SERAGAM
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya.
Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota
tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun
kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus
mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.
”Jadi, apa yang membawamu kemari?”
”Kenangan.”
”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak
perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer
saja dari sini.”
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di
antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang
berebutan keluar dari magasin.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan
kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau
tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula,
bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai
seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya
belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir
mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben,
ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok
lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang tidak
lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di
sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat
seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di
antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya
semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.
Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena
hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia
keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak
beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik.
Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai
koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau
sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses
mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya.
Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa
menolak.
”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia
langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang
dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya
tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa
dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik,
rasanya sangat-sangat tidak elok.
”Tanggung,” jawabnya.
Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil
alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal
persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam gurami di
belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para
pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau, tanah
persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal
terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di
sana sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga
jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan
dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya
itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena
tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit
masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun
bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja
walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana
dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah
perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget,
pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong
sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!
”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya
sembari melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya
menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau
tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat
bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk berpikir
bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena gerakan
itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan
menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih
yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan
habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan
kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya
melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu
dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya. Sayang,
tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa
kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan
secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari
membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa
tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang,
sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu.
Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.
Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan.
Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana
oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah
agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan
tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan
Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya
selesai kami mengingat kejadian itu.
”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku
takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan
tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru
walaupun harus menunggu beberapa minggu.”
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan
seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami
itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah
menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di
mana kami pernah bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada,
diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi
membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah
pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri
dan dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah
masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah
peninggalan orangtua justru tergadaikan.
”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau
mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.”
”Ulahnya?” Dia mengangguk.
”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa
luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak
kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku
percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama
terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban
berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus
sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini
setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.
”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat
melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak
pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya
merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan
seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah
membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul
dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang
tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu
kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh
lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam
coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang
akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.
SERAYU, SEPANJANG ANGIN AKAN BEREMBUS…
”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau
boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.”
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang
mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu
berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya
matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar
sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu
dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun
Kebasen?
Sepanjang angin akan
berembus, selalu ada cerita tentang wanita kesepian, senja yang menunggunya
dalam waktu yang serba sebentar, lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya
gemuruh kereta ketika melintasi jembatan itu bisa terdengar hingga ke batas langit,
atau ke dasar sungai.
”Aku melihat senja, lalu memikirkanmu.” Ucap
seorang wanita pada kekasihnya. Di sore yang cerah, di tepi jembatan kereta.
Keduanya duduk menjuntaikan kaki ke bawah, menikmati embusan angin dan melihat
kendaraan berlalu-lalang di jalan berkelok ke arah kota Purwokerto.
Di Serayu, panggung seperti disiapkan. Lelaki itu
masih menunggu senja yang dimaksud si wanita. Seakan ia tak pernah melihat
bagaimana bentuk senja semenjak ia lahir, meski tentu senja pernah melihat
lelaki itu, entah di mana.
”Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali
melihat senja?” tanya wanita itu.
Si lelaki tak menjawab, toh sebentar lagi pasti
wanita itu menjawab pertanyaannya sendiri.
”Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi
menyenangkan.”
Nah.
Serayu, serupa apakah kenangan dalam bungkusan
senja yang konon lebih luas dari aliran sungai Gunung Slamet menuju pantai
selatan itu?
”Aku tetap suka berada di sini meski kau diam
saja.”
Begitukah?
Lelaki itu memang masih diam.
”Kalau tidak ada kamu, pasti senja membuatku
merasa ditimbun kenangan.”
Sepanjang angin berembus, wanita itu terus
berbicara. Tapi hari masih terang, burung-burung terbang rendah di atas mereka,
tak beraturan. Belum waktunya pulang, beberapa burung kecil duduk di besi
jembatan, kemudian terbang lagi. Senja belum datang, dan kereta juga belum
datang.
”Benarkah ada kereta yang selalu datang ketika
senja?” tanya lelaki itu. Mungkin ia gusar dengan keheningannya sendiri.
”Tentu saja.”
”Kereta apa? Kereta senja?”
”Ah, bukan. Jangan terlalu klise, Sayang.”
”Lalu?”
”Hanya kereta, dengan gerbong-gerbong penumpang
seperti biasa. Itu saja.”
”Pasti ada namanya. Bahkan kereta barang yang
mengangkut minyak pun ada namanya.”
”Ketel maksudnya?”
