Rangka-nya
rangka dari seluruh sains maupun ilmu pengetahuan. Tidak lebih dan tidak
kurang. Itulah prinsip kausalitas.
Ketika Newton melihat apel jatuh, konon, ia
berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan jatuhnya apel. Ini-lah yang
meniscayakan adanya gravitasi dalam fisika. Ketika Mendell melihat keteraturan
sifat - sifat hereditas, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan
keteraturan sifat - sifat hereditas. Keyakinan ini menumbuhkan teori genetika.
Prinsip kausalitas berbunyi , “Segala sesuatu
membutuhkan sebab untuk meng - ada, kecuali keberadaan itu sendiri.” Sifat
penting kausalitas pertama adalah keselarasan; yaitu satu sebab yang sama akan
menghasilkan akibat yang sama. Selain itu adalah sifat kesemasaan sebab dan
akibat, serta sifat relasi eksistensial antara sebab dan akibat.
Prinsip
kausalitas adalah hukum dasar alam. Karena
tanpa menerima prinsip kausalitas sebagai hukum dasar alam, yang merupakan
salah satu dari the very properties of being, tidak mungkin kita meniscayakan
satu hukum apa pun yang bersifat umum bagi alam.
Dan dia
bukanlah merupakan hasil “korespondensi” atau “penghubung-hubungan” yang
dilakukan oleh rasio manusia berdasarkan pengalaman inderawinya, sebagai-mana
yang dikatakan oleh sebagian orang[1]. Karena bahkan semua pengalaman inderawi
kehilangan maknanya, bahkan seluruh alam materi tidak bisa ditahkik
keberadaannya tanpa menerima prinsip kausalitas dulu sebelumnya.[2]
Dan bagaimana
mungkin sebagian orang tersebut[3]
menjelaskan adanya hal - hal yang berkorespondesi secara berulang - ulang tapi
tidak diyakini mempunyai hubungan kausalitas. Misalnya sesudah malam datanglah siang dan sesudah
siang datanglah malam. Kenapa tidak ada seorangpun yang berfikir bahwa siang
adalah penyebab malam dan malam adalah penyebab siang?
Maka, mestilah
diterima ke - obyektif - an prinsip kausalitas, dan meyakini bahwa prinsip ini
bukanlah prinsip psikologis saja. Sehingga
dengan mata kausalitas mestilah diterima adanya penyebab seluruh alam materi
ini, yang pasti bukanlah alam materi itu sendiri, atau sebagian darinya, karena
materi bukanlah keberadaan sehingga mesti selalu memerlukan sebab untuk
mengada. Sungguh ini adalah merupakan bukti yang terang tentang adanya alam
immaterial, yang sebagian orang menyebutnya alam spiritual atau alam intelligebles. Sebagaimana para
fisikawan meyakini eksistensi elektron? Atau lebih terang lagi?
wallahu a’lam bish-showwab
[1] Seperti David Hume dan John
Stuart Mill. Hume menafsirkan bahwa “unsur niscaya” dalam hukum sebab-akibat
itu disebabkan oleh watak proses rasional yang digunakan untuk mencapai hukum
tersebut, bukan watak obyektif alaminya. Bagi Hume, sepemahaman penulis yang
dho`if ini, hukum kausalitas dalam fikiran manusia tidak lebih dari “ikatan
asosiasi ide - ide”. Yang semakin kuat dengan pengulangan, yang semakin kuat
dengan berlalunya masa, dan akhirnya menjadi “permanen” dalam diri manusia.
[2] Telah dijelaskan dalam
kuliah yang telah lalu, bahwa “bayangan” yang dilihat oleh indera mestilah
mempunyai relasi dengan sesuatu yang benar - benar ada dan obyektif yang
diindera. Kemestian adanya relasi ini hanyalah merupakan implikasi dari
penerimaan kita sebelumnya akan prinsip kausalitas. Sehingga jika kita tidak
menerima prinsip kausalitas, “bayangan” yang dilihat oleh indera tidak mesti
mempunyai relasi dengan sesuatu yang benar - benar ada dan obyektif. Jadi tanpa
menerima prinsip kausalitas, bahkan kita tidak bisa mentahkik seluruh hasil
indera kita maupun keberadaan alam materi.
[3] Yaitu golongan empiris seperti
Hume dan Mill tersebut.
0 comments:
Post a Comment