BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembaruan dalam Islam
yang timbul pada periode sejarah Islam mempunyai tujuan, yakni membawa umat
Islam pada kemajuan, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan.
Perkembangan Islam dalam sejarahnya mengalami kemajuan dan juga kemunduran. Bab
ini akan menguraikan perkembangan Islam pada masa pembaruan. Pada masa itu,
Islam mampu menjadi pemimpin peradaban. Mungkinkah Islam mampu kembali menjadi
pemimpin peradaban?
Dalam bahasa Indonesia, untuk merujuk suatu
kemajuan selalu dipakai kata modern, modernisasi, atau modernisme. Masyarakat
barat menggunakan istilah modernisme tersebut untuk sesuatu yang mengandung
arti pikiran, aliran atau paradigma baru. Istilah ini disesuaikan untuk suasana
baru yang ditimbulkan oleh kemajuan, baik oleh ilmu pengetahuan maupun
tekhnologi.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai salah
satu tugas mata pelajaran bahasa Agama. Selain itu juga untuk memberikan pemahaman
bagi pembaca mengenai sejarah perkembangan agama Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah telah menunjukkan bahawa masyarakat Indonesia
pra-Islam, di sekitar abad ketujuh dan sebelumnya, adalah masyarakat dagang
dengan ciri kosmopolitan yang sangat kental.
Bahkan Burger menyatakan bahawa, jauh sebelum masa
pra-sejarah, masyarakat Indonesia telah berkenalan dengan bangsa-bangsa lain di
luar kepulauan.
Perkembangan yang menarik buat masyarakat Indonesia
adalah bahawa lambat laun ciri agrarisnya lebih menonjol dibandingkan dengan
ciri baharinya. Dampak penonjolan ini sangat besar pengaruhnya terhadap bentuk
kerajaan, sistem kekuasaan, dan corak keagamaan masyarakatnya.
Dengan demikian dapat pula berpengaruh terhadap
struktur sosial yang berkembang pada masa itu.
Bagi Indonesia, dampak kedatangan para pedagang sangat
berpengaruh terhadap penyebaran agama Islam di nusantara. Apalagi bila diingat
bahawa, sejak dimulainya proses penyebaran Islam di Indonesia, belum terdapat
suatu organisasi dakwah yang mapan untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat
luas.
Proses tersebarnya Islam pada waktu itu, semata-mata
mengandalkan kemampuan dan ketekunan tenaga-tenaga da'i pedagang atau guru
sufi. Kerana itu, sangat beralasan bila dikatakan proses penyebaran Islam di
Indonesia membutuhkan waktu yang relative lama bahkan berabad-abad.
Latarbelakang sejarah berkembangnya kelompok pedagang
Muslim di kepulauan Indonesia merupakan indikasi bahawa Islam disebarluaskan
kepada masyarakat oleh kaum pedagang. Mereka tidak semata-mata berperanan
sebagai pedagang, namun sekaligus bertindak sebagai da'i guru agama (Islam),
orang sufi yang memberikan bimbingan keagamaan dan kehidupan sehari-hari kepada
masyarakat setempat
Karena itu, terdapat kesan kuat bahawa Islam di
Indonesia, pada awalnya, berpusat di kota yang juga merupakan pusat kegiatan
dagang dan komersial. Pemeluk- pemeluk pertamanya adalah golongan pedagang
–suatu masyarakat yang ketika itu, menempati posisi kelas sosial yang cukup
baik.
Dalam penyebarannya kemudian, Islam dipeluk oleh
masyarakat kota, baik dari lapisan atas mahupun lapisan bawah.
Keberhasilan Islam menembus dan mempengaruhi kehidupan
masyarakat Indonesia, serta menjadikan dirinya sebagai agama utama bangsa ini,
merupakan suatu prestasi yang luar biasa. Hal itu, terutama, jika dilihat dari
segi geografis, di mana jarak Indonesia dengan Negara asal Islam, Jazirah Arab,
cukup jauh. Kini, Islam relatif telah berkembang di seluruh kepulauan
Indonesia. Tetapi hal itu tidak bererti bahawa masyarakat Indonesia sepenuhnya
menerima Islam.
Sebagaimana di dunia Islam pada umumnya, proses
Islamisasi tetap berlanjutan dan, pada kenyataannya hal itu merupakan suatu
proses yang tidak pernah selesai.
Makalah ini akan mengelaborasi berbagai masalah
sekitar perkembangan Islam di Indonesia, terutama yang berkait dengan
aspek-aspek politik, hukum dan ekonomi. Di samping itu, juga akan dibahas
upaya-upaya atau peranan Majelis Ulama Indonesia dalam perkembangan Islam di
Indonesia.
