HARI ULANG TAHUN SESEORANG
Hari ini, aku berada di kebun
belakang sebuah rumah mewah. Mungkin karena tergesa, atau sisa mabuk semalam,
aku tak ingat mengapa pada siang hari seperti ini aku sudah duduk dengan kikuk
pada bangku lipat berwarna merah tua. Sepasang kakiku mengenakan sepatu kulit
cokelat muda, dan celana hampir senada. Di atas kemeja putih yang kupakai,
seseorang atau mungkin aku yang tak sadar tadi pagi,
terdapat sweater yang didominasi warna putih tetapi dengan motif kotak-kotak cokelat tua. Seperti sweater yang dulu pernah dihadiahkan untukku dari seseorang teman yang habis jalan-jalan ke luar negeri. Entah Eropa atau Amerika. Rasanya aku mulai susah sekali mengingat segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku. Jangankan yang dulu-dulu, siang ini juga aku tak mengerti mengapa aku berada di kebun belakang sambil duduk dengan kikuk pada bangku lipat merah tua.
terdapat sweater yang didominasi warna putih tetapi dengan motif kotak-kotak cokelat tua. Seperti sweater yang dulu pernah dihadiahkan untukku dari seseorang teman yang habis jalan-jalan ke luar negeri. Entah Eropa atau Amerika. Rasanya aku mulai susah sekali mengingat segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku. Jangankan yang dulu-dulu, siang ini juga aku tak mengerti mengapa aku berada di kebun belakang sambil duduk dengan kikuk pada bangku lipat merah tua.
Dalam kebingungan, aku mencoba
memraktikkan apa yang disebut sebagai ilmu pengamatan lingkungan. Aku melihat
ke segala arah, apa yang ada di sana, apa yang tengah terjadi, dan beberapa
orang yang lalu lalang di kebun belakang ini. Perlahan aku mulai mengerti bahwa
di kebun belakang ini tengah disiapkan sebuah pesta. Di beberapa bagian kebun
telah ditata makanan di atas meja-meja panjang. Pada bagian belakang ada
beberapa lampu dan pengeras suara. Di dekat kolam renang, ada sebuah panggung
kecil dengan latar belakang papan yang dihiasi dengan gambar-gambar dan juga
tulisan “Selamat Ulang Tahun” yang menandakan bahwa pesta di kebun belakang ini
adalah pesta ulang tahun. Jadi, aku berada di sini sebagai tamu undangan pesta
ulang tahun seseorang. Pertanyaannya, siapakah yang berulang tahun itu, apakah
dia punya hubungan denganku, atau yang paling penting adalah siapa yang telah
membawaku ke sini? Semua pertanyaan itu harus segera dijawab sebelum tempat ini
mulai ramai. Paling tidak agar aku bisa menyesuaikan diri dan membaur dengan
para tamu undangan lainnya.
Mungkin, seseorang dari tamu itu
akan menanyakan pertanyaan yang sama dengan pertanyaanku tadi. Semisal apa
hubunganku dengan orang yang berulangtahun. Atau bisa lebih detail lagi seperti
menanyakan kapan pertama kali berjumpa atau dalam kesempatan apa aku pernah
bertemu dengan dia. Ini yang harus segera aku temukan jawabannya. Maka aku putuskan
untuk bangkit dari dudukku. Yang kutuju adalah bagian belakang rumah di
seberang kolam renang yang tengah ditebari bola berwarna-warni. Mungkin supaya
kelihatan semakin semarak pesta kebun itu. Belum lama aku berjalan, seseorang
segera menggamit lenganku.
“Mau ke mana, Pak?”
Aku segera menoleh padanya,
seorang perempuan dengan senyum yang manis. Rambutnya hitam legam dan wangi.
Matanya mengingatkan aku pada seseorang yang sudah lama sekali berada dalam
pikiranku.
“Ranti?”
Tiba-tiba saja aku bisa mengingat
nama seseorang yang baru saja berkelebat dalam benakku setelah aku melihat
matanya.
“Bukan, Pak. Aku Dewi, putrinya.”
Putrinya? Kenapa selama ini dia
tidak pernah bercerita jika sudah punya anak? Dia menikah dengan siapa? Dalam
hati aku merutuk karena di siang hari yang tidak terik dan dipenuhi beraneka
warna di kebun belakang ini aku justru dibekap dengan beragam pertanyaan yang
memintaku untuk bisa segera mendapatkan jawabannya.
Setelah mengatur nafas, aku
memberi isyarat padanya untuk ikut bersamaku kembali ke jajaran bangku lipat
merah tua itu. Dia mengangguk dan seperti seorang anak yang baik, dia menggamit
lenganku dan membimbingku ke sana.
“Kalau boleh aku tahu, siapa yang
membawaku ke mari?” Ini sebenarnya bukan pertanyaan pertama yang harus aku
temukan jawabannya dari deretan pertanyaan yang aku punya, tapi ini akan
memberiku banyak lubang cahaya pada kegelapan yang menyelimuti pikiranku.
Namun aku heran, mengapa dia
tersenyum mendengar pertanyaanku itu. Sepertinya pertanyaanku adalah sebuah
lelucon.
“Bapak. Tadi pagi, bapak itu
bangun sangat pagi. Lalu mandi dan berpakaian rapi. Dan karena Bapak bilang
bahwa hari ini Bapak harus menghadiri pesta ulang tahun Ibu, maka Bapak sama
Mas Sasongko, dibawa ke sini.”
“Sebentar. Sebentar. Ibu siapa
yang berulangtahun?” Itu pertanyaan pertama dalam daftar pertanyaanku, hanya
sudah diberi panduan bahwa yang berulangtahun itu adalah seorang perempuan.
Yang disebut Ibu olehnya.
“Ibu Miranti. Ibu saya.”
Miranti? Nah, kebetulan! Aku bisa
tanyakan padanya sekarang apa hubunganku dengan yang berulangtahun itu. Lalu di
mana dia?
“Ibu sudah lama meninggal. Lima
tahun yang lalu. Bapak lupa? Ah. Pasti Bapak mulai pikun.” Dia bercerita dengan
datar, tadinya, tapi lama-lama mukanya berubah ceria. Lalu dia berkata lagi,
“Bapak tahu, Mas Sasongko sering bilang pada saya, bahwa dia ingin sekali
seperti Bapak. Meskipun Ibu sudah lama meninggal, cinta Bapak terhadap Ibu
tetap menyala. Buktinya, sepanjang lima tahun ini, Bapak tidak pernah putus
menggelar perayaan ulang tahun Ibu!”
