Saturday 12 April 2014

Kumpulan Cerpen



HARI ULANG TAHUN SESEORANG


Hari ini, aku berada di kebun belakang sebuah rumah mewah. Mungkin karena tergesa, atau sisa mabuk semalam, aku tak ingat mengapa pada siang hari seperti ini aku sudah duduk dengan kikuk pada bangku lipat berwarna merah tua. Sepasang kakiku mengenakan sepatu kulit cokelat muda, dan celana hampir senada. Di atas kemeja putih yang kupakai, seseorang atau mungkin aku yang tak sadar tadi pagi,
terdapat sweater yang didominasi warna putih tetapi dengan motif kotak-kotak cokelat tua. Seperti sweater yang dulu pernah dihadiahkan untukku dari seseorang teman yang habis jalan-jalan ke luar negeri. Entah Eropa atau Amerika. Rasanya aku mulai susah sekali mengingat segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku. Jangankan yang dulu-dulu, siang ini juga aku tak mengerti mengapa aku berada di kebun belakang sambil duduk dengan kikuk pada bangku lipat merah tua.

Dalam kebingungan, aku mencoba memraktikkan apa yang disebut sebagai ilmu pengamatan lingkungan. Aku melihat ke segala arah, apa yang ada di sana, apa yang tengah terjadi, dan beberapa orang yang lalu lalang di kebun belakang ini. Perlahan aku mulai mengerti bahwa di kebun belakang ini tengah disiapkan sebuah pesta. Di beberapa bagian kebun telah ditata makanan di atas meja-meja panjang. Pada bagian belakang ada beberapa lampu dan pengeras suara. Di dekat kolam renang, ada sebuah panggung kecil dengan latar belakang papan yang dihiasi dengan gambar-gambar dan juga tulisan “Selamat Ulang Tahun” yang menandakan bahwa pesta di kebun belakang ini adalah pesta ulang tahun. Jadi, aku berada di sini sebagai tamu undangan pesta ulang tahun seseorang. Pertanyaannya, siapakah yang berulang tahun itu, apakah dia punya hubungan denganku, atau yang paling penting adalah siapa yang telah membawaku ke sini? Semua pertanyaan itu harus segera dijawab sebelum tempat ini mulai ramai. Paling tidak agar aku bisa menyesuaikan diri dan membaur dengan para tamu undangan lainnya.

Mungkin, seseorang dari tamu itu akan menanyakan pertanyaan yang sama dengan pertanyaanku tadi. Semisal apa hubunganku dengan orang yang berulangtahun. Atau bisa lebih detail lagi seperti menanyakan kapan pertama kali berjumpa atau dalam kesempatan apa aku pernah bertemu dengan dia. Ini yang harus segera aku temukan jawabannya. Maka aku putuskan untuk bangkit dari dudukku. Yang kutuju adalah bagian belakang rumah di seberang kolam renang yang tengah ditebari bola berwarna-warni. Mungkin supaya kelihatan semakin semarak pesta kebun itu. Belum lama aku berjalan, seseorang segera menggamit lenganku.

“Mau ke mana, Pak?”

Aku segera menoleh padanya, seorang perempuan dengan senyum yang manis. Rambutnya hitam legam dan wangi. Matanya mengingatkan aku pada seseorang yang sudah lama sekali berada dalam pikiranku.

“Ranti?”

Tiba-tiba saja aku bisa mengingat nama seseorang yang baru saja berkelebat dalam benakku setelah aku melihat matanya.

“Bukan, Pak. Aku Dewi, putrinya.”

Putrinya? Kenapa selama ini dia tidak pernah bercerita jika sudah punya anak? Dia menikah dengan siapa? Dalam hati aku merutuk karena di siang hari yang tidak terik dan dipenuhi beraneka warna di kebun belakang ini aku justru dibekap dengan beragam pertanyaan yang memintaku untuk bisa segera mendapatkan jawabannya.

Setelah mengatur nafas, aku memberi isyarat padanya untuk ikut bersamaku kembali ke jajaran bangku lipat merah tua itu. Dia mengangguk dan seperti seorang anak yang baik, dia menggamit lenganku dan membimbingku ke sana.

“Kalau boleh aku tahu, siapa yang membawaku ke mari?” Ini sebenarnya bukan pertanyaan pertama yang harus aku temukan jawabannya dari deretan pertanyaan yang aku punya, tapi ini akan memberiku banyak lubang cahaya pada kegelapan yang menyelimuti pikiranku.
Namun aku heran, mengapa dia tersenyum mendengar pertanyaanku itu. Sepertinya pertanyaanku adalah sebuah lelucon.

