Sunday, 28 September 2014

PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH



 A.  Pendahuluan
Berakhirnya Era Orde Baru di Indonesia membawa banyak perubahan pada tatanan sosial-politik di negara ini. Perubahan tersebut tidak lepas dari semangat untuk terlepas dari sejarah uniformalisme Orde Baru. Dipahami bersama, bahwa pemerintah Orde Baru atas nama pembangunan mengedepankan tiga stabilitas negara, yaitu stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan. Demi mempertahankan ketiga stabilitas tersebut pemerintah Orde Baru melakukan berbagai upaya yang dampaknya pada penyeragaman berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk pendidikan.

Dalam dunia pendidikan,  kita melihat bahwa pemerintah Orde Baru menerapkan sistem sentralisasi (centralized system). Hal ini berimplikasi pada kewenangan mutlak pemerintah pusat dalam pengelolaan berbagai aspek pendidikan, antara lain berupa sistem pendidikan, kurikulum, sumber daya manusia, pengadaan media dan sumber belajar, hingga anggaran pendidikan. Walhasil, pemerintah daerah dan institusi pendidikan tidak memiliki ruang untuk berkreasi dan berinovasi untuk mengembangkan pendidikan di lingkungannya masing-masing.
Sistem sentralisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia berakhir seiring dengan berakhirnya Era Orde Baru. Ini menandakan betapa pendidikan tidak bisa terlepas dari dunia politik. Era Reformasi membuka lembaran baru pengelolaan pendidikan di Indonesia. Pada Era ini, kita mengenal sistem pendidikan yang desentralistik (decentralized system). Sistem ini mengurangi kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan, dan memberikan otoritas lebih beasr kepada pemerintah daerah hingga institusi pendidikan untuk menentukan masa depan anak-anak mereka.
Peralihan sistem ini, pada mulanya disambut dengan antusias, karena di samping sebagai bukti nyata keseriusan pemerintah pasca orde baru untuk mengelola negara secara bersama-sama dengan cara berbagi kewenangan, juga dipandang memberikan peluang para pemangku otoritas pendidikan di berbagai jenjang untuk berkreasi dan melakukan inovasi sesuai dengan kondisi lingkungannya. Dinas pendidikan daerah, yang dulu merupakan Kanwil Departemen Pendidikan, memiliki otoritas lebih besar untuk mengatur lembaga-lembaga pendidikan di daerahnya dalam berbagai aspeknya. Demikian juga halnya dengan lembaga-lembaga pendidikan, mereka memiliki otoritas yang lebih besar untuk menentukan apa yang harus diajarkan di sekolah-sekolah  mereka.
Namun demikian, belakangan muncul rasa skeptis atas keberhasilan pengelolaan pendidikan dengan pola desentralisasi ini. Berbagai persoalan muncul sebagai dampak diberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan di wilayahnya. Bahkan Kepala Balitbang Kemendikbud mengemukakan bahwa “pelaksanaan otonomi pendidikan yang telah berlangsung lima tahun lebih kerap mengalami banyak hambatan dan permasalahan, yang berpotensi mengganggu efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme pengelolaan pendidikan.”[1] Pernyataan tersebut secara tegas menunjukkan bahwa penyelenggaraan otonomi pendidikan membawa sejumlah masalah serius yang perlu menjadi keprihatinan bersama. Tulisan ini mencoba mengidentifikasi berbagai keuntungan dan persoalan yang dijumpai dengan diberlakukannya otonomi pendidikan. Di bagian akhir akan disampaikan beberapa poin pemikiran yang perlu didskusikan lebih lanjut.