”Ya.”
”Kalau begitu, anggap saja ini kereta kenangan.”
Kenangan lagi. Seperti diksi yang luar biasa
picisan, namun kadang sepasang kekasih bisa mengorbankan apa saja untuk sesuatu
yang picisan, bahkan pembicaraan selanjutnya seperti tak akan menyelamatkan
mereka. Kecuali waktu yang terus susut, jam terpojok ke angka lima. Tapi senja
belum turun, belum ada kereta yang melintas di belakang mereka. Alangkah
dekatnya mereka dengan rel kereta. Sehingga bisa terbayang jika kereta melintas
pasti tubuh keduanya ikut bergetar karena roda besi yang bersinggungan dengan
rel baja itu.
”Mungkin kita harus pindah tempat, sedikit
menjauh.” Ucap lelaki itu
”Tidak. Dari sini kita bisa melihat senja.”
”Tapi ini terlalu dekat.”
”Tapi kalau kau pindah, nanti aku susah
memikirkanmu dalam bentuk yang seperti ini.”
Tentu saja.
***
Serayu. Sungai besar yang teramat sabar, aliran
air memanjang sampai ke penjuru ingatan, ke palung kehilangan, ke laut
kasmaran. Sesungguhnya, ada banyak cerita di Serayu. Bukan hanya sepasang
kekasih yang duduk di besi jembatan untuk menunggu senja, tapi juga kisah-kisah
lain manusia, seorang lelaki yang mendayung perahu ke tengah demi mencari ikan,
atau awah-sawah di kejauhan yang tampak menghampar dan hanya terlihat topi-topi
petani. Semua itu adalah cerita. Tapi pemandangan Serayu, senja, dan sepasang kekasih
mungkin akan menjadi cerita yang paling dramatis. Bisa saja sepasang kekasih
itu pada akhirnya akan berpisah, tapi masing-masing dari mereka tak bisa
menghilangkan kenangan ketika duduk berdua di jembatan Serayu untuk melihat
sesuatu yang setengah tak masuk akal. Seakan-akan mereka sedang mengabadikan
cinta dalam hitungan detik terbenamnya matahari. Lalu pada suatu waktu si
lelaki akan sengaja kembali ke tempat itu, duduk di sana, demi mengenang wanita
itu. Meski mungkin si wanita tak kembali, sebab ia merasa tersakiti jika harus
melihat senja di sungai itu lagi.
Tetapi, kereta akan tetap melintas, tepat ketika
senja, ketika matahari bundar di ujung sungai yang luasnya sekitar 300 meter.
Ya, sebentar lagi, sebuah kereta penumpang akan
melintasi sungai itu. Serayu. Sungguh nama yang romantis, seorang masinis yang
bertugas di kereta itu sedang membayangkan kereta yang dikemudikannya sebentar
lagi melintasi jembatan, lalu ia akan membunyikan peluit lokomotif keras-keras,
nguooongngng, hingga ia pun teringat dengan kekasihnya di masa lau; seorang
wanita penggemar kereta dan senja.
”Aku ingin kelak kau menjadi masinis, dan membawa
kereta yang melintasi Sungai Serayu tepat ketika senja.”
”Kau ingin aku jadi masinis?”
”Ya.”
”Artinya aku akan selalu pergi.”
”Aku masih bisa memikirkanmu.”
”Jadi, cinta sudah cukup sempurna jika kita masih
bebas memikirkan orang lain?”
Sepanjang angin akan berembus, pertanyaan seperti
itu seolah tak ada gunanya.
Kereta terus melaju, sudah jauh meninggalkan
stasiun Notog, memasuki terowongan, lalu menebas hutan yang penuh dengan
pepohonan pinus. Baru saja kereta melintasi jalan raya, yang artinya semakin
dekat dengan Serayu. Masinis itu tak mengurangi kecepatan, sesaat ia menoleh
lewat jendela, melihat ke gerbong-gerbong di belakangnya. Bukan gerbong senja,
tentu saja, bukan pula kereta kenangan seperti yang dinamai kekasihnya di masa
lalu. Ini hanya kereta biasa.
Jembatan sudah terlihat di kejauhan. Masinis itu
perlahan menarik rem, sedikit mengurangi kecepatan di tikungan terakhir sebelum
melintasi sungai Serayu. Dan beberapa saat kemudian, tampaklah hamparan hijau
itu, juga perasaan yang tak ada maknanya lagi.
”Sepanjang angin berembus, akankah kau
merindukanku?”
