MENGENAL ALLOH SWT
Satu
Hadis Nabi Muhammad SAW. yang masyhur ialah;
"Siapa
yang mengenal dirinya, mengenal ia akan TuhanNya"
Ini
berarti dengan mematuhi dan memikirkan tentang dirinya dan sifat-sifatnya,
manusia itu bisa sampai mengenal Alloh. Tetapi oleh karena banyak
juga orang yang memikirkan tentang dirinya tetapi tidak dapat mengenal
Tuhan, maka tentulah ada cara-caranya yang khusus bagi mengenal ini.
Sebenarnya
ada dua cara untuk mencapai pengetahuan atau pengenalan ini. Salah
satunya sangat sulit dan sukar difahami oleh orang-orang biasa, maka cara
yang ini tidak usahlah kita terangkan di sini. Yang satu cara lagi adalah
seperti berikut:
Apabila
seseorang memikirkan dirinya, dia tahu bahwa ada suatu ketika ia tidak
berwujud, seperti tersebut dalam Al-Quran:
“Bukankah telah
datang atas manusia satu waktu sesuatu yang dapat disebut?” (Al Insan:1)
Selanjutnya
ia juga tahu bahwa ia dijadikan diri setitik air yang tidak ada akal,
pendengar, penglihatan, kepala, tangan, kaki dan sebagainya,
dari sini teranglah bahwa walau bagaimanapun seseorang itu mencapai taraf
kesempurnaan, tidaklah dapat ia membuat dirinya sendiri meeskipun hanya
sehelai rambut.
Kemudian
pula jika ia setitik air, alangkah lemahnya ia? Demikianlah seperti
yang kita lihat di bab pertama dulu, didapatinya dalam dirinya kekuasaan,
kebijaksanaan dan kecintaannya terhadap Alloh terbayang dalam bentuk
yang kecil. Jika semua manusia dalam dunia ini berkumpul dan mereka tidak
mati, niscaya mereka tidak dapat mengubah dan memperbaiki bentuk walau
satu bagian dari tubuhnya itu.
Misalnya,
dalam penggunaan gigi depan dan gigi samping untuk menghancurkan makanan,
penggunaan lidah, air liur, tengkuk, kerongkong, kita
dapatinya penciptaan itu tidak dapat diperbaiki lagi. Begitu juga,
fikirkan pula tangan dan jari kita. Jari ada lima dan tidak pula sama panjang,
empat daripada jari itu mempunyai tiga persendian, dan ibu jari hanya ada
dua persendian, dan lihat pula bagaimana ia bisa digunakan untuk
memegang, mencincang, memukul dan sebagainya.
Jelas sekali manusia tidak akan dapat berbuat demikian, meski hendak
menambah atau mengurangkan jumlah jari itu dan susunannya .
Lihat
pula makanan, tempat tinggal kita dan sebagainya. Semuanya cukup
dikurniakan oleh Alloh yang maha kaya. Tahulah kita bahwa rahmat atau
Kasih Sayang Alloh itu sama dengan Kekuasaan dan Kebijaksanaan-Nya,
seperti firman Alloh Subhanahuwa Taala.
"RahmatKu
itu lebih besar dari kemurkaanKu"
Dan
sabda Nabi SAW:
"Alloh
itu sayang kepada hamba-hambanya lebih dari sayang ibu kepada anaknya"
Demikianlah,
dari makhluk yang dijadikanNya, manusia bisa tahu tentang wujud
Alloh, dari keajaiban tubuhnya, ia dapat tahu tentang Kekuasaan dan
Kebijaksanaanya Alloh; dan dari kurnia rezeki Tuhan yang tidak terbatas
itu, nampaklah Cinta Alloh kepada hambaNya.
Dengan
cara ini, mengenal diri sendiri itu menjadi anak kunci kepada pintu
untuk mengenal Alloh Subhanawa Taala.
Sifat-sifat
manusia itu adalah bayangan Sifat-sifat Alloh. Begitu juga cara wujud ruh
manusia itu memberi kita sedikit pandangan tentang wujud Alloh, yaitu
Alloh dan ruh itu tidak kelihatan, tidak bisa dibagi-bagi atau
dipecah-pecahkan, tidak tunduk kepada ruang dan waktu, diluar
kemampuan kuantitas (jumlah) dan kualitas, dan tidak bisa diperikan
dengan bentuk, warna atau ukuran. Orang merasa sulit hendak
membentuk satu konsep berkenaan hakikat-hakikat ini karena ia tidak termasuk
dalam bidang kualitas dan kuantitas, dan sebagainya, tetapi coba
perhatikan betapa susah dan payahnya memberi konsep tentang perasaan kita
sehari-hari seperti marah, suka, cinta dan sebagainya.