ASPEK-ASPEK
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
Islam adalah sebuah ajaran yang fleksibel dalam
pengertian bahawa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai universal. Dengan ciri
demikian itu, ajaran Islam dapat berhadapan dengan berbagai bentuk dan jenis
situasi kemasyarakatan. Kerana watak ajaran seperti itu, maka Islam tidak
secara serentak menggantikan seluruh tatanan nilai yang telah berkembang di
dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum datangnya Islam. Bahkan, hingga
taraf-taraf tertentu, nilai-nilai kemasyarakatan yang telah ada, seperti rendah
hati, sabar, mementingkan orang lain dan sebagainya, disubordinasikan ke dalam
ajaran Islam. Sebab ajaran-ajaran seperti itu, juga dikandung oleh Islam.
Oleh kerana itu, dalam sub judul ini, akan dibahas
tentang berbagai aspek perkembangan Islam di Indonesia, terutama dalam kaitan
dengan aspek politik, hukum dan ekonomi.
A. ASPEK
POLITIK.
Di antara ciri-ciri Islam yang dapat menduduki
rankingpar -excellence (istimewa) ialah
kerana sifatnya yang universal, setiap aspek kehidupan
tidak terlepas dar
peraturannya tidak terkecuali aspek politik. Kerananya
tidak heran bila dalam nas- nasnya senantiasa kita dapatkan berbagai hukum yang
berhubungan dengan urusan kenegaraan berikut sistem pemerintahannya, hukum
perang dan damai serta hubungan international antara negara Islam dengan negara
lainnya.
Membahas pembangunan politik di Indonesia dalam
perspektif Islam akan melahirkan dua pemikiran penting, iaitu pemikiran tentang
hubungan antara politik dan Islam dan perlakuan oleh berbagai kekuatan politik
terhadap Islam terutama dalam sejarah perkembangan politik di Indonesia. Sejak
zaman kolonial sampai era kemerdekaan, tindakan dan kebijakan berbagai kekuatan
politik terhadap Islam di Indonesia, tampak dalam peranan yang dimainkan oleh
para pemimpin yang berorientasi kepada Islam. Peranan tersebut adalah implikasi
dari situasi yang mereka hadapi dan dalam hubungan dialogis politik Islam
dengan budaya politik Indonesia yang selalu berubah.
Dalam wacana tentang orientasi, gerakan atau
institusionalisasi Islam di Indonesia sering digunakan istilah-istilah:
"Islam Kultural", "Islam Struktural", dan "Islam
Politik". Istilah "Islam Kultural" dan "Islam
Struktural", tidak lazim digunakan dalam wacana Islam di luar Indonesia,
meskipun istilah-istilah ini sebenarnya cukup tepat untuk menjelaskan fenomena
perkembangan Islam yang terjadi di Indonesia dengan di luar, yakni adanya
orientasi pada hampir semua gerakan Islam di luar Indonesia pada Islam
struktural dan ideologis, meski tidak semuanya mendukung atau terlibat dalam Islam
politik. Namun, penggunaan istilah-istilah ini sering kurang pasti, terutama
tentang "Islam structural" dan "Islam politik" yang sering
dianggap identik.
Untuk menelusuri lebih jauhter m- ter m tersebut,
paling tidak kita perlu membedakan karakteristik Islam ke dalam dua
perspektif.Pertama, adalah institusionalisasi ajaran Islam, termasuk dalam
konteks pembentukan sistem nasional, yang dikelompokkan ke dalam Islamc ul tur
al dan Islams truc tural;Ked ua, gerakan atau aktifitas Islam, yang
dikelompokkan dalam gerakan Islam kultural dan Islam politik. Namun demikian,
terlepas dari kedua dikotomi istilah di atas, penulis akan berkonsentrasi
sekitar perkembangan politik Islam di Indonesia, baik pada masa kolonial
mahupun pada masa kemerdekaan.
- Politik dan Islam di Masa Kolonial
Islam di Indonesia adalah bahagian yang tidak
terpisahkan dari budaya Indonesia, sehingga Islam merupakan agama yang paling
banyak dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Signifikansi hubungan yang
begitu erat antara Islam dan Indonesia sebagai suatu daerah territorial,
menyebabkan penjajahan lebih dari tiga abad oleh Belanda dan Jepun gagal dalam
upaya deislamisasi agar akidah Islam tercabut dari umat Islam.9 Sebab melalui
hubungan itu juga menjelaskan terinternalisasinya nilai-nilai Islam baik dalam
bentuk akidah, pesan-pesan moral dan sosial dalam diri pemeluknya guna
membendung kolonialisme.