“Bapak. Tadi pagi, bapak itu bangun sangat pagi. Lalu mandi dan berpakaian rapi. Dan karena Bapak bilang bahwa hari ini Bapak harus menghadiri pesta ulang tahun Ibu, maka Bapak sama Mas Sasongko, dibawa ke sini.”

“Sebentar. Sebentar. Ibu siapa yang berulangtahun?” Itu pertanyaan pertama dalam daftar pertanyaanku, hanya sudah diberi panduan bahwa yang berulangtahun itu adalah seorang perempuan. Yang disebut Ibu olehnya.

“Ibu Miranti. Ibu saya.”

Miranti? Nah, kebetulan! Aku bisa tanyakan padanya sekarang apa hubunganku dengan yang berulangtahun itu. Lalu di mana dia?

“Ibu sudah lama meninggal. Lima tahun yang lalu. Bapak lupa? Ah. Pasti Bapak mulai pikun.” Dia bercerita dengan datar, tadinya, tapi lama-lama mukanya berubah ceria. Lalu dia berkata lagi, “Bapak tahu, Mas Sasongko sering bilang pada saya, bahwa dia ingin sekali seperti Bapak. Meskipun Ibu sudah lama meninggal, cinta Bapak terhadap Ibu tetap menyala. Buktinya, sepanjang lima tahun ini, Bapak tidak pernah putus menggelar perayaan ulang tahun Ibu!”

Jadi? Miranti adalah istriku dan Dewi yang tengah berbicara padaku adalah anakku? Mengapa aku bisa lupa semua ini dalam waktu semalam saja? Apa yang terjadi semalam denganku? Lagi. Semakin banyak pertanyaan masuk ke dalam pikiranku. Tapi aku tak mau seperti tadi, berusaha mencari jawabannya dengan segera. Aku memutuskan untuk tidak merusak hari ulang tahun seseorang dengan membuka rahasia bahwa aku sudah mulai lupa pada segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku. Aku kembali memraktikkan ilmu pengamatan lingkungan dengan memandang panggung kecil di seberang kolam renang. Tapi cahaya matahari yang memantul dari permukaan air membuat mataku terasa sangat silau, dan tiba-tiba membuat air mataku jatuh.

Dewi segera mengeluarkan tisu dari tasnya lalu mengusap pipi dan kelopak mataku, sambil berujar, ”Ibu pasti bahagia di sana melihat Bapak masih mencintainya dengan sangat.”

Lagi-lagi dia tersenyum memandangku.



SESEORANG YANG KUTEMUKAN DALAM HUJAN

 


 “Hujan sialan!” Aku merutuk kecil. Melepas jaketku dan mengibas-ngibaskannya karena basah. Mataku menangkap seseorang berdiri dengan canggung di bawah naungan atap halte bus itu. Rambut, bahu bajunya juga basah. Dia mungkin sama dengan aku, berhenti berjalan karena hujan turun tiba-tiba. Aku tak hendak berkenalan, meskipun dalam pikiranku menemukan beberapa nama seperti Sri, Ajeng, atau Galuh.

Tiba-tiba saja, ada pertanyaan yang menggoda untuk aku sampaikan padanya,”Kau juga membenci hujan?” Dia tersenyum dan mengangguk seolah mengiyakan. Hingga pertanyaan lain menggelincir begitu saja,”Kenapa?”

“Hujan memperlambat sebuah janji temu,” jawabnya cepat. Seolah hal itu adalah sebuah kesimpulan dari serangkaian cerita yang ingin dia sampaikan. Dalam pikiranku merangkai cerita sendiri. Gadis ini, entah Sri, Ajeng, atau Galuh namanya, sedang menuju sebuah tempat yang telah disepakati olehnya dan teman atau kekasihnya yang jaraknya tidak jauh dari sini sehingga dia berjalan kaki dan terpaksa dia hentikan karena hujan tiba-tiba datang.

“Sepertinya hujan akan membatalkan sebuah cerita.” Aku seperti dipaksa untuk bercerita karena jawabannya yang pendek tadi. Lalu aku mengatakan bahwa seharusnya malam ini aku berada di suatu perhelatan sastra di mana aku akan menjadi moderator dalam diskusi buku kumpulan cerpen berjudul “Gerimis Anjing.”

“Gerimis Anjing?” Tanyanya dengan alis terangkat. Pastinya dia terkejut dengan judul buku kumpulan cerpen itu tadi.

“Ya. Gerimis Anjing. Sebuah buku kumpulan cerpen karya seseorang yang tidak perlu disebut-sebut. Karena dia tidaklah setenar Kurnia Effendi atau Triyanto Triwikromo, penulis-penulis cerpen yang karyanya bisa dengan mudah kita temukan setiap minggu di surat kabar.”

Dia hanya tersenyum. Aku tahu dari ekspresinya, dia tidak tahu apa yang kubicarakan.

