Sunday, 25 January 2015

Kausalitas dan Korespondensi



 Rangka-nya rangka dari seluruh sains maupun ilmu pengetahuan. Tidak lebih dan tidak kurang. Itulah prinsip kausalitas.
Ketika Newton melihat apel jatuh, konon, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan jatuhnya apel. Ini-lah yang meniscayakan adanya gravitasi dalam fisika. Ketika Mendell melihat keteraturan sifat - sifat hereditas, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan keteraturan sifat - sifat hereditas. Keyakinan ini menumbuhkan teori genetika.



Prinsip kausalitas berbunyi , “Segala sesuatu membutuhkan sebab untuk meng - ada, kecuali keberadaan itu sendiri.” Sifat penting kausalitas pertama adalah keselarasan; yaitu satu sebab yang sama akan menghasilkan akibat yang sama. Selain itu adalah sifat kesemasaan sebab dan akibat, serta sifat relasi eksistensial antara sebab dan akibat. 

Prinsip kausalitas adalah hukum dasar alam. Karena tanpa menerima prinsip kausalitas sebagai hukum dasar alam, yang merupakan salah satu dari the very properties of being, tidak mungkin kita meniscayakan satu hukum apa pun yang bersifat umum bagi alam.

Dan dia bukanlah merupakan hasil “korespondensi” atau “penghubung-hubungan” yang dilakukan oleh rasio manusia berdasarkan pengalaman inderawinya, sebagai-mana yang dikatakan oleh sebagian orang[1]. Karena bahkan semua pengalaman inderawi kehilangan maknanya, bahkan seluruh alam materi tidak bisa ditahkik keberadaannya tanpa menerima prinsip kausalitas dulu sebelumnya.[2]

Dan bagaimana mungkin sebagian orang tersebut[3] menjelaskan adanya hal - hal yang berkorespondesi secara berulang - ulang tapi tidak diyakini mempunyai hubungan kausalitas. Misalnya sesudah malam datanglah siang dan sesudah siang datanglah malam. Kenapa tidak ada seorangpun yang berfikir bahwa siang adalah penyebab malam dan malam adalah penyebab siang?

Maka, mestilah diterima ke - obyektif - an prinsip kausalitas, dan meyakini bahwa prinsip ini bukanlah prinsip psikologis saja. Sehingga dengan mata kausalitas mestilah diterima adanya penyebab seluruh alam materi ini, yang pasti bukanlah alam materi itu sendiri, atau sebagian darinya, karena materi bukanlah keberadaan sehingga mesti selalu memerlukan sebab untuk mengada. Sungguh ini adalah merupakan bukti yang terang tentang adanya alam immaterial, yang sebagian orang menyebutnya alam spiritual atau alam intelligebles. Sebagaimana para fisikawan meyakini eksistensi elektron? Atau lebih terang lagi?       
 wallahu a’lam bish-showwab


[1] Seperti David Hume dan John Stuart Mill. Hume menafsirkan bahwa “unsur niscaya” dalam hukum sebab-akibat itu disebabkan oleh watak proses rasional yang digunakan untuk mencapai hukum tersebut, bukan watak obyektif alaminya. Bagi Hume, sepemahaman penulis yang dho`if ini, hukum kausalitas dalam fikiran manusia tidak lebih dari “ikatan asosiasi ide - ide”. Yang semakin kuat dengan pengulangan, yang semakin kuat dengan berlalunya masa, dan akhirnya menjadi “permanen” dalam diri manusia.
[2] Telah dijelaskan dalam kuliah yang telah lalu, bahwa “bayangan” yang dilihat oleh indera mestilah mempunyai relasi dengan sesuatu yang benar - benar ada dan obyektif yang diindera. Kemestian adanya relasi ini hanyalah merupakan implikasi dari penerimaan kita sebelumnya akan prinsip kausalitas. Sehingga jika kita tidak menerima prinsip kausalitas, “bayangan” yang dilihat oleh indera tidak mesti mempunyai relasi dengan sesuatu yang benar - benar ada dan obyektif. Jadi tanpa menerima prinsip kausalitas, bahkan kita tidak bisa mentahkik seluruh hasil indera kita maupun keberadaan alam materi.
[3] Yaitu golongan empiris seperti Hume dan Mill tersebut.

0 comments:

Post a Comment