B.  Mengapa Otonomi Pendidikan?
Desentralisasi bidang pendidikan, yang lazim juga disebut sebagai otonomi pendidikan, sebenarnya bukanlah kebijakan yang diambil tanpa landasan. Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa desentralisasi pendidikan ini dilaksanakan di Indonesia.
Pertama adalah alasan psikologis. Seperti disebutkan di muka, kebijakan sentralisasi pendidikan yang dilakukan olehPemerintah Orde Baru menutup potensi kreativitas, inovasi dan bahkan kearifan lokal yang dimiliki oleh daerah. Di samping itu pemerintah daerah pun hampir tidak memiliki otoritas terhadap lembaga-lembaga pendidikan di wilayah mereka. Kedua hal ini seolah bukan masalah ketika Orde Baru berkuasa, tetapi menjadi persoalan ketika rezim Orde Baru berakhir. Sistem pendidikan yang sentralistik diduga telah menyebabkan mandulnya kreativitas dan inovasi para guru dan pengelola lembaga-lembaga pendidikan, karena semua rencana dan bahan pelajaran dibuat secara seragam oleh pemerintah pusat. Demikian juga, sistem tersebut telah menyebabkan hilangnya berbagai kearifan lokal dan kemampuan otoritas pendidikan dareha untuk memaksimalkan sumber daya setempat, karena mayoritas keputusan penting ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Meski tidak banyak muncul di permukaan ketika orde baru berkuasa, namun hal-hal di atas tetap terpendam dan menjadi keprihatinan banyak praktisi dan pemikir pendidikan. Mereka meyakini, bahwa meskipun sentralisasi pendidikan dalm batas-batas tertentu diperlukan untuk menjada persatuan, namun dalam beberapa hal menjadi kontra produktif, terutama karena penyeragaman.
Ketika kekuasaan Orde Baru berakhir dan euforia reformasi menggejala di Indonesia, tuntutan untuk menyerahkan sebagian (besar) kebijakan, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan kepada otoritas daerah dan lembaga pendidikan semakin menguat. Kritik terhadap sentralisasi pun semakin terbuka.
Kedua adalah alasan politis. Ini berkaitan erat dengan alasan psikologis di atas. Salah satu aspek politik adalah kekuasaan, termasuk di dalamnya kekuasaan atau kewenangan dalam pengelolaan pendidikan. Pada masa Orde Baru, otoritas pendidikan di daerah tetap di bawah kewenangan pemerintah pusat. Hal ini diwujudkan dengan adanya kantor-kantor wilayah departemen pendidikan di setiap propinsi dan kantor departemen pendidikan di setiap kabupaten/kota, yang merupakan bagian dari struktur pemerintah. Struktur ini menunjukkan bahwa berbagai kewenangan pendidikan, dari mulai penetapan kurikulum hingga pengangkatan kepala sekolah dan guru merupakan kewenangan pusat.
Seiring dengan tuntutan untuk pendelegasian kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, tuntutan untuk memberikan kewenangan dalam bidang pendidikan pun tidak terelakkan. Pemerintah daerah merasa perlu memiliki kewenangan lebih besar dalam hal kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan.
Ketiga, alasan hukum. Alasan hukum di sini lebih merupakan implikasi dari ketentuan yang telah ditetapkan. Karena alasan psikologis dan politis di atas, dipicu dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru, maka lahirlah Undang-Undang yang mengatur sekaligus memberi kekuasaan yang lebih besar pemerintahan daerah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara resmi mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Undang-Undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur Pemerintahan Daerah.
Beberapa Undang-Undang di atas merupakan landasan diberikannya kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Kewenangan itu diberikan dengan pertimbangan antara lain bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan pendidikan di daerah masing-masing, sehingga diharapkan dapat membuat program dan kebijakan yang secara langsung menyentuh kebutuhan pendidikan di daerah. Harapan lebih lanjutnya kemudia adalah terjadinya akselerasi pembangunan sektor pendidikan sebagai wahana penyiapan sumber daya manusia Indonesia masa depan.
Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa otonomi daerah, termasuk otonomi pengelolaan pendidikan, bukan semata-mata keinginan pihak tertentu, tetapi lebih merupakan kebutuhan sosiologis dan dorongan psikologis yang kuat dari masyarakat. Kelahiran Undang-Undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan otonomi daerah lebih merupakanlegalitas yang mengakomodasi berbagai tuntutan di atas.
Ada dua implikasi utama dari pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan oleh daerah dan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Dalam hal penyelenggaraan pendidikan oleh daerah, kementerian pendidikan dan kebudayaan tidak lagi memiliki kantor wilayah di provinsi dan kantor departemen di kabupaten/kota. Peran kantor wilayah dan kantor departemen diambil alih oleh dinas pendidikan yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Implikasi lebih lanjut dari pemberlakuan hal ini adalah penyaluran anggaran pendidikan lewat pemerintah daerah, pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan oleh daerah, dan pengelolaan tenaga pendidik dan tenaga pendidikan oleh daerah.
Dalam hal pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah, yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah pusat memberikan sebagian besar otoritas pengembangan kurikulum kepada masing-masing lembaga pendidikan, dengan mengacu kepada peraturan-peraturan pendidikan yang berlaku. Peraturan-peraturan yang dimaksud antara lain UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal penyusunan kurikulum ini pemerintah pusat membuat model kurikulum KTSP dan menentukan standar kompetensi dari berbagai pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut. Selebihnya masing-masing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi kekhasan daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran yang tidak menjadi memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah.

C.  Implikasi positif
Pemberlakuan otonomi daerah dalam bidang pendidikan memiliki aspek yang sangat luas dan meliputi berbagai faktor seperti pengelolaan anggaran, pemanfaatan sumder daya manusia, dan pengembangan potensi lokal lainnya. Kebijakan ini tidak dapat dipungkiri telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk lebih terlibat dalam pengambilan berbagai kebijakan pendidikan. Diharapkan dengan dekatnya pengambil keputusan dengan institusi yang melaksanakan keputusan tersebut, maka kesenjangan antara harapan dan kenyataan menjadi kian sempit. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan tentang pendidikan diharapkan semakin memperhatikan kebutuhan lembaga-lembaga pendidikan dan para peserta didik, serta semakin aplikatif untuk dilaksanakan.
Ada berbagai dampak positif dari diberlakukannya otonomi daerah dalam hal pendidikan ini. Berbagai dampak positif ini diharapkan dapat memacu pertumbuhan pendidikan nasional, baik dalam hal kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, pertumbuhan pendidikan dapat dilihat dari meningkatnya akses dan angka partisipasi pendidikan di tiap jenjangnya. Sementara secara kualitatif, peningkatan pendidikan dapat diukur dengan prestasi dan kualitas hasil pendidikan yang dihasilkan. Dengan pemberian otoritas lebih besar kepada pemerintah daerah, ada semacam semangat kompetisi di antara para pemegang otoritas pendidikan antara daerah untuk menunjukkan keberhasilan mereka di bidang pendidikan. Beberapa dampak positif pemberlakuan otonomi daerah bidang pendidikan antara lain adalah kemandirian daerah, pemanfaatan potensi lokal secara maksimal, dan Lebih peka terhadap kebutuhan lokal.