Jadi? Miranti adalah istriku dan
Dewi yang tengah berbicara padaku adalah anakku? Mengapa aku bisa lupa semua
ini dalam waktu semalam saja? Apa yang terjadi semalam denganku? Lagi. Semakin
banyak pertanyaan masuk ke dalam pikiranku. Tapi aku tak mau seperti tadi,
berusaha mencari jawabannya dengan segera. Aku memutuskan untuk tidak merusak
hari ulang tahun seseorang dengan membuka rahasia bahwa aku sudah mulai lupa
pada segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku. Aku kembali memraktikkan ilmu
pengamatan lingkungan dengan memandang panggung kecil di seberang kolam renang.
Tapi cahaya matahari yang memantul dari permukaan air membuat mataku terasa
sangat silau, dan tiba-tiba membuat air mataku jatuh.
Dewi segera mengeluarkan tisu
dari tasnya lalu mengusap pipi dan kelopak mataku, sambil berujar, ”Ibu pasti
bahagia di sana melihat Bapak masih mencintainya dengan sangat.”
Lagi-lagi dia tersenyum
memandangku.
SESEORANG YANG KUTEMUKAN DALAM HUJAN
“Hujan sialan!” Aku
merutuk kecil. Melepas jaketku dan mengibas-ngibaskannya karena basah. Mataku
menangkap seseorang berdiri dengan canggung di bawah naungan atap halte bus
itu. Rambut, bahu bajunya juga basah. Dia mungkin sama dengan aku, berhenti
berjalan karena hujan turun tiba-tiba. Aku tak hendak berkenalan, meskipun
dalam pikiranku menemukan beberapa nama seperti Sri, Ajeng, atau Galuh.
Tiba-tiba saja, ada
pertanyaan yang menggoda untuk aku sampaikan padanya,”Kau juga membenci hujan?”
Dia tersenyum dan mengangguk seolah mengiyakan. Hingga pertanyaan lain
menggelincir begitu saja,”Kenapa?”
“Hujan memperlambat
sebuah janji temu,” jawabnya cepat. Seolah hal itu adalah sebuah kesimpulan
dari serangkaian cerita yang ingin dia sampaikan. Dalam pikiranku merangkai
cerita sendiri. Gadis ini, entah Sri, Ajeng, atau Galuh namanya, sedang menuju
sebuah tempat yang telah disepakati olehnya dan teman atau kekasihnya yang
jaraknya tidak jauh dari sini sehingga dia berjalan kaki dan terpaksa dia
hentikan karena hujan tiba-tiba datang.
“Sepertinya hujan
akan membatalkan sebuah cerita.” Aku seperti dipaksa untuk bercerita karena
jawabannya yang pendek tadi. Lalu aku mengatakan bahwa seharusnya malam ini aku
berada di suatu perhelatan sastra di mana aku akan menjadi moderator dalam
diskusi buku kumpulan cerpen berjudul “Gerimis Anjing.”
“Gerimis Anjing?”
Tanyanya dengan alis terangkat. Pastinya dia terkejut dengan judul buku
kumpulan cerpen itu tadi.
“Ya. Gerimis Anjing.
Sebuah buku kumpulan cerpen karya seseorang yang tidak perlu disebut-sebut.
Karena dia tidaklah setenar Kurnia Effendi atau Triyanto Triwikromo,
penulis-penulis cerpen yang karyanya bisa dengan mudah kita temukan setiap
minggu di surat kabar.”
Dia hanya tersenyum.
Aku tahu dari ekspresinya, dia tidak tahu apa yang kubicarakan.
“Maaf, aku terlalu
banyak mengoceh.”
“Tak apa.”
Lagi-lagi jawabnya lebih singkat dari gemuruh di langit setelah kilat
menyambar.
Aku mengeluarkan
telepon genggam dari saku celana.
“Tak baik menelepon
saat hujan lebat,” katanya mencegah. Sepertinya dia tahu apa yang akan aku
lakukan.
“Kenapa?”
“Telepon genggam
memancarkan gelombang elektromagnetik yang bisa menarik energi lainnya seperti
listrik. Bisa-bisa kamu tersambar petir, nanti.”
“Itu ilmiah? Bisa
dipertanggungjawabkan?” Tanyaku sambil memasukkan kembali telepon genggamku
dengan ragu ke saku celana. “Bagaimana dengan mengirim pesan pendek? Apakah
bisa tersambar petir juga?”
Dia mengangkat bahu.
Aku rasa dia tidak paham juga dengan apa yang barusan diucapkannya kepadaku.
Atau informasi yang dia terima masih sepotong-sepotong.
“Aku ingin
memberitahukan bahwa aku tidak bisa datang tepat waktu,” kataku.
Dia menunjuk sebuah
taksi yang kelihatan melaju di kejauhan. “Kau bisa naik taksi.”
“Lalu bagaimana
dengan kamu?” Tanyaku.
“Aku akan menunggu
hujan reda saja. Tempat janji temuku tak jauh dari sini.”
Aku terdiam.
Menghitung dalam hati berapa sisa uang di dompetku. Apakah uang itu cukup untuk
ongkos taksi menuju tempat perhelatan sastra di daerah Bulungan itu atau tidak.
Sebenarnya aku berniat untuk jalan kaki ke arah perempatan lalu dari sana aku
akan naik metromini ke arah Bulungan. Cukup dengan uang dua ribu rupiah. Kalau
aku memutuskan naik taksi, bisa keluar ongkos tak kurang dari dua puluh ribu.
Apalagi hujan begini, jalanan pasti macet.
“Ah. Aku rasa telat
sedikit tak mengapa.”
“Apakah aku harus
merasa keberatan dengan hal itu?” Tanyanya.
Ya. Halte ini tempat
siapa saja menunggu angkutan umum. Siapa saja bisa bernaung menghindari hujan
di sini. Termasuk aku, dan Sri, atau Ajeng, atau Galuh ini. Entahlah siapa
namanya. Aku tak hendak berkenalan dengannya. Bukan lantaran menurutku dia
tidak cantik atau terlalu kurus, atau karena apa pun. Aku memang tidak sedang
ingin berkenalan dengan seseorang. Siapapun dia.
“Apakah kau juga membenci
hujan?” Dia tiba-tiba menanyakan yang tadi kutanyakan kepadanya.
Aku berusaha
mengingat dengan baik larik-larik sajak Sapardi, atau siapa saja tentang hujan.
Tapi tak ada yang kuingat selain sebuah peristiwa tentang seseorang yang
menangis. Dengan seorang bayi yang diselimuti dan didekap erat, dia menenteng
sebuah koper besar. Tepatnya menyeret koper itu. Sebuah rumah besar berwarna
putih terlihat terang ketika petir menyambar. Suara seorang pria berkumis
bercampur dengan bunyi guruh. Entah apa yang dia katakan. Tapi yang jelas
membuat perempuan dengan bayi di gendongannya itu semakin deras airmatanya.