Agaknya, uraian di atas ada benarnya, sebab
mengakarnya Islam di Indonesia tidak terlepas dari sebuah proses panjang
program sosialisasi Islam yang dilakukan oleh para pemuka Islam melalui
aktifitas dakwah dan pendidikan. Dalam proses tersebut, Islam di Indonesia
telah berhadapan dengan berbagai tentangan ideologi, budaya, dan kekuatan
sosial politik penguasa, sehingga memaksa Islam harus tampil dalam berbagai
bentuk gerakan, seperti, gerakan Islam melawan kolonialisme, sebagai Islam
politik, dan Islam sebagai kekuatan moral, kultural dan intelektual.
Bentuk-bentuk gerakan tersebut di atas sebagai akibat
dari upaya umat Islam untuk menjadikan Islam sebagai agama yang dinamis melalui
pola-pola sosialisasi seperti pola akomodasi, modifikasi dan sosialisasi,
sehingga Islam tersosialisasi dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat
Indonesia.
Menurut Fachry Ali, dinamika Islam yang tampil dalam
berbagai bentuk gerakan, sangat dipengaruhi oleh dominasi Barat, baik yang
bersifat "positif" seperti dalam bentuk intelektualisme, sains dan
teknologi, mahupun dalam hal-hal"negati ve" seperti kolonialisme.
Namun demikian, untuk menghadapi dominasi itu, Islam sangat kaya dengan
doctrinal dan pengalaman politik yang dapat ditranformasi dan direkonstruksi
menjadi ideologi politik tanpa meminjam ideologi lain.
Berbeda dengan Fachry Ali, Yusril Ihza Mahendra
mengklaim bahawa gerakan Islam dipengaruhi oleh faktor rekayasa-rekayasa
politik penguasa dan faktor-faktor persaingan antara kelompok bangsa sendiri.
Mengamati berbagai uraian di atas, dapat ditegaskan
bahawa faktor-faktor tersebut menjadi faktor-faktor dominan dalam dinamika
gerakan Islam di Indonesia baik pada masa kolonial dan terus berlanjutan hingga
saat sekarang ini.
Gerakan-gerakan yang dilakukan kekuatan Islam agaknya
mendapat banyak tentangan dari pihak kolonial. Sebab pemerintah kolonial
Belanda dalam melestarikan penjajahannya di Indonesia menerapkan berbagai
tindakan guna melumpuhkan kekuatan Islam. Penjajah Belanda seringkali melakukan
tindakan tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia, invasi, eksploitasi
sumber-sumber ekonomi dan sumber daya manusia yang hanya menguntungkan
pihaknya. Mereka juga melakukan upaya de-Islamisasi dan depolitisasi terhadap
umat Islam.
Namun demikian, berbagai bentuk penindasan dan
kebijakan Belanda tidak menjadikan umat Islam Indonesia lumpuh, bahkan mereka
menjadikan Islam sebagai dasar pembentukan identitas bangsa dan lambang
perlawanan terhadap imperialisme. Mereka bersatu dalam perjuangan Islam melawan
kolonial Belanda. Bagi mereka, Islam tidak sekadar agama secara formal tetapi
juga sebagai way of
life.
Menganalisis berbagai uraian di atas, dapat difahami
bahawa, selama penjajahan kolonial Belanda, Islam secara utuh mampu tampil
dalam bentuk gerakan melawan kolonialisme Belanda dan sebagai Islam politik
dalam wujud partai politik seperti Sarikat Islam dan Partai Islam Indonesia
waktu itu dapat memberikan pendidikan politik kepada rakyat dan memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain Politik
Islam Hindia Belanda yang berusaha melaksanakan
deislamisasi untuk menjauhkan
umat Islam dari kegiatan politik (depolitisasi) telah
mengalami kegagalan.
- Politik dan Islam di Era Kemerdekaan
Seperti halnya di era kolonial, pembangunan politik di
Indonesia pada masa kemerdekaan baik pada masa kepemimpinan orde lama mahupun
orde baru, tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Islam dan umatnya. Jika masa
kolonial Islam berhadapan dengan ideologi kolonialisme, maka di masa
kemerdekaan Islam berhadapan dengan ideologi tertentu, seperti komunisme dengan
segala perangkatnya.
Sejarah politik bangsa Indonesia menegaskan bahawa
Islam melalui para pemimpinnya mempunyai andil besar mulai dari menanamkan
nilai-nilai nasionalisme sampai perumusan Undang-Undang Dasar Negara. Ketika
menyusun Undang- Undang Dasar NKRI, para tokoh Islam berhasil memasukkan
rumusan kalimat: "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya,"
dalam Piagam Jakarta.