1.      Kemandirian
Dengan pemberian otoritas  kepada daerah untuk mengelola urusan pendidikan, maka pemerintah daerah dituntut untuk mengelola penyenggaraan pendidikan mereka secara mandiri, dan mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Kemandirian ini diwujudkan antara lain dengan anggaran pendidikan yang dikelola oleh pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga diberi keleluasaan untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya pendidikan. Sekolah dan guru yang semula menjadi bagian dari pengelolaan Departemen Pendidikan Nasional diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Hal ini memberikan kesempatan sekaligus juga tantangan kepada pemerintah daerah untuk benar-benar mampu mengelola penyelenggaraan pendidikan.
Tantangan yang besar buat pemerintah daerah, terutama di masa-masa transisi dari sentralisasi ke desentralisasi adalah meningkatkan kapasitas, kreativitas dan sensitivitas dalam hal pengelolaan pendidikan. Kapasitas dimaksud di sini adalah kemampuan mengelola kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Otoritas pendidikan daerah tentu perlu dibekali dengan penguasaan terhadap berbagai aspek pengelolaan pendidikan dari keuangan, kurikulum, pengembangan SDM, dan hubungan dengan para pemangku kepentingan pendidikan di daerah. Kreativitas yang perlu dimiliki oleh otoritas pendidikan daerah ialah berkaitan bagaimana pengelolaan pendidikan terus berinovasi untuk membuat proses pendidikan lebih mudah diakses, lebih memberikan motivasi bagi siswa, dan dengan hasil yang lebih berkualitas. Di sini, para pemangku otritas pendidikan daerah diharapkan memiliki visi dan imaginasi penyelenggaran pendidikan yang accessible, menyenangkan dan berkualitas. Sensitivitas diperlukan untuk mampu melihat kebutuhan dan persoalan pendidikan daerah setempat, sehingga mampu memberikan layanan pendidikan yang benar-benar membumi.
Kapasitas, kreativitas dan sensistivitas dalam pengelolaan pendidikan ini penting untuk memastikan bahwa kewenangan besar yang diberikan kepada otoritas pendidikan daerah benar-benar mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Implikasi dari pemberian kewenangan yang lebih besar ini adalah akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Otoritas yang besar haruslah dimanfaatkan secara positif untuk meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan, bukan sekedar sarana unjuk kekuasaan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengelola penyelenggaraan pendidikan yang akuntabel.[2] Akuntabilitas ini penting sebagai wujud keseimbangan antara kekuasaan dan pertanggung-jawaban.

2.      Memaksimalkan Potensi
Setiap daerah memiliki potensi masing-masing dalam hal pendidikan. Berbagai potensi tersebut tidak terperhatikan ketika pengelolaan pendidikan dilangsungkan secara sentralistik, karena terjadi penyeragaman dalam berbagai kebijakan, pengelolaan dan kegiatan pendidikan. Pemberian otoritas pendidikan yang lebih besar kepada daerah memberikan peluang bagi setiap daerah untuk mampu memanfaatkan dan mengembangkan potensi pendidikan yang dimiliki. Potensi dimaksud meliputi potensi lembaga, potensi sumberdaya manusia dan potensi kearifan lokal.
Dalam hal potensi lembaga, banyak daerah yang memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu kelebihan pengelolaan lembaga pendidikan yang dimiliki daerah. Hal lain yang sering menjadi keunggulan sebuah lembaga pendidikan adalah budaya sekolah yang diciptakan. Budaya sekolah merupakan faktor penting bagi pendidikan karakter siswa.
Potensi sumberdaya manusia meliputi kepemimpinan, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Salah satu tantangan pengelolaan pendidikan di Era Otonomi daerah menurut Abuddin Nata adalah bagaimana melahirkan kepemimpinan baru.[3] Meskipun banyak teori dan pelatihan kepemimpinan, tetapi pemimpin yang seberanya baru akan lahir ketika dituntut untuk mengelola tanggung jawab yang besar lengkap dengan berbagai permasalahan yang melingkupinya. Di samping itu, daerah diberi keleluasaan untuk mengelola potensi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang dimilikinya, karena semua tenaga pendidik dan kependidikan yang semua menjadi bagian departemen pendidikan diserahkan kepada daerah masing-masing. Hal ini tentu menguntungkan bagi daerah-daerah yang telah memiliki kualitas sumberdaya manusia lebih baik dibanding daerah yang lain. Bagi daerah yang kualitas SDMnya belum memadai tentu punya kesempatan untuk memprioritaskan pengembangan SDM ini, sehingga mampu mengejar ketertinggalan dari daerah lain.
Setiap daerah di Indonesia kaya akan kearifan lokal (local wisdom) dengan berbagai bentuk dan variasinya. Otonomi daerah di bidang pendidikan memberikan kesempatan bagi para pemangku otoritas untuk memanfaatkan berbagai kearifan lokal tersebut, melestarikannya, bahkan menggali berbagai potensi kearifan lokal yang belum dimanfaatkan. Salah satu bentuk kearifan lokal adalah hubngan antar pemeluk agama di sebuah daerah yang multi-iman. Praktek kerukunan yang sudah berlangsung bertahun-tahun di masyarakat hendaknya menjadi bagian dari pendidikan di sekolah, sehingga nilai-nilai kebersamaan tidak mudah luntur oleh pengaruh dari luar yang mungkin menguatkan keberagamaan seseorang tetapi melunturkan nilai-nilai kebersamaan.