“Maaf, aku terlalu banyak mengoceh.”

“Tak apa.”  Lagi-lagi jawabnya lebih singkat dari gemuruh di langit setelah kilat menyambar.

Aku mengeluarkan telepon genggam dari saku celana.

“Tak baik menelepon saat hujan lebat,” katanya mencegah. Sepertinya dia tahu apa yang akan aku lakukan.

“Kenapa?”

“Telepon genggam memancarkan gelombang elektromagnetik yang bisa menarik energi lainnya seperti listrik. Bisa-bisa kamu tersambar petir, nanti.”

“Itu ilmiah? Bisa dipertanggungjawabkan?” Tanyaku sambil memasukkan kembali telepon genggamku dengan ragu ke saku celana. “Bagaimana dengan mengirim pesan pendek? Apakah bisa tersambar petir juga?”

Dia mengangkat bahu. Aku rasa dia tidak paham juga dengan apa yang barusan diucapkannya kepadaku. Atau informasi yang dia terima masih sepotong-sepotong.

“Aku ingin memberitahukan bahwa aku tidak bisa datang tepat waktu,” kataku.

Dia menunjuk sebuah taksi yang kelihatan melaju di kejauhan. “Kau bisa naik taksi.”

“Lalu bagaimana dengan kamu?” Tanyaku.

“Aku akan menunggu hujan reda saja. Tempat janji temuku tak jauh dari sini.”

Aku terdiam. Menghitung dalam hati berapa sisa uang di dompetku. Apakah uang itu cukup untuk ongkos taksi menuju tempat perhelatan sastra di daerah Bulungan itu atau tidak. Sebenarnya aku berniat untuk jalan kaki ke arah perempatan lalu dari sana aku akan naik metromini ke arah Bulungan. Cukup dengan uang dua ribu rupiah. Kalau aku memutuskan naik taksi, bisa keluar ongkos tak kurang dari dua puluh ribu. Apalagi hujan begini, jalanan pasti macet.

“Ah. Aku rasa telat sedikit tak mengapa.”

“Apakah aku harus merasa keberatan dengan hal itu?” Tanyanya.

Ya. Halte ini tempat siapa saja menunggu angkutan umum. Siapa saja bisa bernaung menghindari hujan di sini. Termasuk aku, dan Sri, atau Ajeng, atau Galuh ini. Entahlah siapa namanya. Aku tak hendak berkenalan dengannya. Bukan lantaran menurutku dia tidak cantik atau terlalu kurus, atau karena apa pun. Aku memang tidak sedang ingin berkenalan dengan seseorang. Siapapun dia.

“Apakah kau juga membenci hujan?” Dia tiba-tiba menanyakan yang tadi kutanyakan kepadanya.

Aku berusaha mengingat dengan baik larik-larik sajak Sapardi, atau siapa saja tentang hujan. Tapi tak ada yang kuingat selain sebuah peristiwa tentang seseorang yang menangis. Dengan seorang bayi yang diselimuti dan didekap erat, dia menenteng sebuah koper besar. Tepatnya menyeret koper itu. Sebuah rumah besar berwarna putih terlihat terang ketika petir menyambar. Suara seorang pria berkumis bercampur dengan bunyi guruh. Entah apa yang dia katakan. Tapi yang jelas membuat perempuan dengan bayi di gendongannya itu semakin deras airmatanya.

Rasanya sejak itu, aku membenci apapun yang berkaitan dengan hujan. Termasuk seseorang yang kutemukan dalam hujan. Seperti Sri, Ajeng, atau Galuh yang sedang menunggu hujan reda di dalam halte bus ini.

Tiba-tiba kulihat awan gelap seperti menyisih. Hujan berubah jadi gerimis yang tidak kencang. Segerombolan burung terbang dari pepohonan. Aku memakai kembali jaketku.

“Hujan hampir reda. Aku pergi dulu ya.” Kataku dengan nada yang kuinginkan keluar dari bibirku begitu sopan. Seperti seorang anak pamit bermain kepada ibunya.




 
POHON DI TENGAH ALUN-ALUN

 

Dia baru bisa membaca saat pertama kali diajak bersepeda - tepatnya dibonceng - ibunya saat mengetahui ada keganjilan dari apa yang dia lihat di alun-alun kota. Ada sebatang pohon asam gelugur tua, bukan beringin, tumbuh di tengah alun-alun itu. Padahal menurut cerita-cerita yang sering dilontarkan bibir ibunya, adalah pohon beringin yang biasanya ditanam sebagai lambang pengayoman kepala daerah kepada rakyatnya. Cabang-cabangnya yang rindang membentuk kanopi yang sangat teduh. Di antara dahan dan rantingnya yang rimbun, puluhan burung tekukur dan perkutut membuat sarang.

