Sunday 19 January 2014

MAKALAH SENI WAYANG



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, wayang adalah boneka tiruan yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dsb, yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb), biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang. Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Sunda, wayang didefinisikan sebagai boneka atau penjelmaan dari manusia yang terbuat dari kulit atau pun kayu. Namun ada juga yang mengartikan bahwa perkataan wayang berasal dari bahasa Jawa, yang artinya perwajahan yang mengandung penerangan.
Seni Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua di Indonesia. Pada masa pemerintahan Raja Balitung pertunjukan wayang telah ada, hal tesebut ditemukan pada prasasti Balitung tahun 907 Masehi. Sejarah perkembangan seni wayang di Indonesia, yaitu pada abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, melalui jalur perdagangan. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hindu membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Kemudian ,Abad ke-9, bermunculan cerita-cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi.
Berhubungan dengan itu, makalah ini akan memaparkan hasil studi pustaka yang telah kami lakukan, meliputi; sejarah seni wayang/asal-usul wayang di Indonesia, jenis-jenis wayang, serta nilai-nilai yang terkandung dari pertunjukan seni wayang.
Adapun hal yang melatarbelakangi studi pustaka dan analisis Seni Wayang ini adalah sebagai wujud apresiasi kami sebagai penikmat seni terhadap budaya tradisional, yang kian hari semakin tersisih oleh budaya asing. Semoga dengan penyusunan makalah ini, kita menyadari keindahan dan keagungan budaya tradisional yang harus kita lestarikan, kita jaga dan kita banggakan sebagai kekayaan budaya bangsa.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyajian makalah ini, maka itu kami menanti adanya kritik membangun dari pembaca guna perbaikan pada makalah-makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana seni wayang masuk dan berkembang di Indonesia?
2.      Mengapa jenis wayang di Indonesia berbeda-beda?
3.      Apa yang kita peroleh dari pertunjukan seni wayang?
C.     Batasan Masalah
Seni wayang masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Hindu, dari India melalui cerita epos Ramayana dan Mahabarata. Seni wayang yang berkembang di Indonesia, meliputi; wayang golek – Jawa Barat, wayang kulit – Jawa Tengah, wayang orang, dan wayang jamblung.
Dalam pertunjukan seni wayang tersirat pesan-pesan moral, agama,pendidikan,bahkan kritikan terhadap pemerintah yang diilustrasikan ke dalam cerita tokoh-tokoh pewayangan.
D.    Tujuan
1.      Menganalisis perbedaan yang terdapat pada seni wayang terbagi kedalam beberapa jenis.
2.      Mengetahui sakralitas pertunjukan wayang, sebagai budaya tradisional bangsa.
3.      Mengapresiasi setiap keunikan dari pertunjukan seni wayang.
E.     Manfaat
1.      Mengenal dan mengapresiasi salah satu budaya tradisional, yaitu seni wayang.
2.      Meningkatkan kecintaan terhadap kesenian tradisional, terutama yang berasal dari daerah sendiri.
BAB II
LANDASAN TEORI