3.      Kebutuhan lokal
Pemberian otoritas yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan telah mendekatkan pengambil kebijakan pendidikan dengan pelaksana pendidikan, yaitu sekolah dan para guru, dan konsumen pendidikan, yaitu masyarakat. Meskipun pendidikan nasional memiliki tujuan[4] yang sama dan karenanya materi pendidikan pun banyak memiliki kesamaan, namun tidak dapat dapat dipungkiri bahwa setiap daerah memiliki beberapa perbedaan dalam hal kebutuhan pendidikan. Kekhasan daerah akan kebutuhan tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi geografis, pengaruh praktek pendidikan di masa lalu, input pendidikan yang tidak merata dan warisan budaya setempat.
Otoritas pendidikan yang sensitif akan berbagai persoalan pendidikan akan mampu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang secara spesifik dimiliki oleh daerah maupun oleh lembaga-lembaga pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan sarana-prasarana, pengembangan SDM, materi pendidikan, dan layanan khusus. Kemampuan otoritas pendidikan daerah dalam memperhatikan kebutuhan pendidikan daerahnya pada gilirannya akan mampu meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan.

D.  Dampak Negatif
Di samping berbagai manfaat dari diberlakukannya sistem desentralisasi pendidikan sebagaimana tersebut di atas, tidak dapat dipungkiri munculnya persoalan-persoalan baru yang perlu mendapat perhatian serius. Berikut adalah beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian bersama.

1.      Lokalisasi SDM
Kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola SDM pendidikan seringkali memunculkan sentimen kedaerahan yang berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari. Kewenangan yang besar kepada daerah untuk mengelola sumber daya manusia di bidang pendidikan di daerahnya menyebabkan mengecilnya peluang perpindahan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari satu daerah ke daerah lain, sehingga proses pembauran antar etnis dari berbagai daerah di Indonesia mengalami hambatan. Hal ini mungkin tidak begitu nampak di kota-kota besar yang multi-etnis, namun akan terasa dampaknya di berbagai daerah yang  relatif homogen secara etnis.
Memang lokalisasi ini membuka kesempatan lebih besar kepada para putra daerah untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, namun ada dua hal penting yang perlu diperhatikan ketika terjadi lokalisasi SDM secara besar-besaran. Pertama, kesempatan siswa dan guru untuk berinteraksi dengan orang dari daerah atau etnis yang berbeda menjadi sangat sedikit. Kehadiran guru-guru dari daerah atau etnis yang berbeda di sekolah akan mendidik siswa untuk mengenal berbagai etnis yang ada di tanah air, sehingga mereka sadar bahwa etnis mereka bukanlah satu-satunya etnis yang ada di tanah air. Kedua, lokalisasi SDM seringkali berakibat pada kekurangan tenaga pendidik untuk materi tertentu karena tingginya kebutuhan sekolah-sekolah di satu daerah terhadap tenaga pendidik tersebut. Sementara sumberdaya manusia yang dimiliki sangat tidak memadai. Akibatnya, banyak daerah memaksa tenaga pendidik yang ada untuk mengajarkan materi pelajaran di luar bidang keahliannya guna memenuhi tuntutan atas ketersediaan guru di bidang-bidang tertentu tersebut.
M. Hidayat mengidentifikasi dua hal persoalan penting dalam hal SDM yang menyebabkan pendidikan di Era Otonomi Daerah tidak bejalan dengan baik, yaitu guru yang kurang profesional dan pejabat yang tidak kompeten.[5]