Semua itu adalah konsep pikiran atau tanggapan khayalan, dan tidak dapat dikenali oleh indera. kualiti, kuantiti dan sebagainya dan itu adalah konsep indera (tanggapan pancaindera). Sebagaimana telinga kita tidak dapat megenal warna, dan mata kita tidak dapat mengenal bunyi, maka begitu jugalah mengenal Ruh dan Alloh itu bukanlah dengan inderanya.
Semua itu adalah konsep pikiran atau tanggapan khayalan, dan tidak dapat dikenali oleh indera. kualiti, kuantiti dan sebagainya dan itu adalah konsep indera (tanggapan pancaindera). Sebagaimana telinga kita tidak dapat megenal warna, dan mata kita tidak dapat mengenal bunyi, maka begitu jugalah mengenal Ruh dan Alloh itu bukanlah dengan inderanya.
Alloh
itu adalah Pemerintah alam semesta raya ini. Dia tidak tunduk kepada
ruang dan waktu, kuantiti dan kualiti, dan menguasai segala
makhluknya. Begitu juga ruh itu memerintah tubuh dan anggotanya.
Ia tidak bisa dilihat, tidak bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan dan
tidak tunduk kepada tempat tertentu.
Karena
bagaimana mungkin sesuatu yang tidak bisa dibagi-bagikan itu diletakan ke dalam
sesuatu yang bisa dibagi atau dipecah?
Dari
keterangan yang kita baca diatas itu, dapatilah kita lihat bagaimana
benarnya sabda Nabi SAW.:
"
Alloh jadikan manusia menurut rupanya".
Setelah
kita mengenal Zat dan Sifat Alloh hasil dari bertafakur kita tentang zat dan
sifat Ruh, maka sampailah pengenalan kita kepada cara-cara kerja dan
pemerintahan Alloh Taala dan bagaimana ia mewakilkan kuasa-kuasaNya kepada
malaikat-malaikat, dan lain-lain.
Dengan
cara bertafakur tentang bagaimana diri kita memerintah alam kecil kita sendiri.
Kita
ambil satu contoh:
Katakanlah
seorang manusia hendak menulis nama Alloh. Mula-mulanya kehendak atau
keinginan itu terkandung dalam hatinya. Kemudian dibawa ke otak oleh daya
ruhani. Maka bentuk perkataan "Alloh" itu terdapat dalam
khayalan atau pikiran otak itu. Selepas itu ia mengembara melalui saluran
urat saraf, lalu menggerakkan jari dan jari itu mengerakkan pena.
Maka tertulislah nama "Alloh" atas kertas, serupa seperti yang
ada didalam otak penulis itu.
Begitu
juga apabila Alloh Subahanahuwa Taala hendak menjadikan sesuatu hal, Ia
mula-mulanya nampak dalam peringkat keruhanian yang disebut didalam Quran
sebagai "Al-'Arasy". Dari situ ia turun dengan urusan
Keruhanian ke peringkat yang di bawahnya yang digelar
"Al-Kursi". Kemudian bentuknya nampak dalam "Al-Luh
Al-Mahfuz". Dari situ dengan perantaraaan tenaga-tenaga
"Malaikat" terbentuklah hal itu dan kelihatanlah di atas bumi ini
dalam bentuk tumbuh-tumbuhan, pokok-pokok dan binatang, yang mewakilkan
atau menggambarkan Iradat dan Ilmu Alloh.
Sebagaimana
juga huruf-huruf yang tertulis, yang menggambarkan keinginan dan kemauan
yang terbit dan terkandung dalam hati, dan bentuk itu dalam dalam otak penulis
tadi.
Tidak
ada orang yang tahu Hal Raja melainkan Raja itu sendiri. Alloh telah
memberi kita Raja dalam bentuk yang kecil yang memerintah kerajaan yang
kecil. Dan ini adalah satu salinan kecil Diri (Zat)Nya dan
KerajaanNya. Dalam kerajaan kecil pada manusia itu, Arash itu ialah
Ruhnya; ketua segala Malaikat itu ialah hatinya, Kursi itu otaknya,
Luh Mahfuz itu ruang khazanah khayalan atau pikirannya. Ruh itu tidak
bertempat dan tidak bisa dibagikan dan ia memerintah tubuhnya sebagaimana
Alloh memerintah Alam Semester Raya ini. Pendeknya, tiap-tiap
orang manusia itu diamanahkan dengan satu kerajaan kecil dan diperintahkan
supaya jangan lengah dan lalai mengatur kerajaan itu.