Kata apresiasi secara leksikografis berasal dari bahasa Inggris apreciation, yang berasal dari kata kerja to Apreciate, yang menurut kamus Oxford  berarti to judge value of; understand or enjoy fully in the right way; dan menurut kamus webstern adalah to estimate the  quality of to estimate rightly tobe sensitevely aware of. Jadi secara umum mengapresiasi adalah mengerti serta menyadari sepenuhnya, sehingga mampu menilai secara semestinya.
Dalam kaitannya dengan kesenian, apresiasi berarti kegiatan mengartikan dan menyadari sepenuhnya seluk beluk karya seni serta menjadi sensitif terhadap gejala estetis dan artistik sehingga mampu menikmati dan menilai karya tersebut secara semestinya. Dalam apresiasi, seorang penghayat sebenarnya sedang mencari pengalaman estetis. Sehingga motivasi utama yang muncul dari diri penghayat seni adalah motivasi untuk mencari pengalaman estetis.
Pengalaman estetis menurut  Albert R. Candler adalah kepuasan kontemplatif atau kepuasan intuitif. Sedangkan Yakob Sumardjo menjelaskan  pengalaman seni adalah keterlibatan aktif dengan kesadaran yang melibatkan kecendekiaan, emosi, indera dan intuisi manusia dengan lingkungan (benda seni) (2000, 161). Dalam proses pengalaman estetis unsur perasaan dan intuisi lebih menonjol dibandingkan  nalar; itulah sebabnya maka dalam proses tersebut penghayat seni seolah kehilangan jati dirinya karena seluruh kehidupan perasaannya larut ke dalam obyek seni, dan inilah yang disebut dengan empati.
Proyeksi perasaan tersebut bersifat subyektif dan sekaligus obyektif. Artinya subyektif karena penghayat menemukan kepuasan atau kesenangan dari obyek seninya dan obyektif  karena proyeksi perasaan itu berdasarkan nilai-nilai yang melekat pada benda seni tersebut. Kualitas seni yang ada dalam karya tersebut mengalirkan pengalaman secara dinamis dan akhirnya mendatangkan kepuasan. Kualitas suatu karya biasanya muncul karena adanya pola yang jelas yang  terjalin pada unsur/elemen seni sehingga membentuk sebuah struktur. Seorang apresian dalam melakukan penghayatan dan penilaian terhadap sebuah karya tidak bisa dilepaskan dari persoalan persepsi yang muncul ketika berhadapan dengan karya tersebut.
Sebagian besar faktor mengenai persepsi yang berpengaruh dalam pembentukan persepsi adalah kualitas pribadi pengamat dan bukan kualitas obyek. Apapun kualitas obyek maknanya sangat tergantung pada kualitas pribadi pengamat. Makna yang merupakan pola dalam rangka pembentukan persepsi diperlukan untuk menyeleksi dan memahami lingkungan serta untuk mengembangkan bahasa dan proses berpikir. Dalam kaitannya dengan seni, istilah bahasa bisa diartikan adalah ungkapan hasil proses perasaan dan pikiran melalui elemen dan strukturnya untuk menyampaikan pesan.
                    Dalam kaitannya dengan apresiasi terhadap karya seni, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi apresiasi seseorang ,yaitu;
1.      Kemauan dan minat,
2.      Sikap terbuka,
3.      Kebiasaan,
4.      Peka atau sensitif
5.      Kondisi mental.
Kemauan dan minat diperlukan untuk menikmati karya; sebab tanpa kemauan dan minat apresiasi tidak akan berhasil. Kepekaan menangkap gejala unsur seni dengan segala perubahannya merupakan suatu tuntutan, karena kepekaan seseorang akan membantu