2.      Ketidaksiapan daerah
Tidak semua daerah memiliki sumberdaya manusia yang memiliki kesiapan yang sama untuk mengelola pendidikan secara baik. Ada daerah yang merespon kewenangan yang besar ini dengan berbagai program yang bertujuan untuk memajukan pendidikan di daerahnya, baik dalam bentuk peningkatan kesejahteraan guru, penyediaan sarana dan prasarana inti dan penunjang yang memadai, pembentukan unit-unit penunjang penyelenggaraan pendidikan, dan sebagainya. Namun demikian, tidak sedikit pula daerah yang melihat pemberian kewenangan ini sebagai peluang untuk berbuat yang menguntungkan bagi peribadi atau kelompoknya.
Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran pendidikan, keberpihakan pada pihak-pihak tertentu yang tidak berorientasi pada kualitas, penerimaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang kurang selektif, dan pembuatan program-program yang yang tidak secara substansial menyentuh kebutuhan pendidikan. Meskipun kecurigaan ini perlu dibuktikan secara fakta dan hukum, namun fenomena yang sering ditutup-tutupi ini seolah telah menjadi rahasia umum di berbagai daerah.
Di atas nampak ketidaksiapan daerah dalam hal pengelolaan pendidikan, terutama kemampuan sumberdaya manusia daerah mengelola penyelenggaraan pendidikan yang akuntabel. Di samping itu, ketidaksiapan juga dapat dilihat dari ketersediaan fasilitas pendidikan di daerah-daerah. Daerah-daerah baru yang merupakan pemekaran dari provinsi atau kabupaten yang sudah lebih dulu ada seringkali masih belum memiliki perangkat, fasilitas dan sarana pendidikan yang memadai.
Efek lebih lanjut dari ketidak siapan daerah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan adalah adanya kesenjangan prestasi belajar siswa dari berbagai daerah. Sudah dapat dipastikan bahwa daerah atau kota yang memiliki pendapatan daerah yang lebih besar, fasilitas, sarana dan parasarana pendidikan yang lebih lengkap, serta sumberdaya manusia yang lebih baik mampu menyelenggarakan pendidikan yang lebih berkaulitas serta hasil pendidikan yang lebih kompeten. Sementara sebaliknya daerah-daerah yang memiliki sumber anggaran yang lebih kecil, fasiltas dan sarana yang belum lengkap serta sumberdaya manusia yang belum maksimal, tentu akan sulit mengejar ketertinggalan. Daerah-daerah pada kelompok kedua inilah yang dapat dikatkan kurang siap untuk menyelenggarakan pendidikan secara desentralistik.

3.      Berorientasi Nilai dan kelulusan
Pemerintah pusat berupaya meminimalisir kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah dengan penerapan standar nasional pendidikan[6] dan penyelenggaraan ujian nasional. Standar nasional mengamanatkan adanya delapan standar yang harus ditetapkan oleh pemerintah guna menghindari kesenjangan kualitaspendidikan, yaitustandarisi,standar proses,standarkompetensilulusan,standarpendidikdantenagakependidikan,standarsaranadanprasarana,standarpengelolaan,standarpembiayaan, danstandarpenilaianpendidikan.[7]
Di samping penetapan dan pemberlakuan berbagai standar pendidikan di atas, ujian nasional merupakan salah satu perangkat yang diharapkan mampu mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan. Dengan naskah ujian yang dibuat oleh pemerintah pusat, seluruh siswa yang akan menyelesaikan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah harus mengikuti ujian akhir, dan harus mencapai standar nilai minimum yang ditetapkan untuk dianggap lulus. Diharapkan pemberlakuan ujian nasional ini dapat memacu para pengemban otoritas pendidikan daerah untuk mampu meningkatkan kualitas pendidikan di daerahnya masing-masing sehingga tidak tertinggal dari daerah lain. Ukurannya adalah pemenuhan nilai standar minimum yang ditetapkan. Di sinilah persoalan besar mulai mengintai.
Bagi sebagian pemerintah daerah, amanat standar nasional pendidikan dan ujian nasional ini merupakan tuntutan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di wilayahnya. Bagi sebagian pemerintah daerah yang lain, pemberlakuan ujian nasional merupakan tuntutan untuk menghasilkan siswa yang memiliki hasil ujian yang berada di atas nilai minimum nasional. Perbedaan dalam memandang persoalan ini berimplikasi besar terhadap etika penyelenggaraan pendidikan. Jika pandangan kelompok yang pertama lebih kepada penyediaan layanan pendidikan yang berorientasi kualitas, maka kelompok yang kedua lebih berupaya bagaimana memperoleh nilai ujian yang melebih standar minimum yang ditetapkan, maka kemudian banyak daerah yang mencanangkan lulus UN 100% sebagai target pencapaian bidang pendidikan. Target yang ditetapkan oleh kepala daerah kemudian disosialisasikan oleh dinas pendidikan dan dibebankan kepada para kepala sekolah untuk pencapaiannya.
Banyak kepala sekolah yang menyadari keterbatasan dan rendahnya kulitas pendidikan yang dimiliki sekolahnya, tetapi mereka tetap dituntut untuk memaksimalkan jumlah lulusan ujian nasional dari lembaga-lembaga pendidikan mereka. Walahsil, berbagai cara, dari yang halal hingga yang haram pun dilakukan. Contoh upaya halal yang menganggu proses pendidikan adalah try-out yang dilakukan berulang-ulang dan pengurangan jumlah jam pelajaran non-UN. Sementara cara haram yang masih ditemukan dalam proses ujian nasional adalah pembocoran naskah ujian ataupun kunci jawabanya dan melakukan kerjasama dengan para pengawas ujian dan pengawas indepneden untuk membiarkan terjadinya perilaku curang dan tidak jujur dalam pelaksanaan ujian nasional.
Orientasi nilai ujian nasional yang menjadi tujuan penyelenggaraan pendidikan daerah dan lembaga-lembaga pendidikan pada gilirannya menciderai bahkan merusak mental penyelenggara pendidikan dan terlebih parah lagi mental para siswa. Seolah prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan menjadi bagian dari proses pendidikan kita.