Dia mencoba mengeja nama latin dari pohon asam gelugur itu. Sebuah nama yang terasa sangat ganjil bagi lidahnya yang terbiasa dengan logat kental tanah kelahirannya. “Tam..mar..rindus in..di..ca,” Ejanya. Ibunya hanya bisa tersenyum. Bangga karena anak berumur empat tahun itu bisa membaca dengan cukup lancar.

Dia memandang ibunya dengan mata sedikit berbinar. Ibunya tahu, sekejap lagi anaknya itu pasti akan bertanya sesuatu. Dan benar saja, tak lama kemudian dari mulutnya yang kecil meluncurlah sebuah pertanyaan yang ibunya sendiri tidak tahu jawabannya. “Apa artinya itu, Bu?”

+++

Dia baru tahu bertahun-tahun kemudian bahwa nama latin Tamarindus indica berasal dari beragam bahasa. Tamarindus berasal dari bahasa Arab: Tamr Hindi, yang berarti kurma dari India. Tapi dia tidak mengerti mengapa disebut sebagai kurma, sebab buah dari pohon itu berasa asam sehingga di tanah kelahirannya disebut sebagai pohon dan buah asam, bukan kurma.

Dia juga belum mengerti mengapa di alun-alun kotanya itu bukan beringin yang ditanam di tengah-tengahnya melainkan pohon asam gelugur itu. Padahal pohon itu tidaklah terlalu rindang, dan cabang serta rantingnya mudah sekali patah. Tapi dia tahu, ibunya sering sekali membuat minuman dengan bahan dasar buah asam yang sudah sangat masak. Minuman yang segar itu bernama serbat. Enak diminum ketika cuaca sangat terik. Daun mudanya juga bisa dibuat minuman dengan mencampurnya dengan bahan-bahan lain seperti kunyit, juga bisa sebagai obat batuk dan demam. Karena itu, beberapa kali ibunya mengajak ke alun-alun itu sekedar mengambil buah yang jatuh, memetik daun muda, dan mengelupas kulit kayunya.

+++

Sesekali, dia melihat pada kedua mata ibunya itu merebak air mata. Dan sesaat kemudian, kadang kala, raut yang tampak sedih itu bisa berubah menjadi wajah yang penuh amarah. Dia tidak pernah mau menanyakannya, sebab jika dia bertanya bisa-bisa menambah tekanan perasaan pada ibunya. Dia tak mau itu terjadi.

Untuk mengubahkan suasana hati ibunya itu, dia kadang segera menyibukkan diri mencari jangkrik pada rerumputan di sekitar kaki pohon yang besar itu. Lalu dengan riangnya, disorongkan jangkrik yang tertangkap itu sambil berceloteh akan dikumpulkan sebanyak-banyaknya jangkrik untuk makanan burung-burung peliharaan kakek.

Selain dia, laki-laki yang ada di rumah adalah kakeknya. Kakek yang pendiam dan selalu sibuk dengan burung-burung peliharaannya. Beberapa hari dalam seminggu, kakek pergi mengikuti kontes burung berkicau. Sebenarnya dia juga ingin menangkapi burung-burung yang bersarang di pohon itu, tetapi tak satu pun burung di pohon tersebut menyerupai burung-burung yang ada dalam sangkar-sangkar milik kakeknya.

Kakek jarang sekali berbicara dengan ibu maupun dirinya. Ibu pernah bilang bahwa kakek tidak pernah menyetujui hadirnya laki-laki yang tak pernah lagi ada di sekitar dia dan ibunya. Ayahnya. Mungkin itu yang membuat ibunya sering bersedih atau marah setiap kali berada di dekat pohon asam di tengah alun-alun itu.

+++

Sampai suatu hari, menjelang hari pernikahannya, dia memberanikan diri bertanya kepada ibunya.

“Bu, dulu sewaktu aku kecil Ibu sering sekali membawaku pergi ke alun-alun memetik daun asam, mengumpulkan buahnya, dan sesekali mengerat kulit kayunya. Apakah Ibu ingat itu?”

Ibunya tersenyum dan mengelus kepalanya yang berada dekat dengan pangkuan.

“Tentu Ibu ingat. Apa yang ingin engkau tanyakan sebenarnya?”

Dengan menghela nafas panjang dan berat, dia menanyakan hal yang bertahun-tahun disimpan.

“Mengapa Ibu selalu menangis dan juga marah setiap kali kita ke sana? Kenangan apakah yang sebenarnya Ibu simpan?”

+++

Semenjak Ibunya tak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi antara Ibunya dengan pohon asam gelugur di tengah alun-alun, dia tak pernah lagi bertanya. Hanya pada suatu reuni dengan teman-teman sekolahnya, dia bertemu Karman yang kini menjabat Sekretaris Daerah.