menelusuri sumber kreasi dan sumber estetik suatu karya.sehingga dengan demikian akan memperlancar menangkap makna yang tersirat dari yang tersurat sebuah karya.
Kondisi mental dalam rangka apresiasi adalah, intensitas seseorang dalam melakukan penghayatan. Kurangnya intensitas karena adanya gangguan psikhis akan menyebabkan apresiasi tidak maksimal.
Karya seni menghadirkan perasaan untuk direnungkanan oleh penghayat sehinga karya itu dapat dilihat dan didengar atau dengan pelbagai cara penerimaan melalui simbol bukan melalui kesimpulan gejala. Oleh karena itu, suatu bentuk yang ekspresif adalah suatu bentuk yang dapat dipahami dan dibayangkan secara menyeluruh maksud yang dikandungnya, ataupun  juga kualitas seluruh aspek yang ada di dalamnya, sehingga bisa menggambarkan secara menyeluruh dalam beberapa hal yang berbeda yang dipunyai elemen-elemen tersebut dalam pelbagai hubungan analoginya.
Setiap karya seni tidak tumbuh dari sesuatu kekosongan, melainkan tumbuh diantara dan dari perjalanan sejarah serta dalam suatu konteks sosial budaya, maka sebenarnya sebuah karya seni merupakan rekaman peristiwa yang dikomunikasikan  oleh seniman kepada pembaca  (penonton, pendengar). Oleh karena itu struktur karya seni baru dapat dipahami sepenuhnya bila kita melihat karya itu sebagai suatu tanda atau lambang kehihudapan. Jadi jelaslah bahwa selain fungsinya sebagai sarana untuk mengekspresikan segala sesuatu yang tak tampak tapi ada dalam diri manusia, karya seni sebagai simbol juga berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi.
Manusia berfikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan ungkapan yang simbolis. Manusia tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung kecuali melalui pelbagai simbol dan simbol ini mempunyai unsur  pembebasan dan perluasan pemandangan. Artinya, sebuah ide jika sudah dinyatakan dengan menggunakan simbol maka ide itu menjadi sesuatu yang multi interpretable. Bisa ditafsirkan dengan pelbagai makna.
Manusia merupakan homo creator, artinya bahwa manusia adalah mahluk yang selalu berkreasi. Untuk menuangkan kreasinya manusia harus selalu berkarya. Hal itu karena selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, alam sekeliling ini tidak ada arti apapun bila tidak ada karya dan sentuhan kreasi manusia.
Menurut Soren Kierkegaard, salah seorang filsuf existensialis, mengatakan bahwa  hidup manusia mengalami tiga tingkatan, yaitu estetis, etis dan religius Dengan kehidupan estetis manusia mampu menangkap dunia dan sekitarnya yang mengagumkan. Kemudian dia menuangkannya kembali rasa kekaguman tersebut dalam karya seni. Dalam tingkatan etis, manusia mencoba meningkatkan kehidupan estetisnya dalam bentuk tindakan manusiawi, yaitu bertindak bebas dan mengambil keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan kepada sesama. Dan akhirnya, manusia semakin sadar bahwa hidup mesti mempunyai tujuan. Segala tindakan kemudian dipertanggung jawabkan kepada yang lebih tinggi, Tuhan Yang Maha Esa.
Bahasa adalah alat komunikasi atau alat penghubung antar manusia, tanpa ada alat untuk berkomunikasi maka interaksi antar manusia itu tidak akan pernah terjadi. Dalam kaitan dengan alat komunikasi maka istilah bahasa dapat berujud bahasa tulis/lisan, bahasa isyarat, misalnya bunyi peluit, morse; bahasa gerak tubuh, misalnya gerak tangan polisi pengatur lalulintas, tarian atau bahasa bentuk, misalnya gambar, termasuk di dalamnya adalah lukisan.
Bahasa sebagai alat komunikasi bersifat umum dan universal. Bila sifat itu dilihat dari fungsinya maka bahasa berfungsi sebagai:

1.      Untuk tujuan praktis, yaitu komunikasi antar manusia.
2.      Untuk tujuan artistik, yaitu ketika manusia mengolah bahasa guna mengungkapkan kebenaran intuitif.  Intuisi adalah suatu jenis kebenaran yang hanya dapat ditangkap lewat perasaan dan penghayatan, lewat sejumlah gambaran kongkret inderawi atau biasa disebut imajinasi.
3.      Untuk tujuan filologis, yakni tatkala kita mempelajari naskah, kuno, latar belakang sejarah, kebudayaan dan lain-lain.
4.      Untuk menjadi kunci dalam mempelajari pengetahuan lainnya (Gorys Keraf, 1976: 14).
Jika proses ekspresi seni dianggap sebagai sebuah peristiwa komunikasi, maka karya seni rupapun dapat dianggap sebagai bahasa, sehingga setiap elemen rupa dan rekayasa sturkturnya yang ada dalam sebuah karya rupa  adalah identik dengan kata dan gramatika. Lukisan sebagai bahasa simbolis memang menciptakan  situasi yang simbolis, artinya  penuh tanda tanya tentang hal-hal yang diungkap maksud dan arti  yang dikandung dalam simbolnya.  Dalam situasi simbolis maka sebuah lukisan bukan bermaksud menerangkan atau menguraikan sesuatu. Sebab sesuatu yang simbolis bila diterangkan atau diberi penjelasan mendetail akan berkurang atau bahkan kehilangan daya simbolisnya.
Namun ada kalanya bahasa rupa tidak digunakan dalam maknanya yang simbolis, tetapi memang untuk menjelaskan gejala-gejala visual yang sangat nyata, bilamana diterangkan secara verbal maupun dengan bahasa yang lain akan tidak efektif atau bahkan memungkinkan mengalami pendistorsian maksud /makna.
Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa, karya seni sebagai bahasa memiliki 2(dua) potensi, yaitu potensi sebagai bahasa simbolik dan potensi sebagai bahasa rupa, gerak dan suara secara denotatif. Dalam rangka mengkomunikasikan gagasannya, potensi mana yang dipilih oleh seniman untuk dimasukkan dalam karyanya sangatlah tergantung pada tujuan komunikasinya. Ketika muncul kesadaran bahwa eksistensi kita menjadi lebih berarti bila kita berkomunikasi dengan lingkungan, maka saat itulah kita memerlukan alat komunikasi; dan alat tersebut bernama bahasa.
Dalam artian yang luas, bahasa tidaklah sekedar ucapan, tetapi lebih pada sifatnya yang simbolik. Dan dalam kaitannya yang simbolik tersebut bahasa dapat berupa gerak, bunyi, warna, garis dan pendek kata segala hal yang dapat dipersepsi oleh manusia lewat indera dan telah memberikan dampak psikhologis, kemudian ditafsirkan arti dan maknanya. Itulah saya lebih setuju bahwa karya seni adalah sebuah re interpretasi dari interpretasi kultural. Karya seni adalah tafsir dari tafsir, sehingga kehadirannya bukanlah dari kekosongan belaka, bukan suatu perbuatan yang asal-asalan.
Wujud sebuah karya seni pada dasarnya adalah representasi pengalaman pengalaman estetis seorang seniman ketika dia mencoba mencari jawaban atas apa yang ada dibalik gejala yang ditangkap oleh inderanya . Oleh karena itu  dalam melihat sebuah karya seni masalah bentuk dan isi karya adalah masalah yang saling berkait. Bentuk adalah segala hal yang membicarakan faktor intrinsik karya, mulai unsur, struktur, simbol, metafora dan lain sebagainya. Sedangkan persoalan isi mempertanyakan nilai kognitif-informatif, nilai emosi-intuisi, nilai gagasan, dan nilai nilai hidup manusia.
Ada dua pendapat tentang keberadan nilai dalam sebuah karya seni. Ada yang bependapat bahwa nilai seni sebuah karya terletak pada benda dan senimannya; Namun dapat pula pencarian hakekat seni dilakukan dari aspek penerima seni; Artinya nilai sebuah karya seni tidak terletak pada bendanya atau penciptanya, akan tetapi kepada penerimanya. Kalau dilihat dari kaca mata komunikasi maka bukan komunikator dan media yang membuat sebuah pesan itu berarti dan bermanfaat akan tetapi adalah interpretasi komunikanlah yang menjadikan  pesan itu bermakna.

