A.Pendahuluan
Kandungan materi pelajaran dalam pendidikan Islam yang masih berkutat
pada tujuan yang lebih bersifat ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam
memahami konsep-konsep pendidikan yang masih bersifat dikotomis; yakni
pemilahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum (sekular), bahkan
mendudukkan keduanya secara diametral.
Kehadiran pendidikan Islam, baik ditinjau secara kelembagaan maupun
nilai-nilai yang ingin dicapainya-masih sebatas memenuhi tuntutan bersifat
formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang bersifat substansial, yakni tuntutan
untuk melahirkan manusia-manusia aktif penggerak sejarah. Walaupun dalam
beberapa hal terdapat perubahan ke arah yang lebih bak, perubahan yang terjadi
masih sangat lamban, sementara gerak perubahan masyarakat berjalan cepat,
bahkan bisa dikatakan revolusioner, maka di sini pendidikan Islam terlihat
selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca tidak jelas.
Dalam perkembangannya pendidikan Islam telah melahirkan dua pola
pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada
aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun,
sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa
terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud
adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisonalis dan pendidikan Islam yang
bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam
perkembangannya lebih menekankan pada aspek dokriner normatif yang cenderung
eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis,
lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh dasarnya.
Dalam telaah sosiologis, pendidikan Islam sebagai sebuah pranata selalu
mengalami interaksi dengan pranata sosial lainnya. Ketika berhubungan dengan
nilai-nilai dan pranata sosial lain di luar dirinya, pendidikan islam
menampilkan respon yang tidak sama. Nilai-nilai itu misalnya adalah modernisasi,
perubahan pola kehidupan dari masyarakat agraris ke masysrakat industrial, atau
bahkan post-industrial, dominasi ekonomi kapitalis yang dalam beberapa hal
membentuk pola pikir masyarakat yang juga kapitalistik dan konsumtif.
Berdasarkan penggambaran dua jenis pendidikan di atas, maka respon yang
dilahirkan terhadap penetrasi nilai-nilai kontingen ini bisa diwujudkan ke
dalam dua respon: asimilasi dan alienasi.
Respon yang bersifat asimilatif mengandalkan terjadinya persentuhan dan
penerimaan yang lebih terbuka dari nilai-nilai dasar pendidikan Islam dengan
nilai kontingen, baik yang tradisonal maupun modern. Karena sifatnya yang
asimilatif, kategori respon ini agak mengkhawatirkan, karena bisa saja
nilai-nilai baru yang berpenetrasi ke dalam masyarakat di mana pendidikan Islam
itu berlangsung akan lebih dominan daripada nilai-nilai dasar Islamnya.
Sebaliknya, respon yang bersifat alternatif akan menjadikan Islam sebagai
sebuah entitas yang ‘terkurung’ dalam satu ‘ruang asing’ yang terpisah dari entitas
dunia lain. Sistem pendidikan Islam yang memberikan wibawa terlampau besar
kepada tradisi (terutama teks tradisional) dari guru, serta lebih membina
hafalan daripada daya pemikiran kritis; walaupun sejak zaman reformasi Islam,
lebih lagi pada dasawarsa terakhir, dunia Islam menyaksikan berbagai usaha
melepaskannya, sikap tradisionalis tersebut sampai sekarang masih menguasai
dunia pendidikan Muslim.
Tentu saja semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim
yang disebutkan tidak tampil secara merata pada semua periode pemikiran dan
kelompok ilmuwan. Namun pada umumnya bebannya masih terasa dewasa ini. Jika ini
terjadi, secara teoritis, pendidikan Islam tidak akan pernah mampu memberikan
jawaban terhadap tuntutan liberalisasi, dan humanisasi. Baik respon dalam
bentuk asimilasi maupun alienasi sama-sama mengandung kelemahan. Dominasi
nilai-nilai kontingen dalam asimilasi akan menjadikan pendidikan islam kokoh
secara metodologis, memberikan perhatian yang memadai kepada humanisasi dan
liberasi, tetapi menaruh penghargaan yang kecil terhadap persoalan
transendensi. Sementara respon dalam bentuk asimilasi, karena kuatnya berpegang
kepada nilai-nilai inheren pendidikan Islam dan cenderung “menolak” nilai
kontingen, menjadikannya kuat dalam dimensi transendental, tetapi lemah dalam
metodologi, liberalisasi dan humanisasi.