Berkenaan
dengan mengenal ciptaan Alloh Subhanahuwa Taala, ada banyak derajat
pengetahuan. Ahli Ilmu Alam yang biasa adalah ibarat semut yang merangkak
atas sekeping kertas dan memperhatikan huruf-huruf hitam terbentang di atas
kertas itu dan merujukkan sebab kepada pena atau qalam itu saja.
Ahli
Ilmu Falak adalah ibarat semut yang luas sedikit pandangannya dan nampak
jari-jari tangan yang menggerakkan pena itu, yaitu ia tahu bahwa
unsur-unsur itu adalah daya bintang-bintang, tetapi dia tidak tahu
bahwa bintang itu adalah di bawah kuasa Malaikat.
Oleh
karena berbeda-bedanya derajat pandangan manusia itu, maka tentulah
timbul perbedaan hasil atau kesan. Mereka yang tidak memandang lebih jauh
dari fenomena alam nyata ini adalah ibarat orang yang mengganggap hamba abdi
yang paling rendah itu sebagai raja.
Walau
bagaimanapun, adalah salah besar menganggap hamba itu tuannya.
Karena
ada perbedaan ini, maka pertengkaran akan terus terjadi. Ini
adalah ibarat orang buta yang hendak mengenal gajah. Seseorang memegang
kaki gajah itu lalu dikatakannya gajah itu seperti tiang. Seorang lain memegang
gadingnya lalu katanya gajah itu seperti kayu bulat yang keras. Seorang
lagi memegang telinganya lalu katanya gajah itu macam kipas.
Tiap-tiap seorang mengganggap bagian-bagian itu sebagai keseluruhan. Dengan itu, ahli ilmu alam dan ahli ilmu Falak menyanggah hukum-hukum yang mereka dapat dari ahli-ahli hukum. Kesalahan dan sangkaan seperti itu terjadi juga kepada Nabi Ibrahim seperti yang tersebut dalam Al-Quran, Nabi Ibrahim menghadap kepada bintang, bulan dan matahari untuk disembah. Lama kelamaan beliau sadar siapa yang menjadikan semua-benda-benda itu, lalu bisa berkata,
"Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
Tiap-tiap seorang mengganggap bagian-bagian itu sebagai keseluruhan. Dengan itu, ahli ilmu alam dan ahli ilmu Falak menyanggah hukum-hukum yang mereka dapat dari ahli-ahli hukum. Kesalahan dan sangkaan seperti itu terjadi juga kepada Nabi Ibrahim seperti yang tersebut dalam Al-Quran, Nabi Ibrahim menghadap kepada bintang, bulan dan matahari untuk disembah. Lama kelamaan beliau sadar siapa yang menjadikan semua-benda-benda itu, lalu bisa berkata,
"Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
Kita
selalu mendengar orang merujuk kepada sebab yang kedua bukan kepada sebab yang
pertama dalam hal apa yang digelar sakit. Misalnya; jika
seseorang itu tidak lagi cenderung kepada keduniaan, segala
keindahan tidak lagi dipedulikannya, dan tidak peduli apa pun, maka
dokter mengatakan, "Ini adalah penyakit gundah
gulana, dan ia perlu obat ini A"
Ahli
fisika akan berkata "Ini adalah kekeringan otak yang disebabkan oleh
cuaca panas dan tidak dapat dilegakan kecuali udara menjadi lembab."
Ahli
nujum akan mengatakan bahwa itu adalah pengaruh bintang-bintang.
"Hanya
itulah kebijaksanaanya mereka" Kata Al-Quran, tidaklah mereka
tahu bahwa sebenarnya apa yang terjadi ialah: Alloh Subahana Wataala
memberi kebajikan orang yang sakit itu dan dengan itu memerintahkan
hamba-hambanya seperti bintang-bintang atau unsur-unsur, mengeluarkan
keadaan seperti itu kepada orang itu agar ia berpaling dari dunia ini
mengadap kepada Tuhan yang menjadikannya.
Pengetahuan
tentang hakikat ini adalah sebuah mutiara yang amat bernilai dari lautan ilmu
yang berupa Ilham; dan ilmu-ilmu yang lain itu jika dibandingkan
dengan Ilmu Ilham ini adalah ibarat pulau-pulau dalam lautan Ilmu Ilham itu.
Dokter,
Ahli Fisika dan Ahli Nujum itu memang betul dalam bidang ilmu mereka
masing-masing. Tetapi mereka tidak tahu bahwa penyakit itu bisa
dikatakan sebagai "Tali Cinta" , yang dengan tali itu
Alloh menarik AuliaNya kepadaNya. Berkenaan ini Alloh ada berfirman yang
bermaksud;
"Aku
sakit tetapi engkau tidak melawat Aku".