4.      Hilangnya narasi besar pendidikan
Ada satu hal penting yang hilang dari dunia pendidikan kita seiring dengan berlakunya desentralissasi pendidikan, yaitu narasi besar pendidikan nasional. Pada masa lalu, kita sering mendengar nasionalisme dan patriotisme sebagai nilai yang harus ditanamkan lewat pendidikan. Lebih dari itu, nasionalisme dan patriotisme tersebut juga mewarnai berbagai kegiatan lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Karena itu, tidak heran jika ada kurikulum resmi yang berorientasi pada nasionalisme dan patriotisme, serta ada aktivitas ekstrakurikuler yang berorientasi pada nasionalisme dan patriotisme.
Pada masa orde baru, Pendidikan Pancasila menjadi sebuah narasi besar yang mewarnai hampir seluruh kegiatan berbangsa dan bernegara. Seluruh lembaga formal pendidikan dan lembaga-lembaga non kependidikan diwarnai dengan semangat internalisasi nilai-nilai Pancasila. Terlepas dari hal-hal negatif yang dibawa, pendidikan Pancasila telah menjadi wabah di seluruh Indonesia dan menjadi narasi besar pendidikan nasional.
Dewasa ini, pendidikan kita kehilangan narasi besarnya, sehingga pendidikan nasional seperti kehilangan kepentingan untuk diperjuangkan bersama. Pentingnya narasi besar pendidikan dinyatakan oleh Neil Postman dalam karya provokatifnya “The End of Education.” Menurut Postman, pendidikan memerlukan sebuah narasi bersama yang menegaskan identitas bersama, kepentingan bersama dan nilai-nilai moral yang dianut bersama.[8] Ketiadaan narasi besar yang menyuarakan kepentingan bersama dalam konteks negara, menyebabkan berkurangnya nilai-nilai komunalitas sebagai bangsa. Jika kondisi ini dibiarkan tentu negara ini hanya akan menjadi kumpulan kelompok-kelompok orang yang memiliki dan memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
Melihat fenomena yang hadir di dunia pendididikan dewasa ini, dengan ketidakjelasannya narasi bersama dalam pendidikan, maka tidak mengherankan jika para penyelenggara pendidikan, baik di birokrasi pemerintahan, di lembaga pendidikan negeri dan lembaga pendidikan swasta, lebih memprioriatskan kepentingan kelompok kecil mereka dan kurang memeperhatikan kepentingan bersama. Masalahnya adalah tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan kepentingan bersama dalam pendidikan.Di sinilah nampak bahwa pendidikan kita seperti kehilangan nilai-nilai sejatinya. Pendidikan seolah-olah hanya dijadikan sebagai instrumen untuk menciptakan manusia yang cerdas dan berprestasi.
Ada beberapa narasi bersama yang sering dimunculkan saat ini. Di antaranya adalah internasionalisasi pendidikan dan pendidikan karakter. Dua istilah tersebut dewasa ini ramai dibincangkan dan dikesankan menjadi kepentingan bersama-sama dalam hal pendidikan. Namun demikian keduanya masih perlu diuji lebih lanjut kelayakannya untuk dapat menjadi narasi bersama dalam pendidikan.

E.   Diskusi
Politik dan pendidikan adalah dua dari beberapa tema yang senantiasa menarik minat banyak orang untuk berdiskusi. Politik, meski sebatas wacana, sering menjadi bahan diskusi dari berbagai kalangan masyarakat, baik secara formal maupun nonformal. Pendidikan juga sering menjadi bahan diskusi karena penyelenggaraan pendidikan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Jika masing-masing dari tema politik dan pendidikan telah menjadi tema yang senantiasa menarik untuk didiskusikan, maka tentu akan lebih menarik jika kedua tema itu digabungkan.  Tema Pendidikan dan Otonomi Daerah merupakan tema yang menggabungkan dua tema terpisah di atas. Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan sistem pendidikan yang desentralistik telah melahirkan berbagai persoalan baru di dunia pendidikan sebagaimana telah dijelaskan di muka. Melihat berbagai persoalan di atas, maka perlu didiskusikan lebih lanjut mengenai hal-hal berikut ini.

1.      Pentingnya narasi besar
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ketiadaan narasi bersama dalam pendidikan telah menyebabkan dunia pendidikan kehilangan misi besarnya. Saat ini ketiadaan narasi itu seolah-olah tertutupi oleh adanya upaya daerah-daerah untuk berkonsentrasi pada peningkatan berbagai aspek pendidikan.  Namun pada gilirannya, ketiadaan narasi bersama dalam pendidikan dapat menurunkan kulitas pendidikan dan runtuhnya nilai-nilai kebangsaan.
Pendidikan yang tidak memiliki narasi bersama, adalah pendidikan yang tidak memperhatikan humanitas manusia. Hal ini karena pendidikan tersebut lebih berorientasi pada kompetensi siswa setelah belajar, bukan pada kualitas pribadi siswa itu sendiri. Oleh karena itu, Postman berpendapat bahwa pendidikan baru dapat dikatakan bermakna apabila guru, orangtua, dana para siswa memiliki kesamaan pandangan dalam melaksanakan pendidikan, baik formal, nonformal dan informal.[9]
Tantangan besar dunia pendidikan dewasa ini adalah memastikan bahwa pendidikan kita memiliki sebuah narasi besar yang mencerminkan kepentingan bangsa dan negara secara umum. Kepentingan bangsa dan negara yang merupakan kepentingan dan kepedulian bersama dapat diwujudkan dalam sebuah narasi besar pendidikan yang akan menjadi rujukan bagi berbagai pihak penyelenggara pendidikan baik formal, nonformal, maupun informal. Oleh karena itu, rumusan mengenai narasi pendidikan harus diperhatikan secara bersama-sama, sehingga kita tidak terjebak pada penyelenggaraan pendidikan yang normatif dan administratif.