Perubahan masyarakat yang terpenting pada awal abad ke-21 ini, ditandai
dengan perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi yang
sedemikian cepat. Dengan itu dunia menjadi ‘kecil’ dan mudah dijangkau. Apa
yang terjadi di belahan bumi paling ujung dapat segera diketahui oleh
masyarakat yang berada di ujung lain. ² Dalam konteks ekonomi politik,
kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan
memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae
disebut the end of the nation state.³
Dari sisi politik, dapat dikatakan bahwa masyarakat global dewasa ini
sangat dekat dengan isu-isu popular, seperti keterbukaan, hak asasi manusia,
dan demokratisasi. Demikian pula, dari sudut ekonomi, perdagangan, dan pasar
internasional. Atau sebagaimana dikatakan oleh Ahmed dan Donnan. They locked together in what has been referred to as the economic world
system 4
Dalam kerangka struktur berpikir
masyarakat agama, proses globalisasi dianggap berpengaruh atas kelangsungan
perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai agama. Kenyataan tersebut
tidak lagi dapat dibiarkan oleh masyarakat agama. Karenanya, respon-respon
konstruktif dari kalangan pemikir dan aktivitas agama terhadap fenomena di atas
menjadi sebuah keharusan. Dalam alur seperti ini, sebenarnya yang terjadi
adalah dialog positif antara prima facie
norma-norma agama dengan realitas empirik yang selalu berkembang. Meskipun
demikian, penting untuk dicatat, bahwa ‘pertemuan’ (encounter) masyarakat agama dengan realitas empirik tidak selalu
mengambil bentuk wacana dialogis yang konstruktif. Alih-alih yang muncul adalah
mitos-mitos ketakutan yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta yang
membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta-merta menyebabkan posisi agama
berada di pinggiran. Sebagaimana ditulis oleh Ernest Gellner,
“One of the best known and most
widely held ideas in the social sciences is the secularization thesis: in
industrial and industrializing societies, in influence of religion diminishes.
There is a number of versions of this theory: the scientific basis of the new
technology undermines faith, or the erosion of social units deprives religion
of its organizational base, or doctrinally centralized, unitarian, rationalized
religion eventually cuts its own throat”5.
Kekhawatiran-kekhawatiran di atas sepenuhnya dapat dipahami. Meskipun
demikian, hendaknya masyarakat agama tidak kehilangan penglihatan yang lebih
luas. Sebanding dengan berkembangnya proses globalisasi, revitalisasi agama
juga kembali mewarnai diskursus keagamaan sejak dasawarsa 1980-an. Sejak periode
itu, pendulum kehidupan sosial-politik Amerika Serikat-untuk menyebut contoh
kasus sebuah negara yang sering dipandang sebagai ‘sekular’ – bergerak ke
‘kanan’.fenomena ini menandai bangkitnya kesadaran kolektif akan arti penting
agama dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik negara itu. 6
Antara lain
karena berkembangnya pandangan tentang saling berkaitnya antara nilai-nilai
agama dengan masalah yang menyangkut kamaslahatan umum, maka sosiolog seperti
Robert N. Bellah – meskipun tidak meletakkannya dalam konteks agama Katolik
maupun Protestan – melihatnya dalam perspektif civil religion.7 Dalam nada yang sama, Jose Casanova
melihat peran penting agama dalam kehidupan sosial politik di Spanyol,
Polandia, Brazil, dan Amerika Serikat. Itu semua diekspresikannya dalam konteks
bahwa agama itu bukan persoalan pribadi (private),
tetapi justru persoalan publik (public).