Rumusan tersebut tampaknya merupakan perwujudan dari
aspirasi yang muncul sebelumnya, bahawa kemerdekaan merupakan peluang bagi umat
Islam melaksanakan ajarannya dalam kehidupan bernegara sebagaimana dicetuskan
tokoh-tokoh Sarikat Islam (SI) di akhir tahun 1920.
Ketika sidang-sidang konstituante membahas tentang
dasar Negara, para pemimpin Islam kembali menyuarakan aspirasinya agar Islam
dijadikan sebagai dasar Negara. Namun demikian usaha ini mendapat banyak
tentangan dari berbagai pihak. Bahkan kondisi ini menyebabkan Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Julai 1959 untuk memberlakukan kembali UUD 1945
sekaligus membubarkan konstituante.
Di masa pemerintahan Orde Baru, umat Islam belum juga
berhasil menetapkan Islam sebagai dasar Negara. Sebaliknya, pemerintah Orde
Baru menetapkan Pancasila sebagai ideologi Negara dan satu-satunya asas dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerana itu, ideologi politik lainnya,
termasuk Islam tidak diberi hak untuk hidup dan berkembang. Akibatnya, umat
Islam dan juga umat lainnya tidak dibenarkan menampilkan Islam dalam bentuk
Islam politik seperti terwujud dalam bentuk partai politik.
Namun demikian, umat Islam lainnya, tetap mendukung
kebijakan Orde Baru itu. Sehingga Islam terbahagi menjadi dua kelompok yang
sangat berbeda, iaitu kelompok pendukung Orde Baru dan kelompok penentang.
Kelompok yang disebut terakhir, dinamakan dengan kaums kri ptur al is yang
hidup dalam suasanadepol i ti sasi dan konflik dengan pemerintah. Sedang
kelompok pertama disebut kaum
substansialis yang mendapat manfaat dan fasilitas dari
pemerintah.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahawa pemerintah Orde
baru dalam hal politik Islam mengadakan depolitisasi yang didukung kaum
substansialis. Dukungan yang paling nyata dari kalangan substansialis ialah
slogan "Islamic Religioun: Yes", Islamic (Political) Ideologi:
No". Ini bererti bahawa bagi kaum substansialis, pemerintah Orde Baru
sangat responsive terhadap Islam selama Islam yang dimaksud bukan Islam politik
yang menghendaki Negara diatur berdasarkan ajaran Islam.
Ringkasnya, agenda politik Orde Baru mencakup
depolitisasi Islam. Projek ini didasarkan pada sebuah asumsi bahawa Islam yang
kuat secara politik atau Islam politik akan menghambat jalannya agenda-agenda
politik rezim Orde Baru. Tidak hanya itu, Islam politik juga dituduh akan
menjadi hambatan bagi jalannya modenisasi. Hal ini tampak dari kekecewaan di
kalangan elit pemerintahan Orde Baru terhadap kualitas dan kemampuan para
pemimpin Islam tradisional.
Sejalan dengan penolakan ideologi Islam atau partai
politik Islam, pemerintah Orde Baru melakukan fusi partai. Partai-partai non
pemerintah dijadikan dua kelompok, masing-masing kelompok Islam dan non Islam.
Partai yang disebut pertama difusikan sebagai Partai Persatuan pembangunan
(PPP) dan partai disebut kedua adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Namun demikian perkembangan selanjutnya, PPP semakin
mengalami erosi dari kandungan Islam, dan setidaknya telah menjadi partai
terbuka bagi anggota-anggota yang bukan muslim. Sebab semua partai politik dan
organisasi sosial kemasyarakatan harus menjadikan Pancasila sebagai
satu-satunya asas, sehingga pintu untuk memberlakukan aturan yang bernafaskan
Islam tertutup. Akibatnya, Nahdatul Ulama (NU) sebagai komponen terbesar dalam
PPP menyatakan keluar dan kembali menjadi organisasi non politik.
Mengamati uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahawa
tampilnya kaum substansialis sebagai pendukung pemerintahan Orde Baru,
mengakibatkan umat Islam Islam terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
adalah golongan
skripturalis yang selalu berseberangan pemikiran
dengan pemerintah, sehingga
kelompok ini secara tidak langsung juga menjadi oposan
terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah. Sedang kelompok kedua adalah
golongans ubst ansi al i s yang pandangan-pandangannya menafasi kebijaksanaan
pemerintah yang bertalian dengan Islam. Kelompok ini sangat akomodatif terhadap
pemerintah, demikian pula sebaliknya, pemerintah sangat memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan mereka.
B. ASPEK
HUKUM
1.
Eksistensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional Indonesia
Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal
kerana ia merupakan bahagian dari ajaran Islam yang juga universal. Kerana itu,
Hukum Islam berlaku bagi Orang Islam di manapun ia berada dan apapun
nasionalitasnya.