Rasanya sejak itu,
aku membenci apapun yang berkaitan dengan hujan. Termasuk seseorang yang
kutemukan dalam hujan. Seperti Sri, Ajeng, atau Galuh yang sedang menunggu
hujan reda di dalam halte bus ini.
Tiba-tiba kulihat
awan gelap seperti menyisih. Hujan berubah jadi gerimis yang tidak kencang.
Segerombolan burung terbang dari pepohonan. Aku memakai kembali jaketku.
“Hujan hampir reda.
Aku pergi dulu ya.” Kataku dengan nada yang kuinginkan keluar dari bibirku
begitu sopan. Seperti seorang anak pamit bermain kepada ibunya.
POHON DI TENGAH ALUN-ALUN
Dia baru bisa membaca
saat pertama kali diajak bersepeda - tepatnya dibonceng - ibunya saat
mengetahui ada keganjilan dari apa yang dia lihat di alun-alun kota. Ada
sebatang pohon asam gelugur tua, bukan beringin, tumbuh di tengah alun-alun
itu. Padahal menurut cerita-cerita yang sering dilontarkan bibir ibunya, adalah
pohon beringin yang biasanya ditanam sebagai lambang pengayoman kepala daerah
kepada rakyatnya. Cabang-cabangnya yang rindang membentuk kanopi yang sangat
teduh. Di antara dahan dan rantingnya yang rimbun, puluhan burung tekukur dan
perkutut membuat sarang.
Dia mencoba mengeja nama latin dari pohon asam gelugur itu. Sebuah nama yang terasa sangat ganjil bagi lidahnya yang terbiasa dengan logat kental tanah kelahirannya. “Tam..mar..rindus in..di..ca,” Ejanya. Ibunya hanya bisa tersenyum. Bangga karena anak berumur empat tahun itu bisa membaca dengan cukup lancar.
Dia memandang ibunya dengan mata sedikit berbinar. Ibunya tahu, sekejap lagi anaknya itu pasti akan bertanya sesuatu. Dan benar saja, tak lama kemudian dari mulutnya yang kecil meluncurlah sebuah pertanyaan yang ibunya sendiri tidak tahu jawabannya. “Apa artinya itu, Bu?”
+++
Dia baru tahu bertahun-tahun kemudian bahwa nama latin Tamarindus indica berasal dari beragam bahasa. Tamarindus berasal dari bahasa Arab: Tamr Hindi, yang berarti kurma dari India. Tapi dia tidak mengerti mengapa disebut sebagai kurma, sebab buah dari pohon itu berasa asam sehingga di tanah kelahirannya disebut sebagai pohon dan buah asam, bukan kurma.
Dia juga belum mengerti mengapa di alun-alun kotanya itu bukan beringin yang ditanam di tengah-tengahnya melainkan pohon asam gelugur itu. Padahal pohon itu tidaklah terlalu rindang, dan cabang serta rantingnya mudah sekali patah. Tapi dia tahu, ibunya sering sekali membuat minuman dengan bahan dasar buah asam yang sudah sangat masak. Minuman yang segar itu bernama serbat. Enak diminum ketika cuaca sangat terik. Daun mudanya juga bisa dibuat minuman dengan mencampurnya dengan bahan-bahan lain seperti kunyit, juga bisa sebagai obat batuk dan demam. Karena itu, beberapa kali ibunya mengajak ke alun-alun itu sekedar mengambil buah yang jatuh, memetik daun muda, dan mengelupas kulit kayunya.
+++
Sesekali, dia melihat pada kedua mata ibunya itu merebak air mata. Dan sesaat kemudian, kadang kala, raut yang tampak sedih itu bisa berubah menjadi wajah yang penuh amarah. Dia tidak pernah mau menanyakannya, sebab jika dia bertanya bisa-bisa menambah tekanan perasaan pada ibunya. Dia tak mau itu terjadi.
Untuk mengubahkan suasana hati ibunya itu, dia kadang segera menyibukkan diri mencari jangkrik pada rerumputan di sekitar kaki pohon yang besar itu. Lalu dengan riangnya, disorongkan jangkrik yang tertangkap itu sambil berceloteh akan dikumpulkan sebanyak-banyaknya jangkrik untuk makanan burung-burung peliharaan kakek.
Selain dia, laki-laki yang ada di rumah adalah kakeknya. Kakek yang pendiam dan selalu sibuk dengan burung-burung peliharaannya. Beberapa hari dalam seminggu, kakek pergi mengikuti kontes burung berkicau. Sebenarnya dia juga ingin menangkapi burung-burung yang bersarang di pohon itu, tetapi tak satu pun burung di pohon tersebut menyerupai burung-burung yang ada dalam sangkar-sangkar milik kakeknya.
Kakek jarang sekali berbicara dengan ibu maupun dirinya. Ibu pernah bilang bahwa kakek tidak pernah menyetujui hadirnya laki-laki yang tak pernah lagi ada di sekitar dia dan ibunya. Ayahnya. Mungkin itu yang membuat ibunya sering bersedih atau marah setiap kali berada di dekat pohon asam di tengah alun-alun itu.
+++
Sampai suatu hari, menjelang hari pernikahannya, dia memberanikan diri bertanya kepada ibunya.
“Bu, dulu sewaktu aku kecil Ibu sering sekali membawaku pergi ke alun-alun memetik daun asam, mengumpulkan buahnya, dan sesekali mengerat kulit kayunya. Apakah Ibu ingat itu?”
Ibunya tersenyum dan mengelus kepalanya yang berada dekat dengan pangkuan.
“Tentu Ibu ingat. Apa yang ingin engkau tanyakan sebenarnya?”
Dengan menghela nafas panjang dan berat, dia menanyakan hal yang bertahun-tahun disimpan.
“Mengapa Ibu selalu menangis dan juga marah setiap kali kita ke sana? Kenangan apakah yang sebenarnya Ibu simpan?”
+++
Semenjak Ibunya tak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi antara Ibunya dengan pohon asam gelugur di tengah alun-alun, dia tak pernah lagi bertanya. Hanya pada suatu reuni dengan teman-teman sekolahnya, dia bertemu Karman yang kini menjabat Sekretaris Daerah.
Dia yang kaget dengan penataan alun-alun kotanya itu mendapat penjelasan bahwa pohon asam gelugur itu sudah ditebang dan diganti dengan sebuah tugu berbentuk runcing yang menggambarkan keteguhan dan perjuangan untuk meraih cita-cita yang lebih baik.