Karenanya, agama adalah sesuatu yang seharusnya deprivatized. 8
B. Peran Pendidikan Islam
Baik secara
teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrumen untuk
memahami dunia. 9 Dalam konteks itu, hampir tak ada kesulitan bagi
agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis, lebih-lebih
Islam, hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent
agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang
dikandungnya “hadir di mana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur
sosial, budaya, ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri itu,
dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi
panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia – baik yang bersifat
sosial budaya, ekonomi, maupun politik. 10 Sementara itu, secara
sosiologis, tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi
dan modernisasi. 11
Meskipun
demikian, penting untuk dicatat bahwa kehadiran agama selalu disertai dengan
“dua muka” (janus face). Pada satu
sisi, secara inheren agama memiliki
identitas yang bersifat exclusive,
particularist, dan primordial. Akan
tetapi, pada waktu yang sama juga kaya akan identitas yang bersifat inclusive, universalist dan transcending. 12
Jadi ada dua hal yang harus dilihat dari
gambaran tersebut di atas. Yaitu, memahami posisi agama dan meletakkannya dalam
situasi yang lebih riil – agama secara empirik dihubungkan dengan berbagai
persoalan sosial kemasyarakatan. Dan dalam konteks yang terakhir ini, sering
ditemukan ketegangan antara kedua wilayah tersebut – agama dan persoalan
kemasyarakatan. Untuk meletakkan hubungan antara keduanya dalam situasi yang
lebih empirik, sejumlah pemikir dan aktivitas sosial politik telah berusaha
membangun paradigma yang dipandang memungkinkan. Tentu konstruksi pemikiran
yang ditawarkan antara lain dipengaruhi dan dibentuk oleh asal-usul teologis
dan sosiologis ataupun spacio-temporal serta
particularitas yang melingkup mereka.13
Tapi,
terlepas dari variasi konstruksi pemikiran yang ditawarkan, pada dasarnya ada
tiga aliran besar dalam hal ini. Pertama,
perspektif makanik-holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan
persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua, pemikiran yang mengajukan
proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah (domains)
yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga, pandangan tengah yang mencoba
mengintegrasikan pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antara
agama dengan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin
melunakkan perspektif mekanik holistik yang seringkali melakukan generalisasi,
bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan
masalah kemasyarakatan.
Secara
garis besar, aliran ketiga ini berpendapat bahwa agama dan persoalan
kemasyarakatan merupakan wilayah yang berbeda. Tapi, karena imbasan nilai-nilai
agama dalam persoalan masyarakat dapat terwujud dalam bentuk yang tidak
mekanik-holistik dan institusional, di dalam realitas sulit ditemukan
bukti-bukti yang tegas (brute fact)
bahwa antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Untuk itu, hubungan
antara dua wilayah yang berbeda itu akan selalu ada – dalam kadar dan
intensitas yang tidak sama serta dalam pola dan bentuk yang tidak selalu
mekanistik, formalistik atau legalistik. Seringkali konstruksi polanya
mengambil bentuk inspiratif dan substantif.14
Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim
seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah
maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan
Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan Islam itu berupaya
untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka sudah sewajarnyalah untuk dapat
memahami hakikat pendidikan Islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep
manusia menurut Islam. 15
Al-Qur’an
meletakkan kedudukan manusia sebagai Khalifah Allah di bumi (Al-Baqarah: 30).
Esensi makna Khalifah adalah orang yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin
alam. Dalam hal ini manusia bertugas untuk memelihara dan memanfaatkan alam
guna mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.
Agar
manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah secara maksimal, maka
sudah semestinyalah manusia itu memiliki potensi yang menopangnya untuk
terwujudnya jabatan khalifah tersebut. Potensi tersebut meliputi potensi
jasmani dan rohani.
Potensi
jasmani adalah meliputi seluruh organ jasmaniah yang berwujud nyata. Sedangkan
potensi rohaniah bersifat spiritual yang terdiri dari fitroh, roh, kemauan
bebas dan akal. 16 Manusia itu memiliki potensi yang meliputi badan,
akal dan roh. 17 Ketiga-tiganya persis segitiga yang sama panjang
sisinya. Selanjutnya, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa potensi spiritual
manusia meliputi dimensi: akidah, akal, akhlak, perasaan (hati), keindahan, dan
dimensi sosial. Selain dari itu al-Qur’an menjelaskan juga tentang potensi
rohaniah lainnya, yakni al-Qalb, ‘Aqlu An Ruh, an-Nafs. Dengan bermodalkan
potensi yang dimilikinya itulah manusia merealisasi fungsinya sebagai khalifah
Allah di bumi yang bertugas untuk memakmurkannya.18
Di sisi
lain, di samping manusia berfungsi sebagai khalifah, juga bertugas untuk
mengabdi kepada Allah (Az-Zariyat, 56). Dengan demikian manusia itu mempunyai
fungsi ganda, sebagai khalifah dan sekaligus sebagai ‘abd. Fungsi sebagai
khalifah tertuju kepada pemegang amanah Allah untuk penguasaan, pemanfaatan,
pemeliharaan, dan pelestarian alam raya yang berujung kepada pemakmurannya.