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh
mayoritas penduduk Indonesia
adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat,
merupakan bahagian dari ajaran
dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan Hukum
Nasional serta merupakan
bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.
Keberadaan Hukum Islam dalam tatanan Hukum Nasional
adalah sebuah perjuangan yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam dengan
menggunakan teori eksistensi. Teori ini dalam kaitannya dengan Hukum Islam
adalah sebuah teori yang menerangkan tentang keberadaan Hukum Islam dalam Hukum
Nasional, iaitu:
pertama, "ada" dalam erti sebagai bahagian
integral dari Hukum Nasional Indonesia;
kedua, "ada" dalam erti keberadaan,
kekuatan, dan wibawanya, diakui oleh Hukum
Nasional dan diberi status sebagai Hukum Nasional ketiga,
"ada" dalam arti Hukum Nasional dan norma Hukum Islam (agama) yang
berfungsi sebagai penjaring bahan- bahan Hukum Nasional Indonesia;k eemp at,
"ada" dalam erti sebagai bahan utama dan unsur utama.
Uraian di atas mengantar kita kepada sebuah pemahaman
bahawa, secara eksistensial, kedudukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional
Indonesia merupakan subsistem dari sistem Hukum Nasional. Oleh kerananya, Hukum
Islam juga mempunyai peluang untuk memberi sumbangan pemikiran dalam
pembentukan dan pembaruan Hukum Nasional Indonesia, meskipun diakui masih
banyak kendala yang dihadapi. Dalam kenyataan ini, kini telah kita miliki
berbagai peraturan perundangan yang terkait langsung dengan Hukum Islam.
2. Pelembagaan
Hukum Islam
Pelembagaan Hukum Islam pada hakikatnya merupakan
aktualisasi Hukum Islam agar dapat berlaku secara efektif dalam kehidupan
bermasyarakat. Hanya saja, dalam mewujudkannya, mengalami sejumlah kendala,
diantaranya kendala yang berlatar belakang politik, sejak masa penjajahan
Belanda yang memberlakukan politik hukum yang disesuaikan dengan kebutuhan
kolonialisme.20
Hukum Islam di Indonesia meskipun tidak seluruhnya
membudaya pada masyarakat, terutama menyangkut hukum jinayat. Tetapi hukum
keluarga, sejak masa kolonial sudah diakui lewat lembaga-lembaga peradilan.
Oleh kerana itu, kita banyak menemukan ordonansi-ordonansi lama yang mengatur
kekuasaan Peradilan Agama. Dan setelah zaman kemerdekaan atau setelah
diundangkannya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ordonansi-ordonansi
ini sudah tidak berlaku lagi.
Berdasarkan beberapa teori yang berkembang, misalnya
teori recetie exit, teori
reception a contrario, maka Hukum Islam dikatakan
eksis dalam Hukum Nasional
Indonesia yang ditandai sejak berdirinya lembaga yang
bernama Departemen Agama pada tanggal 13 Januari 1946 dan ditandai pula dengan
munculnya UU No. 22 tahun 1946 tentang Nikah, Talak dan Rujuk. Dengan demikian
resmilah berlaku hukum
perkawinan Islam bagi penduduk yang beragama Islam.
Dengan diundangkannya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, maka semakin
jelas kedudukan dan peran Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Demikian pula UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah menambah urutan kelembagaan dan
perundang-undangan yang bersumber dan bernafaskan Hukum Islam dalam konstalasi
Hukum Nasional, seperti undang-undang haji dan Zakat.
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, Hukum Islam
telah menjadi bahagian dari berbagai kegiatan kenegaraan dan dibentuknya kelembagaan-kelembagaan
yang bersifat formal dan legal semisal Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Pembentukan Lembaga Keuangan Syari’ah.
Menganalisis dan mencermati berbagai uraian di atas,
dapat dipahami bahawa pada dasarnya Hukum Islam eksis dalam Hukum Nasional
Indonesia dan mempunyai wibawa hukum sebagai Hukum Nasional. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai nuansa Hukum Islam yang telah ditetapkan sebagai Hukum
Nasional. Keberadaan Hukum Islam dalam tatanan Hukum Nasional dapat pula
ditandai dengan terbentuknya berbagai lembaga. Di samping itu, dapat pula
dibuktikan dengan lahirnya berbagai aturan-aturan dan perundang-undangan
tertulis mahupun yang tidak tertulis.
C. ASPEK
EKONOMI
Salah satu aspek penting yang patut dicatat dalam
perkembangan ekonomi Islam di Indonesia adalah munculnya berbagai gerakan para
tokoh Islam untuk melahirkan bank-bank Islam yang dapat mengakomodir berbagai
kebutuhan umat Islam, meskipun tidak semuanya umat Islam tertarik menjadi
nasabahnya. Usaha ini cukup menyita waktu yang banyak dalam memperjuangkannya,
walaupun pada akhirnya, dalam masa pemerintahan Orde Baru sistem ini dapat
terwujud.