“Oh. Pohon asam itu terlalu banyak menyimpan cerita pahit,” Jelas Karman ketika dia menanyakan alasan penebangan pohon itu.
“Memang cerita macam apa sehingga warga kota tak menginginkan pohon itu tidak perlu lagi ada di tengah alun-alun?” Dia tampak ingin menuntaskan rasa penasaran yang sekian lama bercokol itu.
“Kau pernah mendengar hukum picis, bukan? Seseorang yang dinyatakan bersalah disayat kulitnya dan pada lukanya itu diteteskan cairan dari buah asam. Dulu, pohon itu menjadi terkenal gara-gara seorang perampok besar menemui hari sialnya. Dia ditangkap dan ramai-ramai warga menghukumnya. Setiap orang menyayat kulitnya dan menyiramnya dengan cairan buah asam. Dia menemui ajal dengan tubuh hampir seluruhnya terkelupas kulitnya.”
“Perampok besar? Siapa namanya?”
“Orang-orang menyebutnya Man Jaha.”
Mendengar nama itu, dia menjadi sangat maklum mengapa kakeknya tak pernah mau bicara dengan ibu dan dirinya. Terlebih, dia pun kini bisa merasakan kesedihan dan kemarahan yang sama dengan ibunya jika dia mengingat pohon asam di tengah alun-alun itu. Untunglah, kini pohon asam itu sudah tidak ada lagi.
Dia mencoba mengeja nama latin dari pohon asam gelugur itu. Sebuah nama yang terasa sangat ganjil bagi lidahnya yang terbiasa dengan logat kental tanah kelahirannya. “Tam..mar..rindus in..di..ca,” Ejanya. Ibunya hanya bisa tersenyum. Bangga karena anak berumur empat tahun itu bisa membaca dengan cukup lancar.
Dia memandang ibunya dengan mata sedikit berbinar. Ibunya tahu, sekejap lagi anaknya itu pasti akan bertanya sesuatu. Dan benar saja, tak lama kemudian dari mulutnya yang kecil meluncurlah sebuah pertanyaan yang ibunya sendiri tidak tahu jawabannya. “Apa artinya itu, Bu?”
+++
Dia baru tahu bertahun-tahun kemudian bahwa nama latin Tamarindus indica berasal dari beragam bahasa. Tamarindus berasal dari bahasa Arab: Tamr Hindi, yang berarti kurma dari India. Tapi dia tidak mengerti mengapa disebut sebagai kurma, sebab buah dari pohon itu berasa asam sehingga di tanah kelahirannya disebut sebagai pohon dan buah asam, bukan kurma.
Dia juga belum mengerti mengapa di alun-alun kotanya itu bukan beringin yang ditanam di tengah-tengahnya melainkan pohon asam gelugur itu. Padahal pohon itu tidaklah terlalu rindang, dan cabang serta rantingnya mudah sekali patah. Tapi dia tahu, ibunya sering sekali membuat minuman dengan bahan dasar buah asam yang sudah sangat masak. Minuman yang segar itu bernama serbat. Enak diminum ketika cuaca sangat terik. Daun mudanya juga bisa dibuat minuman dengan mencampurnya dengan bahan-bahan lain seperti kunyit, juga bisa sebagai obat batuk dan demam. Karena itu, beberapa kali ibunya mengajak ke alun-alun itu sekedar mengambil buah yang jatuh, memetik daun muda, dan mengelupas kulit kayunya.
+++
Sesekali, dia melihat pada kedua mata ibunya itu merebak air mata. Dan sesaat kemudian, kadang kala, raut yang tampak sedih itu bisa berubah menjadi wajah yang penuh amarah. Dia tidak pernah mau menanyakannya, sebab jika dia bertanya bisa-bisa menambah tekanan perasaan pada ibunya. Dia tak mau itu terjadi.
Untuk mengubahkan suasana hati ibunya itu, dia kadang segera menyibukkan diri mencari jangkrik pada rerumputan di sekitar kaki pohon yang besar itu. Lalu dengan riangnya, disorongkan jangkrik yang tertangkap itu sambil berceloteh akan dikumpulkan sebanyak-banyaknya jangkrik untuk makanan burung-burung peliharaan kakek.
Selain dia, laki-laki yang ada di rumah adalah kakeknya. Kakek yang pendiam dan selalu sibuk dengan burung-burung peliharaannya. Beberapa hari dalam seminggu, kakek pergi mengikuti kontes burung berkicau. Sebenarnya dia juga ingin menangkapi burung-burung yang bersarang di pohon itu, tetapi tak satu pun burung di pohon tersebut menyerupai burung-burung yang ada dalam sangkar-sangkar milik kakeknya.
Kakek jarang sekali berbicara dengan ibu maupun dirinya. Ibu pernah bilang bahwa kakek tidak pernah menyetujui hadirnya laki-laki yang tak pernah lagi ada di sekitar dia dan ibunya. Ayahnya. Mungkin itu yang membuat ibunya sering bersedih atau marah setiap kali berada di dekat pohon asam di tengah alun-alun itu.
+++
Sampai suatu hari, menjelang hari pernikahannya, dia memberanikan diri bertanya kepada ibunya.
“Bu, dulu sewaktu aku kecil Ibu sering sekali membawaku pergi ke alun-alun memetik daun asam, mengumpulkan buahnya, dan sesekali mengerat kulit kayunya. Apakah Ibu ingat itu?”
Ibunya tersenyum dan mengelus kepalanya yang berada dekat dengan pangkuan.
“Tentu Ibu ingat. Apa yang ingin engkau tanyakan sebenarnya?”
Dengan menghela nafas panjang dan berat, dia menanyakan hal yang bertahun-tahun disimpan.
“Mengapa Ibu selalu menangis dan juga marah setiap kali kita ke sana? Kenangan apakah yang sebenarnya Ibu simpan?”
+++
Semenjak Ibunya tak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi antara Ibunya dengan pohon asam gelugur di tengah alun-alun, dia tak pernah lagi bertanya. Hanya pada suatu reuni dengan teman-teman sekolahnya, dia bertemu Karman yang kini menjabat Sekretaris Daerah.
Dia yang kaget dengan penataan alun-alun kotanya itu mendapat penjelasan bahwa pohon asam gelugur itu sudah ditebang dan diganti dengan sebuah tugu berbentuk runcing yang menggambarkan keteguhan dan perjuangan untuk meraih cita-cita yang lebih baik.
“Oh. Pohon asam itu terlalu banyak menyimpan cerita pahit,” Jelas Karman ketika dia menanyakan alasan penebangan pohon itu.