Fungsi ‘abd bertuju kepada penghambaan diri semata-mata hanya kepada Allah.
Untuk
terciptanya kedua fungsi tersebut yang terintegrasi dalam diri pribadi muslim,
maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan
pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai. Agar peserta
didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate
aim) pendidikan Islam, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif
yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang
ingin dicapai.
Agar
peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate
aim) pendidikan Islam, maka suatu permasalahan pokok yang sangat perlu
mendapat perhatian adalah penyusunan rancangan program pendidikan yang
dijabarkan dalam kurikulum. Pengertian kurikulum adalah segala kegiatan dan
pengalaman pendidikan yang dirancang dan diselenggarakannya oleh lembaga
pendidikan bagi peserta didiknya, baik di dalam maupun di luar sekolah dengan
maksud untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Berpedoman
ruang lingkup pendidikan Islam yang ingin dicapai, maka kurikulum pendidikan
Islam itu berorientasi kepada tiga hal, yaitu:
1. Tercapainya
tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
2. Tercapainya
tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia)
3. Tercapainya
tujuan hablum minal’alam (hubungan dengan alam).
Para
ahli pendidikan Islam seperti al-Abrasyi, an-Nahlawi, al-jamali, as-Syaibani,
al-Ainani, masing-masing mereka tersebut telah merinci tujuan akhir pendidikan
Islam yang pada prinsipnya tetap berorientasi kepada ketiga komponen tersebut.
19
Ketiga
permasalahan pokok pendidikan Islam di Indonesia itu melahirkan beberapa
problema lainnya seperti struktural, kulktural dan sumber daya manusia. Pertama, secara struktural
lembaga-lembaga pendidikan Islam negeri berada langsung di bawah kontrol dan
kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Problema yang
timbul adalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama sangat terbatas.
Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatasnya upaya
pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak
melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost per siswa atau mahasiswa.
Berkenaan
dengan masalah struktural ini juga lembaga pendidikan Islam dihadapkan pula
dengan persoalan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
Bagaimana kebijakan Departemen Agama tentang hal ini. Di satu sisi masalah
pendidikan termasuk salah satu dari bagian yang pengelolaannya di serahkan ke
daerah, sedangkan masalah agama tetap berada pengelolaannya di pusat.
Sehubungan
dengan itu perlu dikaji secara cermat dan arif yang melahirkan kebijakan yang
tetap mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan Islam dan juga perlakuan
yang adil dan merata dari segi pendalaman.
Kedua kultural, lembaga pendidikan
Islam, terutama pesant5ren dan madrasah banyak yang menganggapnya sebagai
lembaga pendidikan “kelas dua”. Sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat
muslim untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang
menganggap lembaga pendidikan Islam tersebut sebagai lembaga pendidikan “kelas
dua” dapat dilihat dari outputnya, gurunya, sarana dan fasilitas yang terbatas.
Dampaknya adalah jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan
yang baik, serta yang memiliki kedudukan/jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga
pendidikan Islam seperti di atas.
Ketiganya sumber daya manusia, para
pengelola dan pelaksana pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang terdiri
dari guru dan tenaga administrasi perlu ditingkatkan. Tenaga guru dari segi
jumlah dan profesional masih kurang. Guru bidang studi umum (Matematika, IPA,
Biologi, Kimia dan lain-lain) masih belum mencukupi. Hal ini sangat berdampak
terhadap output-nya.