Pemerintahan Orde Baru tampil dalam perpolitikan
nasional indonesia, tidak saja menekankan aspek politik tetapi juga lebih
menekankan aspek ekonomi. Sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir, terutama
awal Orde Baru, diarahkan untuk mendukung pencapaian tujuan ekonomi. Posisi
umat Islam ketika itu, sebagaimana Islam politik, tidak mendapat porsi yang
cukup terutama menyangkut kebijakan- kebijakan ekonomi. Hal ini disebabkan
factor sumber daya manusia yang belum memadai.
Kondisi seperti di atas menyedarkan umat Islam bahawa
mereka tidak akan mampu berkompetisi dan berpertisipasi secara penuh dalam
pemerintahan Orde Baru selama mereka tidak memiliki basis pengetahuan dan
teknokrasi yang menjadi kebutuhan pemerintah. Solusinya, orang tua umat Islam,
terutama kalangan kelas menengah kota, mengarahkan anak-anaknya menggeluti
dunia pendidikan dengan cara menyekolahkan anak-anak mereka pada sekolah-sekolah
modern dan mendorong mereka ke dalam kelas menengah baru.
Hasilnya memberi dampak yang begitu luas terhadap umat
Islam, bahkan akan mendorong mobilitas umat Islam, baik secara horizontal
mahupun secara vertikal.
Di samping itu, peranan umat Islam yang ditandai
dengan masuknya aktivis Muslim, terutama dalam sektor pemerintahan yang
berbasis ekonomi mulai muncul di awal tahun 1970-an walaupun masih sangat
terbatas. Namun demikian, pada 1 hingga 2 dasawarsa berikutnya, yaitu tahun
1980-an dan 1990-an telah bermunculan gagasan- gagasan ekonomi yang berbasis
Islam, misalnya bank Islam (Syari’ah).
Bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip yang ada dalam ajaran Islam. Ide pendirian perbankan Islam di
Indonesia dapat dilihat dari bebagai keputusan organisasi ataupun
lembaga-lembaga kemasyarakatan maupun pandangan dari para intelektual Islam di
Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik pusat maupun
daerah telah melakukan berbagai seminar dalam usaha pendirian bank Islam. Ide
pendirian bank Islam, sebenarnya dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan
tentang bunga bank. Akibat perbedaan itu, muncul ide baru sebagai alternatif
dari kontroversi tersebut. Ide tersebut adalah pendirian bank Islam yang beroperasi
dengan sistem non-bunga, yang pada akhirnya untuk pertama kali menjadi sponsor
pendirian Bank Mu’amalat, bank Syari’ah pertama di Indonesia.
Muhammadiyah, sebagai organisasi sosial kemasyarakatan
yang banyak memusatkan perhatiannya pada kondisi sosial, pendidikan dan ekonomi
umat Islam di Indonesia juga pernah mengeluarkan seruan untuk mendirikan bank
Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat ketika Majelis Tarjih melakukan
sidang tentang hukum bunga bank pada tahun 1969 di Sidoarjo, Jawa Timur. Salah
satu keputusan penting yang berkaitan dengan ide pendirian bank Islam adalah
saran-saran peserta kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mengusahakan
terwujudnya konsepsi sistem perekonomian. Khususnya lembaga perbankan yang
sesuai dengan kaidah Islam.
Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Nahdatul Ulama
(NU), pada sidang aj nah
Baytul Masil tahun 1982 di lampung. Nahdatul Ulama
membuat beberapa keputusan penting yang berkaitan dengan ide penerapan system
Syari'ah dalam bidang ekonomi dan pendirian bank Islam. Hal itu dilakukan atas
pertimbangan bahawa NU adalah organisasi massa yang besar di Indonesia, di
samping Muhammadiyah, yang juga memiliki potensi dalam pembangunan Nasional
Indonesia, terutama bidang ekonomi. Apalagi warga NU pada umumnya adalah masyarkat
pedesaan yang memiliki potensi yang cukup besar yang harus dikembangkan.
Demikian sekelumit tentang perjuangan dari umat Islam
Indonesia, baik perseorangan maupun organisasi kemasyarakatan, termasuk Majelis
Ulama Indonesia, telah berusaha maksimal mewujudkan ide pendirian bank Islam di
Indonesia, meskipun menelan waktu yang sangat lama.
PERANAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI
INDONESIA
Tidak dapat dipungkiri, betapa besar peranan atau
aktivitas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam upaya mengembangkan syi'ar Islam
di Indonesia. Baik dalam bidang ekonomi, politik maupun hukum.