Dia yang kaget dengan penataan alun-alun kotanya itu mendapat penjelasan bahwa pohon asam gelugur itu sudah ditebang dan diganti dengan sebuah tugu berbentuk runcing yang menggambarkan keteguhan dan perjuangan untuk meraih cita-cita yang lebih baik.

“Oh. Pohon asam itu terlalu banyak menyimpan cerita pahit,” Jelas Karman ketika dia menanyakan alasan penebangan pohon itu.

“Memang cerita macam apa sehingga warga kota tak menginginkan pohon itu tidak perlu lagi ada di tengah alun-alun?” Dia tampak ingin menuntaskan rasa penasaran yang sekian lama bercokol itu.

“Kau pernah mendengar hukum picis, bukan? Seseorang yang dinyatakan bersalah disayat kulitnya dan pada lukanya itu diteteskan cairan dari buah asam. Dulu, pohon itu menjadi terkenal gara-gara seorang perampok besar menemui hari sialnya. Dia ditangkap dan ramai-ramai warga menghukumnya. Setiap orang menyayat kulitnya dan menyiramnya dengan cairan buah asam. Dia menemui ajal dengan tubuh hampir seluruhnya terkelupas kulitnya.”

“Perampok besar? Siapa namanya?”

“Orang-orang menyebutnya Man Jaha.”

Mendengar nama itu, dia menjadi sangat maklum mengapa kakeknya tak pernah mau bicara dengan ibu dan dirinya. Terlebih, dia pun kini bisa merasakan kesedihan dan kemarahan yang sama dengan ibunya jika dia mengingat pohon asam di tengah alun-alun itu. Untunglah, kini pohon asam itu sudah tidak ada lagi.





BERANAK DALAM HUJAN


 “Sudah, tidak apa-apa. Paling sebentar lagi terang.” Kardasih menolak diminta menunggu sejenak oleh Hasim untuk diambilkan payung lantaran di sore yang masih menyisakan terik matahari tiba-tiba turun hujan.
“Justru itu. Kalau kau kena hujan yang sebentar, nanti malah sampai rumah kau dikira habis tercebur di sungai.” Hasim bersikeras agar Kardasih pulang berpayung.

Akhirnya gadis itu duduk kembali. Dari teras rumah itu, Kardasih memandangi langit yang terang benderang ditingkahi butiran-butiran hujan. Tercium pula ruap bau tanah yang tersiram. Dan terdengar bunyi seperti langkah-langkah kanak-kanak yang berkejaran dengan riang gembira. Kardasih berharap sebentar lagi muncul semburat aneka warna di antara awan-awan putih dan kelabu itu.

Tiba-tiba dia mendengar suara yang terdengar samar tetapi terkesan berat. Suara itu tak sanggup dia pastikan arahnya. Tak lama kemudian terdengar suara lain yang melengking tetapi juga samar. Sebentar saja suara-suara itu terdengar tetapi mampu membuatnya terjerat perasaan ganjil. Kuduknya terasa dingin. Tangan kanannya menyusup ke balik kerah baju dan menggosok tengkuknya sendiri.

“Ini payungnya,” Hasim tiba-tiba sudah berdiri di dekat pintu sambil mengangsurkan payung berwarna abu-abu kepadanya.
“Ih! Kau bikin aku kaget saja.” Teriak Kadarsih. Tubuhnya terguncang ke belakang dari posisi duduknya semula. Setelah agak tenang, Kadarsih menyambut payung yang diulur Hasim dan meletakkannya di atas meja di hadapannya.

“Mmm. Sim, Apakah di sini, di rumah ini angker?”
“Angker? Ada apa kau bertanya seperti itu?” Hasim balik bertanya sambil menghempaskan tubuhnya pada kursi di dekat Kadarsih.
Yang ditanya diam saja. Tangan Kadarsih kembali mengusap tengkuknya sambil berkata,”Aku merasa sedikit takut saja.”
“Di rumah ini tidak pernah terjadi hal-hal yang aneh. Apalagi keluargaku bukanlah orang-orang yang gampang ditakuti dengan urusan yang berbau mistis atau supranatural.”

Kadarsih tidak menanggapi perkataan Hasim. Tetapi raut wajahnya menunjukkan perasaan antara bingung dan takut. Melihat hal itu, Hasim mengambil payung dari atas meja dan bangkit seraya berkata,” Ya sudah. Biar aku antar kau pulang.”
Di dalam hujan selalu ada kegelisahan. Gelisah agar badan tidak basah, gelisah agar perjalanan ini cepatlah sudah. Kadarsih berjalan berpayung dengan tergesa. Percikan air dari genangan sepanjang jalan mengenai roknya yang panjang. Namun dia merasa setiap dia melangkah, ada pula yang mengiringinya. Merasa semakin cemas, Kadarsih berjalan semakin cepat. Lalu terdengar seperti orang berbisik di dekatnya. “Ssh..Ssh...”