Hakikat
yang sesungguhnya dari pendidikan Islam itu, adalah pendidikan yang
memperhatikan pengembangan seluruh aspek manusia dalam suatu kesatuan yang utuh
tanpa kompartementalisasi, tanpa terjadi dikhotomi. Pemisahan antara pendidikan
agama dan pendidikan umum, seperti yang pernah dilakukan oleh sebagian umat
Islam, tentulah tidak sesuai dengan konsep pendidikan. Pemisahan yang seperti
itu, dijadikan landasan pemikiran oleh Konferensi Dunia tentang pendidikan
Islam untuk diraih.
“And that them exists at present a regrettable dichotomy in education
the Muslim World, one system, namely, religious education being completely
divorced from the secular sciences and secular education being equally divorced
from religion, although such compartmentalization was contrary to the true
Islamic concept of education and made it impossible for the products of either
system to represent Islam as a comprehensive and integrated vision of life”.20
Melihat
masa depan yang akan datang yang penuh dengan tantangan sudah barang tentu
tidak bisa menyesuaikan permasalahan jika pendidikan Islam tersebut masih
terikat dikhotomi. Berkenaan dengan itu perlu diprogramkan upaya pencapainya,
mobilisasi pendidikan Islam tersebut, misalnya melakukan rancangan kurikulum,
baik merancang keterkaitan ilmu agama dan umum maupun merancang nilai-nilai
Islami pada setiap pelajaran; personifikasi pendidik di lembaga pendidikan
sekolah Islam, sangat dituntut memiliki jiwa keislaman yang tinggi dan; lembaga
pendidikan Islam dapat merealisasikan konsep kurikulum pendidikan Islam
seutuhnya.
C. Era
Globalisasi
Globalisasi adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan
Jepang melakukan ekspansi besar-besaran; kemudian berusaha mendominir dunia
dengan kekuatan teknologi, ilmu pengetahuan, politik, budaya, militer dan
ekonomi.
Pengaruh
mereka di segala bidang terhadap negara-negara berkembang yang baru terlepas
dari belenggu penjajahan berdampak positif dan negatif sekaligus. Berdampak
positif, karena pada beberapa segi ikut
mendorong negara-negara baru berkembang untuk maju secara teknis, serta menjadi
lebih sejahtera secara material. Sedangkan dampak negatifnya antara lain berupa: (1) munculnya teknokrasi
dan tirani yang sangat berkuasa dan; (2) didukung oleh alat-alat teknik modern
dan persenjataan yang canggih.
Ternyata kini
bahwa ilmu pengetahuan, mesin-mesin, pesawat hiper modern dan persenjataan itu
sering disalahgunakan; yaitu dijadikan mekanisme operasionalistik yang menjarah
dan menghancurkan. Sebagai akibatnya timbul banyak perang, penderitaan dan
malapetaka di dunia. Negara-negara maju itu pada banyak segi, terutama di bidang
teknis, ilmu pengetahuan dan manajerial memiliki segugus besar kelebihan dan
kelimpahan, berupa: science, teknik
canggih, industri dan produksi yang berlimpah. Karena itu semua kelimpahan tadi
perlu didistribusikan keluar, dan dijadikan barang dagangan yang menguntungkan.
Oleh sebab itu mereka memerlukan lahan pasar lebih luas lagi untuk menjual
kelebihan hasil produksinya. Maka langkah niaga mereka yang semula bersifat
spontan, damai, ramah, humaniter dan fasifistis, kemudian berubah menjadi
agersif, ekspansif, eksploitatif, menjarah dan imperialistik. Tidak lama
kemudian mereka menjadi kekuatan neo-kolonialisme
(militer-politik-ekonomi) yang cepat mengembangkan sayap kekuasaannya ke negara-negara yang lemah
sistem perekonomiannya.