Ah, rindu memang seperti paksaan. Ketika kereta
semakin dekat ke jembatan Serayu, si masinis melihat sepasang kerkasih yang
sedang duduk di salah satu sudut jembatan itu, mereka melambai ke arah kereta,
seakan tak pedulidengan kebisingan mesin lokomotif dan suara roda yang
bergesekan dengan rel serta besi jembatan. Masinis itu membalas lambaian
mereka. Sementara di bagian bagian kanan, warna merah pada langit dengan
lapisan awan tipis membentuk garis-garis menggumpal yang artistik dengan warna
merah saling tindih.
Masinis itu tertegun, seperti itukah senja yang
dahulu pernah didambakan kekasihnya?
Namun belum selesai kekagumannya, tiba-tiba
kejadian aneh terjadi, mesin lokomotif kereta itu mendadak mati, tenaga menurun
drastis, kereta pun berangsur-angsur mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti
tepat di tengah jembatan, tampak dari barisan jendela, para penumpang di dalam
gerbong terkejut, penasaran ada apa, mengapa berhenti di tengah jembatan.
Apakah kereta tertahan sinyal masuk sebuah stasiun? Atau ada kejadian luar
biasa di depan? Tapi kadang kita tak butuh jawaban untuk sebuah kenangan yang
magis, bukan? Kereta itu, barangkali pernah memiliki kekasih pula, yaitu kereta
lain yang selalu mengingatkannya tentang senja di mana pun ia melaju, agar
berhenti sebentar untuk mengingat ucapan kekasihnya:
”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau
boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.”
DUA WAJAH IBU
Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu
mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram,
ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung
sayap pesawat terbang.
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati
tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu
lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian
yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti,
lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas
ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap
karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas,
melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga
menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan
itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur
pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil,
seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik,
menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium
menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama
perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah
kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim
hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan
berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak
lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta
yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung,
tiba-tiba berlarian di depan matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila
terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki
di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu
tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah,
Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan
itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar
seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan.
”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu
bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal
kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti
radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda
aneh di genggamannya.
”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada
keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya
sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah
dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak
lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong
suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal
menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia
lekas-lekas menanggapinya.
”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah
ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak
kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak
lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu
terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan
lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah
tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau
menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau
cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang
saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik
kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing.
Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya
bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu. Hidung pesek
gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang, seolah-olah bau
yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala
Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus
reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi
dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit
keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak
jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang
pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia
cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis
kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia
menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari
tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji petai
berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpah-serapah
kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang
berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu
bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak
Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak
tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah beton
yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini.
Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada
satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan.
Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
”Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti
pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak disadap,” lontar Mak Inang di
pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu
kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan
orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang
mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas,
berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa
menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
”Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir
bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum
bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput
kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa
seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa
yang kian membuatnya tak nyaman.
”Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak
ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke
rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara Mai, menantunya, dari
arah dapur yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar
itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak
menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap.
Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu
kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka
awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk
Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling
Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita
karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka
kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat
menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa,
tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan
panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah
berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya beberapa
puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih
saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi,
alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis,
merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa.
Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya
Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban
waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang
membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat
satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih
elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah, mengalirkan
getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas
pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam
bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul
tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang,
dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di
petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang dengan cucian. Di kampung,
waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas membawa kakinya ke
mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak. Seperti telah
berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi,
terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali
mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau
berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta
menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya
menghitung-hitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari lagi menuju akhir
bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar
dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja,
Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak, menyadap karet, dan
merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.
Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka
Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam besar mendadak berlari
di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi.
Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam
ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan dengan itu,
mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka kotornya dengan
wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput, mengkerut, dan
carut-marut.
TANGAN-TANGAN BUNTUNG
Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang
gila, tidak mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin.
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu,
semua gerakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat
segera disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka
akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit
kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi
rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk
kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.
Akhirnya beberapa di
antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan sikap hormat mereka
memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu,
teriakan-teriakan ”Hidup Presiden Nirdawat,” terus-menerus berkumandang dengan
nada penuh semangat, namun sangat syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut
kedatangan Nirdawat, dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh
hormat untuk tampil di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat.
Inti pidato: rakyat sangat merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang
baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan
khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan
salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya diambil
dari nama presidennya).
Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai
Presiden, dalam hati Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan
bekerja dengan sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun,
dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak persoalan
dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya dengan
sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana dan
pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak
pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus
untuk menemui Presiden Nirdawat.
Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan
negara itu mudah diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan,
kesehatan, industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah
diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara mengundang
Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan. Semua kunjungan balasan
akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena dalam setiap kunjungan
balasan, masing-masing pemimpin negara dengan bersungguh-sungguh menunjukkan
kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga kekurangan-kekurangan negaranya. Demi
kepentingan semua negara, kerja sama harus segera dilaksanakan, juga dengan
sungguh-sungguh.
Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai,
berita mengenai keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri
muncul sebagai berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga
negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara,
tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh pemuda
menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan negara dan
bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk memenuhi undangan sekian
banyak pimpinan negara-negara asing itu. Desakan demi desakan terus
berlangsung.
Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan
lelah Presiden Nirdawat masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian
digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya beberapa
ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam Nirdawat, dan
akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur. Kemudian, dengan lembut
pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat.
”Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa
pacaran kita dulu. Kita berjalan-jalan di kampus, duduk-duduk di rumput,
kemudian berjalan lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang mengenai
keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi
teman-teman, keinginan itu merupakan cita-cita mulia.”
”Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata Nirdawat
dalam sebuah pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah peta
dan menggantungkannya di dinding.
Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri
pertemuan itu, amat-amatilah nama sekian banyak negara dalam peta, maka
tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama
nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik
Demokratik Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu
disusul oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.
Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga
berubah-ubah sesuai dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan
gambar seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan
gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera bergambarkan wajah
tolol Jiglong.
Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah,
padahal negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di
negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak mempunyai
undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara itu sesuai dengan
nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya adalah wajah raja, dan
karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan dengan wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama
Dobol berhasil menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun
berubah menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi dipimpin
oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak menjadi presiden
asalkan memenuhi syarat.
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan
tanpa undang-undang, semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti
dengan undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar
tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam
undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas
mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama presiden.
Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja
tidak ada batasnya, maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya
bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik
demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu
dicantumkan.
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik
Demokratik Dobol, dan karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam
undang-undang dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai
akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam otak Dobol.
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol
untuk patuh kepada undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat
penuh. Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak
menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang memenuhi syarat,
tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol, tetapi sebagai warga
negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik demokratik
ini.
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden
Republik Demokratik Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi
tugasnya sebagai penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke
dalam otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul.
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul
juga sangat setia dengan undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu
bersifat sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke
tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan
karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai
warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi presiden.
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka
foya-foya, dan tentu saja suka main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan
hartanya tidak mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh
semangat.
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama
beberapa tahun, maka Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak
dengan jalan menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong
sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan siang
dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi, Jiglong
tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Maka,
diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha memperkosa
perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia pun sudah agak
acuh tak acuh.
Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi,
tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa
diketahui siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan
dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi
komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun televisi dan
radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu nama negara diganti
dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera berwajahkan Nirdawat.
”Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang
juga. Aku selalu mendampingimu,” kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi
Nirdawat lagi dengan lembut pula.
Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri
atas tiga butir, yaitu mulai hari itu nama negara diganti dengan nama baru yang
tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir
pertama. Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus diciptakan
dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun juga. Dan
butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode, masing-masing
periode lima tahun.
Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal
diganti liriknya. Dulu nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat
setinggi langit, disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir,
nama Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya
puja-puji. Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu
Republik Demokratik Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau
Nirdawat sering melawat ke luar negeri.
Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke
beberapa negara di Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik
Nusantara memberi penjelasan kepada wartawan.
”Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala
negara dan pejabat penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik
Demokratik Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar biasa
menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba sekarang
jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.”
”Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata
sekian banyak wartawan dengan serempak.
Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian
kepada negara mereka dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran
mutlak. Negara mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat
mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi pemimpin dunia.
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden
Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian
banyak duta besar ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali
belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir
tanpa boleh diwakilkan.
Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang
belum terjamah oleh Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal
makmur dan pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan
catatan-catatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji
keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan kemakmuran negara
itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara itu.
Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara yang sangat makmur ini, banyak
pemimpin bertangan buntung. Hukum memang tegas: barang siapa mencuri uang
rakyat, harus dihukum potong tangan.
Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik
Nusantara pun sempat terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru
bangga. Kendati mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi
pemimpin, dan tetap dihormati.
0 comments:
Post a Comment