“Memang cerita macam apa sehingga warga kota tak menginginkan pohon itu tidak perlu lagi ada di tengah alun-alun?” Dia tampak ingin menuntaskan rasa penasaran yang sekian lama bercokol itu.
“Kau pernah mendengar hukum picis, bukan? Seseorang yang dinyatakan bersalah disayat kulitnya dan pada lukanya itu diteteskan cairan dari buah asam. Dulu, pohon itu menjadi terkenal gara-gara seorang perampok besar menemui hari sialnya. Dia ditangkap dan ramai-ramai warga menghukumnya. Setiap orang menyayat kulitnya dan menyiramnya dengan cairan buah asam. Dia menemui ajal dengan tubuh hampir seluruhnya terkelupas kulitnya.”
“Perampok besar? Siapa namanya?”
“Orang-orang menyebutnya Man Jaha.”
Mendengar nama itu, dia menjadi sangat maklum mengapa kakeknya tak pernah mau bicara dengan ibu dan dirinya. Terlebih, dia pun kini bisa merasakan kesedihan dan kemarahan yang sama dengan ibunya jika dia mengingat pohon asam di tengah alun-alun itu. Untunglah, kini pohon asam itu sudah tidak ada lagi.
BERANAK DALAM HUJAN
“Sudah, tidak apa-apa. Paling sebentar
lagi terang.” Kardasih menolak diminta menunggu sejenak oleh Hasim untuk
diambilkan payung lantaran di sore yang masih menyisakan terik matahari
tiba-tiba turun hujan.
“Justru itu. Kalau kau kena hujan yang sebentar, nanti malah sampai rumah kau dikira habis tercebur di sungai.” Hasim bersikeras agar Kardasih pulang berpayung.
Akhirnya gadis itu duduk kembali. Dari teras rumah itu, Kardasih memandangi langit yang terang benderang ditingkahi butiran-butiran hujan. Tercium pula ruap bau tanah yang tersiram. Dan terdengar bunyi seperti langkah-langkah kanak-kanak yang berkejaran dengan riang gembira. Kardasih berharap sebentar lagi muncul semburat aneka warna di antara awan-awan putih dan kelabu itu.
Tiba-tiba dia mendengar suara yang terdengar samar tetapi terkesan berat. Suara itu tak sanggup dia pastikan arahnya. Tak lama kemudian terdengar suara lain yang melengking tetapi juga samar. Sebentar saja suara-suara itu terdengar tetapi mampu membuatnya terjerat perasaan ganjil. Kuduknya terasa dingin. Tangan kanannya menyusup ke balik kerah baju dan menggosok tengkuknya sendiri.
“Ini payungnya,” Hasim tiba-tiba sudah berdiri di dekat pintu sambil mengangsurkan payung berwarna abu-abu kepadanya.
“Ih! Kau bikin aku kaget saja.” Teriak Kadarsih. Tubuhnya terguncang ke belakang dari posisi duduknya semula. Setelah agak tenang, Kadarsih menyambut payung yang diulur Hasim dan meletakkannya di atas meja di hadapannya.
“Mmm. Sim, Apakah di sini, di rumah ini angker?”
“Angker? Ada apa kau bertanya seperti itu?” Hasim balik bertanya sambil menghempaskan tubuhnya pada kursi di dekat Kadarsih.
Yang ditanya diam saja. Tangan Kadarsih kembali mengusap tengkuknya sambil berkata,”Aku merasa sedikit takut saja.”
“Di rumah ini tidak pernah terjadi hal-hal yang aneh. Apalagi keluargaku bukanlah orang-orang yang gampang ditakuti dengan urusan yang berbau mistis atau supranatural.”
Kadarsih tidak menanggapi perkataan Hasim. Tetapi raut wajahnya menunjukkan perasaan antara bingung dan takut. Melihat hal itu, Hasim mengambil payung dari atas meja dan bangkit seraya berkata,” Ya sudah. Biar aku antar kau pulang.”
“Justru itu. Kalau kau kena hujan yang sebentar, nanti malah sampai rumah kau dikira habis tercebur di sungai.” Hasim bersikeras agar Kardasih pulang berpayung.
Akhirnya gadis itu duduk kembali. Dari teras rumah itu, Kardasih memandangi langit yang terang benderang ditingkahi butiran-butiran hujan. Tercium pula ruap bau tanah yang tersiram. Dan terdengar bunyi seperti langkah-langkah kanak-kanak yang berkejaran dengan riang gembira. Kardasih berharap sebentar lagi muncul semburat aneka warna di antara awan-awan putih dan kelabu itu.
Tiba-tiba dia mendengar suara yang terdengar samar tetapi terkesan berat. Suara itu tak sanggup dia pastikan arahnya. Tak lama kemudian terdengar suara lain yang melengking tetapi juga samar. Sebentar saja suara-suara itu terdengar tetapi mampu membuatnya terjerat perasaan ganjil. Kuduknya terasa dingin. Tangan kanannya menyusup ke balik kerah baju dan menggosok tengkuknya sendiri.
“Ini payungnya,” Hasim tiba-tiba sudah berdiri di dekat pintu sambil mengangsurkan payung berwarna abu-abu kepadanya.
“Ih! Kau bikin aku kaget saja.” Teriak Kadarsih. Tubuhnya terguncang ke belakang dari posisi duduknya semula. Setelah agak tenang, Kadarsih menyambut payung yang diulur Hasim dan meletakkannya di atas meja di hadapannya.
“Mmm. Sim, Apakah di sini, di rumah ini angker?”
“Angker? Ada apa kau bertanya seperti itu?” Hasim balik bertanya sambil menghempaskan tubuhnya pada kursi di dekat Kadarsih.
Yang ditanya diam saja. Tangan Kadarsih kembali mengusap tengkuknya sambil berkata,”Aku merasa sedikit takut saja.”
“Di rumah ini tidak pernah terjadi hal-hal yang aneh. Apalagi keluargaku bukanlah orang-orang yang gampang ditakuti dengan urusan yang berbau mistis atau supranatural.”
Kadarsih tidak menanggapi perkataan Hasim. Tetapi raut wajahnya menunjukkan perasaan antara bingung dan takut. Melihat hal itu, Hasim mengambil payung dari atas meja dan bangkit seraya berkata,” Ya sudah. Biar aku antar kau pulang.”
Di dalam hujan selalu ada kegelisahan.
Gelisah agar badan tidak basah, gelisah agar perjalanan ini cepatlah sudah.