Sakit
itu sendiri adalah satu bentuk pengalaman yang dengannya manusia itu bisa
mencapai pengetahuan tentang Alloh sebagaimana firman Alloh melalui mulut
Rasul-rasulNya,
"Sakit
itu sendiri adalah hambaKu dan disertakan kepada orang-orang pilihanKu".
Dengan
ulasan-ulasan yang terdahulu, dapatlah kita meninjau lebih mendalam lagi
maksud kata-kata yang selalu diucapkan oleh orang-orang yang beriman yaitu,
"Maha
Suci Alloh" (SubhanAlloh)
"Puji-pujian Bagi Alloh (Alhamdulillah)
"Tiada Tuhan Melainkan Alloh (La ilaha illAlloh)
"Alloh Maha Besar" (Allohu Akbar).
"Puji-pujian Bagi Alloh (Alhamdulillah)
"Tiada Tuhan Melainkan Alloh (La ilaha illAlloh)
"Alloh Maha Besar" (Allohu Akbar).
Berkenaan
dengan "Allohu Akbar" itu bukanlah bermaksud Alloh itu lebih
besar (secara fisik) dari makhluk, karena makhluk itu adalah
penampakan-Nya sebagaimana cahaya memperlihatkan matahari. Tidaklah bisa
dikatakan matahari itu lebih besar daripada cahayanya. Ia bermaksud
yaitu Kebesaran Alloh itu tidak dapat diukur dan melampaui jangkauan
kesadaran, dan kita hanya bisa membentuk gambaran yang tidak sempurna dan
tidak nyata berkenaanNya.
Jika seorang anak-anak bertanya kepada kita untuk menerangkan enaknya mendapat pangkat yang tinggi, kita hanya dapat mengatakan seperti perasaan anak-anak itu tatkala sedang bermain bola, meskipun pada hakikat kedua-dua itu tidak ada persamaan langsung, kecuali hanya kedua-dua hal itu termasuk dalam jenis kesenangan.
Jika seorang anak-anak bertanya kepada kita untuk menerangkan enaknya mendapat pangkat yang tinggi, kita hanya dapat mengatakan seperti perasaan anak-anak itu tatkala sedang bermain bola, meskipun pada hakikat kedua-dua itu tidak ada persamaan langsung, kecuali hanya kedua-dua hal itu termasuk dalam jenis kesenangan.
Oleh
yang demikian, kata-kata "Allohu Akbar" itu berarti Kebesaran
itu melampaui semua kuasa pengenalan dan pengetahuan kita. Tidak sempurna
pengenalan kita berkenaan Alloh itu, bukan dengan pikiran saja tetapi
adalah disertai oleh ibadat dan pengabadian kita.
Apabila
seorang itu mati, maka ia berhubungan dengan Alloh saja. Jika kita
hidup dengan orang lain, kebahagiaan kita bergantung kepada
derajat kemesraan kita terhadap orang itu.
Cinta itu adalah benih kebahagiaan, dan Cinta kepada Alloh itu dituju dan dibangun melalui ibadat.
Ibadat dan sentiasa mengenang Alloh itu memerlukan kita supaya bersikap sederhana dan mengekang kehendak-kehendak tubuh. Ini bukanlah berarti semua kehendak tubuh itu dihapuskan; karena itu akan menyebabkan punahnya manusia. Apa yang diperlukan ialah membatasi kehendak-kehendak tubuh itu. Oleh karena seseorang itu bukanlah Hakim yang paling bijak untuk mengadili dirinya sendiri tentang batas itu, maka ia lebih baik merundingi pemimpin-pemimpin keruhanian dalam hal ini, dan hukum-hukum yang mereka bawa melalui Wahyu Ilahi menentukan batas yang harus diperhatikan dalam hal ini.
Cinta itu adalah benih kebahagiaan, dan Cinta kepada Alloh itu dituju dan dibangun melalui ibadat.
Ibadat dan sentiasa mengenang Alloh itu memerlukan kita supaya bersikap sederhana dan mengekang kehendak-kehendak tubuh. Ini bukanlah berarti semua kehendak tubuh itu dihapuskan; karena itu akan menyebabkan punahnya manusia. Apa yang diperlukan ialah membatasi kehendak-kehendak tubuh itu. Oleh karena seseorang itu bukanlah Hakim yang paling bijak untuk mengadili dirinya sendiri tentang batas itu, maka ia lebih baik merundingi pemimpin-pemimpin keruhanian dalam hal ini, dan hukum-hukum yang mereka bawa melalui Wahyu Ilahi menentukan batas yang harus diperhatikan dalam hal ini.
…., Barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang lalim. (Al-Baqarah;
229).
Walaupun
Al-Qur'an telah memberi keterangan yang nyata, masih ada juga orang yang
melanggar batas karena kejahilan mereka tentang Alloh dan kejahilan ini adalah
karena beberapa sebab,
Pertama,
ada
golongan manusia yang terus mencari Alloh melalui pikiran, lalu mereka
membuat kesimpulan dengan mengatakan tidak ada Tuhan dan alam ini terjadi
dengan sendirinya atau wujudnya tanpa permulaan. Mereka ini seperti
orang yang melihat surat yang tertulis dengan indahnya, dan mereka
mengatakan surat itu sedia tertulis tanpa penulis atau ada begitu
saja.Orang yang seperti ini telah jauh tersesat dan tidak berguna berhujah dan
bertengkar dengan mereka. Setengah daripada orang-orang seperti ini
adalah Ahli Fizika dan Ahli Bintang yang telah kita sebutkan di
atas tadi.
Kedua,
orang
karena kejahilan tentang keadaan sebenarnya Ruh itu. Mereka
menyangkal adanya hidup di Akhirat dan menyangkal manusia itu diadili di sana
. Mereka anggap diri mereka itu satu taraf dengan binatang dan
tumbuh-tumbuhan dan akan hancur begitu saja.
Ketiga,
orang
yang percaya dengan Alloh dan Hari Akhirat, tetapi kepercayaan atau Iman
mereka itu sangat lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri,
Pikiran
mereka ini seperti orang sakit yang disuruh makan obat, tetapi ia
berkata,
"Apa
untung atau ruginya dokter itu jika aku makan obat atau tidak makan obat?"
.
Memang
tidak terjadi apa-apa kepada dokter itu tetapi orang itulah yang akan bertambah
sakit karena bodohnya. Tubuh yang sakit berakhir dengan mati.
Maka Ruh atau Jiwa yang sakit berakhir dengan kesusahan dan siksaan di akhirat
nanti, seperti firman Alloh Taala dalam Al-Qur'an yang bermaksud :
"Hanya Dan
barang siapa kafir maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada
Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah
mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.”
(Luqman-23)
Keempat,
ialah
mereka yang berkata;
"Hukum Syariat menyuruh kita jangan marah, jangan menurut nafsu, jangan bersikap munafik. Ini tidak mungkin karena sifat-sifat ini memang telah ada semula jadi pada kita. Lebih baik tuan suruh saya membuat yang hitam itu jadi putih".
"Hukum Syariat menyuruh kita jangan marah, jangan menurut nafsu, jangan bersikap munafik. Ini tidak mungkin karena sifat-sifat ini memang telah ada semula jadi pada kita. Lebih baik tuan suruh saya membuat yang hitam itu jadi putih".
Mereka
ini sebenarnya bodoh. Mereka jahil dengan hukum Syariat. Hukum Syariat
tidak menyuruh manusia membuang sama sekali perasaan itu, tetapi
hendaklah dikendalikan supaya tidak melanggar batas yang dibenarkan.
Supaya terhindar dari dosa besar, dan kita bisa memohon keampunan terhadap
dosa-dosa kita yang kecil. Sedangkan Rasulullah ada bersabda,
"Saya
ini manusia juga seperti kamu, dan marah juga seperti orang lain".
dan firman Allah :
Dan berapa banyak
nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang
bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di
jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah
menyukai orang-orang yang sabar. (Al-Imran:146)
Ini
berarti bukan mereka yang tidak ada perasaan marah.
Kelima,
ialah
mereka yang menekankan Kemurahan Tuhan saja tetapi menepikan KeadilanNya,
lalu mereka berkata kepada diri mereka sendiri,
"Kami
buat apa saja karena Alloh itu Maha Pemurah dan Maha Penyayang".
Mereka
tidak ingat meskipun Alloh itu Pengasih dan Penyayang, namun beribu-ribu
manusia mati kelaparan dan karena penyakit. Meraka tahu, barang
siapa hendak hidup atau hendak kaya, atau hendak belajar, mestilah
jangan hanya berkata, "Alloh itu Kasih Sayang". tetapi
perlulah ia berusaha sungguh-sungguh. Meskipun ada firman Alloh dalam
Al-Qur'an :
Dan tidak ada suatu mahluk pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam mahluk itu
dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata
(Lohmahfuz). (Hud:06
0 comments:
Post a Comment