politik.
Namun demikian, umat Islam lainnya, tetap mendukung kebijakan Orde Baru itu. Sehingga Islam terbahagi menjadi dua kelompok yang sangat berbeda, iaitu kelompok pendukung Orde Baru dan kelompok penentang. Kelompok yang disebut terakhir, dinamakan dengan kaums kri ptur al is yang hidup dalam suasanadepol i ti sasi dan konflik dengan pemerintah. Sedang kelompok pertama disebut kaum
substansialis yang mendapat manfaat dan fasilitas dari pemerintah.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahawa pemerintah Orde baru dalam hal politik Islam mengadakan depolitisasi yang didukung kaum substansialis. Dukungan yang paling nyata dari kalangan substansialis ialah slogan "Islamic Religioun: Yes", Islamic (Political) Ideologi: No". Ini bererti bahawa bagi kaum substansialis, pemerintah Orde Baru sangat responsive terhadap Islam selama Islam yang dimaksud bukan Islam politik yang menghendaki Negara diatur berdasarkan ajaran Islam.
Ringkasnya, agenda politik Orde Baru mencakup depolitisasi Islam. Projek ini didasarkan pada sebuah asumsi bahawa Islam yang kuat secara politik atau Islam politik akan menghambat jalannya agenda-agenda politik rezim Orde Baru. Tidak hanya itu, Islam politik juga dituduh akan menjadi hambatan bagi jalannya modenisasi. Hal ini tampak dari kekecewaan di kalangan elit pemerintahan Orde Baru terhadap kualitas dan kemampuan para pemimpin Islam tradisional.
Sejalan dengan penolakan ideologi Islam atau partai politik Islam, pemerintah Orde Baru melakukan fusi partai. Partai-partai non pemerintah dijadikan dua kelompok, masing-masing kelompok Islam dan non Islam. Partai yang disebut pertama difusikan sebagai Partai Persatuan pembangunan (PPP) dan partai disebut kedua adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Namun demikian perkembangan selanjutnya, PPP semakin mengalami erosi dari kandungan Islam, dan setidaknya telah menjadi partai terbuka bagi anggota-anggota yang bukan muslim. Sebab semua partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, sehingga pintu untuk memberlakukan aturan yang bernafaskan Islam tertutup. Akibatnya, Nahdatul Ulama (NU) sebagai komponen terbesar dalam PPP menyatakan keluar dan kembali menjadi organisasi non politik.
Mengamati uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahawa tampilnya kaum substansialis sebagai pendukung pemerintahan Orde Baru, mengakibatkan umat Islam Islam terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah golongan
skripturalis yang selalu berseberangan pemikiran dengan pemerintah, sehingga
kelompok ini secara tidak langsung juga menjadi oposan terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah. Sedang kelompok kedua adalah golongans ubst ansi al i s yang pandangan-pandangannya menafasi kebijaksanaan pemerintah yang bertalian dengan Islam. Kelompok ini sangat akomodatif terhadap pemerintah, demikian pula sebaliknya, pemerintah sangat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka.


B. ASPEK HUKUM
1. Eksistensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional Indonesia
Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal kerana ia merupakan bahagian dari ajaran Islam yang juga universal. Kerana itu, Hukum Islam berlaku bagi Orang Islam di manapun ia berada dan apapun nasionalitasnya.
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas penduduk Indonesia
adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan bahagian dari ajaran
dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan Hukum Nasional serta merupakan
bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.
Keberadaan Hukum Islam dalam tatanan Hukum Nasional adalah sebuah perjuangan yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam dengan menggunakan teori eksistensi. Teori ini dalam kaitannya dengan Hukum Islam adalah sebuah teori yang menerangkan tentang keberadaan Hukum Islam dalam Hukum Nasional, iaitu:
pertama, "ada" dalam erti sebagai bahagian integral dari Hukum Nasional Indonesia;
kedua, "ada" dalam erti keberadaan, kekuatan, dan wibawanya, diakui oleh Hukum
Nasional dan diberi status sebagai Hukum Nasional ketiga, "ada" dalam arti Hukum Nasional dan norma Hukum Islam (agama) yang berfungsi sebagai penjaring bahan- bahan Hukum Nasional Indonesia;k eemp at, "ada" dalam erti sebagai bahan utama dan unsur utama.
Uraian di atas mengantar kita kepada sebuah pemahaman bahawa, secara eksistensial, kedudukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional Indonesia merupakan subsistem dari sistem Hukum Nasional. Oleh kerananya, Hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberi sumbangan pemikiran dalam pembentukan dan pembaruan Hukum Nasional Indonesia, meskipun diakui masih banyak kendala yang dihadapi. Dalam kenyataan ini, kini telah kita miliki berbagai peraturan perundangan yang terkait langsung dengan Hukum Islam.
2. Pelembagaan Hukum Islam
Pelembagaan Hukum Islam pada hakikatnya merupakan aktualisasi Hukum Islam agar dapat berlaku secara efektif dalam kehidupan bermasyarakat. Hanya saja, dalam mewujudkannya, mengalami sejumlah kendala, diantaranya kendala yang berlatar belakang politik, sejak masa penjajahan Belanda yang memberlakukan politik hukum yang disesuaikan dengan kebutuhan kolonialisme.20
Hukum Islam di Indonesia meskipun tidak seluruhnya membudaya pada masyarakat, terutama menyangkut hukum jinayat. Tetapi hukum keluarga, sejak masa kolonial sudah diakui lewat lembaga-lembaga peradilan. Oleh kerana itu, kita banyak menemukan ordonansi-ordonansi lama yang mengatur kekuasaan Peradilan Agama. Dan setelah zaman kemerdekaan atau setelah diundangkannya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ordonansi-ordonansi ini sudah tidak berlaku lagi.
Berdasarkan beberapa teori yang berkembang, misalnya teori recetie exit, teori
reception a contrario, maka Hukum Islam dikatakan eksis dalam Hukum Nasional
Indonesia yang ditandai sejak berdirinya lembaga yang bernama Departemen Agama pada tanggal 13 Januari 1946 dan ditandai pula dengan munculnya UU No. 22 tahun 1946 tentang Nikah, Talak dan Rujuk. Dengan demikian resmilah berlaku hukum
perkawinan Islam bagi penduduk yang beragama Islam. Dengan diundangkannya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, maka semakin jelas kedudukan dan peran Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Demikian pula UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah menambah urutan kelembagaan dan perundang-undangan yang bersumber dan bernafaskan Hukum Islam dalam konstalasi Hukum Nasional, seperti undang-undang haji dan Zakat.
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, Hukum Islam telah menjadi bahagian dari berbagai kegiatan kenegaraan dan dibentuknya kelembagaan-kelembagaan yang bersifat formal dan legal semisal Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Pembentukan Lembaga Keuangan Syari’ah.
Menganalisis dan mencermati berbagai uraian di atas, dapat dipahami bahawa pada dasarnya Hukum Islam eksis dalam Hukum Nasional Indonesia dan mempunyai wibawa hukum sebagai Hukum Nasional. Hal ini dapat dilihat dari berbagai nuansa Hukum Islam yang telah ditetapkan sebagai Hukum Nasional. Keberadaan Hukum Islam dalam tatanan Hukum Nasional dapat pula ditandai dengan terbentuknya berbagai lembaga. Di samping itu, dapat pula dibuktikan dengan lahirnya berbagai aturan-aturan dan perundang-undangan tertulis mahupun yang tidak tertulis.



C. ASPEK EKONOMI
Salah satu aspek penting yang patut dicatat dalam perkembangan ekonomi Islam di Indonesia adalah munculnya berbagai gerakan para tokoh Islam untuk melahirkan bank-bank Islam yang dapat mengakomodir berbagai kebutuhan umat Islam, meskipun tidak semuanya umat Islam tertarik menjadi nasabahnya. Usaha ini cukup menyita waktu yang banyak dalam memperjuangkannya, walaupun pada akhirnya, dalam masa pemerintahan Orde Baru sistem ini dapat terwujud.
Pemerintahan Orde Baru tampil dalam perpolitikan nasional indonesia, tidak saja menekankan aspek politik tetapi juga lebih menekankan aspek ekonomi. Sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir, terutama awal Orde Baru, diarahkan untuk mendukung pencapaian tujuan ekonomi. Posisi umat Islam ketika itu, sebagaimana Islam politik, tidak mendapat porsi yang cukup terutama menyangkut kebijakan- kebijakan ekonomi. Hal ini disebabkan factor sumber daya manusia yang belum memadai.
Kondisi seperti di atas menyedarkan umat Islam bahawa mereka tidak akan mampu berkompetisi dan berpertisipasi secara penuh dalam pemerintahan Orde Baru selama mereka tidak memiliki basis pengetahuan dan teknokrasi yang menjadi kebutuhan pemerintah. Solusinya, orang tua umat Islam, terutama kalangan kelas menengah kota, mengarahkan anak-anaknya menggeluti dunia pendidikan dengan cara menyekolahkan anak-anak mereka pada sekolah-sekolah modern dan mendorong mereka ke dalam kelas menengah baru.
Hasilnya memberi dampak yang begitu luas terhadap umat Islam, bahkan akan mendorong mobilitas umat Islam, baik secara horizontal mahupun secara vertikal.
Di samping itu, peranan umat Islam yang ditandai dengan masuknya aktivis Muslim, terutama dalam sektor pemerintahan yang berbasis ekonomi mulai muncul di awal tahun 1970-an walaupun masih sangat terbatas. Namun demikian, pada 1 hingga 2 dasawarsa berikutnya, yaitu tahun 1980-an dan 1990-an telah bermunculan gagasan- gagasan ekonomi yang berbasis Islam, misalnya bank Islam (Syari’ah).
Bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam ajaran Islam. Ide pendirian perbankan Islam di Indonesia dapat dilihat dari bebagai keputusan organisasi ataupun lembaga-lembaga kemasyarakatan maupun pandangan dari para intelektual Islam di Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik pusat maupun daerah telah melakukan berbagai seminar dalam usaha pendirian bank Islam. Ide pendirian bank Islam, sebenarnya dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan tentang bunga bank. Akibat perbedaan itu, muncul ide baru sebagai alternatif dari kontroversi tersebut. Ide tersebut adalah pendirian bank Islam yang beroperasi dengan sistem non-bunga, yang pada akhirnya untuk pertama kali menjadi sponsor pendirian Bank Mu’amalat, bank Syari’ah pertama di Indonesia.
Muhammadiyah, sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang banyak memusatkan perhatiannya pada kondisi sosial, pendidikan dan ekonomi umat Islam di Indonesia juga pernah mengeluarkan seruan untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat ketika Majelis Tarjih melakukan sidang tentang hukum bunga bank pada tahun 1969 di Sidoarjo, Jawa Timur. Salah satu keputusan penting yang berkaitan dengan ide pendirian bank Islam adalah saran-saran peserta kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian. Khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Nahdatul Ulama (NU), pada sidang aj nah
Baytul Masil tahun 1982 di lampung. Nahdatul Ulama membuat beberapa keputusan penting yang berkaitan dengan ide penerapan system Syari'ah dalam bidang ekonomi dan pendirian bank Islam. Hal itu dilakukan atas pertimbangan bahawa NU adalah organisasi massa yang besar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, yang juga memiliki potensi dalam pembangunan Nasional Indonesia, terutama bidang ekonomi.  Apalagi warga NU pada umumnya adalah masyarkat pedesaan yang memiliki potensi yang cukup besar yang harus dikembangkan.
Demikian sekelumit tentang perjuangan dari umat Islam Indonesia, baik perseorangan maupun organisasi kemasyarakatan, termasuk Majelis Ulama Indonesia, telah berusaha maksimal mewujudkan ide pendirian bank Islam di Indonesia, meskipun menelan waktu yang sangat lama.

 PERANAN MAJELIS ULAMA INDONESIA DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI
INDONESIA
Tidak dapat dipungkiri, betapa besar peranan atau aktivitas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam upaya mengembangkan syi'ar Islam di Indonesia. Baik dalam bidang ekonomi, politik maupun hukum.
Dalam bidang ekonomi, misalnya, peran Majelis Ulama dalam pendirian bank Islam sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari usaha Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang semakin intensif membicarakan gagasan-gagasan tersebut pada akhir dasawarsa tahun 1980-an. Bahkan pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, MUI melaksanakan Lokakarya Nasional dengan tema, "Bunga Bank dan Perbankan". Ini adalah sebuah upaya mendorong terbentuknya bank Islam di Indonesia, -Lokakarya yang menjadi cikal bakal lahirnya Bank Muamalat Indonesia-, dengan mengundang berbagai komponen bangsa, termasuk unsur pemerintah dan bank Indonesia.
Ide pendirian itu dipertegas lagi dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) MUI ke IV di Hotel Sahid Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990. Untuk itu, dibentuk sebuah yayasan yakni Yayasan Dana Dakwah Pembangunan yang akan menjadi induk organisasi bagi bank Islam yang akan didirikan tersebut. Yayasan tersebut diketuai oleh Ketua Umum MUI Pusat.
Pendirian bank Islam di Indonesia semakin mencapai kenyataan dengan dibentuk
steering committee yang akan mempersiapkan segala sesuatu dengan ide pendirian
bank tersebut. Tim itu dinamakan Tim Perbankan MUI yang diketuai oleh Dr. Ir. Amin Aziz dengan beberapa orang anggota. Tugas awal tim ini adalah menyiapkan buku panduan bank tanp bunga sebagai dasar operasional bank Islam yang akan didirikan nanti.
Untuk membantu kelancaran Tim MUI ini, terutama untuk masalah-masalah hukum, dibentuk Tim Hukum Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI). Tim ini menyiapkan perangkat-perangkat hukum yang berkaitan dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia, sebab sebuah bank pada saat pendirian dan operasionalnya terkait dengan masalah legal formal.
Pendirian bank Islam di Indonesia mendapat respons positif dan dukungan berbagai pihak, di antaranya pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, kalangan perbankan, dan tentu saja mendapat sokongan yang kuat dari ICMI. Bahkan secara khusus Presiden Soeharto, ketika itu menyatakan ketertarikannya terhadap system
bagi hasil yang akan diterapkan di bank Islam itu. Lebih jauh ia berkata bahawa system bagi hasil adalah system perbankan yang berakar dari budaya bangsa Indonesia.
Perjalanan akhir dari rangkaian pendirian bank Islam Indonesia adalah dilaksanakannya penandatanganan Akte Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia yang dilakukan di hadapan Notaris, Yudo Paripurno, S.H dengan Akte Notaris No. 1. 1 Nov 1991. Saat itu terkumpul dana sebanyak Rp. 84 milyar, ditambah dana sumbangan Soeharto sebanyak Rp. 3 milyar.
Demikianlah usaha-usaha yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia dalam upaya meningkatkan Usaha perekonomian rakyat Indonesia dengan jalan merintis berdirinya Bank Muamalat Indonesia.
Di samping dalam bidang ekonomi, peran Majelis Ulama Indonesia dalam bidang lainnya sangat besar. Sebagai sebuah lembaga yang diakui eksistensinya oleh Pemerintah dan rakyat Indonesia, MUI telah berperan aktif dalam bidang sosial kemasyarakatan. Hal ini dapat dilihat dari kompetensi lembaga ini untuk memberikan sertifikat label pada setiap produk makanan, minuman dan berbagai produk lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan hidup bangsa Indonesia, termasuk produk- produk kosmetik. Peran MUI dalam bidang ini sangat berpengaruh positif terhadap tingkat kesadaran umat Islam menjalankan ajaran agamanya. Dalam hal pemberian label setiap produk makanan, menjadikan perasaan dalam diri seorang muslim aman dalam mengkonsumsi makanan.
Peran lain yang dijalankan Majelis Ulama Indonesia adalah ikut serta terlibat dalam lembaga sensor film. Tugas utamanya adalah menyensor dan menyeleksi film-film yang akan ditayangkan dan diedarkan kepada masyarakat luas, terutama film-film yang berasal dari luar Indonesia yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama, moral, falsafah, dan budaya bangsa Indonesia. Peran MUI dalam lembaga ini merupakan peran yang sangat strategis terutama dalam penegakan moral bangsa Indonesia dan upaya menciptakan generasi muda yang berdaya guna dan berhasil guna bagi bangsa dan agama.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Mengamati dan menganalisis berbagai uraian terdahulu, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Pertama,  Agama Islam masuk ke wilayah Indonesia dengan jalan damai, tidak
melalui perang. Kerana itu, Islam berhasil merebut simpati masyarakat Indonesia yang kemudian sebahagian besarnya menganut agama islam. Dalam masyarakat yang sudah muslim itu, lahir dan berkembang kerajaan-kerajaan Islam yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Hal ini ditandai dengan begitu cepatnya Islam menyatu dengan budaya masyarakat Indonesia, sehingga dengan mudah Islam bisa berkembang.
Kedua, Perkembangan Islam di Indonesia dapat ditilik dari berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, di antaranya, aspek politik, hukum dan ekonomi. Dalam aspek politik, baik pada masa colonial maupun era kemerdekaan Islam politik selalu berusaha tampil dalam kancah perpolitikan di Indonesia, hanya saja Islam politik selalu mengalami tekanan dan depolitisasi dari berbagai pihak, termasuk dalam pemerintahan Orde Baru. Bahkan pada masa Orde Baru inilah Islam politik terpecah dua golongan, yaitu golongan substansialis yang pro kepada pemerintah dan golongan skripturalis yang bertindak sebagai oposan pemerintah Orde Baru. Hukum Islam di Indonesia mempunyai prospek yang cerah dalam system Hukum Nasional, meskipun mengalami banyak kendala. Namun demikian dengan kekuatan dan peluang yang dimiliki, berbagai kendala itu dapat diminimalisir, meskipun membutuhkan banyak tenaga dan waktu. Dalam bidang Ekonomi, umat Islam bisa bernafas lega dengan didirikannya bank Islam yang kemudian disebut Bank Muamalat Indonesia. Dengan didirikannya bank Islam ini, diharapkan umat Islam dapat melakukan transaksi-transaksi ekonomi yang Islami.

Ketiga, Peran Majelis Ulama Indonesia terhadap perkembangan Islam di Indonesia
sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari terobosan-terobosan dan usaha-usaha Majelis Ulama Indonesia dalam mengakomodir berbagai pikiran umat Islam Indonesia untuk mendirikan bank Islam di Indonesia yang kemudian dinamakan Bank Muamalat Indonesia. Peran ini dapat dianggap sebagai upaya yang sangat spektakuler terutama bertujuan untuk mensejahterakan umat Islam Indonesia melalui transaksi- transaksi ekonomi yang Islami dengan cara bagi hasil. Peran lain yang dimainkan oleh Majelis Ulama Indonesia adalah kompetensi Majelis Ulama Indonesia untuk memberi sertifikat label halal dalam setiap produk makanan, minuman ataupun kosmetik. Majelis Ulama juga ikut mengambil bahagian dalam sebuah lembaga yang disebut lembaga sensor film. Diharapkan peran ulama dalam lembaga ini dapat maksimal guna menyensor film-film pornografi atau porno aksi sebagai upaya menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang berbudaya dan bermoral.


DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri, "Potret Masyarakat Madani di Indonesia", dalam Seminar
Nasional tentang "Menatap Masa Depan Politik Islam di Indonesia", Jakarta:
International Institute of Islamic Thought, Lembaga Studi Agama dan Filsafat
UIN Jakarta, 10 Juni 2003
Ali, Muhammad Daud, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali, 1991, Cet . ke-2
Antonio, Muhammad Syafi'I, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001
Anwar, M. Syafi'i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995
Azra, Azyumardi, Islam reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999
Bank Muamalat Indonesia, Laporan Direksi 1992 dalam Rapat Umum Pemegang
Saham, 17 Juni 1993 di Hotel Sahid jaya
Effendy, Bahtiar, "Islam Through The Eye of Nakamura," Mizan; Indonesia Forum for
Islam and Social Studies, No. 2, Vol, 2, Jakarta
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986), Cet . ke-1
Gaffar, Affan, "Islam dan Politik dalam Era Orde Baru Mencari Ertikulasi Politik yang
Tepat" dalam Ulumul Qur'an, nomor 2 Vol. IV thn. 1993
Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, t.th), Cet . ke-3.
Google Search 2010, Keamanan jaringan.


0 comments:

Post a Comment