Kadarsih berjalan berpayung dengan tergesa. Percikan air dari genangan
sepanjang jalan mengenai roknya yang panjang. Namun dia merasa setiap dia
melangkah, ada pula yang mengiringinya. Merasa semakin cemas, Kadarsih berjalan
semakin cepat. Lalu terdengar seperti orang berbisik di dekatnya. “Ssh..Ssh...”
“Barangkali hanya angin,” Kadarsih semakin mempercepat langkah kakinya. Akhirnya dia tiba di depan rumahnya. Dia pun menyeru kepada ibunya. “Ibu. Ibu. Tolong buka pintu!” Kadarsih mengetuk-ketuk daun pintu. Saat dia mencoba melihat ke dalam rumah melalui jendela, di kaca jendela dia melihat ada sesosok perempuan menggendong bayi berdiri tepat di belakangnya.
“Ya Tuhan! Siapa kau!” Kadarsih menjerit. Dia tidak mau menoleh ke belakang. Dia semakin keras memanggil-manggil ibunya dan mengetuk-ngetuk daun pintu dan jendela. Dari kaca jendela, dia melihat sosok perempuan itu semakin mendekat kepadanya. Dan setelah semakin dekat, dia bisa melihat wajah perempuan dan bayinya yang ternyata menyeramkan. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa. Kadarsih jatuh pingsan di depan pintu rumahnya.
“Barangkali hanya angin,” Kadarsih semakin mempercepat langkah kakinya. Akhirnya dia tiba di depan rumahnya. Dia pun menyeru kepada ibunya. “Ibu. Ibu. Tolong buka pintu!” Kadarsih mengetuk-ketuk daun pintu. Saat dia mencoba melihat ke dalam rumah melalui jendela, di kaca jendela dia melihat ada sesosok perempuan menggendong bayi berdiri tepat di belakangnya.
“Ya Tuhan! Siapa kau!” Kadarsih menjerit. Dia tidak mau menoleh ke belakang. Dia semakin keras memanggil-manggil ibunya dan mengetuk-ngetuk daun pintu dan jendela. Dari kaca jendela, dia melihat sosok perempuan itu semakin mendekat kepadanya. Dan setelah semakin dekat, dia bisa melihat wajah perempuan dan bayinya yang ternyata menyeramkan. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa. Kadarsih jatuh pingsan di depan pintu rumahnya.
“Mari masuk, Kadarsih,” sambut seorang
perempuan kepadanya. Di depannya sebuah rumah cukup ramai dengan tetamu.
Kadarsih bingung, bagaimana bisa perempuan itu tahu namanya. Terlebih dirinya
tidak mengetahui siapa perempuan yang menyapanya itu.
“Kenalkan aku Nastiti.” Tiba-tiba perempuan itu mengulur tangan seolah paham apa yang menjadi pikiran Kadarsih tentang dirinya. “Aku mengenalmu sewaktu kamu dulu bermain di bawah pohon nangka tetanggamu. Aku berdiam di situ.”
Pohon nangka? Berdiam di situ? Kadarsih semakin bingung dengan perkataan Nastiti. Akan tetapi dia tidak bisa berlama-lama berdiri tertegun karena Nastiti menggandeng tangannya dan mereka berjalan ke dalam rumah yang penuh tetamu.
“Ini rumah siapa?” Kadarsih memberanikan diri bertanya.
“Ini rumah Giranda. Dia mengundangmu hari ini ke rumahnya karena kau adalah saksi kebahagiaan yang dia terima dan rasakan.”
Menjadi saksi dari sebuah kebahagiaan? Kebahagiaan apa?
“Ah. Mungkin kau belum paham Kadarsih. Kau terlihat oleh Giranda ketika dia melahirkan di teras rumah Hasim, temanmu.” Lagi-lagi Nastiti seperti menjawab pertanyaan yang berputar di dalam kepalanya.
Kadarsih berpikir mungkin Nastiti bisa membaca pikirannya. Jika benar demikian, dia tidak boleh sembarang berpikir yang bukan-bukan tentang segala sesuatu yang sedang berlangsung di hadapannya.
“Tenang saja, Kadarsih. Kami tidak akan membuatmu susah.” Oh, tidak! Lagi-lagi Nastiti melakukannya.Nastiti dan Kadarsih masuk ke dalam rumah yang dihiasi lampu dan sangat riuh itu. Terlihat aneka hidangan tersedia di atas meja. Para tetamu duduk dan bercakap-cakap hampir di seluruh ruangan. Nastiti membimbing Kadarsih masuk lebih jauh ke dalam rumah itu menuju sebuah kamar.
“Masuk! Mari. Mari.” Dari dalam kamar terdengar suara perempuan dengan nada gembira.
Nastiti menyibak tirai dan nampaklah seorang perempuan cantik berbaring di sebuah ranjang yang besar. Di sampingnya terbaring juga bayi yang montok dan berkulit putih. Persis seperti kulit perempuan itu. Nastiti dan Kadarsih menghampiri perempuan itu dan menyalaminya.
“Kadarsih,” Demikianlah Kadarsih bersalaman dan menyebutkan namanya.
“Ah. Aku sudah tahu namamu. Aku Giranda. Maafkan aku mengundangmu dengan cara yang tidak lazim.”
“Apa maksudmu?”
“Maaf. Aku tak bermaksud menakut-nakutimu waktu aku mengikutimu berjalan di bawah hujan. Maksudku hanyalah ingin menunjukkan kebahagiaanku, memberitahu kepadamu bahwa aku sungguh gembira karena telah melahirkan anak ini. Gandira.” Katanya sambil telunjuknya mengusap lembut kening bayi yang tertidur.
”Jadi?” Kadarsih teringat wajah perempuan dan bayinya di dalam kaca jendela rumahnya.
“Betul. Itu aku dan Gandira. Maafkan telah mengejutkanmu.”Kadarsih kini berpikir keras: bukankah dia sedang mengetuk pintu dan jendela sebelum dia tidak ingat apa-apa lagi setelah melihat dua buah wajah yang menyeramkan?
“Aduh. Tolong jangan diingat-ingat lagi peristiwa itu.” Giranda memohon. “Maafkan aku. Tak seharusnya begitu kejadiannya. Aku hanya ingin mengundangmu karena kau adalah saksi proses kelahiranku.”
“Aku tidak melihat apa-apa di beranda rumah Hasim! Kenapa dari tadi kalian bilang aku menjadi saksi sebuah kelahiran?”
“Kau memang tidak melihat apa-apa, Kadarsih. Tetapi kau mendengar suara Giranda dan suara Gandira. Itu sudah cukup untuk membuat kami merasa bahwa kau adalah saksi.” jawab Nastiti.
