Dalam salah satu magnum opusnya, “The Art of Loving”, Eric Fromn
menjelaskan tentang dua buah keadaan jiwa manusia, being dan becoming.
Terjemahan secara tepat kedua istilah ini ke dalam peristilahan Indonesia
secara akurat amat sulit.
Modus being merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah merasa menjadi sesuatu. Misalnya, saya telah menjadi suami dari Nur, saya telah menjadi pemilik mobil BMW, saya telah menjadi orang shalih,
saya telah menjadi orang dengan status sosial cukup, dan lain-lain. Dengan
pengertian lain yang telah primodrial, modus being merupakana suatu keadaan
dimana seseorang telah merasa memiliki sesuatu.
Misalnya, saya telah memiliki Nur
sebagai istriku, saya telah memiliki mobil
BMW, saya telah menjadi orang
shalih, saya telah memiliki kedudukan
sosial yang cukup, dan lain-lain.
Modus being and becoming dapat
diartikan secara ringkas sebagai memiliki
dan menjadi.
Jika seseorang berada dalam modus being, maka terhadap sesuatu yang telah
merasa dimilikinya akan timbul suatu perasaan hambar dan bosan. Sedang jika ia
berada dalam modus becoming, maka
terhadap suatu yang belum dimilikinya dan ingin memilikinya, akan timbul suatu
gairah yang berbanding lurus dengan kuatnya keinginannya untuk memiliki hal
itu. Sebagai contoh, betapa besar dan indahnya perasaan seorang laki-laki yang
sedang jatuh cinta kepada seorang wanita. Manakala wanita itu masih belum
benar-benar menjadi istrinya, gairahnya menyala-yala, sikapnya demikian lembut
dan penuh kasih sayang. Segalanya menjadi indah di mata laki-laki. Bahkan semua
cacat-cacat kecilnya pun bisa tampak dengan hiasan. Ini merupakan modus becoming dari proses hubungan antara
laki-laki dan wanita. Namun begitu wanita tersebut menjadi istrinya, dan
laki-laki itu merasa memiliki istrinya
secara penuh, sering terjadi bahwa lambat laun sikap maupun gairahnya
terhadap istrinya turun, dan seperti yang kita lihat begitu banyak pasangan
seolah-olah pada modus becoming-nya
amat ideal dan serasi, ternyata sering kandas pada modus being-nya.
Modus becoming adalah memberikan dinamika dan kemajuan terus tiada henti.
Hal ini karena subyek pelaku modus ini selalu merasa kurang, merasa miskin
terhadap apa yang hendak dicapainya. Dalam artian positifnya, ini akan
menghasilkan suatu ihtiar tiada henti yang menghasilkan begitu banyak intuisi,
kreatifitas dan berbagai kemampuan lain. Dalam istilah keagamaan, dihadapan
kesempurnaan Yang Maha Agung, manusia harus merasa dirinya mahamiskin,
mahafakir, tiada memiliki kekuatan dan kemampuan apapun yang perlu dibanggakan.
Ini adalah pengejawantahan sifat rendah-hati sejati.
Modus being adalah kemujudan, kemandegan atau stagnasi. Hal ini karena
pelaku modus ini sudah merasa memiliki sesuatu, merasa punya, merasa mempunyai
kualitas-kualitas unggul tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Ini akan
menghasilkan suatu keadaan mandeg tanpa ihtiar untuk memperbaiki diri, dan
merupakan gunung hambatan yang amat dahsyat yang menghalangi perkembangan
seluruh potensi kemanusiaan kita. Dalam istilah keagamaan, ini mencerminkan
suatu sifat sombong dan takabur, yang merupakan sifat-sifat yang dimurkai Yang
Maha Agung.
Karena itu pula dikatakan bahwa,
“Kemiskinan ruhaniah (al-faqr) merupakan awal dari kearifan.” Jika seseorang
merasa miskin amal, miskin ‘ilmu, miskin secara ruhaniah, dipenuhi dengan dosa
dan keburukan, pastilah ini akan merendah serendah-rendahnya dihadapan Allah
Yang Maha Agung. Ini seperti yang dirintihkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib
(a.s) dalam doa Kumayl Ibnu Ziyad;
Wa
ana’abdukadh-dho’ifudz-dzaliilul-haqiirul-miskiinul mustakiin.
Padahal aku hamba-Mu yang lemah,
rendah, hina, malang dan papa.
Semakin
seorang hamba mengenal Allah, semakin sadar ia akan kerendahan dirinya dan
Keagungan Allah, semakin cepat pula Allah menariknya mendekati diri-Nya.
Semakin dekat hamba tersebut pada Allah semakin ia merasa miskin, miskin
sekali, tak punya satu kualitas kebaikan apa-pun, sehingga pada puncaknya sang
hamba akan lenyap dalam keagungan Tuha. Seperti yang dikatakan oleh Imam ‘Ali
bin Abi Thalib (a.s) dalam doa Ash-Shobah.
Yaa man tawahhada bil ‘izzi wal baqaa
Waqoharo ‘ibaadahu bil mauti wal
fanaa
Wahai yang Tunggal dalam Keagungan
dan Baqa (kekekalan)
Dan menaklukkan hambanya dengan
kematian dan Fana (kelenyapan)
Washolallohu ‘ala
Muhammadin wa aalihith-thoohiriin
Walhamdulillah
Wallohu a’lam
bishshowab
0 comments:
Post a Comment