2.      Orientasi kualitas bukan formalitas
Ada dua fenomena yang belakangan ini menggejala di sekolah-sekolah di Indonesia, yaitu perhatian yang begitu besar terhadap ujian nasional dan keinginan untuk internasionalisasi pendidikan. Bila diperhatikan, sikap berbagai lembaga pendidikan terhadap dua hal tersebut mencerminkan bahwa kebanyakan lembaga pendidikan berorientasi pada formalitas dan bukan kualitas, meskipun sejatinya ujian nasional dan internasionalisasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas.
Tuntutan terhadap sekolah dan daerah untuk menghasilkan siswa-siswi yang lulus ujian nasional secara maksimal, telah menyebabkan hilangnya orientasi kualitas pada pendidikan nasional. Setiap daerah dan sekolah seakan berlomba-lomba untuk memperoleh nilai ujian setingi-tingginya sehingga bisa mencapai target jumlah kelulusan siswa. Tuntutan ujian nasional dan implikasinya pada siswa secara nyata telah merubah orientasi atau tujuan pendidikan di daerah dan sekolah. Setiap penyelenggaraan ujian nasional, selalu menyisakan cerita tentang upaya-upaya tidak halal yang dilakukan siswa dengan atau tanpa bantuan sekolah.
Ketika nilai ujian nasional telah menghantui pikiran siswa dan penyelenggara pendidikan, maka pendidikan telah kehilangan arahnya. Oleh sebab itu perlu dipikirkan cara untuk merubah cara berpikir (mindset) terhadap penyelenggaraan pendidikan dari pendidikan yang berorientasi semata-mata kelulusan dan nilai, menuju penyelenggaraan yang berorentasi pada kualitas proses dan hasil pendidikan.
Di samping ujian nasional, internasionalisasi pendidikan juga merupakan hal lain yang menghantui pikiran penyelenggara pendidikan. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 mengamanatkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah “menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.”[10] Amanat ini membuat pemerintah merumuskan apa yang disebut sebagai Rintisan Sekolah Berstandar Internasional dan Sekolah Berstandar Internasional.
Sekolah-sekolah yang telah memiliki fasilitas yang memadai dan prestasi yang baik dapat membuka kelas-kelas internasional dan menjadi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. Dengan berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, banyak sekolah negeri yang berupaya untuk menjadi Sekolah Berstandar Internasional dengan terlebih dahulu menjadi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. Hal menarik yang memicu sekolah sekolah untuk menjadi sekolah RSBI adalah di samping meningkatkan prestise sekolah, juga peluang untuk memperoleh dana tambahan baik dari pemerintah sebagai dana penyiapan RSBI, maupun dari orangtua siswa untuk penyelenggaraan pendidikan.
Fenomena Sekolah Berstandar Internasional tersebut menjadi keprihatinan banyak pihak, karena banyak sekolah yang menjadi RSBI lebih memperhatikan aspek formalitas, seperti ruangan yang eksklusif, guru yang bisa berbahasa Inggris dan biaya yang lebih tinggi. Sementara aspek substansialnya seperti kehilangan arah, sehingga muncul pertanyaan mendaasar, sebenarnya apa yang ingin dicapai dengan sekolah bertaraf internasional.


3.      Pemerataan akses dan sumberdaya
Ketika Undang-Undang mengenai otonomi daerah diberlakukan, nampak bahwa kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi bidang pendidikan sangat beragam. Dua persoalan utama yang perlu dicarikan solusinya adalah pemerataan akses dan pengembangan sumber daya manusia.
Penyediaan atau peningkatan sarana dan pra-sarana pendidikan perlu terus ditingkatkan untuk dapat meningkatkan akses terhadap pendidikan. Persoalan akses tentu tidak mengganggu penyelenggaraan pendidikan di kota-kota yang prasarana transportasinya memadai. Namun ia menjadi masalah besar di daerah-daerah yang memiliki wilayah yang cukup luas, banyak masyarakat yang tinggal di daerah yang sulit dijangkau, dan prasarana transportasi yang kurang memadai. Persoalan geografis dan fasilitas transportasi sering menjadi kendala utama pemerataan akses pendidikan. Pada gilirannya persoalan akses ini juga mempengaruhi tingkat partisipasi pendidikan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan berbagai alternatif bagi daerah-daerah yang memiliki masalah dengan keterbatasan akses, karena berbagai kendala di atas.
Sumberdaya, baik manusia maupun benda, juga perlu mendapatkan perhatian serius. Banyak daerah yang melakukan otonomi pendidikan tidak didukung oleh sumberdaya pendidikan yang memadai. Keterbatasan sumberdaya ini terjadi sebagai akibat dari tidak meratanya penyebaran penduduk, tidak seimbangnya penyebaran ekonomi dan tidak meratanya pembangunan. Akibatnya sumberdaya yang baik terkonsentrasi di kota-kota besar.
Perlu ada pemikiran dan upaya serius (affirmative action) untuk membantu daerah-darah yang memiliki sumberdaya yang kurang memadai. Pemerataan sumberdaya dapat dilakukan dengan menyiapkan generasi muda di berbagai daerah untuk meningkatkan kapasitas diri sehingga mampu menciptakan proses pendidikan yang berkualitas. Di samping itu, perlu juga dibuka peluang untuk mendatangkan sumberdaya dari daerah lain guna membantu percepatan pembangunan pendidikan di daerah-daerah yang sumberdayanya relatif memadai. Hal terakhir ini memerlukan campur tangan pemerintah pusat dan keterbukaan pemerintah daerah demi pembangunan pendidikan.