“Aku tidak mengerti. Sekarang pulangkan aku!” Jerit Kadarsih.
“Sabarlah, Kadarsih. Sabarlah. Buatlah kami senang dengan mencicipi hidangan kami,” Giranda memegang pundak Kadarsih lalu membentangkan sebelah tangan seakan mempersilakan Kadarsih ke ruangan depan untuk makan.
“Tidak. Tidak. Pulangkan aku sekarang!” Kadarsih menjerit sejadi-jadinya.
“Kenalkan aku Nastiti.” Tiba-tiba perempuan itu mengulur tangan seolah paham apa yang menjadi pikiran Kadarsih tentang dirinya. “Aku mengenalmu sewaktu kamu dulu bermain di bawah pohon nangka tetanggamu. Aku berdiam di situ.”
Pohon nangka? Berdiam di situ? Kadarsih semakin bingung dengan perkataan Nastiti. Akan tetapi dia tidak bisa berlama-lama berdiri tertegun karena Nastiti menggandeng tangannya dan mereka berjalan ke dalam rumah yang penuh tetamu.
“Ini rumah siapa?” Kadarsih memberanikan diri bertanya.
“Ini rumah Giranda. Dia mengundangmu hari ini ke rumahnya karena kau adalah saksi kebahagiaan yang dia terima dan rasakan.”
Menjadi saksi dari sebuah kebahagiaan? Kebahagiaan apa?
“Ah. Mungkin kau belum paham Kadarsih. Kau terlihat oleh Giranda ketika dia melahirkan di teras rumah Hasim, temanmu.” Lagi-lagi Nastiti seperti menjawab pertanyaan yang berputar di dalam kepalanya.
Kadarsih berpikir mungkin Nastiti bisa membaca pikirannya. Jika benar demikian, dia tidak boleh sembarang berpikir yang bukan-bukan tentang segala sesuatu yang sedang berlangsung di hadapannya.
“Tenang saja, Kadarsih. Kami tidak akan membuatmu susah.” Oh, tidak! Lagi-lagi Nastiti melakukannya.Nastiti dan Kadarsih masuk ke dalam rumah yang dihiasi lampu dan sangat riuh itu. Terlihat aneka hidangan tersedia di atas meja. Para tetamu duduk dan bercakap-cakap hampir di seluruh ruangan. Nastiti membimbing Kadarsih masuk lebih jauh ke dalam rumah itu menuju sebuah kamar.
“Masuk! Mari. Mari.” Dari dalam kamar terdengar suara perempuan dengan nada gembira.
Nastiti menyibak tirai dan nampaklah seorang perempuan cantik berbaring di sebuah ranjang yang besar. Di sampingnya terbaring juga bayi yang montok dan berkulit putih. Persis seperti kulit perempuan itu. Nastiti dan Kadarsih menghampiri perempuan itu dan menyalaminya.
“Kadarsih,” Demikianlah Kadarsih bersalaman dan menyebutkan namanya.
“Ah. Aku sudah tahu namamu. Aku Giranda. Maafkan aku mengundangmu dengan cara yang tidak lazim.”
“Apa maksudmu?”
“Maaf. Aku tak bermaksud menakut-nakutimu waktu aku mengikutimu berjalan di bawah hujan. Maksudku hanyalah ingin menunjukkan kebahagiaanku, memberitahu kepadamu bahwa aku sungguh gembira karena telah melahirkan anak ini. Gandira.” Katanya sambil telunjuknya mengusap lembut kening bayi yang tertidur.
”Jadi?” Kadarsih teringat wajah perempuan dan bayinya di dalam kaca jendela rumahnya.
“Betul. Itu aku dan Gandira. Maafkan telah mengejutkanmu.”Kadarsih kini berpikir keras: bukankah dia sedang mengetuk pintu dan jendela sebelum dia tidak ingat apa-apa lagi setelah melihat dua buah wajah yang menyeramkan?
“Aduh. Tolong jangan diingat-ingat lagi peristiwa itu.” Giranda memohon. “Maafkan aku. Tak seharusnya begitu kejadiannya. Aku hanya ingin mengundangmu karena kau adalah saksi proses kelahiranku.”
“Aku tidak melihat apa-apa di beranda rumah Hasim! Kenapa dari tadi kalian bilang aku menjadi saksi sebuah kelahiran?”
“Kau memang tidak melihat apa-apa, Kadarsih. Tetapi kau mendengar suara Giranda dan suara Gandira. Itu sudah cukup untuk membuat kami merasa bahwa kau adalah saksi.” jawab Nastiti.
“Aku tidak mengerti. Sekarang pulangkan aku!” Jerit Kadarsih.
“Sabarlah, Kadarsih. Sabarlah. Buatlah kami senang dengan mencicipi hidangan kami,” Giranda memegang pundak Kadarsih lalu membentangkan sebelah tangan seakan mempersilakan Kadarsih ke ruangan depan untuk makan.
“Tidak. Tidak. Pulangkan aku sekarang!” Kadarsih menjerit sejadi-jadinya.
GADIS IDAMAN
Dahi
yang ditumbuhi sebuah jerawat tampak lebih mengkilat dari biasanya. Sinar lampu
sorot dari atas balkon yang mengarah ke altar yang telah membuat lebih indah
sesuatu yang sebenarnya memang sudah tampak indah. Seorang gadis di deretan
bangku depan dengan mata besar dan alis yang lebat sudah lama memikat hatinya.
Dia selalu melihat ada kilat basah pada kedua matanya itu. Dia yakin kalau
gadis itu selalu berdoa dengan sungguh-sungguh. Pun ketika melantunkan
lagu-lagu pujian. Tampaknya ada semacam kerinduan yang mendalam dari gadis itu
kepada Tuhan. Lantas dia merasa harus mengenal gadis itu sesegera mungkin. Ya,
sesegera mungkin.
"Shalom,"
sapanya sembari tersenyum ketika gadis itu baru saja hendak mendaratkan sebelah
kakinya dari anak tangga ke lantai dasar. Degup jantung lantas dirasa lebih
cepat, sebab sebentar lagi dia akan bisa memandang mata besar yang senantiasa
basah dan dahi yang tampak berkilat dengan sangat jelas.
“Shalom.”
Gadis itu kaget dan tersipu. Sungguh pemandangan yang terjadi seperti dalam
film-film romantis tahun 70an di mana istilah malu-malu kucing atau jinak-jinak
merpati sering didengar. Hanya saja ada sebuah pertanyaan membuat segalanya
berbeda.
“Ada
apa, Kak?”