Sehubungan
dengan nafsu ekspansi mereka itu, teknik dan ilmu pengetahuan yang dijadikan
alat politik dan alat ekonomi perlu disamarkan. Misalnya dalam bentuk: misi
bantuan pengembangan, program pembangunan daerah miskin, misi perdamaian, dana
pampasan, tugas kemanusiaan, program kerjasama pendidikan, misi kebudayaan dan
lain-lain. Maka berkaitan dengan derasnya arus globalisasi yang ditunggangi
aksi-aksi kolonial tersembunyi perlu lebih meningkatkaqn kewaspadaan nasional,
di samping memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Globalisasi
melibatkan pasar kapitalis dan seperangkar relasi sosial dan aliran komoditas,
kapital, teknologi, ide-ide, bentuk kultur, dan penduduk yang melewati batas
nasional via jaringan masyarakat global, transmutasi teknologi dan kapital
bekerja sama menciptakan dunia baru yang mengglobal dan saling berhubung.
Revoluasi teknologi yang menghasilkan jaringan komunikasi komputer,
transportasi, dan pertukaran merupakan pra-anggapan (presumpposition) dari ekonomi global, bersama dengan perluasan dari
sistem pasar kapitalis dunia yang menarik lebih banyak area dunia dan ruang
produksi, perdagangan dan konsumsi ke dalam orbitnya.
Meskipun
ekonomi kapitalis masih penting untuk mamahami globalisasi, teknosainslah (techno-science) yang memberikan
infrastrukturnya. Jadi, kuncinya terletak dalam hubungan dalektis antara
tekno-sains dengan ekonomi kapitalis, atau tekno-kapitalisme (techno-capitalism). Globalisasi dapat
dianalisa secara kultural, ekonomi, politik, dan atau instusional. Dalam
masing-masing kasus, perbedaan kuncinya
adalah apakah seseorang melihat meningkatnya homogenitas atau heterogenitas.
Pada titik ekstrem, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi
transnasional dari kode dan praktik bersama (homogenitas), atau sebagai proses
di mana banyak input kultural lokal dan global saling berinteraksi untuk
menciptakan semacam perpaduan yang mengarah ke pencangkokan kultur
(heterogenitas). Trend menuju homogenitas sering kali diasosiasikan dengan imperialisme kultural atau dengan kata
lain, bertambahnya pengaruh internasional terhadap kultur tertentu. Ada banyak
variasi imperialisme kuktural termasuk yang menekankan peran yang dimainkan
oleh kultur Amerika meskipun dia tak menggunakan istilah inperialisme kultural,
menentang ide tersebut melalui konsepnya yang sangat terkenal, glocalization, di mana dunia global
dilihat berinteraksi dengan dunia lokal untuk menghasilkan sesuatu yang
berbeda, yakni glocal.
Globalitas berarti bahwa mulai sekarang tak ada kejadian di planet kita yang hanya
pada situasi lokal terbatas; semua temuan, kemenangan dan bencana mempengaruhi
seluruh dunia . Globalitas adalah proses baru setidaknya keran tiga alasan. Pertama, pengaruhnya atas ruang
geografis jauh lebih ekstensif. Kedua,
pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil; pengaruhnya terus berlanjut dari
waktu ke waktu. Ketiga, ada densitas
(density) yang lebih besar untuk
“jaringan transnasional, hubungan dan arus pekerjaan jaringan”.21
Michael juga mendaftar sejumlah hal lainnya yang mencolok yang berkaitan dengan
globalitas ketika membandingkannyan dengan manifestasi lain dari
transnasionalitas antara lain: (1) kehidupan sehari-hari dan interaksi lintas
batas negara semakin terpengaruh; (2) ada persepsi diri tentang
transnasionalitas ini dalam bidang-bidang seperti media massa, konsumsi, dan
pariwisata (tourism); (3) komunitas,
tenaga kerja, kapital semakin tak bertempat (placeless); (4) bertambahnya kesadaran tentang bahaya global dan
tindakan yang harus diambil untuk menanganinya; (5) meningkatnya persepsi
transtruktural dalam kehidupan kita; (6) industri-industri kultur global
beredar pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan; (7) peningkatan
dalam jumlah dan kekuatan aktor-aktor, institusi, dan kesepakatan
transnasional. 22
Ada dua event yang hampir bersamaan munculnya pada saat
bangsa Indonesia memasuki milenium ketiga. Pertama
globalisasi, diakibatkan kemajuan ilmu dan teknologi terutama komunikasi
dan transportasi sehingga dunia semakin menjadi tanpa batas. Dalam budaya
global ini ditandai dalam bidang ekonomi perdagangan akan menuju terbentuknya
pasar bebas, baik dalam kawasan ASEAN, Asia Pasifik bahkan akan meliputi
seluruh dunia. Dalam bidang politik akan tumbuh semangat demokratisasi.
Dalam bidang
budaya akan terjadi pertukaran budaya antarbangsa yang berlangsung begitu cepat
yang saling mempengaruhi, dalam bidang sosial akan muncul semangat konsumeris
yang tinggi disebabkan pabrik-pabrik yang memproduksi kebutuhan konsumeris akan
berupaya memproduk barang-barang baru yang akan bertukar dengan cepat pada setiap
saat dan merangsang manusia untuk memilikinya.
Event kedua adalah reformasi, dalam era
reformasi ini diharapkan akan muncul Indonesia baru. Wajah baru Indonesia ini
akan memunculkan perbedaan yang kontras dengan wajah lamanya. Wajah baru
Indonesia itu adalah wajah baru yang akan memunculkan masyarakat madai, yakni
masyarakat berperadaban dengan menekankan kepada demokratisasi dan hak-hak
asasi manusia, serta hidup dalam berkeadilan.
D.
Kesimpulan
Berdasarkan
berbagai hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam hal-hal berikut
ini:
1. Pendidikan Agama sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan
nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat
meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status
sosial, alat menguasai teknologi, serta media untuk menguak rahasia alam raya
dan manusia.
2.
Pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi muslim sepenuhnya,
mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh
suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam
semesta dengan cara mengembangkan aspek struktural, kultural dan berupaya
meningkatkan sumber daya manusia guna mencapai taraf hidup yang paripurna.
3.
Era globalisasi memunculkan era kompetisi yang berbicara keunggulan,
hanya manusia unggul yang akan survive di
dalam kehidupan yang penuh persaingan, karena itu salah satu persoalan yang
muncul bagaimana upaya untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Membentuk
manusia unggul partisipatoris, yakni manusia yang ikut serta secara aktif dalam
persaingan yang sehat untuk mencari yang terbaik. Keunggulan partisipatoris
dengan sendirinya berkewajiban untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi
manusia yang akan digunakan dalam kehidupan yang penuh persaingan juga semakin
tajam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Akbar S. and Davis M.
Hart (eds.).1984. Islam in Tribal
Societies: From the Atlas to the Indus. : London: Routledge and Kegan Paul.
Al-Qur’an al-Karim
Asy-Syaibani, Umar Muhammad At-Toumy. 1975. Falsafah atTarbiyyah al-Islamiyyah. Trabulus: Asy-Syirkah al-Ammah.
Ayubi, Nazih. 1991. Political
Islam; Religion and Political in the Arab World, London: Routledge.
Bellah, Robert N.1991. Civil Religion in America, dalam Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a
Post-Traditionalist World. Berkeley
and Los Angeles: University of California Press.
Casanova, Jose. 1994. Public Religions
in The Modern World. Chicago and London: The University of Chicago Press.
Chossudovsky, Michael. 1997. The
Globalization of Poverty: Impact of IMF and World Bank Reforms. Penang:
Third World Book.
Daradjat, Zakiah. 1984. Pembinaan
Dimensi Rohaniyah Manusia dalam Pandangan Islam. Medan: IAIN.
Daulay, Haidar Putra. 2004. Pendidikan
Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada
Media.
Gutmann, Amy and Dennis Thompson. 1989.Ethics and Politics: Case and Commentaries. Chicago: Nelson Hall Publishers.
Johnson, Benton. 1985. Religion and Politics in America: The Last Twenty
Years, dalam Phillipe E. Hammond
(ed.), The Secred in a Secular. Berkeley,
Los Angeles, London: University of California Press.
Langgulung, Hasan. 1986. Manusia
dan Pendidikan Suatu Analisa Psikhologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka
Al-Husna.
Ohmae, Kenichi. 1995. The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies. London: Harper Collins
Publishers.
Pocock, J.G.A. 1989. Politics,
Language, and Time: Essay on Political Thought and History. Chicago:
University of Chicago Press:
0 comments:
Post a Comment