BAB III
PEMBAHASAN

A.       Sejarah Wayang di Indonesia
Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang, di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala malapetaka. Pada tahun 898 – 910 M wayang sudah menjadi wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara (menggelar wayang untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara) di zaman Mataram Hindu ini, Ramayana dari India berhasil dituliskan dalam Bahasa Jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M.
Prasasti berupa lempengan tembaga dari Jawa Tengah; Royal Tropical Institute, Amsterdam, contoh prasasti ini dapat dilihat dalam lampiran buku Claire Holt Art in Indonesia: Continuities and Changes,1967 terjemahan Prof.Dr.Soedarsono(MSPI-2000-hal 431). Tertulis sebagai berikut:
Dikeluarkan atas nama Raja Belitung teks ini mengenai desa Sangsang, yang ditandai sebagai sebuah tanah perdikan, yang pelaksanaannya ditujukan kepada dewa dari serambi di Dalinan. Lagi setelah menghias diri dengan cat serta bunga-bunga para peserta duduk di dalam tenda perayaan menghadap Sang Hyang Kudur. “Untuk keselamatan bangunan suci serta rakyat” pertunjukan (tontonan) disakilan. Sang Tangkil Hyang sang (mamidu), si Nalu melagukan (macarita) Bhima Kumara, serta menari (mangigal) sebagai Kicaka; si Jaluk melagukan Ramayana; si Mungmuk berakting (mamirus) serta melawak (mebanol), si Galigi mempertunjukkan Wayang (mawayang) bagi para Dewa, melagukan Bhimaya Kumara.
Pentingnya teks ini terletak pada indikasi yang jelas bahwa pada awal abad ke-10, episode-episode dari Mahabharata dan Ramayana dilagukan dalam peristiwa-peristiwa ritual. Bhimaya Kumara mungkin sebuah cerita yang berhubungan dengan Bima boleh jadi telah dipertunjukan sebagai sebuah teater bayangan (sekarang: wayang purwa). Dari mana asal-usul wayang, sampai saat ini masih dipersoalkan, karena kurangnya bukti-bukti yang mendukungnya. Ada yang meyakini bahwa wayang asli kebudayaan Jawa dengan mengatakan karena istilah-istilah yang digunakan dalam pewayangan banyak istilah bahasa Jawa.
Dr.G.A.J.Hazeu, dalam detertasinya Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (Th 1897 di Leiden, Negeri Belanda) berkeyakinan bahwa pertunjukan wayang berasal dari kesenian asli Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan banyak menggunakan bahasa Jawa misalnya, kelir, blencong, cempala, kepyak, wayang. Pada susunan rumah tradisional di Jawa, kita biasanya akan menemukan bagian-bagian ruangan: emper, pendhapa, omah mburi, gandhok senthong dan ruangan untuk pertujukan ringgit (pringgitan), dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang Jawa dalam membangun rumahpun menyediakan tempat untuk pergelaran wayang. Dalam buku Over de Oorsprong van het Java-ansche Tooneel - Dr.W Rassers mengatakan bahwa, pertunjukan wayang di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang di

Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa.
Dr.N.J. Krom sama pendapatnya dengan Dr. W. Rassers, yang mengatakan pertunjukan wayang di Jawa sama dengan apa yang ada di India Barat, oleh karena itu ia menduga bahwa wayang merupakan ciptaan Hindu dan Jawa. Ada pula peneliti dan penulis buku lainnya yang mengatakan bahwa wayang berasal dari India, bahkan ada pula yang mengatakan dari Cina. Dalam buku Chineesche Brauche und Spiele in Europa - Prof G. Schlegel menulis, bahwa dalam kebudayaan Cina kuno terdapat pergelaran semacam wayang.
Pada pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam wayang. Kemudian pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India dibawa ke Indonesia. Untuk memperkuat hal ini, dalam majalah Koloniale Studien, seorang penulis mengemukakan adanya persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokian), Wo-yong (Kanton), Woying (Mandarin), artinya pertunjukan bayang-bayang, yang sama dengan wayang dalam bahasa Jawa.
Meskipun di Indonesia orang sering mengatakan bahwa wayang asli berasal dari Jawa/Indonesia, namun harus dijelaskan apa yang asli materi wayang atau wujud wayang dan bagaimana dengan cerita wayang. Pertanyaannya, mengapa pertunjukan wayang kulit, umumnya selalu mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata? Dalam papernya Attempt at a historical outline of the shadow theatre Jacques Brunet, (Kuala Lumpur, 27-30 Agustus 1969), mengatakan, sulit untuk menyanggah atau menolak anggapan bahwa teater wayang yang terdapat di Asia Tenggara berasal dari India terutama tentang sumber cerita. Paper tersebut di atas mencoba untuk menjelaskan bahwa wayang mempunyai banyak kesamaan terdapat di daerah Asia terutama Asia Tenggara dengan diikat oleh cerita-cerita yang sama yang bersumber dari Ramayana dan Mahabharata dari India. Sejarah penyebaran wayang dari India ke Barat sampai ke Timur Tengah dan ke timur umumnya sampai ke Asia Tenggara.
Di Timur Tengah, disebut Karagheuz, di Thailand disebut Nang Yai & Nang Talun, di Cambodia disebut Nang Sbek & Nang Koloun. Dari Thailand ke Malaysia disebut Wayang Siam. Sedangkan yang langsung dari India ke Indonesia disebut Wayang Kulit Purwa. Dari Indonesia ke Malaysia disebut Wayang Jawa. Di Malaysia ada 2 jenis nama wayang, yaitu Wayang Jawa (berasal dari Jawa) dan Wayang Siam berasal dari Thailand.
Abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, terutama para pedagangnya. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hindu membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Abad ke-9, bermunculan cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi kedalam cerita yang berbentuk kakawin tersebut, misalnya cerita-cerita seperti: Arjunawiwaha karangan Empu Kanwa, Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh, Kresnayana karangan Empu Triguna, Gatotkaca Sraya karangan Empu Panuluh dan lain-lainnya. Pada jamannya, semua cerita tersebut bersumber dari cerita Mahabharata, yang kemudian diadaptasi sesuai dengan sejarah pada jamannya dan juga disesuaikan dengan dongeng serta legenda dan cerita rakyat setempat. Dalam mengenal wayang, kita dapat mendekatinya dari segi sastra, karena cerita yang dihidangkan dalam wayang terutama wayang kulit umumnya selalu diambil dari epos Mahabharata atau Ramayana. Kedua cerita tersebut, apabila kita telusuri sumber ceritanya berasal dari India. Mahabharata bersumber dari karangan Viyasa, sedangkan Epos Ramayana karangan Valmiki.
Hal ini diperkuat fakta bahwa cerita wayang yang terdapat di Asia terutama di Asia Tenggara yang umumnya menggunakan sumber cerita Ramayana dan Mahabharata dari India. Cerita-cerita yang biasa disajikan dalam wayang, sebenarnya merupakan adaptasi dari epos Ramayana dan Mahabharata yang disesuaikan dengan cerita rakyat atau dongeng setempat. Dalam sejarahnya pertunjukan wayang kulit selalu dikaitkan dengan suatu upacara, misalnya untuk keperluan upacara khitanan, bersih desa, menyingkirkan malapetaka dan bahaya. Hal tersebut sangat erat dengan kebiasaan dan adat-istiadat setempat.
Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada jaman raja-raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Namun tidak jelas apakah pertunjukan wayang tersebut seperti yang kita saksikan sekarang. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang. Hal ini juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, pada jaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang cukup tua. Sedangkan bentuk wayang pada pertunjukan di jaman itu belum jelas tergambar bagaimana bentuknya. Pertunjukan teater tradisional pada umumnya digunakan untuk pendukung sarana upacara baik keagamaan ataupun adat-istiadat, tetapi pertunjukan wayang kulit dapat langsung menjadi ajang keperluan upacara tersebut. Ketika kita menonton wayang, kita langsung dapat menerka pertunjukan wayang tersebut untuk keperluan apa. Hal ini dapat dilihat langsung pada cerita yang dimainkan, apakah untuk keperluan menyambut panen atau untuk ngruwat dan pertunjukan itu sendiri merupakan suatu upacara.
Mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di zaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di zaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi (saya juga tidak tahu, apa arti ‘kertas jawi’ ini ) dan sudah dilengkapi dengan pelbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’
Abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya pelbagai mythos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak (1500-1550 M) ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (zaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan bertema sara).
Gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan.
Sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keratin.
Sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan zaman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata : raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain.
Sunan kudus juga memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang.
Panembahan senapati menambahkan pelbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru : cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk).
Setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’. pelbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari zaman mataram islam sampai zaman sekarang dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dalang pelbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’.

B.     Wayang Golek
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.

1.   Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.
2.      Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
3.      Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.