Dalam bidang ekonomi, misalnya, peran Majelis Ulama
dalam pendirian bank Islam sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari usaha
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang semakin intensif membicarakan
gagasan-gagasan tersebut pada akhir dasawarsa tahun 1980-an. Bahkan pada
tanggal 18 – 20 Agustus 1990, MUI melaksanakan Lokakarya Nasional dengan tema,
"Bunga Bank dan Perbankan". Ini adalah sebuah upaya mendorong
terbentuknya bank Islam di Indonesia, -Lokakarya yang menjadi cikal bakal
lahirnya Bank Muamalat Indonesia-, dengan mengundang berbagai komponen bangsa,
termasuk unsur pemerintah dan bank Indonesia.
Ide pendirian itu dipertegas lagi dalam Musyawarah
Nasional (MUNAS) MUI ke IV di Hotel Sahid Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990.
Untuk itu, dibentuk sebuah yayasan yakni Yayasan Dana Dakwah Pembangunan yang
akan menjadi induk organisasi bagi bank Islam yang akan didirikan tersebut.
Yayasan tersebut diketuai oleh Ketua Umum MUI Pusat.
Pendirian bank Islam di Indonesia semakin mencapai
kenyataan dengan dibentuk
steering committee yang akan mempersiapkan segala
sesuatu dengan ide pendirian
bank tersebut. Tim itu dinamakan Tim Perbankan MUI
yang diketuai oleh Dr. Ir. Amin Aziz dengan beberapa orang anggota. Tugas awal
tim ini adalah menyiapkan buku panduan bank tanp bunga sebagai dasar
operasional bank Islam yang akan didirikan nanti.
Untuk membantu kelancaran Tim MUI ini, terutama untuk
masalah-masalah hukum, dibentuk Tim Hukum Ikatan Cendekiawan Muslim se
Indonesia (ICMI). Tim ini menyiapkan perangkat-perangkat hukum yang berkaitan
dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia, sebab sebuah bank pada saat pendirian
dan operasionalnya terkait dengan masalah legal formal.
Pendirian bank Islam di Indonesia mendapat respons
positif dan dukungan berbagai pihak, di antaranya pemerintah, tokoh masyarakat,
tokoh agama, kalangan perbankan, dan tentu saja mendapat sokongan yang kuat
dari ICMI. Bahkan secara khusus Presiden Soeharto, ketika itu menyatakan
ketertarikannya terhadap system
bagi hasil yang akan diterapkan di bank Islam itu.
Lebih jauh ia berkata bahawa system bagi hasil adalah system perbankan yang
berakar dari budaya bangsa Indonesia.
Perjalanan akhir dari rangkaian pendirian bank Islam
Indonesia adalah dilaksanakannya penandatanganan Akte Pendirian PT. Bank
Muamalat Indonesia yang dilakukan di hadapan Notaris, Yudo Paripurno, S.H
dengan Akte Notaris No. 1. 1 Nov 1991. Saat itu terkumpul dana sebanyak Rp. 84
milyar, ditambah dana sumbangan Soeharto sebanyak Rp. 3 milyar.
Demikianlah usaha-usaha yang dilakukan Majelis Ulama
Indonesia dalam upaya meningkatkan Usaha perekonomian rakyat Indonesia dengan
jalan merintis berdirinya Bank Muamalat Indonesia.
Di samping dalam bidang ekonomi, peran Majelis Ulama
Indonesia dalam bidang lainnya sangat besar. Sebagai sebuah lembaga yang diakui
eksistensinya oleh Pemerintah dan rakyat Indonesia, MUI telah berperan aktif
dalam bidang sosial kemasyarakatan. Hal ini dapat dilihat dari kompetensi
lembaga ini untuk memberikan sertifikat label pada setiap produk makanan,
minuman dan berbagai produk lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan hidup
bangsa Indonesia, termasuk produk- produk kosmetik. Peran MUI dalam bidang ini
sangat berpengaruh positif terhadap tingkat kesadaran umat Islam menjalankan
ajaran agamanya. Dalam hal pemberian label setiap produk makanan, menjadikan
perasaan dalam diri seorang muslim aman dalam mengkonsumsi makanan.
Peran lain yang dijalankan Majelis Ulama Indonesia
adalah ikut serta terlibat dalam lembaga sensor film. Tugas utamanya adalah
menyensor dan menyeleksi film-film yang akan ditayangkan dan diedarkan kepada
masyarakat luas, terutama film-film yang berasal dari luar Indonesia yang
dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama, moral, falsafah, dan budaya
bangsa Indonesia. Peran MUI dalam lembaga ini merupakan peran yang sangat
strategis terutama dalam penegakan moral bangsa Indonesia dan upaya menciptakan
generasi muda yang berdaya guna dan berhasil guna bagi bangsa dan agama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mengamati dan menganalisis berbagai
uraian terdahulu, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Agama Islam masuk ke wilayah Indonesia dengan
jalan damai, tidak
melalui
perang. Kerana itu, Islam berhasil merebut simpati masyarakat Indonesia yang
kemudian sebahagian besarnya menganut agama islam. Dalam masyarakat yang sudah
muslim itu, lahir dan berkembang kerajaan-kerajaan Islam yang memiliki pengaruh
yang sangat besar terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Hal ini ditandai
dengan begitu cepatnya Islam menyatu dengan budaya masyarakat Indonesia,
sehingga dengan mudah Islam bisa berkembang.
Kedua,
Perkembangan Islam di Indonesia dapat ditilik dari berbagai aspek kehidupan
masyarakat Indonesia, di antaranya, aspek politik, hukum dan ekonomi. Dalam
aspek politik, baik pada masa colonial maupun era kemerdekaan Islam politik
selalu berusaha tampil dalam kancah perpolitikan di Indonesia, hanya saja Islam
politik selalu mengalami tekanan dan depolitisasi dari berbagai pihak, termasuk
dalam pemerintahan Orde Baru. Bahkan pada masa Orde Baru inilah Islam politik
terpecah dua golongan, yaitu golongan substansialis yang pro kepada pemerintah
dan golongan skripturalis yang bertindak sebagai oposan pemerintah Orde Baru.
Hukum Islam di Indonesia mempunyai prospek yang cerah dalam system Hukum
Nasional, meskipun mengalami banyak kendala. Namun demikian dengan kekuatan dan
peluang yang dimiliki, berbagai kendala itu dapat diminimalisir, meskipun
membutuhkan banyak tenaga dan waktu. Dalam bidang Ekonomi, umat Islam bisa
bernafas lega dengan didirikannya bank Islam yang kemudian disebut Bank
Muamalat Indonesia. Dengan didirikannya bank Islam ini, diharapkan umat Islam
dapat melakukan transaksi-transaksi ekonomi yang Islami.
Ketiga, Peran
Majelis Ulama Indonesia terhadap perkembangan Islam di Indonesia
sangat
besar. Hal ini dapat dilihat dari terobosan-terobosan dan usaha-usaha Majelis
Ulama Indonesia dalam mengakomodir berbagai pikiran umat Islam Indonesia untuk
mendirikan bank Islam di Indonesia yang kemudian dinamakan Bank Muamalat
Indonesia. Peran ini dapat dianggap sebagai upaya yang sangat spektakuler
terutama bertujuan untuk mensejahterakan umat Islam Indonesia melalui
transaksi- transaksi ekonomi yang Islami dengan cara bagi hasil. Peran lain
yang dimainkan oleh Majelis Ulama Indonesia adalah kompetensi Majelis Ulama
Indonesia untuk memberi sertifikat label halal dalam setiap produk makanan,
minuman ataupun kosmetik. Majelis Ulama juga ikut mengambil bahagian dalam
sebuah lembaga yang disebut lembaga sensor film. Diharapkan peran ulama dalam
lembaga ini dapat maksimal guna menyensor film-film pornografi atau porno aksi
sebagai upaya menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang berbudaya
dan bermoral.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri, "Potret Masyarakat Madani di Indonesia",
dalam Seminar
Nasional tentang "Menatap Masa Depan Politik Islam di Indonesia",
Jakarta:
International Institute of Islamic Thought, Lembaga Studi Agama dan
Filsafat
UIN Jakarta, 10 Juni 2003
Ali, Muhammad Daud, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali, 1991, Cet .
ke-2
Antonio, Muhammad Syafi'I, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta:
Gema
Insani Press, 2001
Anwar, M. Syafi'i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian
Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995
Azra, Azyumardi, Islam reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta:
Raja
Grafindo Persada, 1999
Bank Muamalat Indonesia, Laporan Direksi 1992 dalam Rapat Umum Pemegang
Saham, 17 Juni 1993 di Hotel Sahid jaya
Effendy, Bahtiar, "Islam Through The Eye of Nakamura," Mizan;
Indonesia Forum for
Islam and Social Studies, No. 2, Vol, 2, Jakarta
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi
Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986), Cet . ke-1
Gaffar, Affan, "Islam dan Politik dalam Era Orde Baru Mencari
Ertikulasi Politik yang
Tepat" dalam Ulumul Qur'an, nomor 2 Vol. IV thn. 1993
Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, t.th), Cet . ke-3.
Google Search 2010, Keamanan
jaringan.
0 comments:
Post a Comment