“Barangkali hanya angin,” Kadarsih semakin mempercepat langkah kakinya. Akhirnya dia tiba di depan rumahnya. Dia pun menyeru kepada ibunya. “Ibu. Ibu. Tolong buka pintu!” Kadarsih mengetuk-ketuk daun pintu. Saat dia mencoba melihat ke dalam rumah melalui jendela, di kaca jendela dia melihat ada sesosok perempuan menggendong bayi berdiri tepat di belakangnya.

“Ya Tuhan! Siapa kau!” Kadarsih menjerit. Dia tidak mau menoleh ke belakang. Dia semakin keras memanggil-manggil ibunya dan mengetuk-ngetuk daun pintu dan jendela. Dari kaca jendela, dia melihat sosok perempuan itu semakin mendekat kepadanya. Dan setelah semakin dekat, dia bisa melihat wajah perempuan dan bayinya yang ternyata menyeramkan. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa. Kadarsih jatuh pingsan di depan pintu rumahnya.
“Mari masuk, Kadarsih,” sambut seorang perempuan kepadanya. Di depannya sebuah rumah cukup ramai dengan tetamu. Kadarsih bingung, bagaimana bisa perempuan itu tahu namanya. Terlebih dirinya tidak mengetahui siapa perempuan yang menyapanya itu.

“Kenalkan aku Nastiti.” Tiba-tiba perempuan itu mengulur tangan seolah paham apa yang menjadi pikiran Kadarsih tentang dirinya. “Aku mengenalmu sewaktu kamu dulu bermain di bawah pohon nangka tetanggamu. Aku berdiam di situ.”

Pohon nangka? Berdiam di situ? Kadarsih semakin bingung dengan perkataan Nastiti. Akan tetapi dia tidak bisa berlama-lama berdiri tertegun karena Nastiti menggandeng tangannya dan mereka berjalan ke dalam rumah yang penuh tetamu.

“Ini rumah siapa?” Kadarsih memberanikan diri bertanya.
“Ini rumah Giranda. Dia mengundangmu hari ini ke rumahnya karena kau adalah saksi kebahagiaan yang dia terima dan rasakan.”
Menjadi saksi dari sebuah kebahagiaan? Kebahagiaan apa?
“Ah. Mungkin kau belum paham Kadarsih. Kau terlihat oleh Giranda ketika dia melahirkan di teras rumah Hasim, temanmu.” Lagi-lagi Nastiti seperti menjawab pertanyaan yang berputar di dalam kepalanya.

Kadarsih berpikir mungkin Nastiti bisa membaca pikirannya. Jika benar demikian, dia tidak boleh sembarang berpikir yang bukan-bukan tentang segala sesuatu yang sedang berlangsung di hadapannya.

“Tenang saja, Kadarsih. Kami tidak akan membuatmu susah.” Oh, tidak! Lagi-lagi Nastiti melakukannya.Nastiti dan Kadarsih masuk ke dalam rumah yang dihiasi lampu dan sangat riuh itu. Terlihat aneka hidangan tersedia di atas meja. Para tetamu duduk dan bercakap-cakap hampir di seluruh ruangan. Nastiti membimbing Kadarsih masuk lebih jauh ke dalam rumah itu menuju sebuah kamar.
“Masuk! Mari. Mari.” Dari dalam kamar terdengar suara perempuan dengan nada gembira.
Nastiti menyibak tirai dan nampaklah seorang perempuan cantik berbaring di sebuah ranjang yang besar. Di sampingnya terbaring juga bayi yang montok dan berkulit putih. Persis seperti kulit perempuan itu. Nastiti dan Kadarsih menghampiri perempuan itu dan menyalaminya.

“Kadarsih,” Demikianlah Kadarsih bersalaman dan menyebutkan namanya.
“Ah. Aku sudah tahu namamu. Aku Giranda. Maafkan aku mengundangmu dengan cara yang tidak lazim.”
“Apa maksudmu?”
“Maaf. Aku tak bermaksud menakut-nakutimu waktu aku mengikutimu berjalan di bawah hujan. Maksudku hanyalah ingin menunjukkan kebahagiaanku, memberitahu kepadamu bahwa aku sungguh gembira karena telah melahirkan anak ini. Gandira.” Katanya sambil telunjuknya mengusap lembut kening bayi yang tertidur.
”Jadi?” Kadarsih teringat wajah perempuan dan bayinya di dalam kaca jendela rumahnya.
“Betul. Itu aku dan Gandira. Maafkan telah mengejutkanmu.”Kadarsih kini berpikir keras: bukankah dia sedang mengetuk pintu dan jendela sebelum dia tidak ingat apa-apa lagi setelah melihat dua buah wajah yang menyeramkan?
“Aduh. Tolong jangan diingat-ingat lagi peristiwa itu.” Giranda memohon. “Maafkan aku. Tak seharusnya begitu kejadiannya. Aku hanya ingin mengundangmu karena kau adalah saksi proses kelahiranku.”
“Aku tidak melihat apa-apa di beranda rumah Hasim! Kenapa dari tadi kalian bilang aku menjadi saksi sebuah kelahiran?”
“Kau memang tidak melihat apa-apa, Kadarsih. Tetapi kau mendengar suara Giranda dan suara Gandira. Itu sudah cukup untuk membuat kami merasa bahwa kau adalah saksi.” jawab Nastiti.
“Aku tidak mengerti. Sekarang pulangkan aku!” Jerit Kadarsih.
“Sabarlah, Kadarsih. Sabarlah. Buatlah kami senang dengan mencicipi hidangan kami,” Giranda memegang pundak Kadarsih lalu membentangkan sebelah tangan seakan mempersilakan Kadarsih ke ruangan depan untuk makan.
“Tidak. Tidak. Pulangkan aku sekarang!” Kadarsih menjerit sejadi-jadinya.


  
 GADIS IDAMAN


 Dahi yang ditumbuhi sebuah jerawat tampak lebih mengkilat dari biasanya. Sinar lampu sorot dari atas balkon yang mengarah ke altar yang telah membuat lebih indah sesuatu yang sebenarnya memang sudah tampak indah. Seorang gadis di deretan bangku depan dengan mata besar dan alis yang lebat sudah lama memikat hatinya. Dia selalu melihat ada kilat basah pada kedua matanya itu. Dia yakin kalau gadis itu selalu berdoa dengan sungguh-sungguh. Pun ketika melantunkan lagu-lagu pujian. Tampaknya ada semacam kerinduan yang mendalam dari gadis itu kepada Tuhan. Lantas dia merasa harus mengenal gadis itu sesegera mungkin. Ya, sesegera mungkin.
"Shalom," sapanya sembari tersenyum ketika gadis itu baru saja hendak mendaratkan sebelah kakinya dari anak tangga ke lantai dasar. Degup jantung lantas dirasa lebih cepat, sebab sebentar lagi dia akan bisa memandang mata besar yang senantiasa basah dan dahi yang tampak berkilat dengan sangat jelas.
“Shalom.” Gadis itu kaget dan tersipu. Sungguh pemandangan yang terjadi seperti dalam film-film romantis tahun 70an di mana istilah malu-malu kucing atau jinak-jinak merpati sering didengar. Hanya saja ada sebuah pertanyaan membuat segalanya berbeda.
“Ada apa, Kak?”
Lelaki muda itu menelan ludah sebelum bercerita panjang lebar tentang ketertarikan dirinya kepada gadis itu. Terlebih dia sudah berulang kali melihat gadis itu menangis ketika berdoa. Lantas dia mengulurkan tangan sambil menyebutkan nama sambil berharap gadis itu pun melakukan hal yang sama.
“Anjas.” Sekali lagi diucapkan namanya. Kali ini terasa lebih tegas karena gadis itu tak menyambut uluran tangannya terlebih mengucapkan nama. Dan dia kembali termangu ketika tiba-tiba yang dihadapinya hanyalah kekosongan, karena gadis itu berlari menjauh.
Minggu berikutnya, dia masih menjumpai pemandangan yang sama. Gadis di deretan bangku depan, hanya saja jerawat di dahinya sudah tidak ada. Makin sempurna kecantikannya, demikian pikirnya. Tiba-tiba dia seperti disadarkan sudah beberapa minggu dia datang ke gereja untuk melihat gadis itu dan hal itu membuatnya tidak khusyuk berdoa kepada Tuhan. Pandangannya kini menghujam di lantai keramik. Di depan, pendeta yang sedang berkotbah mengumumkan ‘altar call’. Dan ujung matanya menangkap gadis itu beranjak dari bangkunya.
“Shalom, Kak Anjas.”
Dia dikejutkan dengan sapaan yang pernah didengarnya. Hanya saja kali ini ada nada riang dari sapaan itu, tidak seperti waktu dia mendengar jawaban yang terbata-bata dan penuh kemuraman. Dilihatnya gadis idamannya sudah berdiri di depannya dan mengulurkan tangan kepadanya. Menanti disambut.
“Hana.”
Demikianlah sebuah nama meluncur dari bibirnya. Dia masih tidak percaya. Matanya menatap ke arah mata besar yang masih menyisakan kilat basah karena menangis. Perlahan tapi kemudian menjadi gerak yang cepat dan agak tergopoh, dia menyambut tangan gadis yang kini telah bernama baginya.
“Shalom, Hana.”
Senyumnya pun mengembang. Tangan yang dijabatnya kemudian terasa terayun ke belakang, tanda minta dilepaskan dari jabatan tangannya, membuat dia merasa malu telah terlena.
Tak lama keduanya pun mulai bertukar kisah tentang berapa lama berbakti di gereja itu, sekolah di mana, dan keluarga dengan akrab. Sementara di luar, angin yang membawa awan mendung melempar-lempar sebuah daun dari jalan ke halaman gereja.
“Aku ingin kamu mendengar sebuah cerita, Mas.”
Hana menatap Anjas dengan tatapan yang sangat memelas. Yang ditatap merasa sangat kaget dengan tatapan seperti itu. Seharusnya suasana di antara mereka berdua adalah suasana yang indah, karena kurang dari tiga bulan lagi Anjas berjanji akan membawa keluarganya untuk meminta Hana sebagai istrinya.
“Tapi sebelumnya, aku minta kamu berjanji untuk tidak marah.”
Mendengar kalimat kedua yang keluar dari mulut kekasihnya membuat ia berpikir bahwa Hana akan menyampaikan sesuatu yang buruk. Sesuatu yang bisa dianggap sebagai rahasia seorang gadis semanis dia. Dia mencoba menatap dalam-dalam ke mata Hana yang masih memancarkan rasa cemas.Lidahnya terasa kelu untuk mengiyakan atau menolak permintaan Hana. Dia masih berpikir Hana akan membuat satu pengakuan. Mungkin pengakuan yang pernah dia dengar dari kawan-kawannya tentang seorang gadis yang mengaku kalau dirinya tidak perawan lagi ketika hendak menikah. Dia menarik nafas dalam-dalam. Sungguh, dia tidak punya alasan untuk marah atau tidak. Dan dia pun tidak mengerti apakah dia harus kecewa atau menghadapi hal semacam itu dengan biasa-biasa saja. Lagi-lagi dia hanya bisa menatap mata Hana. Sepasang mata yang bulat besar dan selalu memancarkan kilat basah. Mata yang telah mengikatnya pada enam bulan perjalanan cinta gadis dan jejaka.
“Apakah …”
Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia tidak mampu bertanya lebih lanjut. Sejujurnya dia menunggu reaksi dari dirinya sendiri apabila sangkaannya itu benar adanya. Mata itu masih menatap lekat kepadanya. Pasrah. Benar-benar basah.
Dilihatnya Hana pun hanya mengangguk lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela. Cahaya matahari membuat wajahnya tampak lebih terang. Dia menghela nafas panjang. Seperti tengah melepas beban yang sangat berat. Tapi kemudian yang terjadi adalah Hana berdiri dan melangkah ke arah pintu.
“Kak. Kenapa kamu tidak bertanya apa yang membuat aku tidak perawan lagi?”
Hana mulai menangis. Sementara dia menduga Hana, dengan pertanyaannya itu, sudah pasti menganggapnya egois. Sama seperti lelaki lain yang menginginkan gadis idamannya masih dalam keadaan suci ketika dinikahi. Seperti Shinta, seorang dewi yang dijaga kesuciannya selama diculik oleh raja raksasa Rahwana dan juga lolos tanpa luka di hari pembakaran api suci oleh suaminya Rama. Padahal dia hanya merasakan kebimbangan untuk bersikap. Apakah dia akan mencontoh kelembutan ucapan Isa saaat bertemu seorang pelacur Samaria di tepi sumur atau ia akan ikut menangis bersama calon istri yang dicintainya dan menganggap dunia memang begitu jahat.
Dia membiarkan Hana melangkah keluar rumah tanpa berusaha mencegahnya. Dia tidak ingin merusak kesedihan, karena kesedihan adalah ruangan yang paling dekat dengan ruang Tuhan. Maka dibiarkannya Hana membawa pulang kesedihannya sebagaimana dia mengundang masuk kesedihannya sendiri ke dalam hati.Pagi hari, ketika dia mencabut charger telepon genggamnya, dia menemukan sejumlah pesan pendek yang belum terbaca. Semuanya dari Hana. Salah satu pesan pendek yang membuatnya begitu bahagia adalah tentang doa dan pengampunan dari Hana untuk orang-orang yang telah memperkosanya beberapa tahun silam. Kini dia tahu betapa Hana lebih baik dari wanita-wanita yang pernah dia baca kisah-kisahnya. Hana baginya adalah gadis idaman yang paling dia dambakan.

0 comments:

Post a Comment