F.   Penutup
Berbagai persoalan dan pemikiran di atas menunjukkan bahwa pendidikan nasional Indonesia sedang mengalami dinamika yang luar biasa besar. Dinamika ini terjadi karena sebagai negara, Indonesia sedang dalam proses transisi panjang menjadi negara demokrasi. Otonomi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan bagian dari proses transisi tersebut, sehingga tidak mengherankan apabila banyak dijumpai kejanggalan atau anomali dan ketidakpuasan atas apa yang sedang terjadi.
Kunci keberhasilan pendidikan nasional adalah penyelenggaraan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan. Oleh karenanya lembaga-lembaga pendidikan harus benar-benar disiapkan menjadi lembaga lembaga yang beorientasi pada pengembangan kualitas-kualitas pribadi siswa, tidak hanya mengembangkan intelektualitas dan berpaku pada formalitas. Untuk itu, Mochtar Buchory pernah mengemukakan, bahwa dunia pendidikan kita tidak sekedar memerlukan reformasi seperti yang terjadi di bidang politik dan ekonomi, tetapi ia memerlukan transformasi guna menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter.[11] Oleh karenanya, lanjut Buchory, guru harus dilepaskan dari beban politik dan kepentingan sepihak birokrasi, guru harus diberikan keleluasaan untuk mendidik karakter siswa.[12]


Daftar Pustaka

Buchory, Mochtar (2001), Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal. 71
Buhory, M. H. (2007) ‘Akuntabilitas Instansi Pemerintah dalam Bidang Pendidikan di Era Otonomi Daerah,’ Jurnal Ilmu Pendidikan (Universitas Negeri Malang) Tahun 34 No. 2, Juli 2007, hal. 115
‘Kemdikbud kaji ulang konsep otonomi pendidikan’Kompas Online edisi 29 Nopember 2011 http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/29/09304757/Kemdikbud.Kaji.Ulang.Konsep.Otonomi.Pendidikandiakses tanggal 16 April 2011.
Hidayat, M. (2011)  ‘Masalah Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah’, makalah disampaikan di LPMP Sulawesi Selatan, 16 Nopember 2011.
Nata, Abuddin (2004), ‘Menggagas sistem pendidikan masa depan dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah,’ Jurnal Didaktika Islamika (UIN Jakarta), Vol. VI, No. 2, tahun 2004, hal. 12. 
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Postman, Neil (1995), The End of Education: Redefining the value of school, New York: Alfred A Knopf, 1995.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 12 tahun 2008 tentang Revisi Kedua atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004.

Catatan:
Tulisan ini pernah disampaikan pada Pertemuan Nasional Jaringan Demokrasi Antar-Kampus yang diselenggarakan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia), Bogor, 25 April 2012.


[1]“Kemdikbud kaji ulang konsep otonomi pendidikan” diambil dari Kompas Online edisi 29 Nopember 2011. http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/29/09304757/Kemdikbud.Kaji.Ulang.Konsep.Otonomi.Pendidikan diakses tanggal 16 April 2011.
[2]Muhammad Hasanuddin Buhory, ‘Akuntabilitas Instansi Pemerintah dalam Bidang Pendidikan di Era Otonomi Daerah,’ Jurnal Ilmu Pendidikan (Universitas Negeri Malang) Tahun 34 No. 2, Juli 2007, hal. 115
[3] Abuddin Nata, ‘Menggagas sistem pendidikan masa depan dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah,’ Jurnal Didaktika Islamika (UIN Jakarta), Vol. VI, No. 2, tahun 2004, hal. 12.
[4] Menurut UU No. 20 tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
[5] Lihat M. Hidayat, ‘Masalah Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah’, makalah disampaikan di LPMP Sulawesi Selatan, 16 Nopember 2011.
[6] Lihat Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang dibuat berdasarkan amanat UU No. 20 tahun 2003.
[7] Untuk penjelasan lebih lanjut tentang berbagai standar tersebut, lihat PP No. 19 tahun 2005.
[8] Neil Postman, The End of Education: Redefining the value of school, New York: Alfred A Knopf, 1995.
[9] Neil Postman, The End of Education: Redfining the value of school, New York: Alfred A Knopf, 1995.
[10] Lihat UU No. 20 tahun 2003, pasal 50 ayat 3.
[11] Mochtar Buchory, Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal. 71
[12] Mochtar Buchory, Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal. 71

0 comments:

Post a Comment