Lelaki
muda itu menelan ludah sebelum bercerita panjang lebar tentang ketertarikan
dirinya kepada gadis itu. Terlebih dia sudah berulang kali melihat gadis itu
menangis ketika berdoa. Lantas dia mengulurkan tangan sambil menyebutkan nama sambil
berharap gadis itu pun melakukan hal yang sama.
“Anjas.”
Sekali lagi diucapkan namanya. Kali ini terasa lebih tegas karena gadis itu tak
menyambut uluran tangannya terlebih mengucapkan nama. Dan dia kembali termangu
ketika tiba-tiba yang dihadapinya hanyalah kekosongan, karena gadis itu berlari
menjauh.
Minggu
berikutnya, dia masih menjumpai pemandangan yang sama. Gadis di deretan bangku
depan, hanya saja jerawat di dahinya sudah tidak ada. Makin sempurna
kecantikannya, demikian pikirnya. Tiba-tiba dia seperti disadarkan sudah
beberapa minggu dia datang ke gereja untuk melihat gadis itu dan hal itu
membuatnya tidak khusyuk berdoa kepada Tuhan. Pandangannya kini menghujam di
lantai keramik. Di depan, pendeta yang sedang berkotbah mengumumkan ‘altar call’.
Dan ujung matanya menangkap gadis itu beranjak dari bangkunya.
“Shalom,
Kak Anjas.”
Dia
dikejutkan dengan sapaan yang pernah didengarnya. Hanya saja kali ini ada nada
riang dari sapaan itu, tidak seperti waktu dia mendengar jawaban yang
terbata-bata dan penuh kemuraman. Dilihatnya gadis idamannya sudah berdiri di
depannya dan mengulurkan tangan kepadanya. Menanti disambut.
“Hana.”
Demikianlah
sebuah nama meluncur dari bibirnya. Dia masih tidak percaya. Matanya menatap ke
arah mata besar yang masih menyisakan kilat basah karena menangis. Perlahan
tapi kemudian menjadi gerak yang cepat dan agak tergopoh, dia menyambut tangan
gadis yang kini telah bernama baginya.
“Shalom,
Hana.”
Senyumnya
pun mengembang. Tangan yang dijabatnya kemudian terasa terayun ke belakang,
tanda minta dilepaskan dari jabatan tangannya, membuat dia merasa malu telah
terlena.
Tak
lama keduanya pun mulai bertukar kisah tentang berapa lama berbakti di gereja
itu, sekolah di mana, dan keluarga dengan akrab. Sementara di luar, angin yang
membawa awan mendung melempar-lempar sebuah daun dari jalan ke halaman gereja.
“Aku
ingin kamu mendengar sebuah cerita, Mas.”
Hana
menatap Anjas dengan tatapan yang sangat memelas. Yang ditatap merasa sangat
kaget dengan tatapan seperti itu. Seharusnya suasana di antara mereka berdua
adalah suasana yang indah, karena kurang dari tiga bulan lagi Anjas berjanji
akan membawa keluarganya untuk meminta Hana sebagai istrinya.
“Tapi
sebelumnya, aku minta kamu berjanji untuk tidak marah.”
Mendengar
kalimat kedua yang keluar dari mulut kekasihnya membuat ia berpikir bahwa Hana
akan menyampaikan sesuatu yang buruk. Sesuatu yang bisa dianggap sebagai
rahasia seorang gadis semanis dia. Dia mencoba menatap dalam-dalam ke mata Hana
yang masih memancarkan rasa cemas.Lidahnya terasa kelu untuk mengiyakan atau
menolak permintaan Hana. Dia masih berpikir Hana akan membuat satu pengakuan.
Mungkin pengakuan yang pernah dia dengar dari kawan-kawannya tentang seorang
gadis yang mengaku kalau dirinya tidak perawan lagi ketika hendak menikah. Dia
menarik nafas dalam-dalam. Sungguh, dia tidak punya alasan untuk marah atau
tidak. Dan dia pun tidak mengerti apakah dia harus kecewa atau menghadapi hal
semacam itu dengan biasa-biasa saja. Lagi-lagi dia hanya bisa menatap mata
Hana. Sepasang mata yang bulat besar dan selalu memancarkan kilat basah. Mata
yang telah mengikatnya pada enam bulan perjalanan cinta gadis dan jejaka.
“Apakah
…”
Hanya
itu yang keluar dari mulutnya. Dia tidak mampu bertanya lebih lanjut.
Sejujurnya dia menunggu reaksi dari dirinya sendiri apabila sangkaannya itu
benar adanya. Mata itu masih menatap lekat kepadanya. Pasrah. Benar-benar
basah.
Dilihatnya
Hana pun hanya mengangguk lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela. Cahaya
matahari membuat wajahnya tampak lebih terang. Dia menghela nafas panjang.
Seperti tengah melepas beban yang sangat berat. Tapi kemudian yang terjadi
adalah Hana berdiri dan melangkah ke arah pintu.
“Kak.
Kenapa kamu tidak bertanya apa yang membuat aku tidak perawan lagi?”
Hana
mulai menangis. Sementara dia menduga Hana, dengan pertanyaannya itu, sudah
pasti menganggapnya egois. Sama seperti lelaki lain yang menginginkan gadis
idamannya masih dalam keadaan suci ketika dinikahi. Seperti Shinta, seorang
dewi yang dijaga kesuciannya selama diculik oleh raja raksasa Rahwana dan juga
lolos tanpa luka di hari pembakaran api suci oleh suaminya Rama. Padahal dia
hanya merasakan kebimbangan untuk bersikap. Apakah dia akan mencontoh
kelembutan ucapan Isa saaat bertemu seorang pelacur Samaria di tepi sumur atau
ia akan ikut menangis bersama calon istri yang dicintainya dan menganggap dunia
memang begitu jahat.
Dia
membiarkan Hana melangkah keluar rumah tanpa berusaha mencegahnya. Dia tidak
ingin merusak kesedihan, karena kesedihan adalah ruangan yang paling dekat
dengan ruang Tuhan. Maka dibiarkannya Hana membawa pulang kesedihannya
sebagaimana dia mengundang masuk kesedihannya sendiri ke dalam hati.Pagi hari,
ketika dia mencabut charger telepon genggamnya, dia menemukan sejumlah pesan
pendek yang belum terbaca. Semuanya dari Hana. Salah satu pesan pendek yang
membuatnya begitu bahagia adalah tentang doa dan pengampunan dari Hana untuk
orang-orang yang telah memperkosanya beberapa tahun silam. Kini dia tahu betapa
Hana lebih baik dari wanita-wanita yang pernah dia baca kisah-kisahnya. Hana
baginya adalah gadis idaman yang paling dia dambakan.
0 comments:
Post a Comment