C.     Wayang Kulit
Wayang kulit merupakan sejenis hiburan pementasan bayang yang terhasil dari patung yang dibuat daripada belulang (kulit lembu/kerbau/kambing). Terdapat pelbagai jenis wayang kulit bergantung kepada tempat asal mereka. Ia merupakan seni tradisional Asia Tenggara merangkumi Thailand,Malaysia dan Indonesia, yang terutama berkembang di Phattalung wilayah selatan Thailand,Jawa dan disebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu.
Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh muzik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden.
Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, iaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disuluhkan lampu eletrik atau lampu minyak (dian), sehingga para penonton yang berada disebelah berlawanan layar dapat melihat bayangan wayang yang berada ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar. Wayang kulit lebih popular di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.

D.    Wayang Orang
Wayang orang atau wayang wong mungkin kurang populer dibandingkan dengan wayang kulit. Namun sesungguhnya pertunjukan wayang wong tidak kalah menarik dengan wayang kulit. Wayang wong terasa istimewa karena kita bisa menikmati cerita sembari melihat keindahan gerakan para penari. Sama halnya dengan tari-tari tradisional, saat ini wayang wong sudah bisa disaksikan di luar keraton atau kerajaan.
Pada dasarnya, cerita atau peran yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang orang tidak berbeda dengan wayang kulit. Biasanya lakon yang dibawakan adalah lakon dalam cerita epik seperti Mahabrata dan Ramayana. Bedanya jika dalam wayang kulit peran itu ditampilkan dalam sosok wayang, maka dalam wayang orang lakon atau peran semacam itu dibawakan oleh orang atau wong dalam bahasa jawa. 
Tugas dalang wayang wong tidak jauh berbeda dengan dalang wayang kulit. Namun tugas dayang wong lebih ringan karena para pelakon melakukan percakapan sendiri. Dalang wayang wong hanya menyampaikan sedikit narasi baik ketika membuka pertunjukan, di tengah pertunjukan atau di akhir pertunjukan. 
Wayang wong memiliki gerakan-gerakan tertentu yang harus dipatuhi oleh para penarinya. Untuk para penari laki-laki, beberapa gerakannya adalah alus, gagah, kambeng, bapang, kalang kinantang, kasar, gecul, kambeng dengklik, dan kalang kinantang dengklik. Sedangkan gerakan para penari perempuan sering disebut nggruda atau ngenceng encot. Ada sembilan gerakan dasar atau joged pokok yang ditampilkan para penari wanita serta dua belas joged gubahan atau gerakan tambahan serta joged wirogo yang memperindah tarian yang ditampilkan.
Para penari yang membawakan lakon wayang biasanya adalah mereka yang sudah terbiasa menari tarian klasik Jawa seperti bedhaya ketawang atau bedhaya srimpi. Hal ini pulalah yang menjadikan wayang wong lebih istimewa dibanding dengan wayang jenis lain seperti kulit atau golek.
Menurut sejarah, wayang wong diciptakan setelah wayang kulit oleh Raden Panji Asmarabangun, putra Lembu Amiluhur yaitu raja dari kerajaan Jenggala. Panji Asmarabangun sendiri merupakan salah satu seniman yang hebat di masanya. Dia pula yang kerap kali menjadi dalang di setiap pertunjukan wayang wong yang diciptakannya. Cerita yang diangkat pada masa itu adalah cerita tentang kerajaan Jenggala. Pemilihan cerita itu tidak lain merupakan permintaan raja Airlangga, ayah dari Lembu Amiluhur
BAB IV
SIMPULAN

Karya seni sebagai bahasa memiliki dua potensi, yaitu potensi sebagai bahasa simbolik dan potensi sebagai bahasa rupa, gerak dan suara secara denotatif.
Setiap karya seni tidak tumbuh dari sesuatu kekosongan, melainkan tumbuh diantara dan dari perjalanan sejarah serta dalam suatu konteks sosial budaya, maka sebenarnya sebuah karya seni merupakan rekaman peristiwa yang dikomunikasikan  oleh seniman kepada pembaca  (penonton, pendengar).
Salah satu karya seni yang berkembang di Indonesia adalah seni wayang, yang merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang,
Seni wayang yang terkenal di Indonesia ada tiga, yaitu wayang golek, wayang kulit dan wayang orang.

1 comments: